Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 29 Mei 2011

Mahkamah Madzalim Saja yang Berhak Memberhentikan Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah

 Mahkamah Madzalim Saja yang Berhak Memberhentikan Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah


 S. Mahkamah Madzalim Yang Berhak Memberhentikan Khalifah

Mahkamah Madzalim sajalah yang paling berhak menentukan keputusan, kalau memang keadaan khalifah telah mengalami perubahan yang bisa mengeluarkannya dari jabatan khilafah. Dia juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan atau memberi peringatan kepadanya.
Hal itu dilakukan kalau terjadi salah satu dari beberapa hal yang menyebabkan diberhentikannya khalifah, sementara dalam hal ini yang berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Madzalim. Beberapa hal tadi harus dihilangkan, di mana ia merupakan hal-hal yang harus ditetapkan, dan untuk menetapkannya harus diputuskan di hadapan seorang qadli. Karena Mahkamah Madzalimlah yang berhak memutuskan hilangnya kedzaliman-kedzaliman tersebut, di mana qadli Madzalimlah yang memiliki wewenang untuk menetapkan kedzaliman serta keputusan terhadapnya, maka Mahkamah Madzalim jugalah yang berhak menentukan keputusan apakah salah satu keadaan di atas terjadi, atau tidak. Termasuk dialah yang berhak menentukan pemberhentian khalifah.

Hanya saja, kalau khalifah mengalami salah satu keadaan ini, lalu dia mengundurkan diri, maka masalahnya selesai. Sedangkan kalau kaum muslimin berpendapat, bahwa dia wajib diberhentikan karena keadaan itu telah terjadi maka keputusannya harus dikembalikan kepada qadli. Berdasarkan firman Allah SWT.:

"Jika kalian berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya."

Yaitu, kalau kalian berselisih dengan pemimpin kalian, di mana perselisihan ini merupakan perselisihan antara umat dengan pemimpin, maka mereka harus mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya itu berarti mereka harus mengembalikannya kepada qadli, yaitu Mahkamah Madzalim.

Mahkamah Madzalim Saja yang Berhak Memberhentikan Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah
     Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Seputar Debt Collector

...dia pun berhak mengajukan penjadwalan ulang pembayaran utangnya. Pada saat yang sama, pihak kreditor juga wajib menerima, dan memberikan kelonggaran kepada debitor tersebut. Dasarnya adalah firman Allah SWT: وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ Jika dia mempunyai kesulitan maka berilah kemudahan kepadanya (QS al-Baqarah [02]: 2...

Ahmadiyah: Perbedaan atau Penyimpangan?

...murtad dan berhak atas hukuman untuk orang murtad (had al-murtad), yaitu hukuman mati jika tidak bertobat (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 44). Jika seseorang menjadi penganut Ahmadiyah sejak kecil, karena mengikuti ayah-ibunya atau kakek-neneknya yang penganut Ahmadiyah, maka tidak dihukumi murtad, tetapi digolongkan kaum kafir ...

Ahmadiyah Berulah (Cermin Kegagalan Penguasa Menjamin Rasa Keadilan Umat Islam)

...Mahkamah Konstitusi). Maka peristiwa “Cikeusik” -juga Temanggung- terlihat jelas upaya politisasi untuk menyuarakan pentingnya “kebebasan beragama” dan mengkambinghitamkan kelompok-kelompok (ormas) yang mereka tuduh menjadi inspirator tindakan kekerasan. Bahkan MUI dan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah mereka tuding menjadi salah satu pemicu ke...

Gerakan Islam dan Masalah Khilafah (Tanggapan Hizbut Tahrir Atas Surat Kabar Al-Ahram)

...Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah”. Akidah ini tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Seorang Muslim diperintahkan agar menjalankan semua aktivitas dan urusan hidupnya menurut ketentuan syariah Islam, di mana ia merupakan subjek hisab (perhitungan) pada hari kiamat, bukan sistem dan perundan...

Nasib TKW yang Pilu: Potret Kegagalan Negara Mengurus Rakyat

...tetap oleh Mahkamah Agung Malaysia dengan hukuman mati. Kisah pilu penyiksaan TKW asal NTB Sumiati yang menjadi berita hangat di media massa terjadi sejak awal ia bekerja dengan majikannya, di Madinah 18 Juli 2010. Kebiadaban sang majikan yang berstatus janda dengan beberapa anak, telah tampak saat Sumiati menginjak kaki di rumah majikannya. San...

Mahkamah Agung Turki Larang Pemakaian Jilbab

...Mahkamah Agung Turki akhirnya mengeluarkan putusan yang melarang pemakaian jilbab di lingkungan universitas negara itu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Media massa Turki hari Rabu 20 Oktober memberitakan bahwa Mahkamah Agung mengeluarkan peringatan kepada para politikus negara itu untuk tidak melakukan tindakan yang mengurang...

Mengakhiri Teror ‘Bom’ Gas Elpiji

...dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetap saja belum menjadi UU yang mewajibkan pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri. Akibatnya, pabrik Pupuk Iskandar Muda dan Pabrik Pupuk Aceh-Asean, yang keduanya ada di Aceh, misalnya, harus ditutup karena tidak mendapat pasokan gas. Demikian juga PLN yang tidak mendapat jaminan pasokan batubara 200 juta t...

