Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 20 Februari 2013

Qadli muhtasib adalah Qadli yang menangani berbagai perkara yang menyangkut hak-hak umum

Qadli muhtasib adalah Qadli yang menangani berbagai perkara yang menyangkut hak-hak umum



BAB PERADILAN

PASAL 75

Qadli muhtasib adalah Qadli yang menangani berbagai perkara yang menyangkut hak-hak umum. Dia boleh menggunakan wewenangnya meskipun tidak ada pengaduan kepadanya, dengan syarat bahwa apa yang ditanganinya tidak berkaitan dengan perkara-perkara pidana (hudud dan jinayat).

KETERANGAN

Dalilnya adalah hadis mengenai shubrah ath-tha’am (tumpukan makanan), yakni ketika Rasulullah menemukan adanya kurma basah yang dicampurkan di dalam tumpukan makanan (bersama-sama dengan kurma kering). Beliau kemudian memasukkan tangan ke bagian bawah tumpukan makanan tersebut dan kemudian mengangkatnya sehingga hal itu disaksikan oleh banyak orang.

PASAL 76

Qadli muhtasib memiliki wewenang untuk memutuskan perkara terhadap penyimpangan yang diketahuinya secara langsung, di manapun tempatnya tanpa membutuhkan ruang pengadilan. Sejumlah polisi yang berada di bawah wewenangnya, dipersiapkan untuk melaksanakan perintahnya, keputusan yang diambilnya harus segera dilaksanakan.

KETERANGAN

Dalam hal ini, ruang sidang pengadilan — sebagaimana secara tersirat disebutkan dalam sabda Rasulullah — hanya berlaku pada kasus-kasus yang dipersengketakan, artinya ada pihak penggugat dan tergugat. Rasul sendiri, pada kasus timbunan makanan, langsung menyelesaikan kasusnya di pasar dengan disaksikan orang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa Qadli hisbah boleh memutuskan perkaranya apakah di pasar, di jalan raya, di dalam kendaraan, pada waktu malam atau siang hari. Dengan begitu, keputusan dapat segera dilaksanakan.

PASAL 77

Qadli muhtasib memiliki hak untuk memilih wakil-wakilnya yang memenuhi syarat-syrat seorang muhtasib. Mereka ditugaskan di berbagai tempat, dan masing-masing memiliki wewenang untuk dapat melakukan tugasnya, untuk menyelesaikan perkara-perkara yang diserahkan kepada mereka; baik di daerah tingkat dua ataupun di kelurahan-kelurahan yang sudah ditentukan.

KETERANGAN

Kewenangan ini berlaku jika Qadli muthasib memang diberi wewenang untuk itu oleh khalifah atau Qadli Qudlat. Jika tidak, berarti ia tidak memiliki kewenangan untuk itu.

PASAL 78

Qadli mazhalim diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kezhaliman yang menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik rakyatnya sendiri maupun bukan, baik kezhaliman itu dilakukan oleh khalifah maupun pejabat-pejabat lain, termasuk yang dilakukan oleh para pegawai.

KETERANGAN

Asal adanya Qadli mazhalim itu adalah berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau telah menjadikan suatu perkara yang dilakukan oleh penguasa (pejabat) dalam memerintah rakyat dengan cara yang tidak dibenarkan itu, sebagai perkara yang zhalim. Dari Anas yang mengatakan: "Pada masa Rasulullah harga-harga melambung tinggi." Lalu mereka protes: "Wahai Rasulullah, kalau saja harga ini engkau tetapkan." Kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha menggenggam, Yang Maha melapangkan, Yang Maha memberi rizki, Yang berhak menetapkan harga ini. Dan aku betul-betul ingin menghadap Allah Azza Wa Jalla tanpa seorangpun yang menuntutku karena kedzaliman yang telah aku lakukan terhadap dirinya, baik dalam hal "darah" (pidana) maupun "harta" (perdata)."

Karena itu, penetapan harga (semacam HPS) merupakan tindakan yang zhalim. Karena kalau beliau melakukannya, berarti beliau melakukan sesuatu yang bukan haknya. Begitu pula beliau menjadikan perkara-perkara yang menyangkut hak-hak umum, yang diatur oleh negara untuk seluruh manusia (secara adil). Sehingga memberikan keputusan (sepihak dengan maksud melakukan monopoli) dalam hal ini adalah termasuk tindak kezhaliman. Seperti menyirami tanaman dengan air milik umum, maka masing-masing harus bergiliran. Rasulullah SAW telah memberikan putusan terhadap minuman yang telah dipersengketakan oleh Zubeir Bin Awwam ra. dengan salah seorang kaum Anshar, di mana beliau mendatanginya langsung. Lalu beliau bersabda kepada Zubeir: "Wahai Zubeir, minumlah lalu orang Anshar ini."

Oleh karena itu, bentuk kezhaliman apapun yang dilakukan terhadap setiap individu, baik dilakukan oleh para penguasa (pejabat) maupun karena mekanisme-mekanisme negara beserta kebijakan-kebijakannya, maka tetap saja dianggap sebagai tindak kezhaliman. Sebagaimana yang bisa difahami dari kedua hadits di atas. Masalah itu kemudian diserahkan kepada khalifah agar dialah yang memutuskan tindak kezhaliman tersebut, atau orang-orang yang menjadi wakil khalifah dalam masalah ini, semisal Qadli mazhalim.

PASAL 79

Qadli mazhalim ditetapkan dan diangkat oleh khalifah atau oleh Qadli Qudlat. Khalifah atau Qadli Qudlat tidak berhak memberhentikannya. Segala tindakan dan perbuatan Qadli mazhalim dipertimbangkan hanya oleh mahkamah madzalim. Mahkamah inilah yang mempunyai wewenang untuk memberhentikanya.

KETERANGAN

Ketentuan ini diambil dari af'al Rasul, ketika beliau mengutus Rasyid Bin Abdillah sebagai kepala pengadilan merangkap Qadli mazhalim. Di mana dia juga diberi wewenang untuk memutuskan perkara-perkara mazhalim.

Di samping itu, mengurusi tindak mazhalim itu merupakan suatu wewenang, di mana wewenang itu hanya dimiliki oleh khalifah, dan bukan yang lain. Sehingga pengangkatan kepala mazhalim itu dilakukan oleh khalifah. Selain itu, mazhalim juga merupakan masalah pengadilan, karena ia merupakan pemberitahuan terhadap hukum syara' dengan cara mengikat. Sedangkan Qadli hanya diangkat oleh khalifah. Berdasarkan sebuah hadits yang menyatakan, bahwa Rasulullah-lah yang mengangkat para Qadli tersebut. Semuanya menjadi dalil, bahwa khalifahlah yang berhak mengangkat Qadli mazhalim. Begitu pula kepala Qadli itu juga berhak mengangkat Qadli mazhalim yang lain, apabila wewenang untuk melakukan itu diberikan oleh khalifah saat melakukan akad pengangkatan terhadap dirinya.

Sedangkan pemberhentian Qadli mazhalim itu, hukum asalnya adalah, bahwa khalifahlah yang berhak memberhentikannya sebagaimana dia berhak mengangkatnya. Rasulullah-lah yang telah menunjuk pengadilan mazhalim dan belum pernah ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau pernah mengangkat pengadilan mazhalim itu dengan wewenang secara mutlak. Beliau pernah mengangkat Rasyid Bin Abdillah hanya sebagai kepala pengadilan di satu daerah serta kepala mazhalim di daerah itu saja. Kemudian beliau menjadikannya sebagai wali (pimpinan) umum pengadilan mazhalim itu di seluruh negeri. Sementara para Khulafaur Rasyidin belum pernah ada yang mengangkat seorang pun untuk menangani pengadilan mazhalim tersebut. Bahkan, Imam Ali Bin Abi Thalib pernah mengurusi pengadilan mazhalim itu sendiri, di mana beliaulah yang memutuskan sendiri berbagai perkara mazhalim tersebut.

Qadli muhtasib adalah Qadli yang menangani berbagai perkara yang menyangkut hak-hak umum
Hizbut Tahrir

Khalifah adalah panglima angkatan bersenjata

Khalifah adalah panglima angkatan bersenjata



BAB ANGKATAN BERSENJATA

PASAL 61

Khalifah adalah panglima angkatan bersenjata. Dialah yang mengangkat kepala staf gabungan dan dia pula yang menetapkan seorang komandan untuk tiap divisi, dan seorang komandan untuk setiap batalion. Pangkat pasukan lainnya ditentukan oleh para komandan divisi dan komandan batalion. Penetapan seseorang sebagai perwira harus disesuaikan dengan tingkat pengetahuannya tentang kemiliteran/ perang, dan yang menetapkannya adalah kepala staf gabungan.

KETERANGAN

Ini, karena khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara' serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Sedangkan metode operasional (thariqah) untuk mengemban dakwah ke seluruh dunia itu adalah dengan jihad. Sehingga khalifahlah yang harus secara langsung memimpin jihad, karena akad pengangkatan khalifah tersebut diberikan kepada pribadinya sehingga tugas-tugas itu tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain. Oleh karena itu, untuk mengurusi urusan-urusan jihad sepenuhnya adalah wewenang khalifah, yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain, sekalipun jihad itu bisa dilakukan oleh setiap orang Islam.

Karena kewajiban untuk melaksanakan jihad adalah satu masalah, sedangkan kewajiban memimpin jihad itu sendiri adalah masalah lain. Jihad hukumnya memang fardhu bagi setiap muslim, namun kewajiban memimpin jihad itu adalah kewajiban khalifah, bukan kewajiban yang lain. Sedangkan kalau khalifah mengangkat orang lain menjadi wakilnya untuk melaksanakan fardhu yang menjadi kewajibannya, maka itu hukumnya jaiz (boleh) namun tetap di bawah kontrol dan instruksi khalifah. Bukan berarti dibiarkan begitu saja, tanpa dikontrol dan tanpa diarahkan.

Rasulullah membawahi sendiri pasukan militernya, sering memimpin langsung peperangan, memilih sejumlah komandan pasukan yang dikirim ke medan perang. Akan tetapi, kadang-kadang beliau menyerahkan langsung tangung jawab kepemimpinannya kepada seorang pemimpin pada beberapa perang yang tidak diikuti beliau (perang saraya). Ibn umar menyatakan, Rasulullah mengangkat Zayd ibn Haritsah sebagai komandan dalam Perang Mu’tah. Beliau bersabda, ‘Seandainya Zayd terbunuh, kepemimpinan diserahkan kepada Ja’far. Seandainya Ja’far terbunuh, kepemimpinan diserahkan kepada Abdullah ibn Rawahah...(HR al-Bukhari).

PASAL 62

Seluruh angkatan bersenjata ditetapkan sebagai satu kesatuan, yang ditempatkan di berbagai markas/ kompleks militer. Sebagian kompleks militer ini harus ditempatkan di berbagai daerah, sebagian lainnya ditempatkan di tempat-tempat yang strategis dan sebagian lain ditempatkan di kompleks-kompleks yang bersifat mobil dan dijadikan sebagai pasukan yang siap tempur. Kompleks-kompleks militer dibentuk dalam berbagai unit dan setiap unitnya disebut batalion. Setiap batalion diberi nomer, seperti batalion 1, batalion 3 dan seterusnya, atau dinamakan dengan salah satu nama wilayah/ distrik.

KETERANGAN

Susunan-susunan tadi, adakalanya berupa hal-hal yang bersifat mubah, seperti pemanggilan pasukan dengan nama sandi wilayahnya atau nomor-nomor tertentu. Di mana semuanya diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah. Dan ada kalanya merupakan hal-hal yang wajib ada, karena untuk melindungi negara serta memperkuat pasukan, semisal penempatan pasukan di distrik-distrik, penempatan distrik-distrik di wilayah yang berbeda-beda serta penempatan distrik-distrik tersebut di tempat-tempat strategis dalam rangka melindungi negara.

Umar Bin Khattab telah membagi distrik-distrik pasukannya berdasarkan wilayah. Beliau menempatkan prajurit di Palestina dan Maushul. Beliau juga menempatkan prajurit-prajuritnya di ibu kota, lalu beliau sendiri mempunyai satu kesatuan pasukan pengawal, yang setiap saat siap berperang, ketika ada komando pertama kali dari beliau.

PASAL 63

Setiap prajurit harus diberikan pendidikan militer semaksimal mungkin. Hendaknya ditingkatkan pula kemampuan berpikir setiap prajurit sesuai dengan kemampuan yang ada. Hendaknya setiap prajurit diberikan pengetahuan Islam (Tsaqofah Islamiyah), sehingga memiliki wawasan tentang Islam sekalipun dalam bentuk global.

KETERANGAN

Pasukan (tentara) Islam wajib membekali dirinya dengan pendidikan militer yang tinggi, setinggi-tingginya. Di samping taraf pemikiran mereka juga harus ditingkatkan sesuai dengan kapasitas berfikirnya. Masing-masing prajurit yang tergabung dalam pasukan itu harus dididik dengan pengetahuan (tsaqofah) Islam sehingga mampu meningkatkan pemahamannya terhadap Islam, sekalipun hanya secara global. Semuanya termasuk dalam keumuman hadits Nabi SAW, "Menuntut ilmu hukumnya adalah fardhu atas setiap muslim." (HR Ibnu Majah)

Kata "ilmu" merupakan isim jinis (kata benda yang menunjukan jenis) yang meliputi semua jenis ilmu, yang antara lain adalah ilmu-ilmu kemiliteran. Hanya saja, ilmu-ilmu kemiliteran telah menjadi sedemikian urgen bagi masing-masing pasukan (tentara), karena pasukan itu tidak akan mampu melakukan peperangan serta terjun dalam medan pertempuran kecuali kalau mereka mempelajarinya. Oleh karena itu, ilmu-ilmu kemiliteran itu menjadi wajib sebagai realisasi dari kaidah syara': "Apabila suatu kewajiban tidak akan terlaksana kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan itu hukumnya adalah wajib."

Sedangkan hukum mempelajari pengetahuan Islam agar bisa dipergunakan untuk mengikat setiap perbuatan yang akan dilaksanakannya adalah fardhu 'ain. Adapun hukum mempelajari pengetahuan Islam yang dipergunakan selain keperluan tersebut hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Siapa saja yang padanya dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka niscaya Dia akan menjadikannya ahli (faqih) dalam urusan agama."

Hukum tersebut berlaku bagi setiap pasukan (tentara) yang akan melakukan penaklukan terhadap negeri-negeri dengan tujuan menyebarkan dakwah, seperti halnya hukum tersebut juga berlaku bagi setiap muslim, sekalipun bagi pasukan tentu lebih wajib. Sedangkan tujuan peningkatan taraf berfikir pasukan itu adalah untuk menumbuhkan kesadaran karena itu merupakan suatu keharusan untuk memahami Islam serta kehidupan. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah, "Boleh jadi orang yang diberitahu lebih mengerti daripada orang yang mendengarkan (yang menyampaikan)."

Hadits ini menunjukkan adanya dorongan agar memiliki kesadaran (wa'yi). Sedangkan di dalam Al Qur'an banyak dinyatakan: "Bagi kaum yang mau berfikir." (Q.S. Al Jatsiyah: 13); "Mereka memiliki pikiran yang mereka pergunakan untuk berfikir." (Q.S. Al Hajj: 46). Ayat-ayat tersebut juga menunjukkan tentang kedudukan berfikir.

Pada masing-masing distrik wajib ada sejumlah pleton yang representatif. Di mana mereka memiliki pengetahuan kemiliteran yang tinggi serta keahlian dalam merancang strategi dan sasaran tempur. Di dalam pasukan secara umum harus ada sejumlah pleton dengan jumlah yang serepresentatif mungkin. Hal itu bisa diambil dari kaidah: "Apabila suatu kewajiban tidak akan terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib."

Oleh karena itu, pendidikan kemiliteran yang tinggi secara memadai hukumnya fardhu. Begitu pula hukumnya belajar serta latihan secara rutin adalah fardhu. Sehingga pasukan tersebut betul-betul siap untuk terjun berjihad dan berperang setiap saat.

Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan mobilisasi umum bersifat wajib
Hizbut Tahrir

Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan mobilisasi umum bersifat wajib

Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan mobilisasi umum bersifat wajib



BAB ANGKATAN BERSENJATA

PASAL 56

Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan mobilisasi umum bersifat wajib. Setiap laki-laki muslim yang telah berusia 15 tahun diharuskan mengikuti wajib militer, sebagai persiapan jihad. Merekrut anggota pasukan merupakan fardhu kifayah.

KETERANGAN

Allah berfirman: “Perangilah oleh kalian orang-orang kafir itu agar tidak ada lagi fitnah (kekafiran dan malapetaka) dan agama Islam ini hanya milik Allah.” (QS al-Baqarah: 193).

Rasulullah bersabda, “Berjihadlah kalian memerangi orang-orang musyrik itu dengan harta dan jiwa kalian.” (HR Abu Dawud dari Anas r.a.)

Oleh karena itu, wajib militer - yaitu menjadikan rakyat sebagai prajurit dalam suatu pasukan yang siap siaga setiap saat dengan persenjataannya, atau dengan kata lain menyiapkan mereka menjadi mujahidin yang siap melakukan jihad, serta hal-hal yang dibutuhkan oleh jihad - hukumnya fardhu. Alasannya, melaksanakan jihad, kapan pun, hukumnya adalah fardhu; baik ketika kita diserang oleh musuh ataupun tidak.

PASAL 57

Angkatan bersenjata terdiri atas dua bagian: Pertama, pasukan cadangan yang terdiri atas seluruh kaum muslimin yang mampu memanggul senjata. Kedua, Pasukan tetap/ reguler yang mendapatkan gaji sesuai dengan ketentuan anggaran belanja sebagaimana para pegawai negeri lainnya.

KETERANGAN

Setiap Muslim yang telah dianggap memenuhi syarat wajib melakukan jihad. Karena jihad merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh negara, maka keberadaan tentara dari kalangan umat Islam harus selalu ada. Sementara itu, orang-orang kafir yang menjadi warga Daulah tidak dituntut untuk melakukan jihad. Akan tetapi, jika mereka ingin ikut serta, mereka diterima dengan mendapatkan upah. Az-Zuhri bertutur, “Sesungguhnya Nabi SAW pernah melibatkan orang-orang Yahudi untuk berperang bersama-sama beliau.” (HR at-Turmudzi).

Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa Sofwan ibn Umayah pernah ikut berperang bersama-sama Nabi SAW di dalam Perang Hunayn, sementara ia tetap dalam kemusyrikannya (Sirah Ibn Hisyam).

Disebutkan juga bahwa pernah ada seorang lelaki tak dikenal, tetapi ia sering disebut Quzman. Rasulullah sendiri pernah berkata tentang orang ini, “Dia termasuk ahli neraka. Ketika Perang Uhud, dia ikut berperang dengan sangat ganas sehingga melalui tangannya saja telah terbunuh kira-kira delapan atau sembilan orang-orang musyrik.” (Sirah Ibn Hisyam).

PASAL 58

Angkatan bersenjata merupakan satu kesatuan yang disebut tentara. Dari kalangan mereka dipilih satuan khusus yang memiliki peraturan terpisah. Mereka diberikan pengetahuan tambahan. Satuan ini disebut kepolisian

KETERANGAN

Diriwayatkan bahwa Rasulullah memiliki pasukan bersenjata dan bahwa di antara pasukan tersebut satu bagian untuk menangani tugas-tugas kepolisian. Dalam hal ini, Anas menyatakan, “Qays ibn Sa’ad di sisi Rasulullah adalah menduduki kepala kepolisian.” (HR al-Bukhari dan at-Turmudzi).

Mengenai hadis ini, al-Anshari berkomentar, “Yakni dalam hal pengelolaan sejumlah urusan tertentu (yang biasa dianggap sebagai tugas polisi).”

PASAL 59

Kepolisian bertugas untuk menjaga ketertiban dan kedisiplinan rakyat dan menjaga keamanan serta melaksanakan berbagai bidang yang bersifat operasional

KETERANGAN

Kesatuan polisi diberi tugas untuk menjaga sistem - yang sedang dijalankan - dan mengatur keamanan di dalam negeri, serta melaksanakan semua kegiatan yang bersifat operasional. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas di atas, bahwa Nabi SAW telah mengangkat Qaisy Bin Sa'ad untuk senantiasa "mengawal" beliau dalam posisinya sebagai anggota polisi. Ini menunjukkan, bahwa kesatuan polisi itu senantiasa menjadi "pengawal" pejabat (hakim). Di mana mereka senantiasa "mengawal" pejabat serta setiap saat siap melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh pejabat, untuk menjadi kekuatan yang berfungsi mengamankan kebijakan-kebijakan mereka, dalam rangka melaksanakan hukum syara', menjaga sistem, melindungi keamanan dan melakukan patroli. Kesatuan inilah yang berkeliling setiap malam untuk mengawasi pencuri, orang-orang jahat, serta orang-orang yang dicurigai melakukan tindak kejahatan.

Dari hadits Anas di atas dapat dipahami bahwa polisi bertugas untuk mendampingi penguasa sebagai kekuatan pelaksana, yakni mengontrol pelaksanaan hukum-hukum syariat, menjaga aturan, memelihara keamanan, dan juga melakukan patroli. Dalam hal ini, Abdullah ibn Mas’ud pernah menjadi petugas patroli pada masa Khalifah Abu Bakar. Pada masa Khalifah Umar, beliau sendiri sering melakukan patroli langsung yang ditemani oleh budaknya dan kadang-kadang ditemani Abdurrahman ibn Auf. Oleh karena itu, tidak benar jika penduduk disuruh untuk melakukan patroli/ronda pada malam hari.

PASAL 60

Dalam angkatan bersenjata ditentukan adanya liwa’  (bendera) dan rayah (panji). Khalifahlah yang menyerahkan bendera kepada komandan divisi yang bertanggung jawab pada pasukan. Sedangkan panji diserahkan oleh komandan divisi kepada komandan batalion.

KETERANGAN

Rasulullah telah memberikan Liwa dan Rayah kepada pasukan/tentaranya. Ibn Abbas menuturkan, “Rayah Rasulullah berwarna hitam sementara Liwanya berwarna putih.” (HR Ibn Majah).

Demikian juga sebagaimana dituturkan oleh Haris ibn Hasan (riwayat Imam Ahmad dan at-Turmudzi), Jabir (riwayat Ibn majah), Anas (riwayat An-Nasa’i), bahwa Raya berbeda dengan Liwa sebagaimana dituturkan oleh Abu Bakar al-Arabi.

Al Barra' Bin 'Azib yang mengatakan: "Bahwa dia (Al Barra') ditanya tentang bendera Nabi SAW: 'Bagaimana bendera beliau?' Dia menjawab: 'Bendera beliau berwarna hitam, dengan bentuk segi empat dan terbuat dari Namirah'."Namirah adalah baju jubah yang berwarna hitam. Di dalam kamus Al Muhith dikatakan: "An Namirah itu seperti potongan kain kecil. Dan bentuk jamak dari kata namirah itu adalah namirun. Sedangkan al hibrah adalah jubah yang bergaris-garis putih hitam atau loreng, yang terbuat dari bulu domba (wool) yang biasanya dikenakan oleh orang-orang Badui (Arab pedalaman)."

Nabi SAW mempunyai panji yang disebut rayatul 'uqab, yang terbuat dari kain wool hitam dan tertera tulisan "LAILAHA ILLA ALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH.” Diriwayatkan dari Harits Bin Hisan Al Bakry yang mengatakan : "Kami pernah datang ke Madinah, saat itu Rasulullah SAW sedang berada di atas mimbar, sementara itu Bilal berdiri di dekat beliau dengan tangan bersandar pada pedang. Dan di situ terdapat panji hitam. Lalu aku bertanya: "Ini panji apa?" Mereka pun menjawab: "(panji) Amru Bin Ash, setelah tiba dari peperangan."
Dalam riwayat At Tirmidzi, menggunakan lafadz: “Saya datang ke Madinah, lalu aku masuk ke masjid di mana masjid penuh sesak orang, dan di situ terdapat panji hitam, sementara Bilal - ketika itu - tangannya sedang bersandar pada pedang di dekat Rasulullah SAW Lalu aku bertanya: "Ada apa dengan orang-orang itu?" Mereka menjawab: "Beliau SAW akan mengirim Amru Bin Ash ke suatu tempat."

Jabir bertutur, "Bahwa Nabi SAW memasuki Makkah dengan membawa bendera (liwa') berwarna putih."

Anas juga menuturkan, "Bahwa Ibnu Ummi Maktum membawa panji hitam, dalam beberapa pertempuran bersama Nabi SAW" (HR an-nasa’I).

Ar Rayah (panji) berbeda dengan al liwa' (bendera). Abu Bakar Bin Al Araby mengatakan: "Al Liwa'" berbeda dengan "ar rayyah.” "Al Liwa'" adalah kain yang dipasang di ujung tombak dan diikat pada tombak tersebut. Sedangkan "ar rayah" adalah kain yang dipasang pada (bagian tengah) tombak dan dibiarkan terurai hingga meliuk-liuk karena ditiup angin."

Imam AT Tirmidzi cenderung membedakan - antara panji dengan bendera. Beliau menjelaskan makna liwa' (bendera) tersebut dengan hadits Jabir dan menjelaskan makna rayah (panji) tersebut dengan hadits Al Barra' di atas.

Rayah (panji) senantiasa dipergunakan ketika berperang, di mana biasanya panji itu dibawa oleh seorang komandan pasukan perang, sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits perang Mu'tah: "Setelah Zaid Bin Haritsah terbunuh, maka panji (rayah)-nya diambil oleh Ja'far Bin Abi Thalib."

Sedangkan liwa' (bendera) biasanya diletakkan di front terdepan batalyon pasukan perang sebagai tanda (sandi) bagi batalyon tersebut. Dan biasanya panji tersebut diserahkan kepada panglima pasukan tadi, sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits pengiriman Usamah Bin Zaid ke Romawi di atas: "Bahwa beliau SAW menyerahkan bendera pasukan kepadanya (Usamah)." Yaitu ketika beliau mengangkatnya menjadi panglima pasukan perang.

Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan mobilisasi umum bersifat wajib
Hizbut Tahrir

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam