PERSEPSI SALAH Mengenai Hadits Ahad YANG HARUS
DILURUSKAN
PERSEPSI SALAH YANG HARUS DILURUSKAN
Rasulullah Saw. mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam
–baik masalah ‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja
Apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di
wilayah-wilayah Islam, baik untuk mengajarkan masalah ‘aqidah maupun hukum
syara’, menunjukkan bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai dalil dalam
masalah ‘aqidah?
Untuk menjawab pertanyaan ini,
perlu dibedakan terlebih dahulu antara itsbat khabar (penetapan
berita), khabar (berita), dengan tabligh khabar (menyampaikan berita), syahadah (kesaksian).
Itsbat adalah penetapan suatu berita
dari sisi, apakah berita itu benar-benar qath’iy (pasti) berasal dari sumber
asal berita, ataukah tidak pasti. Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadits
yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya
dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari
madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji
syair itupun bisa dibuat khamer.” Yang dimaksudkan itsbat khabar, adalah
apakah khabar yang dibawa oleh Nu’man bin Basyir benar-benar pasti (qath’iy)
khabar dari Rasulullah Saw., atau tidak pasti? Bila berita itu bisa dibuktikan
benar-benar berasal dari Rasulullah Saw., maka dari sisi itsbat berita tersebut
adalah qath’iy berasal dari Rasulullah Saw..
Contoh lain adalah al-Quran al-Karim. Apakah al-Quran yang dibukukan
dalam mushhaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari Rasulullah Saw.,
ataukah tidak pasti? Jika ia bisa dibuktikan memang benar-benar berasal dari
Rasulullah Saw., maka al-Quran tersebut adalah pasti berasal dari Rasulullah Saw..
Inilah yang disebut dengan itsbat.’
Khabar adalah, berita, informasi
yang dibawa oleh seseorang. Khabar bisa
meliputi masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’. Pada hadits di atas, yang
disebut khabar adalah matan hadits itu sendiri, yakni, “Sesungguhnya dari
anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu
itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair
itupun bisa dibuat khamer”.
Kesaksian (syahadah) adalah
penyampaian khabar (berita) oleh saksi di hadapan qadliy di dalam majelis
peradilan. Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Kesaksian dianggap batal bila tidak memenuhi nishab kesaksian. Misalnya,
kesaksian dalam masalah perzinaan nishabnya adalah empat orang. Jika kurang
dari empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak. Dalam ru’yatul
hilal, saksi cukup satu orang saja. Untuk masalah mu’amalah disyaratkan dua
orang saksi.
Ini berbeda dengan masalah tabligh. Tabligh tidak disyaratkan
jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk men-tabligh-kan Islam, baik
menyangkut masalah ‘aqidah maupun hukum syara’.
Tabligh khabar adalah
menyampaikan informasi kepada orang lain. Misalnya, ada informasi tentang
kecelakaan lalu lintas. Kemudian anda
menyampaikan informasi ini kepada orang lain yang jauh dari lokasi kecelakaan
dan tidak melihat secara langsung peristiwa kecelakaan tersebut. Aktivitas
menyampaikan informasi kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar. Misalnya,
Ali ra. menyampaikan surat al-Taubah kepada penduduk Yaman. Apa yang dilakukan
oleh ‘Ali ra. tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar.
Tabligh berbeda dengan itsbat khabar. Tablig adalah
menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang
disampaikan, dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana
kesaksian). Tabligh akan terjadi hingga akhir masa. Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah
mutawatir atau tidak sudah selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama,
kedua, dan ketiga (masa shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).
Memang benar, Rasulullah Saw. telah mengutus seorang shahabat atau
beberapa orang shahabat untuk menyampaikan Islam kepada sekelompok masyarakat,
dan raja-raja. Rasulullah Saw. juga pernah mengutus ‘Ali ra. untuk membacakan
surat Taubah kepada sekelompok masyarakat. Riwayat-riwayat semacam ini
jumlahnya sangatlah banyak.
Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar ahad
dalam masalah tabligh. Baik tabligh yang berhubungan dengan ‘aqidah maupun
hukum. Akan tetapi, riwayat-riwayat semacam ini tidak menunjukkan diterimanya
khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak boleh dikatakan bahwa
penerimaan terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad
sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.
Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh
Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah
‘aqidah.
Dalilnya adalah sebagai berikut;
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan
dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar meyakinkan. Jika
berita yang dibawa itu benar-benar meyakinkan (qath’iy), muballigh harus meyakini
berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak meyakini berita
yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa
oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu. Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat
terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda
dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh
seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau
hukum. Penolakan dirinya terhadap
tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah
ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa
dianggap sebagai tindak kekufuran.
Dalilnya adalah, para shahabat ra. terbiasa melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima. Shahabat ‘Umar ra. pernah menolak tabligh
khabar dari Hafshah ra.. Demikian juga
para shahabat yang lain.
Para ‘ulama hadits juga telah mengamalkan hal ini. Sebagian ‘ulama
hadits menolak riwayat yang oleh ‘ulama hadits lainnya dianggap sebagai hadits
yang shahih. Riwayat yang dishahihkan oleh sebagian ‘ulama belum tentu dishahihkan
oleh ‘ulama yang lain.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud,
kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain. Contohnya
adalah, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari
bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum
mukmin itu saling menanggung darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib
mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits
menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Tirmidziy berkata, “Mohammad
Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima haditsnya ‘Amru bin
Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin
Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami
hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”
Contoh lain adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud, Ahmad, al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, bahwa
ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah,
kami tengah berlayar di lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat
sedikit. Jika kami berwudlu’ dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan,
Apakah kami boleh berwudlu’ dengan air laut? Rasulullah Saw. menjawab, “Air
laut itu suci dan bangkainya halal.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy
dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya. Ibnu ‘Abdi al-Barr dan Ibnu
Mundzir juga menshahihkan hadits ini. Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad
menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan masyhur, dan diriwayatkan oleh para
‘ulama dalam kitab-kitab mereka. Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah.
Rijalnya juga tsiqat (terpercaya). Imam Syafi’iy tatkala mengomentari
isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang yang tidak saya ketahui.”
Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa
Nashiruddin al-Albani telah menolak (melemahkan) hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits.
Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [telah dibuktikan
bahwa ia adalah riwayat ahad], dianggap kekufuran, betapa para ‘ulama
sekaliber Imam Syafi’iy, Abu Daud, Tirmidziy, serta ‘ulama-‘ulama lain telah
kafir seluruhnya. Atau apakah anda akan menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani
telah kafir karena menolak khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
serta Imam-imam ahli Hadits lainnya? Alasannya, karena ia telah menolak tabligh
khabar ahad dari perawi-perawi yang lain. Apakah anda berani mengkafirkan
‘ulama-‘ulama besar tersebut, hanya karena mereka menolak riwayat-riwayat ahad!
Ini membuktikan bahwa penolakan terhadap tabligh khabar tidak
berujung kepada kekafiran. Akan tetapi menolak tabligh Islam, yang khabarnya
telah dibuktikan kepastiannya [itsbat-nya qath’iy], misalnya al-Quran, dan
Kenabian Mohammad Saw., serta hadits-hadits mutawatir, bisa menjatuhkan
seseorang dalam kekafiran!! Orang yang menolak al-Quran yang telah nyata-nyata
dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan, maka dirinya telah keluar
dari Islam tanpa ada khilaf. Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan
(berdasarkan proses itsbat
(penetapan)) sebagai berita yang meyakinkan (qath’iy) berasal dari Rasulullah Saw.,
maka menolak berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran.
Jumhur ‘ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir saja yang
menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat. Berita ahad tidak menghasilkan
apa-apa kecuali sekedar dzan (keraguan).