Rakyat Tidak Berhak Memberhentikan Kepala Negara Islam Dari Jabatannya - Khalifah Khilafah

 Rakyat Tidak Berhak Memberhentikan Kepala Negara Islam Dari Jabatannya - Khalifah Khilafah


 R. Umat Tidak Berhak Memberhentikan Khalifah

Sekalipun umat yang mengangkat khalifah dan membai'atnya, namun umat tetap tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan khalifah, selama akad bai'at kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syara'.

Hal itu karena banyaknya hadits shahih yang mewajibkan ketaatan kepada khalifah, sekalipun terus-menerus malaksanakan kemunkaran, bertindak dzalim, dan memakan hak-hak rakyat. Selama tidak memerintah berbuat maksiat dan tidak jelas-jelas kufur. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah Saw. bersabda:

"Siapa saja yang melihat sesuatu (yang tidak disetujuinya) dari amirnya hendaknya bersabar. Karena siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah sejengkal saja kemudian mati, maka matinya (seperti) mati jahiliyah."

Kata amir (pemimpin) di dalam hadits ini maknanya umum, yang meliputi khalifah, karena khalifah merupakan amirul mukminin. Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:

"Dahulu, Bani Isra'il dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah." Para sahabat bertanya: "Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau menjawab: "Penuhilah bai'at yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka."

Imam Muslim pernah meriwayatkan bahwa Salamah Bin Yazid Al Ja'fie bertanya kepada Rasulullah Saw. lalu berkata: "Wahai nabi Allah, kalau ada pemimpin-pemimpin yang memimpin kami, lalu mereka meminta kepada kami hak mereka, namun mereka melarang kami meminta hak kami, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau tidak menghiraukannya, lalu dia bertanya lagi dan beliau juga tidak menghiraukan lagi, kemudian dia bertanya untuk yang kedua atau yang ketiga kalinya, lalu (tangannya) ditarik oleh Asy'ats Bin Qais. Beliau kemudian menjawab:

"Dengar dan ta'atilah, sebab mereka wajib (mempertanggungjawabkan apa yang mereka pikul, sedangkan kalian wajib mempertanggungjawabkan apa yang kalian pikul."

Dari Auf Bin Malik yang berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalian pun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Ditanyakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalin. Ingatlah, siapa saja yang diperintah oleh seorang penguasa, lalu ia melaksanakan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membencinya yang merupakan kemaksiatan kepada Allah saja. Dan janganlah sekali-kali melepaskan tangannya dari ketaatan kepadanya."

Dari Hudzaifah Bin Al Yaman bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

"Nanti akan datang setelahku, para imam yang mempergunakan petunjuk bukan petunjukku, dan mengikuti sunnah bukan sunahku. Dan di tengah-tengah kalian akan ada orang-orang yang hatinya seperti hati syetan yang berada di dalam tubuh manusia." Aku bertanya: "Bagaimana yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah kalau hal itu aku temui." Beliau menjawab: "Engkau dengar dan taati, sekalipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatilah."

Dari Abi Dzar bahwa Rasulullah Saw. pernah bertanya (kepadanya):

"Wahai Abu Dzar, bagaimana kalau kamu mendapatkan pemimpin yang mengambil banyak (hak) darimu dalam pembagian fai' ini?" Dia menjawab: "Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, aku akan menghunus pedangku ini lalu aku letakkan di atas pundaknya. Dan aku akan tebas hingga dia (berubah) sepertimu (baik)." Beliau bersabda: "Bukankah aku pernah tunjukkan sesuatu yang lebih baik untuk kamu lakukan daripada hal itu?, sebaiknya kamu bersabar hingga kamu bisa sepertiku."

Hadits-hadits ini semua menjelaskan bahwa seorang khalifah melaksanakan sesuatu yang semestinya dia diberhentikan. Namun justru Rasulullah memerintahkan taat kepadanya serta sabar terhadap kedzalimannya. Semuanya ini menunjukkan bahwa umat tidak berhak untuk memberhentikan khalifah. Di samping itu, Rasulullah Saw. pernah menolak pelepasan bai'at orang Arab Badui. Dari Jabir Bin Abdullah ra. berkata bahwa ada orang Arab Badui telah membai'at Rasulullah Saw. suatu ketika ia menderita sakit, kemudian berkata: "Kembalikanlah bai'atku padaku."  Ternyata beliau Saw. menolaknya. Lalu dia datang dan berkata: "Kembalikanlah bai'atku kepadaku." Beliau tetap menolak, kemudian orang itu pergi. Lantas beliau bersabda:

"Madinah ini seperi tungku (tukang pandai besi), bisa menghilangkan debu-debu yang kotor dan membikin cemerlang yang baik."

Semuanya ini menunjukkan bahwa kalau bai'at telah terjadi, maka bai'at tersebut mengikat kedua orang yang membai'at. Hal ini berarti, tidak ada hak bagi mereka untuk memberhentikan khalifah, karena mereka tidak berhak untuk melepaskan bai'atnya.

Dan tidak bisa dikatakan, bahwa orang Badui tersebut tidak dihiraukan oleh Rasulullah karena dia ingin melepaskan bai'at dalam rangka keluar dari Islam, bukan keluar dari ketaatan kepada kepala negara. Tidak bisa dikatakan demikian, karena kalau itu yang dimaksud niscaya perlakuan yang diberikan Rasulullah adalah perlakuan terhadap orang-orang murtad, dan niscaya ia telah dibunuh oleh Rasulullah, karena orang murtad harus dibunuh. Juga karena bai'at tersebut bukan bai'at untuk masuk Islam, tetapi merupakan bai'at untuk taat kepada khalifah, maka sebenarnya orang tersebut adalah ingin melepaskan ketaatan, bukan untuk melepaskan Islam. Karena kaum muslimin tidak boleh untuk menarik bai'at mereka, maka mereka tidak berhak untuk memberhentikan khalifah. Hanya saja syara' telah menjelaskan kapan khalifah berhenti dengan sendirinya, sekalipun tidak diberhentikan, termasuk kapan dia harus diberhentikan. Begitu juga semuanya ini tidak bisa diartikan, bahwa pemberhentian khalifah adalah hak umat.

Rakyat Tidak Berhak Memberhentikan Kepala Negara Islam Dari Jabatannya - Khalifah Khilafah
     Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Pemberhentian Kepala Negara Islam Dari Jabatannya - Khalifah Islam

 Pemberhentian Kepala Negara Islam Dari Jabatannya - Khalifah Islam


….

Adapun perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari jabatan khilafah, namun dia tidak boleh mempertahankan jabatannya adalah lima hal:

Pertama, khalifah telah kehilangan 'adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan. Hal itu, karena memang 'adalah merupakan salah satu syarat pengangkatan jabatan khilafah, bahkan hal itu merupakan syarat keberlangsungan akad pengangkatan khilafah. Karena ketika Allah SWT. telah mensyaratkan 'adalah (adil) pada saksi, maka syarat tersebut justru lebih utama bagi keberlangsungan akad pengangkatan jabatan khalifah.

Kedua, Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau banci. Hal itu, karena salah satu syarat akad pengangkatan jabatan khilafah, bahkan menjadi syarat keberlangsungan akadnya adalah harus laki-laki. Karena adanya sabda Rasulullah Saw.:

"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum  yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita."

Ketiga, Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang gila. Hal itu, karena akal merupakan salah satu syarat pengangkatan jabatan khilafah dan keberlangsungan jabatan kekhilafahannya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas tiga orang..." hingga sabda beliau: "dari orang gila hingga akalnya kembali."

Orang gila tidak boleh mengurusi urusannya sendiri, apalagi dia mengurusi urusan-urusan orang lain, jelas lebih tidak boleh lagi. Dalam keadaan seperti ini, tidak boleh diangkat seorang washi atau wakil untuk menggantikannya. Sebab, akad khilafah dibuat untuk pribadi khalifah itu sendiri. Jadi tidak sah apabila ada orang lain yang menggantikan posisinya.

Keempat, khalifah tidak lagi dapat melaksanakan tugas-tugas khilafah karena suatu sebab, baik karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan ukuran tidak mampu, adalah ketidakmampuan khalifah untuk melaksanakan tugas-tugas khilafah.

Hal itu karena akad khilafah hanya merupakan akad melaksanakan tugas-tugas khilafah, sehingga kalau tidak mampu melaksanakan apa yang menjadi konsekuensi dari akadnya, maka wajib diberhentikan. Karena statusnya hampir sama dengan orang yang tidak ada. Di samping karena ketidakmampuannya melaksanakan tugas yang dipikul karena telah diangkat menjadi khalifah, jelas akan mengakibatkan tergusurnya urusan-urusan agama dan kemaslahatan kaum muslimin. Karena itu, ini merupakan sebuah kemunkaran yang wajib dihilangkan, dan kemungkaran tersebut tidak akan hilang selain dengan memberhentikannya sehingga kaum muslimin bisa mengangkat yang lain. Jadi, ketika itu hukum memberhentikannya menjadi wajib.

Kelima, Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi menangani urusan kaum muslimin menurut pandapatnya yang sesuai dengan hukum syara'. Jika ada orang yang menekan khalifah sampai ia tidak mampu lagi mengurusi kemaslahatan kaum muslimin dengan pikirannya sendiri sesuai dengan hukum-hukum syara', maka secara de jure khalifah dianggap tidak mampu melaksanakan tugas-tugas negara khilafah dan wajib diberhentikan. Realitas ini dapat dilihat dalam dua keadaan:

Pertama, jika ada seseorang atau sekelompok orang di antara para pendamping khalifah menguasai khalifah lalu mendiktekan perintah-perintah tertentu, memaksanya dan bahkan menyetirnya sesuai dengan pendapat mereka, sehingga ia tidak dapat menentang kehendak mereka dan terpaksa melaksanakan gagasan-gagasan mereka. Dalam keadaan semacam ini harus dilihat, kalau sekiranya masih ada harapan melepaskannya dari tekanan mereka dalam waktu yang singkat, maka pemberhentiannya bisa ditunda, lalu menjauhkan mereka dan melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan mereka. Jika upaya ini dapat terlaksana, maka yang menghalangi khalifah untuk menduduki jabatannya telah hilang dan kelemahannya pun telah sirna. Akan tetapi, jika tidak terlaksana, maka khalifah wajib diberhentikan.

