Makalah Kritik Terhadap UUD 1945
KRITIK ISLAM TERHADAP
UUD 1945
Kata Pengantar
Kritik terhadap UUD 45 yang sekarang dalam pembahasan secara
intensif untuk amandemen, dibuat semata untuk menunjukkan bahwa undang-undang
dasar yang selama ini telah diterima begitu saja (taken for granted)
bahkan selama lebih dari 30 tahun cenderung dikeramatkan, sesungguhnya
mengandung kelemahan bahkan kesalahan yang sangat mendasar bila dilihat dari kacamata Islam.
Kesalahan mendasar ini wajar terjadi mengingat memang sejak dari awal
undang-undang dasar ini memang tidak dibuat dalam kerangka sistem Islam.
Setelah sekian puluh tahun berlalu semenjak diundangkan,
kelemahan dan kesalahan mendasar dari Undang Undang Dasar itu semakin terlihat
dan ternyata memberikan pengaruh buruk yang sangat nyata di tengah masyarakat.
Undang-undang yang dibuat semestinya untuk menata kehidupan bermasyarakat dan
bernegara agar tercipta masyarakat yang adil, damai dan sejahtera, yang terjadi
justru sebaliknya. Berbagai krisis, baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya
dan pendidikan terus menerus terjadi dan datang silih berganti, bahkan
bersamaan seperti yang sekarang tengah berlangsung. Akhirnya, bukan masyarakat
adil, damai dan sejahtera yang terbentuk, melainkan masyarakat yang sarat
dengan kesenjangan, ketidakadilan dan ketidaknyamanan serta ketidakamanan.
Untuk itu
diperlukan perombakan bahkan pergantian,
bukan sekadar amandemen atau perbaikan karena istilah amandemen mengandung arti
sebagai suatu perubahan yang bersifat modifikatif tanpa meninggalkan bangunan
dasarnya, dari Undang Undang Dasar 45 itu agar bisa didapat sebuah undang
undang baru yang sesuai dengan prinsip
religiusitas bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Berangkat dari pemikiran
itulah maka Hizbut Tahrir Indonesia mengajukan dua naskah, yakni Kritik Undang
Undang Dasar 45 yang berisi kritik dalam perspektif Islam terhadap UUD 45, dan
Rancangan Undang Undang Dasar Islam.
Harapannya, semua itu bisa memberikan pencerahan kepada umat
dan selanjutnya terus diperjuangkan oleh seluruh komponen umat baik para ulama,
cendekiawan, polisi dan tentara, kaum profesional, buruh, tani, pemuda, pelajar
dan sebagainya, lebih khusus para anggota parlemen yang beragama Islam yang
bertanggungjawab atas setiap perundangan yang terlahir di negeri ini, sehingga
akhirnya dapat diujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Insya Allah.
Wassalam
Pimpinan Pusat
Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
HP: 0811-119697
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan
Kritik Islam Terhadap UUD 1945
Bab I Bentuk dan Kedaulatan
Bab II Majelis Permusyawaratan
Bab III Kekuasaan Pemerintahan
Negara
Bab XIII Pendidikan
Bab IV Kesejahteraan Sosial
Bab XV Bendera, Bahasa dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan
PENDAHULUAN
Undang-undang Dasar sebuah negara merupakan sumber hukum terpenting, dan
menjadi landasan hukum utama bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada
di bawahnya. Undang-undang Dasar juga menghimpun seluruh mekanisme kerja sebuah
negara, baik menyangkut hubungan antara rakyatnya, antara penguasa dan
rakyatnya, antara lembaga-lembaga negara, dan antara institusi negara dengan
negara lainnya. Lebih dari itu Undang-undang Dasar merupakan penterjemahan
secara umum namun praktis dari sebuah ideologi atau pandangan hidup tertentu
yang menjadi dasar/asas dari Undang-undang Dasar.
Oleh karena itu, shahih tidaknya
sebuah Undang-undang Dasar amat ditentukan oleh shahih tidaknya ideologi atau
pandangan hidup yang menjadi landasannya. Sama halnya dengan lurus tidaknya
kehidupan masyarakat, kehidupan penguasa, hubungan di antara keduanya, dan
interaksi negara tersebut dengan negara lain, amat ditentukan oleh shahih
tidaknya muatan dari Undang-undang Dasar.
Berdasarkan hal ini, maka kami
Hizbut Tahrir Indonesia menyampaikan kritik terhadap Undang-undang Dasar 1945,
sekaligus menyampaikan rancangan Undang-undang Dasar Islam (Dustûr Islâm).
1.
Undang-undang Dasar
1945 adalah produk akal manusia, sedangkan Undang-undang Dasar Islam merujuk
kepada Wahyu Allah Swt. dan tuntunan Sunnah Rasulullah Saw.
Undang-undang Dasar 1945 disusun berdasarkan
kondisi masyarakat, kondisi politik dan keterbatasan akal para penyusunnya. Di samping
itu juga sarat dengan berbagai kepentingan yang muncul saat itu dari para
penyusunnya tersebut. Adanya keterbatasan, kontradiksi antara peringkat hukum
maupun antara butir-butirnya, berbagai persepsi yang tak berkesudahan dan
munculnya berbagai kepentingan saat itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah
Undang-undang Dasar yang merujuk pada pendapat-pendapat manusia yang tidak
memiliki tolok ukur sama dalam benar dan salah. Islam mengkritisi hal itu dalam
firman Allah Swt.:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ
مِنَ اللهِ
حُكْمًا
لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Apakah
(sistem) hukum Jahiliyah (yang bukan Islam) yang mereka kehendaki. Dan (sistem)
hukum siapakah yang lebih baik daripada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang
yang yakin?” (TQS. Al-Maidah [5]: 50)
Islam adalah sebuah ‘ideologi’ yang tidak memiliki cacat maupun
kelemahan, karena berasal dari Al-Khaliq (Sang Pencipta manusia dan seluruh
alam semesta), yang memiliki Pengetahuan tanpa batas, Keadilan tanpa cela, dan
tidak membutuhkan sesuatu apapun dari manusia maupun makhluk-makhluk-Nya. Fakta
seperti ini cukup menjadi alasan bagi kita bahwa standardisasi/tolok ukur benar
salah yang hakiki adalah benar- salah menurut ‘ideologi’ Islam.
2.
Undang-undang Dasar
1945 berlandaskan ideologi sekular yang tidak jelas.
Undang-undang Dasar 1945 berlandaskan pada
ideologi Pancasila. Meskipun pada butir pertama diletakkan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, akan tetapi Pancasila tidak menjelaskan peran agama di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini berakibat pada ketidakjelasan konsep
negara. Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekular, tidak
termasuk negara Komunis, lalu termasuk
negara apa?
Ketidakjelasan konsep ini berimplikasi sangat luas, sehingga berakibat
pada ketidakjelasan konsep-konsep lainnya. Seperti konsep ekonomi, konsep
politik dalam negeri, konsep politik luar negeri, konsep pendidikan, konsep
peradilan dan hukum, konsep pertahanan dan militer, konsep kehidupan sosial
kemasyarakatan dan sejenisnya. Apabila pada tataran konsep masih belum jelas,
maka pada tataran praktis akan muncul kesimpangsiuran dan kerusakan fatal. Pada
akhirnya negara yang tidak memiliki ideologi atau lemah ideologinya pasti akan
membebek terhadap negara lain yang memiliki ideologi kuat.
3.
Undang-undang Dasar
1945 berlandaskan pada kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan Islam menjadikan
kedaulatan itu di tangan Allah Swt.
Meletakkan
kedaulatan ada di tangan rakyat bertentangan dengan konsep Islam yang
menjadikan kedaulatan itu berada di tangan Syara’ (Allah Swt.) Firman-Nya:
إِنِ
الْحُكْمُ
إِلاَّ ِللهِ
يَقُصُّ الْحَقَّ
وَهُوَ
خَيْرُ
الْفَاصِلِينَ
“(Hak) Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik.” (TQS. Al An’am [6]: 57)
أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ
“Ketahuilah, bahwa
(hak menetapkan) hukum itu kepunyaan Allah. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang
paling cepat.” (TQS. Al-An’am [6]: 62)
Apabila wewenang
menetapkan hukum berada di tangan manusia, maka akan muncul kontradiksi,
perubahan-perubahan hukum, dan hancurnya pilar-pilar hukum. Yang haram menjadi
halal. Yang halal menjadi haram. Al-Quran menyebut produk-produk hukum buatan
manusia itu sebagai hukum thaghut.
Al-Quran menyebut pula para pembuat hukum dan perundang-undangan sebagai thaghut. Firman Allah Swt.:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Mereka hendak
bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari
thaghut itu.” (TQS. An-Nisa [4]: 60)
Al-Quran
bahkan memberikan sifat kepada mereka yang membuat-buat hukum –dengan
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal- sebagai orang-orang yang
menjadikan tuhan-tuhan selain Allah. Firman Allah Swt.:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا
مِنْ دُونِ
اللهِ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)
Mendengar ayat tersebut Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya mereka tidaklah menyembah
orang-orang alim dan rahib-rahib itu, wahai Rasulullah.”
Maka Rasulullah Saw. menjawab:
“Tidak demikian, sesungguhnya
orang-orang alim dan rahib-rahib itu mengharamkan yang halal atas mereka dan
menghalalkan yang haram atas mereka. Lalu mereka mengikutinya. Itulah bentuk
penyembahan mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi)
Jadi, siapapun
yang menetapkan suatu hukum dengan memutuskan kehalalan dan keharaman sesuatu
tanpa seijin atau tanpa merujuk kepada Allah Swt., berarti ia telah melanggar
batas yang ditetapkan Allah Swt., sekaligus telah mengangkat dirinya sebagai
tuhan. Dan orang yang mengikutinya telah menjadikan ia sebagai tuhan selain
Allah! Dengan demikian, manusia sama sekali tidak memiliki hak membuat hukum.
Segala sesuatu yang akan diundang-undangkan, yang akan mengatur segala urusan
rakyat, mengatur hubungan rakyat dan penguasa, mengatur lembaga-lembaga tinggi
negara, dan mengatur hubungan institusi negara dengan negara lain harus diambil
(argumentasinya) dari Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya. Jika tidak,
maka Al-Quran menggolongkannya ke dalam kelompok orang-orang kafir, zhalim dan
fasik.
وَمَنْ
لَمْ
يَحْكُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللهُ
فَأُولَئِكَ
هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Siapa saja yang
tidak memutuskan perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial,
ekonomi, pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang kafir.” (TQS. Al-Maidah [5]: 44)
وَمَنْ
لَمْ
يَحْكُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللهُ
فَأُولَئِكَ
هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Siapa saja yang
tidak memutuskan perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial,
ekonomi, pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang zhalim.” (TQS. Al-Maidah [5]: 45)
وَمَنْ
لَمْ
يَحْكُمْ
بِمَا
أَنْزَلَ
اللهُ
فَأُولَئِكَ
هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Siapa saja yang
tidak memutuskan perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial,
ekonomi, pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang fasik.” (TQS. Al-Maidah [5]: 47)
Makalah
Kritik Terhadap UUD 1945