Sedangkan masalah mengambil hadits ahad sebagai dalil dalam
masalah ‘aqidah itu adalah masalah lain. Karena ‘aqidah harus didasarkan kepada
sesuatu yang meyakinkan, maka dalil-dalil yang membangun ‘aqidah pun harus
qath’iy dan meyakinkan. Bila ‘aqidah harus meyakinkan dan tidak boleh
meragukan, maka dalil yang bisa membangunnya haruslah dalil yang bersifat meyakinkan.
Iman semacam ini tidak mungkin diwujudkan dengan dalil-dalil yang bersifat
dzanniyyah seperti halnya hadits ahad.
Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah =
Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf
Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, pembahasan
semacam ini –hadits ahad menghasilkan keyakinan atau tidak—termasuk dalam
pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah fiqhiyyah. Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah
hadits, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang
dibuat setelah periode ‘ulama salaf. Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu
ini, hanya dengan alasan karena tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf?
Kita harus memahami
terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung ‘aqidah salaf dan
hal-hal yang mereka pegangi. Jika yang dimaksudkan generasi salaf adalah
sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Sebaik-baik generasi adalah generasiku,
kemudian generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya”, maka tidak
secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama salaf, atau
yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah dan sesat. Jika anda
konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf, dan hukum yang digali salaf, sedangkan
yang lain tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena tidak
dikatakan ulama salaf-, lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh
yang digagas pertama kali oleh Imam Syafi’iy. Bukankah beliau adalah orang yang
pertama kali meletakkan landasan ilmu ushul fiqh pertama kali, melalui bukunya
al-Risalah? Selain itu, bukankah beliau hidup setelah masa tiga masa itu.
Bahkan beliau tidak termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in. Apakah anda akan
mengatakan bahwa yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah
dibicarakan oleh ulama salaf? Kalau merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah
keharusan, sedangkan yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab
Shahih Bukhari dan Muslim? Bukankah
keduanya dibukukan setelah periode salaf? Apakah anda menyatakan bahwa Imam
Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?
Oleh karena itu,
pertanyaannya bukan apakah telah dibicarakan oleh ulama salaf atau belum,
sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak. Yang terpenting adalah apakah sebuah
pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas? Tidak
perlu kita nyatakan siapa yang menggali hukum tersebut. Pendapat shahabat saja
bukan dalil bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat mereka salah. Oleh karena itu,
yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya sendiri, bukan dikatakan ulama
salaf atau tidak. Sebab, ulama salaf
tidaklah ma’shum.
Di sisi yang lain,
ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah harus dilakukan hingga
akhir jaman. Padahal, ada peristiwa-peristiwa maupun kejadian-kejadian yang
tidak dijumpai di generasi salaf. Namun, kita tetap harus menggali hukum
berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.
Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah ‘Aqidah =
Menolak Hadits Ahad
Ini adalah kesimpulan premature
yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya mengenai ushul fiqh.
Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan,
dan bisa digunakan hujjah dalam perkara syari’at (amal). Sedangkan dalam perkara ‘aqidah, yang
membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di
dalamnya. Sebab, iman mensyaratkan harus diyakini seratus persen tanpa ada
syubhat ataupun kesamaran. Sedangkan hadits ahad masih mengandung syubhat dan
kesamaran. Walhasil, jika iman mengharuskan adanya keyakinan, maka keimanan
(‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits ahad.
Lalu mereka mengeluarkan
sebuah statement,” Kalau anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah
dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti mengerjakannya? Bukankah ini
berarti bahwa apa yang anda kerjakan tidak didasarkan pada keyakinan atau
iman? Padahal, bukankah kita diperintah
untuk mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman?
Benar, kita harus
mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita. Kita tidak boleh mengerjakan
perbuatan bukan karena motivasi iman. Namun, masalah ini (perbuatan yang harus
berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan berhujjah dengan dalil ahad
dalam masalah ‘aqidah. Dalam masalah amal (perbuatan) Allah Swt. dan juga rasul-Nya
tidak mensyaratkan harus dibangun berdasarkan dalil yang meyakinkan. Untuk
perkara amal, Allah dan Rasul-Nya mencukupkan kepada kita untuk bersandar
dengan dalil-dalil yang dzan (dilalah-nya dan tsubutnya (hadits ahad). Syara’ tidak mensyaratkan bahwa untuk
mengerjakan sebuah amal harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan.
Ini menunjukkan, tatkala kami beramal menggunakan hadits ahad dibarengi dengan
sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah membolehkan kita untuk beramal dengan
dalil-dalil dzan; misalnya hadits ahad. Namun, Allah melarang kita untuk
menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk membangun pokok ‘aqidah.
Atas dasar itu, ketika
kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak berarti bahwa, kami
mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi iman.
Perhatikan juga contoh
berikut ini. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “menyentuh”
pada ayat tentang bersuci. Sebagian ulama –madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa
kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan secara hakiki. Artinya, jika orang
yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka batal wudlu’nya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata
menyentuh di situ bermakna “bersetubuh”. Walhasil, seseorang tidak batal
wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya. Tentunya, bagi orang yang memegang pendapat
pertama menyandarkan perbuatannya dengan dalil yang dilalah-nya dzanniy. Dengan kata lain ia berbuat dengan bersandar
kepada prasangka kuatnya (dzan) dan tidak didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan.
Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa
dengan motivasi dan landasan keimanan.
Jadi tidak benar, ketika
kami mengerjakan sebuah perbuatan yang didasarkan pada hadits ahad tidak
dibarengi dengan keimanan. Yang benar
adalah, kami meyakini bahwa, tatkala kami mengerjakan perbuatan yang
disandarkan pada hadits ahad, itu memang karena diperintahkan Allah. Sebab,
Allah tidak mensyaratkan bahwa dalil yang membangun perbuatan harus dalil yang menghasilkan keyakinan.
Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi Saw. bersabda:
"Sesungguhnya aku ini
adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian
perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau daripada
yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena
itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain,
maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi
dirinya itu merupakan bagian dari api neraka" (HR.
Muttafaq ‘Alaih).
Ini menunjukkan bahwa
tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak menyandarkan pada dalil
(bukti) yang meyakinkan. Sebab,
kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak meyakinkan. Bahkan beliau
menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan tetapi, beliau tetap
menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat
dzan). Beliau menjatuhkan sanksi bukan karena dalil (bukti) yang meyakinkan. Padahal, penjatuhan vonis termasuk bagian
dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus disandarkan dengan dalil yang
qath’iy.
Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa
menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak meyakinkan?
Apakah anda akan menyimpulkan bahwa Rasulullah Saw. mengerjakan suatu perbuatan
namun tidak didasarkan pada keimanannya?
Walhasil, kami tidak
mengingkari atau menolak hadits ahad.
Sebab, mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang adil.
Akan tetapi, ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran telah melarang
kita mengambil dalil-dalil dzan dalam perkara ‘aqidah. Sedangkan dalam perkara
hukum hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah.
Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan
yang jelas dan gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa
hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Pendapat ini
merupakan pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti. Siapa saja yang menolak
perkara ini sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri. Semoga Allah
menyadarkan orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu.
Wahai kaum muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah
ini. Sebab, ‘aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita. ‘Aqidah
bersih yang sanggup memurnikan dan mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak
dengan hujjah yang kuat dan meyakinkan.
Di sisi yang lain, menegakkan syari’at Allah dengan tertegaknya
Khilafah Islamiyyah merupakan refleksi tauhid
uluhiyyah yang paling tinggi. Mengabaikan perkara ini akan menjatuhkan
siapapun ke lembah dosa dan kehinaan. Mengapa kita tidak segera terhimpun dan
bersatu untuk menegakkan kembali Khilafah yang agung ini, agar syari’at Allah
bisa diterapkan secara kaamil dan syamil; dan agar tauhid uluhiyyah kita tidak terkotori? Mengapa kita tidak
menyibukkan diri untuk urusan ini? Sementara itu kita malah asyik masyuk dengan
masalah ikhtilaf yang sampai hari kiamat tidak akan pernah selesai?