Kedua, jika khalifah seperti dalam keadaan ditawan, yaitu jatuh di bawah kekuasaan dan cengkeraman musuh, ia digerakkan olehnya, sesukannya sehingga ia tidak bisa mengatur lagi urusan kaum muslimin sebagaimana yang dia kehendaki. Dalam keadaan seperti ini harus dilihat, kalau masih ada harapan untuk melepaskannya dari kekuasaan musuh dalam jangka waktu singkat, maka pemberhentiannya ditunda. Apabila masih ada kemungkinan dilepaskan hingga selamat dari cengkraman musuh, hilanglah penghalang melaksanakan kewajibannya dan hilang pula kelemahannya. Jika tidak demikian, dia harus diberhentikan.

Karena khalifah dalam kedua keadaan ini secara de jure, dia tidak mampu melaksanakan tugas-tugas khilafah dengan sendirinya berdasarkan hukum-hukum syara' sehingga dia dinilai sama dengan orang yang tidak ada. Dia juga tidak mampu melaksanakan apa yang menjadi konsekuensi akad khilafah yang diberikan kepadanya.

Kalau dalam kedua keadaan ini, masih ada harapan untuk dibebaskan, maka ditunggu sampai kemudian pembebasannya benar-benar tidak mungkin, dan ketika itu baru diberhentikan. Tetapi kalau sejak awal tidak ada harapan untuk dibebaskan, maka langsung diberhentikan.

Dalam kelima keadaan di atas, seorang khalifah wajib diberhentikan ketika salah satu keadaan tersebut terjadi, hanya saja dia tidak akan berhenti dengan sendirinya melainkan diberhentikan melalui keputusan seorang hakim. Dalam kelima keadaan itu, khalifah tetap wajib dita'ati, dan perintah-perintahnya tetap wajib dilaksanakan sampai ada keputusan untuk memberhentikannya. Karena masing-masing keadaan di atas, tidak akan menyebabkan hilangnya akad khilafah dengan sendirinya, namun membutuhkan keputusan seorang hakim.

 Pemberhentian Kepala Negara Islam Dari Jabatannya - Khalifah Islam
     Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Pemberhentian Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah Islam

Pemberhentian Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah Islam


 Q. Pemberhentian Khalifah

Khalifah diberhentikan secara otomatis manakala terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya dengan perubahan yang langsung mengeluarkannya dari jabatan khilafah. Khalifah juga wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan pada dirinya walaupun perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkannya dari jabatan khilafah, namun menurut syara' dia tidak boleh melanjutkan jabatannya.

Perbedaan antara kedua keadaan ini adalah, bahwa pada keadaan pertama khalifah tidak boleh ditaati sejak terjadinya perubahan keadaan pada dirinya. Sedangkan pada keadaan kedua khalifah tetap harus ditaati sampai dia benar-benar telah diberhentikan.

Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatan khilafah ada tiga hal:

Pertama, kalau khalifah murtad dari Islam. Karena Islam merupakan salah satu syarat pengangkatan khilafah. Bahkan ini merupakan syarat yang pertama kali dan syarat untuk bisa terus menjadi khalifah. Siapa saja yang murtad dari Islam, dan menjadi kafir, maka wajib dibunuh kalau dia tidak kembali dari kemurtadannya. Karena orang kafir itu tidak boleh menjadi penguasa atas kaum muslimin, demikian juga tidak diperbolehkan bagi orang kafir itu memiliki jalan untuk menguasai orang-orang mukmin berdasarkan firman Allah SWT.:

"(Dan) Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin." (Quran Surat An Nisa': 141)

Begitu pula ketika Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian." (Quran Surat An Nisa': 59)

maka, kata minkum (dari kamu sekalian) bersamaan dengan kata ulil amri tersebut merupakan pernyataan yang tegas, tentang adanya syarat Islam bagi seorang waliyul amri, selama dia masih menjadi waliyul amri. Kalau dia telah menjadi kafir, maka dia tidak lagi menjadi bagian dari kita (kaum muslimin). Dengan demikian, sifat yang disyaratkan oleh Al Qur'an bagi seorang waliyul amri, yaitu harus Islam telah hilang. Karena itu, khalifah akan dikeluarkan dari jabatan khilafah karena kemurtadannya dan dia tidak akan kembali menjadi khalifah kaum muslimin sehingga hukum mentaatinya menjadi tidak wajib.

Kedua, Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan. Hal itu, karena memang akal merupakan salah satu syarat pengangkatan jabatan khilafah, di samping hal itu juga merupakan syarat keberlangsungan akad tersebut (syurutul istimrar). Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas tiga orang yang di antaranya "orang gila sampai ia sembuh."

Di dalam riwayat lain:

"Dan orang gila hingga sadar kembali."

Siapa saja yang diangkat pena atasnya, maka dia tidak sah untuk mengurusi urusannya sendiri, maka tentu dia tidak boleh tetap menjadi khalifah yang mengurusi urusan orang-orang. Dan hal itu merupakan sesuatu yang lebih jelas --karena mengurusi urusannya sendiri saja tidak boleh, apalagi mengurusi urusan orang lain.

Ketiga, Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat, yang dia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tawanan tersebut, bahkan tidak ada harapan untuk bisa bebas. Karena dengan begitu, dia tidak mampu untuk memberikan instruksi secara penuh --baik berupa perintah maupun larangan-- dalam urusan-urusan kaum muslimin. Sehingga statusnya seperti tidak ada.

Dalam ketiga keadaan inilah khalifah bisa dikeluarkan dari jabatan khilafah dan tercopot dengan sendirinya seketika, sekalipun pencopotannya belum diputuskan, dan hukum mentaatinya ketika itu tidak lagi menjadi wajib. Semua perintah dari orang yang termasuk dalam katagori salah satu sifat khalifah tersebut tidak wajib dilaksanakan.

Hanya saja, pembuktian apakah di antara ketiga sifat tersebut ada atau tidak harus dilakukan. Dan pembuktian itu semata-mata dilakukan oleh mahkamah madlalim (PTUN), sehingga mahkamah inilah yang memutuskan apakah orang yang bersangkutan telah dinilai keluar dari jabatan khilafah, dan harus diberhentikan atau tidak, sehingga kaum muslimin bisa mengangkat khalifah yang lain.
 
 Pemberhentian Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah Islam
     Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Dibutuhkan Keberanian Politik !

...hukum padahal negara dan sistem di dalamnya berjalan sesuai hukum-hukum Islam. Umat terus dalam keberanian politiknya antara maju atau berhenti sesuai dengan kekuatan pemahaman umat terhadap Islam. Umat telah membayar harga mahal pada zaman ini ketika bersikap pengecut dari mengoreksi para khalifah akhir dari Utsmaniyun dan ketika itu umat tid...

Tiga Masalah Dakwah Aktual

...depan Istana Negara yang dihadiri oleh tokoh-tokoh mereka seperti Frans Magnis Suseno, Romo Beni, dll. Apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah penyebaran agama yang provokatif dan tentu saja ini melanggar SKB. Dari dulu mereka memang tidak setuju dengan SKB karena mereka ingin menyebarkan agama secara provokatif dan mengembangkan liberalisme ...

Presiden SBY tidak Paham Jihad ?

...di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (4/10/2010). Yang juga dihadiri oleh beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II seperti Mendiknas M Nuh, Menkopolhukam Djoko Suyanto, Mensesneg Sudi Silalahi, Menteri Agama Suryadharma Ali, juga duta besar beberapa negara Islam (negeri Muslim) dari Timur Tengah. Hadir juga Dr. Sholeh bin Abdullah bin H...

Agenda Terselubung Dibalik Bentrok Umat Islam Bekasi VS HKBP

...depan istana Negara yang dihadiri oleh tokoh-tokoh mereka seperti Frans Magnis Suseno, Romo Beni, dll. Apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah penyebaran agama yang provokatif dan tentu saja ini melanggar SKB. Dari dulu, mereka memang tidak setuju dengan SKB karena mereka ingin menyebarkan agama secara provokatif dan mengembangkan liberalis...

Makalah Konferensi Internasional Media HT : Permasalahan Kaum Muslim di Asia Barat dan Tengah

...negaraan Turki diharamkan dari kewarganegaraan Inggris dan berikutnya tidak boleh tinggal di Siprus. Di samping Inggris memberi kemungkinan kepada orang Siprus etnis Yunani untuk memerintah semenanjung dan mengontrol nasib kaum Muslim. Karena itu jumlah pemeluk Nasharani di Siprus yang berasal dari luar makin meningkat, sementara jumlah penduduk...

KEMISKINAN RAKYAT MERISAUKAN, PENGUASANYA BERMEWAH-MEWAHAN

...tidak hanya berhenti di sini. Pasalnya, dalam sistem ekonomi liberal, saat Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap nasib rakyat, Pemerintah justru lebih berpihak kepada para pemilik modal, termasuk pihak asing. Contoh: terkait kenaikan tarif listrik. Kasus terbaru menunjukkan bagaimana Pemerintah negeri ini mengelola Proyek Gas Donggi S...

Penetapan Undang-Undang Oleh Kepala Negara Islam Wajib Terikat Dengan Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islamiyah

 Penetapan Undang-Undang Oleh Kepala Negara Islam Wajib Terikat Dengan Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islamiyah

 
P. Tabanni Khalifah Wajib Terikat Dengan Hukum Syara'

Di dalam mengadopsi (tabanni) hukum seorang khalifah harus terikat dengan hukum-hukum syara', sehingga haram baginya untuk mengadopsi suatu hukum yang tidak digali dengan cara yang benar, berdasarkan dalil-dalil syara'. Begitu juga seorang khalifah harus terikat dengan hukum-hukum yang telah diadopsinya, termasuk dengan metode istinbat (penggalian hukum)-nya. Jadi, tidak boleh seorang khalifah mengadopsi hukum yang digali dengan metode penggalian hukum yang berbeda dengan metode yang dia adopsi. Begitu juga dia tidak boleh memberikan keputusan yang bertentangan dengan hukum-hukum yang telah dia adopsi.

Dalam hal ini ada dua persoalan: Pertama, keterikatan khalifah terhadap hukum-hukum syara' di dalam mengadopsi hukum, yaitu keterikatannya terhadap syari'at Islam dalam membuat undang-undang, itu tidak memperbolehkannya untuk mengadosi hal-hal yang menyimpang dari hukum syara'. Sebab kalau menyimpang dari hukum itu, maka hukumnya adalah kafir. Karena esensinya dia telah mengadopsi hukum-hukum yang lain, dan dia tahu bahwa dia telah mengadopsi selain syari'at Islam, sehingga dia terkena firman Allah SWT.:

"Barang siapa yang tidak memberlakukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Quran Surat Al Maidah: 44)

Dengan catatan, kalau dia meyakini hukum yang telah dia adopsi tersebut --sebagai hukum yang benar-- maka dia telah kafir dan murtad dari Islam. Kalau dia tidak meyakininya, namun tetap mengambilnya dengan asumsi bahwa hukum tersebut tidak bertentangan dengan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah Utsmaniyah di akhir masa kejayaannya, maka hal itu haram dan tidak sampai menjadikannya kufur.

Sedangkan kalau hukum tersebut lahir dari syubhatud dalil (dalil yang dipersengketakan) seperti kalau ada orang yang membuat aturan hukum yang tidak bersumber pada dalil, selain maslahat yang menjadi pandangannya, kemudian dia bersandar kepada kaidah mashalih mursalah, atau kaidah saddudz dzaraai', atau ma'alatul af'al, atau yang lain, maka kalau dia berpendapat bahwa semuanya ini merupakan kaidah syara' dan dalil-dalil syara', maka dia tidak haram melakukannya begitu juga dia tidak kufur, namun dia tetap dinilai salah. Sedangkan apa yang telah dia gali tetap dianggap sebagai hukum syara' bagi kaum muslimin, dan wajib menta'atinya, kalau hal itulah yang diadopsi oleh khalifah. Karena itu merupakan hukum syara', yang mempunyai syubhatud dalil, sekalipun dalilnya salah. Sebab hal itu seperti kesalahan memahami dalil dalam istinbat. Jadi, dalam kondisi apapun wajib bagi seorang khalifah untuk terikat dengan syari'at Islam. Serta dalam melakukan adopsi hukum, dia harus terikat dengan hukum-hukum syara' yang digali melalui istimbat yang benar berdasarkan dalil-dalil syara'. Dalil-dalil syara' berkaitan dengan hal-hal di atas adalah:

Pertama: apa yang diwajibkan oleh Allah SWT. kepada tiap muslim, baik sebagai khalifah  ataupun bukan agar melaksanakan semua perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum syara'. Allah berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Quran Surat An Nisa': 65)

Melakukan perbuatan sesuai dengan hukum syara' mengharuskan seseorang untuk mengadopsi hukum tertentu, ketika pemahaman terhadap seruan Allah SWT. beragam, yaitu ketika hukum syara' bermacam-macam bentuknya --bukan hanya satu, padahal untuk melaksanakannya tidak mungkin mencampur adukkan hukum-hukum tersebut-- maka mengadopsi satu hukum tertentu di antara banyak pemahaman terhadap hukum itu adalah wajib bagi tiap muslim, ketika ia ingin melaksanakan perbuatan, yakni ketika ia ingin menerapkan hukum. Karena itu adopsi tersebut hukumnya wajib bagi khalifah ketika ia ingin melaksanakan perbuatannya yaitu mengambil dan menerapkan hukum tertentu.

Kedua: dalilnya adalah nash bai'at yang dipergunakan untuk membai'at khalifah, yang mengharuskan khalifah untuk terikat dengan syari'at Islam. Karena, bai'at itu esensinya merupakan bai'at berdasarkan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya. Maka, tidak halal bagi seorang khalifah keluar dari keduanya, bahkan bisa jadi hukumnya kafir kalau ia keluar dari kitab dan sunah dengan sengaja. Namun, hanya dihukumi maksiat; dhalim dan fasik saja kalau ia keluar dari keduanya tanpa suatu kesengajaan untuk melakukannya.

Ketiga: dalilnya adalah bahwa khalifah diangkat untuk menerapkan hukum syara', karena itu tidak halal baginya untuk mengambil selain hukum syara' agar ia bisa menerapkannya kepada kaum muslimin. Sebab hukum syara' mencegah hal itu dengan tegas, hingga sampai pada penafian iman bagi yang menerapkan hukum selain Islam. Hal itu merupakan indikasi (qarinah) yang tegas. Maka, pengertian bahwa seorang khalifah di dalam tabanni-nya harus terikat dengan hukum-hukum, yaitu keterikatan khalifah hanya dengan hukum-hukum syara' saja ketika dia membuat undang-undang. Kalau dia membuat undang-undang dengan bersumber kepada selain hukum-hukum syara', maka dia telah kufur dengan catatan kalau dia yakin dengan apa yang dia lakukan. Dan hanya dihukumi maksiat; dhalim dan fasik, kalau dia tidak yakin dengan apa yang dia lakukan.

Ketiga dalil di atas adalah dalil-dalil persoalan pertama, sedangkan persoalan kedua bahwa khalifah terikat dengan hukum-hukum yang diadopsinya serta terikat dengan metode istinbat-nya, dalilnya adalah bahwa hukum syara' yang diterapkan oleh khalifah merupakan hukum syara' baginya, bukan bagi yang lain. Maksudnya adalah hukum syara' yang dia adopsi untuk menjalankan semua tindakannya agar sesuai dengan hukum tersebut, dan bukan terikat dengan sembarang hukum syara'. Karena itu, kalau seorang khalifah berijtihad atau taqlid dalam hukum tertentu maka hukum --baik yang merupakan hasil ijtihadnya maupun yang dia taqlidi-- itulah yang merupakan hukum Allah baginya, sehingga ketika mengadopsinya untuk kaum muslimin dia harus terikat dengan hukum syara' tadi. Jadi, dia tidak boleh mengadopsi yang berbeda --dengan yang menjadi hasil ijtihadnya maupun hasil taqlidnya-- karena dengan begitu, hukum tersebut tidak dinilai sebagai hukum Allah baginya, sehingga tidak dianggap hukum syara' bagi yang bersangkutan, termasuk ia bukan merupakan hukum syara' bagi kaum muslimin.

Oleh karena itu, dia harus terikat dengan hukum syara' yang dia adopsi di dalam semua perintah yang dia keluarkan untuk rakyatnya. Dia juga tidak boleh mengeluarkan suatu perintah apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum yang telah dia adopsi. Sebab dengan begitu, perintah yang dia keluarkan tidak akan dianggap sebagai hukum Allah baginya, sehingga tentu perintah itu bukan merupakan hukum syara' bagi dirinya, begitu pula bagi kaum muslimin yang lainnya. Sebagaimana ketika dia mengeluarkan perintah yang ternyata bertentangan dengan hukum syara'. Jadi, tidak boleh bagi seorang khalifah mengeluarkan perintah apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum yang dia adopsi sendiri.

Di samping itu, pemahaman terhadap hukum syara' senantiasa berubah mengikuti metode ijtihadnya, maka kalau seorang khalifah berpendapat bahwa illat hukum yang bisa dipergunakan adalah illat syara', kalau dia mengambilnya berdasarkan nash syara'. Dia bahkan tidak berpendapat, bahwa maslahat merupakan illat syara', juga tidak berpendapat bahwa mashalih mursalah merupakan dalil syara'. Maka kalau dia berpendapat demikian, dia telah menentukan metode ijtihad bagi dirinya, dan ketika itu ia wajib terikat dengan metode ijitihad tersebut. Jadi, tidak sah kalau dia mengadopsi suatu hukum yang dalilnya adalah mashalih mursalah, atau mengambil analogi (qiyas) berdasarkan illat yang tidak diambil dari nash syara'. Sebab hukum ini berarti tidak dianggap sebagai hukum syara' bagi dirinya, karena dia berpendapat bahwa dalil yang dia pergunakan bukan merupakan dalil syara'. Dengan begitu, hukum itu menurut pendapatnya sendiri adalah bukan hukum syara'. Maka, selama tidak dianggap sebagai hukum syara' bagi khalifah, tentu juga bukan hukum syara' bagi kaum muslimin yang lainnya.

Kalau khalifah adalah seorang muqallid atau mujtahid masalah (mujtahid dalam masalah tertentu, sedang dalam masalah lain tidak) yang tidak memiliki metode ijitihad tertentu dalam menggali hukum, maka boleh baginya untuk mengadopsi hukum manapun, dan dengan dalil apapun --baik yang diperselisihkan maupun yang tidak diperselisihkan-- selama masih ada syubhatud dalil. Dan dia tidak harus terikat dengan salah satu, ketika ingin mengadopsi hukum, melainkan harus terikat dengan perintah-perintah yang dia keluarkan saja, di mana dia tidak akan mengeluarkan perintah-perintah tersebut kecuali sesuai dengan hukum-hukum yang dia adopsi.

Penetapan Undang-Undang Oleh Kepala Negara Islam Wajib Terikat Dengan Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islamiyah
     Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Hak Dan Kewajiban Kepala Negara Islam Membuat Undang-Undang Sesuai Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islam

 Hak Dan Kewajiban Kepala Negara Islam Membuat Undang-Undang Sesuai Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islam

 
….

Contoh lain, seorang khalifah bisa membuat undang-undang untuk mengatur kepentingan rakyat dengan pendapat dan ijtihadnya, serta mengangkat siapa saja yang akan melaksanakan tugas tersebut. Di mana dia bisa melakukan semuanya itu dengan pendapat dan ijtihadnya lalu memerintahkan seluruh rakyat agar menta'atinya. Dia juga berhak untuk membuat undang-undang untuk para pegawai, sehingga pada saat itu hukum menta'ati undang-undang tersebut menjadi wajib.

Demikianlah, hal-hal yang diberikan kepada khalifah dengan mengikuti pendapat dan ijtihadnya dalam hal-hal yang menjadi wewenangnya, maka khalifah berhak membuat undang-undangnya, lalu hukum menta'atinya bagi rakyat --pada saat itu-- menjadi wajib.

Tidak bisa dikatakan, bahwa undang-undang ini merupakan suatu cara atau teknis (uslub) --untuk mengatur rakyat-- dan uslub itu hukumnya mubah, karena itu hukumnya tetap mubah bagi seluruh kaum muslimin, jadi khalifah tidak boleh menetapkan cara tertentu lalu menjadikan cara tertentu itu menjadi fardlu. Sebab hal itu berarti mewajibkan perbuatan yang mubah, dan mewajibkan perbuatan yang asalnya mubah itu berarti menjadikan perkara  yang mubah menjadi wajib dan haram di tangan khalifah, dan itu jelas tidak boleh. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab yang namanya mubah tetap saja mubah dilihat dari segi teknis ataupun caranya. Sedangkan teknis atau cara mengatur baitul mal tersebut merupakan masalah yang mubah bagi khalifah, bukan mubah bagi semua orang. Begitu pula teknis atau cara memimpin pasukan merupakan hal yang mubah bagi khalifah bukan mubah bagi semua orang. Termasuk teknis atau cara mengatur kemaslahatan rakyat adalah mubah bagi khalifah, tidak mubah bagi semua orang.

Oleh karena itu, mewajibkan perbuatan mubah yang telah dipilih oleh khalifah tidak berarti menjadikan yang mubah menjadi fardlu, melainkan yang fardlu adalah hukum menta'ati khalifah untuk melaksanakan perbuatan yang --asalnya mubah-- telah dijadikan oleh syara' sebagai wewenang khalifah agar mengaturnya dengan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya, yaitu hal-hal yang telah dia pilih dalam rangka mengatur pelayanan urusan rakyat dengan pendapat dan ijtihadnya. Karena sekalipun teknis atau cara tersebut adalah mubah, namun hukum mubahnya hanya bagi khalifah sedangkan bagi yang lain tidak. Karena, masalah itu memang merupakan kewajiban khalifah untuk mengurusi pelayanan urusan rakyat sesuai dengan pendapatnya, sebab wewenang mengurusi pelayanan urusan rakyat adalah wewenangnya, dan bukan wewenang semua orang.

Karena itu, hukum wajibnya terikat dengan hasil tabanni-nya (adopsi) khalifah terhadap masalah-masalah yang mubah dalam mengurusi pelayanan urusan rakyat (ri'ayatus syu'un) --atau hal-hal yang telah ditetapkan syara' sebagai wewenang khalifah agar mengambil kebijakan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya-- itu masalahnya bukan berarti khalifah telah merubah status hukum sesuatu yang hukum asalnya mubah menjadi wajib, dan yang hukum asalnya mubah menjadi haram, tidak. Akan tetapi, itu merupakan bagian dari hukum keta'atan yang telah ditetapkan oleh syara' kepada seorang khalifah dengan cara menta'ati kebijakannya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Sehingga hal-hal yang mubah yang telah ditetapkan oleh khalifah untuk mengurus urusan rakyat, hukumnya adalah wajib bagi tiap individu rakyat untuk terikat dengannya.

Di samping itu, Umar Bin Khattab telah membuat banyak departemen. Begitu pula khalifah-khalifah yang lain. Mereka ada yang menetapkan anggaran tertentu bagi para pekerja dan rakyat mereka, lalu mengharuskan mereka agar melaksanakan tugas dengan ketentuan tersebut dan tidak melaksanakannya dengan ketentuan yang lain. Lebih dari itu, diperbolehkan untuk membuat aturan-aturan administrasi, serta undang-undang lain dalam bentuk seperti ini. Sedangkan hukum menta'ati semua bentuk undang-undang ini adalah wajib. Sebab hukum menta'atinya merupakan hukum keta'atan kepada khalifah, untuk melaksanakan apa yang diperintahkannya, di mana hal itu telah ditetapkan oleh syara' sebagai wewenang khalifah.

Hanya saja, perkara mubah yang dipergunakan untuk mengurus urusan rakyat, adalah masalah-masalah yang telah ditetapkan oleh syara' di mana untuk melaksanakannya mengikuti pendapat dan ijtihad khalifah. Seperti pengaturan sistem administrasi, penataan tentara dan sebagainya, bukan dalam segala hal yang dimubahkan, melainkan hal-hal yang mubah bagi khalifah sebagai seorang khalifah. Sedangkan hukum-hukum yang lain seperti fardlu, sunnah, makruh, haram dan mubah yang berlaku bagi semua orang, maka khalifah terikat dengan ketentuan hukum-hukum syara' dan secara mutlak dia tidak bisa lepas dari ketentuan tersebut. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti perintahku, maka perbuatan itu jelas tertolak."

Hadits ini berlaku secara umum yang mencakup, baik khalifah maupun yang lain.

 Hak Dan Kewajiban Kepala Negara Islam Membuat Undang-Undang Sesuai Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islam
     Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Musuh Negara

...Musuh negara itu bukan Islam, tetapi imperialisme, kapitalisme, individualisme, komunisme!” tegas Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) mengkritik frasa “musuh negara” dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen yang tengah digodog Dewan Perwakilan Rakyat. Pernyataan Tyasno yang disampaikan dalam Halaqah Islam Pe...

Musuh Negara yang Sejati

...Musuh negara itu bukan Islam, tetapi imperialisme, kapitalisme, individualisme, komunisme!” tegas Jenderal (purn) Tyasno Sudarto. Mantan Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) mengkritik frasa “musuh negara” dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen yang tengah digodog Dewan Perwakilan rakyat. Pernyataan Tyasno yang disampaikan dalam Halaqoh Is...

Hak Beribadah non-Muslim dalam Negara Khilafah

...Negara Khilafah, meski merupakan negara kaum Muslim di seluruh dunia, tidak berarti rakyatnya harus semuanya Muslim. Karena itu, keislaman bukanlah syarat mutlak diterimanya seseorang sebagai warga Negara Khilafah. Seseorang bisa menjadi rakyat Negara Khilafah menetap di wilayah Khilafah, serta loyal pada negara dan sistemnya. Seorang Muslim yan...

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam