Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 30 September 2014

PBB Dan Imperialisme



BAB 2
Barat dan Hukum Internasional

Salah satu poin penting yang dijadikan alasan pembenaran serangan ke Irak adalah klaim bahwa Irak telah melanggar berbagai hukum internasional dan tidak menghormati sejumlah resolusi PBB. Bab ini mencoba mengupas kontradiksi Barat sendiri tehadap hukum internasional, dan fakta bahwa lima negara anggota tetap DK PBB mempunyai hak veto, sebuah pilihan yang tidak dimiliki negara-negara lain seperti Irak.

Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa

1.         Abad ke-20 mungkin dikenal sebagai Abad Perang. Setelah berlalunya dua perang dunia yang telah merenggut nyawa sekitar sepuluh juta orang, beberapa konflik lain menghasilkan kematian bagi jutaan orang lainnya. Entah karena kehilangan sejumlah besar rakyatnya atau karena adanya tantangan untuk perimbangan kekuasaan, meletusnya dua perang dunia ditindak lanjuti dengan adanya upaya dari kekuatan baru dunia untuk bersekutu guna mencegah potensi konflik selanjutnya. Maka, setelah Perang Dunia I, lahirlah Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sementara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir usai Perang Dunia II. Kedua organisasi ini bertujuan untuk menjaga dan memelihara perdamaian melalui persatuan internasional. Akan tetapi keduanya telah gagal mencapai tujuan mereka, yakni menciptakan perdamaian dan keamanan dunia.

2.         Liga Bangsa-Bangsa dibentuk segera setelah The Great War (1914-1918). Presiden AS Woodrow Wilson, adalah salah seorang pemrakarsanya melalui 14 poinnya yang terkenal, termasuk di dalamnya penghapusan diplomasi rahasia dengan keterbukaan, kebebasan perairan internasional dari peperangan, penghapusan pembatasan perdagangan internasional bila memungkinkan dan sebagainya. Sebagai hasil dari LBB, muncullah format baru peta Eropa dan peta Timur Tengah; Polandia, Yugoslavia dan Cekoslowakia, menjadi batas Eropa yang baru, dan tentu saja ada peta Timur Tengah yang baru. Irak modern diciptakan oleh LBB sebagaimana halnya negara-negara baru seperti Palestina, Syria, dan Libanon. Bagaimanapun, tidak seluruh kekuatan dunia berpartisipasi dalam LBB; Kongres AS menolak bergabungnya Jerman ke dalam LBB, dan di tahun 1933, Jerman pun keluar.

3.         Di antara seluruh anggota LBB, negara-negara kuat saat itu cenderung lebih mementingkan urusannya masing-masing; Perancis menduduki Rhineland untuk menekan Jerman agar membayar kerugian yang mereka derita akibat perang sebelumnya, dan Italia menduduki Corfu. Keduanya terjadi di tahun 1923. Invasi Italia atas Abbessinia pada tahun 1935, dan selanjutnya perang saudara di Spanyol yang meletus sejak tahun 1936, lebih mempertegas betapa impotennya LBB, terutama ketika sanksi yang dijatuhkan terhadap Spanyol ternyata tidak mampu menghentikan perang saudara di sana.

4.         Negara-negara kecil mencoba untuk menggoyang kekuatan para adidaya. Ketika Eamon de Valera dari Irlandia menjadi Presiden Dewan LBB –cikal bakal Dewan Keamanan PBB– ia mengusulkan agar LBB memiliki sebuah pasukan multinasional untuk menghentikan agresi Italia tahun 1935. Ia bahkan siap menyumbangkan pasukan Irlandia yang berjumlah kecil untuk proyek tersebut, namun tawarannya tidak memperoleh dukungan dari negara-negara besar. De Valera pun mengeluh, ‘Kita belum pernah mampu menahan keinginan kita dengan mengorbankan kepentingan sendiri ketika kepentingan itu bertentangan dengan keadilan’ [The Independent, 6 Oktober 2002]. Uni Soviet, anggota sejak tahun 1934, dikeluarkan karena menyerang Finlandia di tahun 1939. Akhirnya, LBB sama sekali tidak berdaya untuk mencegah meletusnya Perang Dunia II. Pada tahun 1946, dilakukan voting untuk membubarkan LBB. Setelah itu, beragam properti dan kelengkapan organisasinya banyak yang ditransfer ke PBB.

5.         Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh kekuatan utama dunia, dengan tujuan –secara teoritis– menyelesaikan persengketaan internasional yang berpotensi menimbulkan peperangan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia. PBB juga mempromosikan nilai-nilai semacam hak asasi manusia, yang sejalan dengan nilai-nilai kekuatan dunia Barat. Meskipun demikian, terlepas dari eksistensi organisasinya yang besar dengan perwakilan lebih dari 180 negara anggota guna memecahkan beragam sengketa internasional secara diplomatis, kekuatan dunia tetap bermain dan menelikung organisasi ini untuk meraih tujuan mereka masing-masing. AS, Inggris, Cina, Rusia dan Perancis telah menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, tanpa pemilihan. Mereka memiliki kekuatan untuk memveto setiap resolusi PBB yang tidak mereka sepakati, sehingga resolusi itu tidak bisa menjadi hukum. Karena itulah, Anda tidak akan menemukan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk invasi AS ke Panama, penggunaan senjata kimia mereka di Vietnam ataupun pembunuhan massal yang dilakukan Rusia di Chechnya.

Invasi Irak ke Kuwait tahun 1991 konon melanggar hukum internasional dan resolusi PBB. Namun, seandainya Kuwait diinvasi oleh salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan, niscaya DK PBB tidak akan mampu berbuat apa-apa. Konsekuensi dari dimilikinya hak veto oleh lima negara tersebut adalah mereka dapat membatalkan sebuah resolusi, sekalipun resolusi tersebut mendapatkan dukungan internasional. AS dikenal paling sering mempergunakan hak vetonya untuk mencegah resolusi yang bertentangan dengan kepentingannya sendiri. Akan tetapi, PBB kerap dianggap sebagai benteng demokrasi dan dasar objektivitas internasional, hingga kini.

6.         Beragam resolusi yang ditujukan untuk isu-isu Timur Tengah pun banyak yang dibatalkan oleh veto AS. Beberapa waktu yang lalu, sebuah majalah Inggris Economist, mencoba mengilustrasikan tidak adanya standar ganda antara penggunaan kekuatan terhadap Irak dan kurangnya opsi militer terhadap negara-negara semacam Israel. Dalam majalah tersebut disebutkan, bahwa resolusi-resolusi yang digunakan berbeda secara hukum [Economist, halaman 23-25, edisi 12-18 Oktober 2002]. Namun demikian, majalah tersebut luput melihat fakta bahwa negara-negara semacam Amerika dan Inggris tidak akan pernah meloloskan resolusi yang memungkinkan dilakukannya upaya militer untuk menekan Israel, walaupun beberapa kasus pencaplokan tanah, kejahatan perang dan pembunuhan sistematis terhadap warga sipil terus terjadi. Beberapa veto AS yang terbaru di antaranya mencakup: usul pengiriman pasukan perdamaian PBB ke Tepi Barat, Gaza, 2001; tuntutan agar Israel menghentikan pembangunan pemukiman di sebelah Timur Yerusalem serta pembangunan berbagai pemukiman serupa di daerah-daerah pendudukan lainnya, 1997; seruan agar pemerintahan Israel menahan diri untuk tidak melakukan segala tindakan termasuk perencanaan pembangunan pemukiman, 1997; penegasan bahwa pengambilalihan tanah yang dilakukan Israel di Yerusalem Timur adalah tidak sah dan melanggar berbagai resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB dan ketetapan yang diatur dalam poin 4 Konvensi Jenewa; menunjukkan dukungan terhadap proses perdamaian, termasuk Declaration of Principles 13 September 1993, 1995; rancangan resolusi NAM untuk menciptakan sebuah komisi yang beranggotakan tiga anggota Dewan Keamanan PBB ke Rishon Lezion, di mana seorang tentara Israel menembaki tujuh orang warga Palestina, 1990; daftar ini masih lebih panjang lagi (Lihat tabel ihwal sejumlah veto yang dikeluarkan AS dan menguntungkan Israel pada bagian akhir bab ini).

7.         Pada musim panas 2002, AS memveto perpanjangan misi di Bosnia karena takut tentara mereka yang dikirimkan ke sana akan diseret ke International Criminal Court (Mahkamah Kriminal Internasional) oleh musuh-musuh mereka [BBC online, 3 Juli 2002]. Ini jelas menunjukkan bahwa manuver yang dilakukan AS untuk PBB hanya terjadi bilamana hal itu menguntungkan AS. Bagaimanapun, sikap pilih kasih terhadap hukum internasional merupakan bagian dan menjadi paket dari kebijakan luar negeri AS. AS senantiasa menuntut Irak untuk mematuhi hukum internasional, sedangkan AS sendiri tidak mengindahkannya dan malah menginjak-injak aturan yang sama. Robin Theurkauf, seorang Visiting Fellow pada Yale University dan istri dari salah satu korban peristiwa 11 September 2001, mengatakan, ‘Kita yang berada di AS menyukai hukum internasional dan kita pun ingin negara-negara lain mematuhinya. Akan tetapi, adalah sebuah kemunafikan yang sangat kentara ketika kita menuduh negara-negara lain melanggar aturan sementara kita sendiri secara agresif menolak gagasan untuk tunduk kepada sistem hukum internasional sebagai bagian dari masyarakat dunia’ [Milan Rai., ‘War Plan Iraq’., hal. 205].

Minggu, 28 September 2014

Senjata BioKimia Barat



15.     Pembangunan Porton Down di Inggris. Holland Committee yang didirikan oleh pemerintah Inggris usai PD I untuk mengkaji senjata kimia dan bagaimana kebijakan Inggris nantinya, telah merekomendasikan agar fasilitas Porton Down dipertahankan di sebuah markas yang permanen. Agenda Holland Committee ditambah dengan kajian dan pengembangan senjata kuman di Porton Down. Holland Committee juga membuat sebuah pengakuan penting. Dikatakan bahwa, ‘tidak mungkin memisahkan kajian tentang pertahanan dari gas dengan penggunaan gas sebagai senjata ofensif, mengingat efisiensi sistem pertahanan sangat bergantung kepada pengetahuan yang akurat tentang perkembangan yang terjadi atau yang akan terjadi dalam hal penggunaan senjata tersebut secara ofensif’. Pemerintah Inggris sedari awal mengetahui bahwasanya tidak akan pernah ada yang namanya penelitian senjata kimia yang murni defensif. Alhasil, pemerintah membantu para ilmuwan untuk merancang senjata paling mematikan yang pernah mereka bayangkan, dengan asumsi dasar pengetahuan akan keampuhan senjata tersebut harus lebih dulu diketahui agar bisa menyiapkan sistem pertahanannya. Para ilmuwan di pangkalan senjata rahasia Porton Down mengetahui bahwa mereka berisiko mengorbankan nyawa para sukarelawan muda yang digunakan sebagai kelinci percobaan dalam pengujian gas syaraf, demikian menurut para ahli toksikologi. Keluarga setiap korban dalam eksperimen itu menuduh para ilmuwan sebagai pembunuh. Menurut Alastair Hay dari Universitas Leeds, catatan taklimat yang dibuat para ilmuwan di markas Wiltshire menunjukkan bahwa para ilmuwan sebenarnya menyadari dosis yang diberikan kepada para sukarelawan itu akan berakibat fatal. ‘Mereka bermain dengan api, mereka memberikan senyawa yang tidak hanya dapat membunuh satu orang saja, tetapi juga sejumlah orang lain’. Beberapa sukarelawan yang diberi bayaran dan liburan ekstra atas partisipasinya dalam pengujian itu, diberitahu bahwa percobaan itu adalah dalam rangka menemukan obat demam. Menteri Pertahanan berulangkali menyangkal tuduhan telah menyesatkan para sukarelawan. Sebuah tayangan dokumenter televisi pada tahun 1999 memperlihatkan salah seorang mantan ‘kelinci perbobaan’, Mike Cox, 68 tahun, dari Southampton, yang berada di samping sukarelawan Ronald Maddison pada masa kematiannya di kamar gas tempat pengujian. Program televisi itu juga memperlihatkan kerabat Mr. Maddison yang berbicara tentang peristiwa yang berlangsung 46 tahun lalu tersebut. Lilias Clark, saudara perempuan Maddison, berkata, ‘Jika ia tewas dalam perang, saya bisa mengerti, tapi mati karena hal bodoh yang mereka (para ilmuwan) tempelkan di lengannya, yang seharusnya tidak Anda lakukan kepada siapapun, maaf saja, saya pikir mereka telah membunuhnya’.

16.     Peran Senjata Kimia dan Biologi dalam PD II. Senjata gas tidak digunakan selama PD II karena sulit membawa senjata itu tanpa membahayakan pasukan dan untuk menjaga kemungkinan serangan balasan mengingat negara-negara kuat waktu itu masing-masing menimbun ratusan ton senjata kimia, khususnya gas mustard, untuk berjaga-jaga. Inggris membuat bom anthraks untuk kali pertama pada tahun 1942. Sebuah bom sederhana diisi spora anthraks diledakkan di Pulau Gruinard di lepas pantai Skotlandia. Domba-domba yang ada di pulau tersebut pun mati. Sampai kini, Pulau Gruinard tidak dapat didiami, dan pesawat terbang pun tidak diperkenankan mendarat di sana. Inggris kemudian memproduksi 5 juta ‘kue anthraks (anthraks cakes)’ untuk dijatuhkan di Jerman. Rencana Inggris untuk menjatuhkan bom anthraks ke Jerman diperkirakan akan menewaskan 3 juta orang. Inggris juga bereksperimen dengan racun mematikan B-IX, atau botulism. AS juga secara besar-besaran mengembangkan program senjata kumannya selama PD II. Pada tahun 1940, The US Health and Medical Committee of the Council for National Defence (Komite Medis dan Kesehatan Dewan Pertahanan Nasional AS) mulai mempertimbangkan ‘potensi defensif dan ofensif senjata biologi’. George Merck dari Merck Pharmaceuticals, ditunjuk menjadi dierektur War Research Service (Dinas Penelitian Perang), yang bertanggung jawab atas penelitian senjata kuman. Pada tahun 1943, Camp Detrick didirikan di Maryland, dan langsung menjadi pusat program senjata kuman AS. Antara tahun 1942-1945, AS menginvestasikan lebih dari US$ 40 juta untuk membangun pabrik dan peralatan serta mempekerjakan lebih dari 4.000 orang di Camp Detrick; di The Field Testing Station di Horn Island, Pascagoula, Mississipi; pabrik produksi di Vigo, Indiana; dan di Dugway Proving Grounds. Di Camp Detrick, anthraks, tularaemia, plague, tipus, penyakit kuning (yellow fever), dan encephalitis diujicoba untuk digunakan dalam perang. Juga berbagai jenis kutu beras, kentang, dan sereal. AS mengkaji kemungkinan menghancurkan panen beras Jepang dengan senjata kuman. Pada bulan Mei 1944, sebuah paket yang berisi 5000 bom anthraks selesai diproduksi di Camp Detrick. Di Vigo, Indiana, AS membangun sebuah pabrik yang mampu memproduksi 500.000 bom anthraks per bulan dan 250.000 bom yang diisi botulism. Untungnya, semua bom itu tidak pernah digunakan. AS membangun pabrik produksi gas beracun terbesar di dunia selama PD II, yang mampu menghasilkan 135.000 ton gas beracun. Berarti 20.000 ton lebih banyak dari total gabungan gas beracun yang digunakan berbagai negara selama PD I. AS pun mulai mengungguli Inggris dalam hal senjata kuman.

17.     Belajar dari pengalaman Jepang. Usai PD II, George Merck menghendaki agar program senjata kuman dilanjutkan. Pada tahun 1956, Camp Detrick berubah menjadi Fort Detrick, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan militer yang bersifat permanen. Disini diproduksi virus dan gas paling mematikan yang menambah persenjataan AS, termasuk gas syaraf seperti gas GB dan VX, yang begitu mematikan, sehingga jika kulit kita terkena satu tetes kecil saja, kita akan mati dalam waktu kurang dari satu menit. Perang Dingin juga berarti para mantan musuh direhabilitasi dan mendapat biaya perbaikan dari AS. Ini berarti para kriminal perang Jepang yang telah bereksperimen mengorbankan jiwa manusia kini terhindar dari tuntutan. Selama pendudukan Jepang atas Cina yang begitu lama dan brutal antara tahun 1930-an hingga 1940-an, sebuah unit khusus Tentara Jepang yang dikenal dengan Unit 371, dipimpin oleh Jenderal Ishii Shiro, banyak melakukan tindak kejahatan perang. Misalnya, mereka menguji efek bom anthraks terhadap manusia dan menyuntikkan tetanus, cacar, dan plague kepada tentara dan warga sipil Cina. Dari sejumlah orang yang dipelajari oleh AS pada tahun 1947, anthraks menewaskan 31 orang, kolera 50 orang, gas mustard 16 orang, plague 106 orang, typhoid 22 orang, dan typhus 9 orang. Serta masih banyak lagi penyakit yang juga diujicobakan. Rusia menghendaki agar anggota-anggota Unit 371, termasuk Shiro, diadili. Tetapi AS menjamin kekebalan mereka. Sebagai imbalan, AS mendapat hasil eksperimen mereka. Sebagaimana yang ditulis ahli sejarah, Robert Harris dan Jeremy Paxman, ‘AS justru melindungi para bakteriologis Jepang dari tuntutan kejahatan perang sebagai imbalan atas data-data eksperimen manusia’. Informasi ini disembunyikan hingga selama 30 tahun setelah perang.

Sabtu, 27 September 2014

Senjata Pemusnah Massal Milik Negara Barat



5.         Pengembangan bom hidrogen. Tidak puas dengan keampuhan bom atom, AS mengembangkan bom hidrogen atau bom super. Yaitu bom yang –dalam bahasa para ilmuwan yang merekomendasikannya ke pemerintah AS– akan ‘memiliki daya ledak tidak terbatas kecuali dalam hal pengirimannya’. Komite penasehat umum Atomic Energy Commission yang bertanggung jawab atas pengembangan senjata atom di AS merekomendasikan agar AS tidak menjalankan program percepatan untuk membuat bom-H (bom hidrogen) karena, ‘itu bukan senjata, yang biasa digunakan hanya untuk tujuan menghancurkan instalasi militer atau semi-militer. Penggunaan bom-H jauh lebih parah ketimbang bom atom, suatu kebijakan yang akan memusnahkan penduduk sipil’. Posisi militer AS sendiri dalam pengembangan bom hidrogen dengan gamblang dinyatakan oleh Kepala Staf Gabungan, ‘Pihak AS akan berada pada keadaan yang amat berat, jika pihak yang berpotensi menjadi musuh memiliki bom itu sedangkan AS tidak’.

6.         Dampak uji nuklir AS. Untuk mengetahui dampak ledakan nuklir terhadap kapal perang, bangunan, peternakan dan objek lain, serta untuk memperbaiki dan meningkatkan teknologi senjatanya, AS telah melakukan uji pengembangan bom atom dan bom-H selama beberapa dekade setelah PD II. Tempat uji pertama pasca perang yang AS pilih adalah pulau Bikini, di Samudera Pasifik. Pulau yang merupakan bagian dari kepulauan Marshal tersebut direbut dari kekuasaan Jepang. Dua tahun setelah mengklaim kekuasaan atas pulau itu, Commodore Ben H. Wyatt, Gubernur Militer kepulauan Marshal, melakuan misi perjalanan ke Bikini. Seusai misa gereja Minggu di bulan Februari 1946, Wyatt mengumpulkan penduduk setempat dan meminta mereka meninggalkan rumah mereka ‘untuk sementara’ agar AS dapat menguji bom atom ‘demi kebaikan umat manusia dan mengakhiri setiap peperangan di dunia’.

7.         Raja Juda beserta penduduk Bikini bingung dan tertekan, seraya merundingkan permintaan AS itu. Akhirnya, Raja Juda berkata pada Wyatt, ‘kami akan pergi dengan mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan’. Selama beberapa dekade penduduk Bikini menderita kekurangan gizi, dipindahkan dari satu pulau ke pulau lain, terkena radiasi radioaktif –semua masalah yang diakibatkan pengujian bom oleh AS. Lebih dari lima puluh tahun sejak dimulainya uji coba bom di pulau Bikini, penduduk pulau masih mengajukan petisi menuntut AS untuk membayar ganti rugi yang dijanjikan atas kerusakan tanah dan kehidupan mereka. Tempat uji coba kedua yang AS gunakan adalah Nevada Proving Ground, di Yucca Flat, kira-kira 65 mil sebelah utara Las Vegas. Selama tahun 1950-an dan 1960-an, telah dilakuan 90 kali uji coba bom nukir di gurun Nevada. Pada tahun 1990-an, sebuah lembaga pemerintah AS, National Cancer Institute (NCI), memeriksa pengaruh uji coba bom itu. Mereka menyatakan bahwa uji coba bom itu menimbulkan awan buangan radioaktif hampir ke seluruh wilayah Amerika Serikat. Dan di antara zat berbahaya yang turut tersebar akibat ledakan adalah isotop yang dikenal dengan iodine-131 (I-131). Partikel radioaktif ini, yang berakumulasi dalam kelenjar gondok diduga kuat menjadi penyebab kanker. Baru-baru ini NCI memperkirakan sekitar 10,000-75,000 kasus kanker tiroid di AS disebabkan oleh radioaktif isotop iodine-131 dari buangan bom-A di Nevada. Selain personel militer yang terkena radiasi tingkat tinggi di sekitar tempat pengujian, ribuan warga AS –sesuai arah angin– harus membayar mahal akibat pengujian bom atom tersebut. Ini menjadi contoh nyata bahwa warga AS telah menjadi korban senjata pemusnah massal pemerintahnya sendiri.

8.         Pengembangan nuklir selama era perang dingin. Pada masa perang dingin, AS mempelopori perlombaan senjata dengan Uni Soviet dan menimbun ribuan senjata nuklir. Mereka juga mengembangkan berbagai cara untuk menghasilkan sejumlah persenjataan termasuk: pesawat pembom B-52, beragam tipe rudal balistik darat antar benua, juga rudal balistik laut. AS pun menempatkan ribuan senjata nuklir taktis di setiap perbatasan Uni Soviet, di Eropa Barat, Turki, Korea Selatan, Jepang, dan lain-lain., untuk mempersiapkan kemampuan serangan pertama dan menghalangi agresi Uni Soviet. Namun, ketika Kuba mengundang Uni Soviet untuk menempatkan rudal nuklirnya di Kuba dalam rangka menghambat agresi AS –sejak 1960 AS telah menunjukkan upaya keras menjatuhkan Fidel Castro dari tampuk kekuasaan– serta merta AS murka dan mendorong Soviet untuk menarik mundur seluruh rudal dengan ancaman akan melakukan perang secara habis-habisan.

9.         Pengendalian senjata nuklir. Banyak perjanjian pengendalian senjata nuklir yang telah AS tandatangani, termasuk ‘Strategic Arm Limitation Talks’ (SALT 1 dan SALT 2), ‘Strategic Arms Reduction Treaty’ (START 1 dan START 2), ‘Nuclear Non-Proliferation Treaty’, ‘Comprehensive Test Ban Treaty’, ‘Intermediate Range Nuclear Forces Treaty’ (INF) dan lain-lain. Tetapi, dengan kemajuan teknologi, akurasi rudal, jangkauan jarak, dan keampuhan rudal siluman, yang terjadi selama beberapa dekade terakhir, didukung dengan data hasil uji coba yang begitu lengkap, tidak satupun perjanjian di atas yang mampu menghambat kemampuan AS untuk melakukan atau mengancam serangan nuklir terhadap bangsa lain. Beberapa perjanjian itu justru diberlakukan secara diskriminatif terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Misalnya, Non-Proliferation Treaty (NPT), yang diberlakukan pada tahun 1970 dan didukung penuh oleh AS, bertujuan membatasi penyebaran senjata nuklir. Sejumlah 187 negara penandatangan NPT dibagi menjadi dua kategori: kelompok negara-negara yang memiliki senjata nuklir, termasuk AS, Rusia, Cina, Perancis, Inggris; dan kelompok negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir. Berdasarkan perjanjian NPT, lima negara pemilik senjata nuklir berkomitmen untuk berupaya mencapai pelucutan senjata nuklir secara menyeluruh, sedangkan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir bersepakat untuk tidak mengembangkan atau memiliki senjata nuklir. Dengan keanggotaannya yang hampir mendunia, NPT menjadi perjanjian pengendalian senjata dengan anggota terbanyak, mengingat hanya Kuba, India, Israel, dan Pakistan saja yang tidak ikut serta. Jika keempat negara ini ingin berpartisipasi, mereka akan berstatus sebagaimana negara yang tidak memiliki senjata nuklir, karena perjanjian itu membatasi status negara pemilik senjata nuklir sebagai negara yang ‘membuat dan meledakkan sebuah senjata nuklir atau perangkat ledak nuklir lain sebelum 1 Januari 1967’. Bagi India, Israel, dan Pakistan –ketiganya dikenal atau dicurigai memiliki senjata nuklir– berpartisipasi dalam perjanjian tersebut dengan status sebagai negara yang tidak memiliki senjata nuklir akan mengharuskan mereka untuk melucuti senjata nuklirnya dan menyerahkan bahan-bahan pembuatan nuklir di bawah perlindungan internasional. Dengan adanya NPT, setiap negara yang tidak memiliki senjata nuklir namun berupaya memilikinya, dengan mudah akan dianggap sebagai ‘anak nakal’ dan akan dijadikan sasaran, seperti yang terjadi dengan Irak, Iran dan Korea Utara baru-baru ini. Sedangkan AS, meski tetap menjadi negara adidaya tunggal, tetap merasa berhak mengancam negara-negara lain dengan menggunakan senjata nuklir untuk kali pertama, dalam rangka menghalangi musuh-musuh potensialnya. Pada prakteknya, tidak satupun dari lima negara pemilik senjata nuklir yang menunjukkan niat serius melucuti senjata mereka sebagaimana yang ditetapkan oleh perjanjian. Justru mereka –dipimpin oleh AS– berupaya mempertahankan kontrol monopoli atas senjata nuklir dengan mengingkari peraturan yang memayungi seluruh negara anggota, sebuah bentuk lain dari sikap standar ganda mereka. Sejauh ini, AS melihat NPT hanya sebagai alat untuk menekan negara-negara berkemampuan nuklir seperti Iran, Irak, dan Korea Utara, serta sebagai jalan untuk menjaga perkembangan nuklir Rusia dan Cina, dengan tanpa melakukan langkah-langkah progresif dalam perkara pelucutan senjatanya sendiri. Bahkan AS berencana mengembangkan senjata nuklir model baru. Hal ini dilihat sebagai perilaku hipokrit AS. AS baru saja secara unilateral keluar dari Anti Ballistic Missile Treaty dengan Uni Soviet untuk mengembangkan ‘sistem pertahanan rudal’, akan tetapi pada saat yang sama mengutuk Irak dan Korea Utara dengan alasan melanggar perjanjian yang menetapkan larangan bagi dua negara tersebut untuk membuat senjata nuklir sendiri.

Selasa, 23 September 2014

Download Buku SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS



IKHTISAR (Executive Summary)

1.         Pada tanggal 24 September 2002, pemerintah Inggris menerbitkan dokumen yang berjudul Iraq’s Weapons of Mass Destruction. Dokumen yang sangat ditunggu-tunggu banyak orang itu memuat serangkaian mitos dan kebohongan, seraya mendaur ulang kisah propaganda klasik. Poin-poin berikut ini berupaya mengemukakan beberapa mitos dan kebohongan tersebut.

2.         Inggris dan AS dengan sok bersih mengklaim bahwa mereka hanya bermaksud untuk melucuti persenjataan Irak. Namun, klaim ini bertentangan dengan ucapan seorang pembantu kebijakan luar negeri senat AS, yang mengatakan, ketakutan terbesar gedung putih adalah diizinkannya inspektur persenjataan PBB masuk (ke Irak). [Majalah TIME, edisi 13 Mei 2002].

3.         Inggris dan AS berupaya membenarkan perang yang mereka canangkan dengan argumentasi bahwa mereka hanya bermaksud menggusur rezim yang kejam dan brutal. Akan tetapi, yang sebenarnya direncanakan oleh Barat adalah mendudukkan ‘Hamid Karzai’ versi Irak, yang lebih loyal kepada mereka, bukan untuk menghilangkan penderitaan rakyat Irak. Hal itu dikatakan oleh Richard Haas pada tahun 1991, pada saat ia bekerja di National Security Council (kini ia bekerja di Departemen Luar Negeri AS), kebijakan kami adalah mengenyahkan Saddam, bukan rezimnya. [dalam Andrew Cockburn dan Patrick Coburn., ‘Out of the Ashes The Resurrection of Saddam Hussain., hal. 37]

4.         AS dan Inggris mengklaim bahwa serangan terhadap Irak dapat dibenarkan karena Irak tidak mematuhi tim inspeksi persenjataan PBB sejak tahun 1998. Akan tetapi, justru AS dan sekutunyalah yang memastikan kegagalan tim inspeksi senjata PBB tersebut. Mereka melakukan hal itu melalui tindakan provokatif dan memanfaatkan ketua UNSCOM (saat itu) Richard Butler. Butler-lah, bukannya Irak, yang atas desakan AS menarik inspektur senjata PBB keluar dari Irak pada bulan Desember 1998, seusai pertemuannya dengan Duta Besar AS, Peter Burleigh. Butler memerintahkan penarikan tim inspeksi PBB meskipun ia mengaku bahwa Irak sebenarnya melanggar hanya lima dari tiga ratus insiden. [Richard Butler., ‘Saddam Defiant’., hal. 224., dan laporan Associated Press tertanggal 17 Desember 1998]. Butler bahkan tidak melaporkan penarikan para inspektur itu ke DK PBB, suatu hal yang seharusnya ia lakukan. Ketika pemboman atas Irak dimulai, Duta Besar Rusia untuk PBB mengakui bahwa krisis tersebut adalah ‘krisis rekaan’, sedangkan perwakilan RRC di DK PBB menuding Butler telah memainkan peran ‘yang tidak terhormat’ dalam konfrontasi itu. [Guardian, 18 Desember 1998].

5.         AS dan Inggris mengklaim bahwa tim inspeksi PBB telah gagal dalam menjalankan misinya, sementara Saddam Husein terus-menerus -dalam bahasa mereka- ‘main kucing-kucingan’ (cheat and retreat). Satu hal yang tidak mereka ungkapkan dan luput dalam dokumen pemerintah Inggris adalah fakta tentang adanya penyusupan terhadap UNSCOM oleh intelijen Barat dan Israel. Fakta ini diungkap oleh mantan ketua UNSCOM, Rolf Ekeus, pada bulan Juli 2002. Ia mengaku telah ditipu semasa memimpin UNSCOM. Setelah Ekeus mundur, Scott Ritter, inspektur senjata senior AS, mengatakan bahwa ia bekerja sama dengan seseorang yang dijuluki ‘Moe Dobbs’. Moe Dobbs adalah staf ‘CIA Special Activites (Operasi Khusus CIA)’ dan spesialis covert operations yang, dengan menggunakan teknologi CIA, menyambungsiarkan informasi intelijen langsung ke Dewan Keamanan National AS di Fort Meade, untuk diterjemahkan dan diuraikan isi sandinya. Dalam tulisannya, Ritter juga mengungkap pertemuannya dengan intelijen Israel dan bagaimana mereka membekalinya dengan pencari frekuensi dan alat perekam kode komunikasi dari Irak [Scott Ritter., ‘Endgame’., hal. 135., dan Dilip Hero., ‘Neighbours Not Friends’., hal. 103-104] Pertanyaannya adalah, sudikah suatu negara mengizinkan para inspektur senjata, yang mengaku tim inspeksi PBB, padahal bekerja untuk agen intelijen asing, masuk secara leluasa ke negerinya sendiri?

Covert operations, menurut definisi US Department of Defense (DOD), Interpol (I), dan Inter-American Defense Board (IADB), adalah operasi yang sangat terencana dan dieksekusi dengan menyembunyikan identitas atau mengizinkan penyangkalan yang masuk akal oleh pihak sponsor. Covert operations berbeda dengan clandestine operations, meskipun sama-sama sering diartikan sebagai operasi rahasia. Covert operations lebih menekankan masalah ketersembunyian identitas sponsor dan bukan operasinya itu sendiri (Sumber: Joint Chiefs of Staff, Department of Defense, JCS Pub 1, 1987, dalam Propaganda and Psychological Warfare Studies, Glossary – Department of Defense – Military and Associated Terms).

6.         Inggris dan AS kerap kali berargumentasi bahwa kepemilikan Irak atas senjata pemusnah massal dan hasrat Irak membuat senjata nuklir menunjukkan semacam itikad buruk yang harus direspon. Akan tetapi setiap negara atau bangsa yang licik seperti AS dan Inggris sebenarnya telah mengembangkan pula senjata tersebut, baik untuk kepentingan pertahanan maupun demi tujuan kebijakan luar negeri mereka di masa yang akan datang. Sebagaimana dibahas dalam Bab 1, Barat secara sistematis telah menggunakan senjata pemusnah massal mereka untuk mencapai tujuannya. Satu hal yang tidak diungkapkan oleh AS maupun Inggris adalah fakta bahwa Irak berada di posisi yang sulit, yakni menghadapi musuh potensial seperti Israel, serta terancam oleh kehadiran –dalam jumlah besar– pasukan Barat di Teluk yang beroperasi di zona larangan terbang. Israel sendiri memiliki senjata nuklir dan mengembangkan fasilitas produksi gas mustard dan gas syaraf di daerah Sinai sejak tahun 1982. Anthony Cordesman dan Ahmed Hashim, analis militer AS, dengan lugas menyatakan, ‘Mengasumsikan bahwa upaya tersebut –yaitu mengembangkan senjata pemusnah massal– dapat dikaitkan dengan kelangsungan Saddam Hussein dan elit (partai) Ba’ath adalah hal yang berbahaya. Mayoritas calon pemimpin Irak memiliki rasa takut dan ambisi yang sama setidaknya dalam waktu dekat ini. Tidak akan ada pemimpin Irak yang mampu mengabaikan upaya Iran atau Israel atau tantangan potensial dari AS dan sekutunya di bagian selatan Teluk’ [Cordesman dan Hashim., ‘Iraq Sanctions and Beyond’., hal. 336]


Kebatilan Memperjuangkan Syariah Melalui Demokrasi


Tadaruj/bertahap harus dipahami dengan benar duduk perkaranya. Bertahapnya wahyu diturunkan pada Nabi Saw. bukan berarti bertahap dalam menerapkan Syariah. Ketika wahyu turun maka saat itulah muncul Syariat. Sebelum ada wahyu berarti memang belum ada Syariat. Sehingga jelas berbeda dengan perbuatan menerapkan Syariah sedikit demi sedikit ketika Syariah memang sudah lengkap sempurna. Jika dilakukan penerapan sebagian Syariah saja maka berarti menelantarkan sebagian Syariah Islam lainnya. Dan ini adalah dosa karena mengabaikan kewajiban. Tuntutannya adalah sejak awal adalah harus komitmen bahwa keseluruhan Syariah-lah yang wajib diterapkan, dan dilarang menerapkan selain Syariah.

Salah satu dasar tidak bolehnya seorang Muslim menjalankan demokrasi adalah bahwa dia tidak akan bisa berkomitmen sesuai dengan yang dituntut yaitu keseluruhan Syariah-lah yang wajib diterapkan, dan dilarang menerapkan selain Syariah Islam. Sebagai contoh: seorang Muslim berhasil menjadi gubernur. Lalu dengan upayanya beserta sebagian anggota DPRD berhasil menerapkan sedikit Syariah. Sementara, seorang gubernur adalah pihak eksekutif yang harus menerapkan hukum-hukum apapun yang dihasilkan oleh DPRD maupun pihak penguasa di atas gubernur. Sehingga ketika dia berhasil menerapkan sedikit Syariah, di waktu yang sama dia juga harus menerapkan seabrek hukum kufur yang ada. Dan ini adalah pelanggaran besar, tidak ada tuntunannya. Akad menjadi seorang gubernur yang bertugas menerapkan hukum-hukum yang dihasilkan DPRD maupun pihak penguasa di atas gubernur adalah batil.

Batil pula akad untuk menjadi anggota legislatif yang mendapatkan kewenangan untuk membuat hukum bersama para anggota legislatif lainnya serta eksekutif. Tidak dibolehkan memusyawarahkan apakah suatu syariat Islam itu akan diterapkan atau tidak. Syariah memang wajib diterapkan, dilarang menyerahkannya kepada manusia untuk memilih diterapkan syariah atau tidak. Seorang Muslim juga dilarang setuju dengan sistem pembuatan hukum semacam itu, dia dilarang memaklumi jika syariah kalah voting dan hukum kufur yang diterapkan.

Sebaliknya, dengan mengikuti metode perjuangan dakwah Rasul Saw. dalam menegakkan sistem Islam keseluruhan, tanpa kompromi dengan sistem kufur, maka umat Islam tidak melakukan pelanggaran, dan justru sesuai dengan tuntunan dari Nabi Saw. Dengan demikian, pihak yang membuat-buat dan menerapkan hukum-hukum kufur adalah jelas mereka yang kafir ataupun yang sekular, bukan yang Muslim, Muslim memang dilarang ikut andil dalam kemunkaran. Maka gerakan umat yang istiqomah dengan Islam semata juga bisa diwujudkan. Dengan izin dan pertolongan Allah Swt. gerakan dakwah Rasul Saw. beserta para sahabat telah berhasil membangun kesadaran umat dan militer kaum Anshor untuk terwujudnya Daulah Islamiyah yang awalnya hanya di Madinah.

Keadaan kita sekarang adalah sama dengan fase Makkah yaitu sama-sama tidak diterapkan sistem Syariah dengan metode syar'i-nya yaitu Daulah Islamiyah. Siapapun selain Khalifah yang sah dibai'at untuk terapkan syariah dilarang berkuasa dan menerapkan hukum sebab tidak memenuhi syarat sah menjadi penguasa. Yang Beliau Saw. lakukan adalah menjalankan metode dakwah dengan tiga tahapan yang telah saya sebutkan. Sementara dengan masuk mengikuti demokrasi berarti sudah memposisikan diri sebagai penguasa, sembari melakukan pelanggaran Syariah seperti yang telah saya jelaskan. Maka yang harus dilakukan adalah mengikuti metode perjuangan Rasul Saw. di mana ketika fase Makkah Beliau dan kaum Muslimin memang dikuasai dan ditindas oleh para pembesar musyrik quraisy. Beliaupun tetap terus istiqomah dengan metodenya tanpa kekerasan meski banyak ditindas. Inilah salah satu yang menunjukkan bahwa metode beliau mengubah darul kufur menjadi darul Islam itu wajib hukumnya.

Dengan mengikuti metode dakwah Rasul Saw. dengan kondisi negeri ini berpenduduk mayoritas Muslim maka siapapun tidak akan bisa berkuasa tanpa persetujuan umat. Sementara umat beserta militer yang memang wajib sadar hanya mau serta memperjuangkan penguasa yang syar'i. Inilah yang memungkinkan berhasilnya metode dakwah Rasul Saw.

Dakwah dengan metode Rasul Saw. itu jelas bukan membiarkan status quo yang rusak tapi justru menyadarkan mengaktifkan umat yang tertipu demokrasi dan yang tertidur untuk mengubah status quo itu menjadi dakwah yang anti sistem kufur, hanya mau sistem penguasa Islam. Sistem Syariah Khilafah harga mati. Maka runtuhnya sistem kufur adalah keniscayaan. Maka yang harus dilakukan adalah mengikuti metode perjuangan Rasul Saw. di mana ketika fase Makkah Beliau dan kaum Muslimin memang dikuasai dan ditindas oleh para pembesar musyrik quraisy. Beliaupun tetap terus istiqomah dengan metodenya meski banyak ditindas. Inilah salah satu yang menunjukkan bahwa metode beliau mengubah darul kufur menjadi darul Islam itu wajib hukumnya.

Syariah ditegakkan harus dengan metode syar'i-nya. Jika diterapkan sebagian saja dalam demokrasi maka justru membuat umat tertipu sehingga mereka tidak menuntut sistem Syariah Khilafah tapi merasa bisa hidup nyaman dengan demokrasi. Hal ini jelas kontraproduktif. Fakta empiris hingga saat ini adalah umat belum menyatakan bahwa sistem penguasa Islam harga mati anti sistem kufur demokrasi sebab tidak melihat pertentangannya dengan Islam selama masih banyak ulama atau da'i yang menyerukan utk mengikuti demokrasi. Fakta bahwa demokrasi efektif menjebak umat padahal tidak ada perubahan status quo.

Problem penyadaran dan pengaktifan umat seperti itu tidak ditemui dalam metode perjuangan Rasul Saw. Dan problem itu nyata bisa teratasi dengan metode dakwah Rasul Saw. yang tidak kompromi dengan sistem kufur. Jika problem itu dibiarkan maka terjadi lingkaran tak terputus antara umat dengan demokrasi sebagaimana telah terjadi bahwa di berbagai negeri mayoritas umat Islam tidak kunjung menjalankan metode perjuangan Rasul Saw. dan akibatnya terus didera dampak buruk sistem kufur. Yang harus terjadi adalah sebagaimana yang terjadi dalam Arab Spring tapi umat memperjuangkan ganti sistem dengan sistem Syariah Khilafah Islam secara damai, dengan itu militerpun akan terkena dakwah yang dahsyat untuk bisa mendukung penuh.

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam