Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam
Senin, 28 Desember 2015
dakwah Islam yang paling efektif
Ketidakpahaman mengenai jihad -sebagai suatu kewajiban spiritual— mengakibatkan absennya dakwah Islam yang paling efektif dan berpengaruh, juga hilangnya misi dan tujuan hidup kaum Muslim. Absennya misi dan tujuan hidup mengakibatkan matinya rasa peduli atas urusan kaum Muslim maupun urusan umat manusia ujung-ujungnya adalah hilangnya pengaruh Islam atas negara-negara yang ada di dunia saat ini; sementara pada saat yang sama, persaingan antarnegara semakin menggila dan agresi pun terus berlangsung secara terang-terangan maupun terselubung.
Pemahaman yang jernih ini akan menarik perhatian manusia untuk menyadari arti penting sebuah negara, dan kemudian mendorong mereka untuk menginginkan kehadirannya. Karena tanpa sebuah institusi negara, tidak satupun cita-cita dan harapan mereka dapat diraih. ltulah negara Khilafah.
Kesenjangan antara keadaan saat ini di mana pemikiran kaum Muslim dilanda kekacauan, dengan pemikiran sahih berlandaskan syariat perlu dihilangkan dengan menyingkirkan berbagai rintangan yang menghalangi keterikatan kaum Muslim kepada hukum-hukum syara' yang qath'i (bersifat pasti). Rintangan-rintangan yang muncul sejak abad yang lalu ini meliputi:
1. Ketidakpahaman umat lslam bahwa akidah lslam mengatur segala urusan kehidupan manusia.
2. Ketidakpahaman umat lslam bahwa negara Khilafah merupakan satu-satunya metode (thariqah) untuk menerapkan solusi Islam dalam berbagai masalah kehidupan, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
3. Kelalaian umat Islam dalam melaksanakan jihad sesuai aturan syariat yang merupakan metode mendakwahkan Islam kepada seluruh umat manusia.
Pokok pembahasan buku ini adalah jihad, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari akidah islam. Tanpa jihad, Islam laksana kapal tanpa nakhoda yang mengarahkan dan mengendalikan jalannya kapal di tengah lautan.
Saat ini, makna dan pengertian jihad yang sejati telah disalahpahami. Paling-paling, jihad dipahami sebagai suatu perlawanan defensif oleh orang-orang yang teraniaya. Dengan kata lain, jihad hanya dianggap sebagai peperangan yang dilakukan ketika kaum Muslim mendapatkan serangan. Ada lagi sementara kalangan yang menganggap dan mempropagandakan jihad sebagai suatu perjuangan melawan hawa nafsu, atau bahkan sebagai suatu konsep yang tidak sesuai dan tidak layak lagi dilakukan di zaman modern ini. Demikianlah, mereka mengingkari jalan menuju kemuliaan yang telah dikaruniakan Allah Swt kepada kaum Muslim. Ada pula yang memahami jihad, namun pemahaman ini tidak dikaitkan dengan keberadaan suatu negara yang berkewajiban mengemban tugas tersebut. Jadi, mereka menunda pelaksanaannya atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang tidak efektif sebagai penggantinya. Selain itu ada kalangan Muslim yang ingin mengembalikan Islam pada posisi yang kuat sebagaimana pada masa lalu, namun tanpa disertai pemahaman dan pengertian yang jelas bagaimana caranya Di antara semua itu, ada pula kalangan yang berupaya keras agar umat ini kehilangan keperkasaan dan kekuatannya untuk selama-lamanya. Mereka mengharapkan hal ini, dan terus-menerus menyusun makar untuk mempertahankan situasi saat ini, dengan jalan merekayasa dan menyimpangkan makna jihad yang sesungguhnya, memelintir nash-nash syara' dengan tujuan menyingkirkan konsep jihad, serta melakukan berbagai upaya untuk menghalangi kembalinya kedigjayaan tentara umat Islam seperti pada masa yang lalu. Akibat dari kerumitan ini adalah bahwa kaum Muslim tidak menyadari bahwa tengah terjadi berbagai upaya untuk menghancurkan eksistensi mereka.
Jihad adalah mata rantai penghubung antara peran dan tujuan hidup yang telah ditetapkan bagi kaum Muslim dengan tercapainya posisi yang terhormat dan berpengaruh dalam kancah politik internasional dalam bentuk sebuah negara utama.
Setiap orang tahu perubahan yang dialami kaum Muslim pada masa lalu. Awalnya, mereka adalah suku-suku padang pasir yang terbiasa hidup nomaden, mengembara ke segala penjuru Jazirah Arab tanpa ambisi lain kecuali hanya untuk mendapatkan gelimang kemewahan hidup, merawat hewan kesayangannya, dan memuaskan kehidupannya yang sederhana. Tapi kemudian, masyarakat tersebut menguasai dunia laksana angin puyuh, menaklukkan hampir semua bagian dunia dalam waktu kurang dari seratus tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw., Nabi terakhir yang diturunkan di tengah-tengah mereka. Semua orang tahu hal ini, namun berapa banyak yang mengetahui rahasia keberhasilan mereka?
Rahasianya adalah jihad. Jihad memberi mereka sebuah misi; jihad memberi mereka pandangan yang mendunia; jihad memberi mereka kemenangan dan penaklukan semata-mata karena Allah Swt.; jihad telah membuat dakwah Islam bisa disampaikan kepada seluruh umat manusia. Selama kekacauan dalam memahami makna jihad yang sejati ini masih melanda kaum Muslim, maka segala upaya yang dapat dilakukan kaum Muslim untuk melakukan refleksi atas sejarah masa lalu serta mengingat-ingat masa kejayaan Islam sebagaimana pengakuan para sejarawan dan penulis, tidak akan banyak berarti. Situasi tidak akan berubah. Penghinaan dan penistaan atas kaum Muslim masih akan terjadi di manapun dan kapanpun, tanpa kecuali.
Selama kekacauan itu masih melanda kaum Muslim, maka mereka tetap akan ditindas, dimangsa, dirampok, dan dimakan hidup-hidup, seperti yang terjadi pada saat ini, sementara musuh-musuh Islam sama sekali tidak memiliki rasa takut kepadanya.
Tetapi andaikata rahasia itu diketahui, maka pihak-pihak yang selama ini mempertahankan situasi kacau seperti saat sekarang -sebut saja Amerika, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya- akan menggigil ketakutan. Karena, umat Islam akan mempunyai sesuatu yang sangat vital sebagai mata rantai penghubung antara yang menciptakan mereka dengan diri mereka, tujuan hidup mereka, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan hidup tersebut.
Mata rantai tersebut menjadi rahasia umat Islam, rahasia keperkasaan, kehormatan, kejayaan, keamanan, dan kemuliaan umat Islam, serta yang memberi mereka kehidupan; itulah jihad.
Dan segala keperkasaan, segala kekuatan, segala kemuliaan adalah milik Allah Swt.
Zahid Ivan-Salam
4 Juli 2001 M
12 Rabi'ul Tsani 1422 H
dari buku Jihad Dan Kebijakan Luar Negeri Daulah Khilafah
Minggu, 27 Desember 2015
kaum Muslim memiliki potensi ideologis
KATA PENGANTAR
Saudara-saudaraku sekalian,
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.
Semoga shalawat dan salam tercurah bagi penghulu para Nabi, amirul mukminin, Rasulullah Muhammad Saw. keluarganya, sahabatnya, dan siapa saja yang dakwah bersamanya; juga bagi siapa saja yang mengikuti jejak beliau dan mengambil akidah Islam sebagai landasan pemikiran, serta menjadikan hukum-hukum syara' sebagai standar perbuatan dan rujukan pendapatnya.
Saya berdoa semoga segala upaya kita hanya samata-mata untuk mencari keridhaan-Nya serta memberi manfaat bagi Islam dan kaum Muslim. Saya memohon agar Allah Swt berkenan membuka mata dan hati kita untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan menganugerahkan kekuatan dan keberanian untuk mengikutinya; dan membuka mata dan hati kita agar mampu melihat kesalahan sebagai kesalahan dan menganugerahkan kekuatan dan keberanian untuk meninggalkannya.
Kaum Muslim saat ini berada dalam keadaan yang paling menyedihkan sepanjang sejarah umat Islam. Mereka bahkan juga menjadi umat yang paling rendah di hadapan umat-umat lainnya di seluruh dunia. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Meskipun umat memiliki tekad dan semangat yang besar, namun mereka tidak mampu memberikan pengaruh yang kuat dan teguh terhadap segala permasalahan yang dihadapi dan dialami umatnya. Umat Islam jauh dari kedudukan sebagai pemimpin dalam konstelasi perpolitikan dunia. Sebaliknya, umat Islam berada dalam kendali dan hegemoni umat lain. Tidak jarang, nasib dan kata akhirnya ditentukan oleh kekuatan yang lebih besar, atau kekuatan-kekuatan ideologis lainnya. Keberadaan umat Islam sama sekali tidak mendapatkan pengakuan internasional, karena tidak satupun negeri Muslim di dunia yang menerapkan akidah Islam secara komprehensif. Oleh karena itu sangat wajar jika kaum Muslim tidak mempunyai pengaruh di kancah internasional. Sesungguhnya, kaum Muslim memiliki potensi ideologis untuk menghindar jauh-jauh dari keadaan seperti ini. Kaum Muslim di manapun mereka berada sebetulnya menyadari potensi tersebut namun dibuat bingung dengan potensi itu. Meski demikian tetap saja masalah kehidupan dan kedudukan mereka tidak mengalami perubahan.
Dalam rangka merubah keadaan ini, telah banyak pemikir, intelektual, pemimpin, dan berbagai harakah (pergerakan) yang muncul serta memberikan kontribusi mereka. Namun demikian karena negara Khilafah telah diruntuhkan lebih dari 70 tahun yang lalu, kaum Muslim telah kehilangan berbagai pemikiran dan aturan yang unik untuk menghadapi beraneka ragam pemikiran, aturan dan realitas yang ada. Tumbangnya negara Khilafah sama artinya dengan raibnya hukum-hukum syari'at sebagai suatu sistem kehidupan; dan hilangnya syari'at dalam kehidupan sehari-hari bermakna hilangnya standar dan patokan yang harus diikuti.
Runtuhnya negara Khilafah menimbulkan kebingungan umat Islam terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang mengatur dan memelihara kehidupan ini. Dengan kata lain, setulus apapun niatnya, kaum Muslim acapkali memberikan penyelesaian yang berangkat dari sudut pandang yang membingungkan ini. Alih-alih merumuskan solusi permasalahan dengan mengacu pada sumber-sumber hukum syariat dengan cara yang tepat, yaitu dengan ijtihad, kaum Muslim justru menjadikan realitas atau fakta sebagai sumber rujukan bagi pemikiran dan solusi yang mereka rumuskan, selain sumber-sumber hukum kufur yang lain. Keputusasaan kaum Muslim dalam menghadapi permasalahannya semakin memperumit situasi ini. Keadaan ini semakin diperparah lagi dengan kehadiran orang-orang yang tidak tulus, yaitu para agen pengkhianat dan musun-musuh Islam, yang tidak hanya memanfaatkan kebingungan ini, tetapi juga mengokohkan kekuatan, keinginan, dan pengaruh mereka atas umat Islam.
Kaum Muslim mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimana wujud kedudukan internasional yang ingin dimiliki kaum Muslim saat ini? Apaka mereka dianggap layak berbicara dalam kancah perpolitikan dunia? Apa yang membuat negara Islam dahulu menjadi negara nomor satu di dunia? Apa yang membuat kaum Muslim masa lalu begitu kuat? Apa yang membuat kaum Muslim mampu mengokohkan kedudukan mereka? Apa yang dibutuhkan untuk mengembalikan keadaan ini? Jawaban-jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas merupakan suatu kebutuhan; dan umat Islam wajib memiliki kesamaan jawaban, apabila mereka memang menghendaki perubahan dalam kehidupannya.
Kesadaran kaum Muslim terhadap kewajiban mereka untuk mengemban akidah Islam ke seluruh dunia merupakan sesuatu yang memberi arti dan tujuan hidup bagi umat Islam. Kesadaran ini bukan -dan memang tidak mungkin- bersumber pada situasi dan realitas yang ada pada saat itu. Tetapi, kesadaran atau pemikiran itu bersumber dari ketentuan-ketentuan syariat. Misi dan tujuan hidup tersebut mengharuskan umat Islam mempunyai kedudukan internasional yang tinggi; dan bila mereka melaksanakan tujuan hidupnya itu, maka akan muncul kebutuhan untuk menjadi kuat dan berpengaruh, bukan sebaliknya, menyerah kalah dan terjajah. Demikian pula, metode praktis untuk mencapai kedudukan yang mulia itu bersumber dari ketentuan syariat, bukan atas dasar pertimbangan situasi yang ada pada waktu itu. Jihad adalah metode (thariqah) untuk mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia, sekaligus cara kaum Muslim Untuk memperoleh kedudukan terhormat di masa lalu yang bertahan selama lebih dari tiga belas abad.
Pelaksanaan jihad memerlukan keberadaan sebuah negara yang memiliki pasukan bersenjata. Sekali lagi. metode ini diambil dari nash-nash syara' semata. Tetapi, pemikiran-pemikiran dan aturan-aturan tersebut kini sama sekali hilang dari benak kaum Muslim; sementara kaum kafir beserta agen-agennya berupaya keras mempertahankan situasi ini selama-lamanya.
Bila masalah-masalah di atas tidak dipahami oleh kaum Muslim, baik secara menyeluruh maupun bagian per bagian, bagaimana mungkin kaum Muslim paham bahwa mengabaikan aktivitas dakwah ke seluruh penjuru dunia merupakan suatu pelanggaran yang dimurkai Allah Swt? Bagaimana mungkin pula kaum Muslim mengetahui jalan menuju kejayaan Islam? Bagaimana mungkin kaum Muslim memperkokoh kedudukannya? Bagaimana mungkin kaum Muslim mampu menghadapi negara adidaya? Konsekuensi dari ketidakpahaman ini adalah bahwa kaum Muslim sama sekali tidak akan mampu mewujudkan cita-citanya itu; atau paling tidak mereka akan tetap dalam kebingungannya, tidak tahu resepnya untuk meraih kedudukan internasional yang terhormat.
dari buku Jihad Dan Kebijakan Luar Negeri Daulah Khilafah
Minggu, 29 November 2015
Para Khalifah Menegakkan Syariah Islam
وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لَا
تُصِيبَنَّ
الَّذِينَ
ظَلَمُوا
مِنْكُمْ
خَاصَّةً
وَاعْلَمُوا
أَنَّ
اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Peliharalah
diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di
antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. al-Anfal [8]: 25)
Suatu ketika Zainab binti Jahsy
bertanya kepada Nabi, “Wahai Nabi, apakah kami akan dihancurkan (oleh Allah),
padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?” Nabi menjawab, “Iya,
jika keburukan (khabats) telah merajalela.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
إِنَّ
اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ لاَ
يُعَذِّبُ الْعَامَّةَ
بِعَمَلِ
الْخَاصَّةِ
حَتَّى يَرَوْا
الْمُنْكَرَ
بَيْنَ
ظَهْرَانَيْهِمْ
وَهُمْ
قَادِرُونَ
عَلَى أَنْ
يُنْكِرُوهُ
فَلاَ
يُنْكِرُوهُ
فَإِذَا
فَعَلُوا
ذَلِكَ
عَذَّبَ
اللهِ الْخَاصَّةَ
وَالْعَامَّةَ
“Sesungguhnya Allah tidak
mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang
atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah
mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika
itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus.” (HR. Ahmad)
«خَمْسٌ
إِذَا
ابْتُلِيتُمْ
بِهِنَّ
وَأَعُوذُ
بِاللهِ أَنْ
تُدْرِكُوهُنَّ
لَمْ تَظْهَرْ
الْفَاحِشَةُ
فِي قَوْمٍ
قَطُّ حَتَّى
يُعْلِنُوا
بِهَا إِلاَّ
فَشَا
فِيهِمْ
الطَّاعُونُ
وَاْلأَوْجَاعُ
الَّتِي لَمْ
تَكُنْ
مَضَتْ فِي
أَسْلاَفِهِمْ
الَّذِينَ
مَضَوْا
وَلَمْ
يَنْقُصُوا
الْمِكْيَالَ
وَالْمِيزَانَ
إِلاَّ أُخِذُوا
بِالسِّنِينَ
وَشِدَّةِ
الْمَئُونَةِ
وَجَوْرِ
السُّلْطَانِ
عَلَيْهِمْ وَلَمْ
يَمْنَعُوا
زَكَاةَ
أَمْوَالِهِمْ
إِلاَّ
مُنِعُوا
الْقَطْرَ
مِنْ
السَّمَاءِ
وَلَوْلاَ
الْبَهَائِمُ
لَمْ
يُمْطَرُوا
وَلَمْ
يَنْقُضُوا عَهْدَ
اللهِ
وَعَهْدَ
رَسُولِهِ
إِلاَّ سَلَّطَ
اللهُ
عَلَيْهِمْ
عَدُوًّا
مِنْ غَيْرِهِمْ
فَأَخَذُوا
بَعْضَ مَا
فِي أَيْدِيهِمْ
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ
أَئِمَّتُهُمْ
بِكِتَابِ
اللهِ وَيَتَخَيَّرُوا
مِمَّا
أَنْزَلَ
اللهُ إِلاَّ
جَعَلَ اللهُ
بَأْسَهُمْ
بَيْنَهُمْ»
“Ada lima perkara (yang harus
kalian waspadai)—aku berlindung kepada Allah, jangan sampai hal itu menimpa
kalian: 1. Tidaklah kekejian (perzinaan) muncul pada suatu kaum dan mereka
melakukannya secara terang-terangan, kecuali akan muncul berbagai wabah dan
berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada orang-orang sebelum mereka. 2.
Tidaklah suatu kaum berbuat curang dalam hal timbangan dan takaran (jual-beli),
melainkan mereka akan diazab dengan paceklik, kesusahan hidup dan kezaliman
penguasa. 3. Tidaklah suatu kaum enggan membayar zakat, melainkan mereka akan
dicegah dari turunnya hujan dari langit; jika bukan karena binatang ternak,
niscaya hujan itu tidak akan diturunkan. 4. Tidaklah para pemimpin mereka
melanggar perjanjian Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh
menguasai mereka, lalu merampas sebagian yang ada dari apa yang ada di tangan
mereka. 5. Tidaklah mereka meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya,
melainkan Allah menjadikan perselisihan di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah)
“Sesungguhnya
otoritas (kekuasaan) itu merupakan naungan Allah di muka bumi, di mana setiap
orang yang terzalimi di antara para hamba-Nya pergi berlindung kepadanya.”
(HR. Imam Baihaqi)
وقال
أمير
المؤمنين
عثمان بن عفان
إن الله ليزع
بالسلطان ما
لا يزع
بالقرآن
Amirul Mukminin Utsman bin Affan ra.
berkata, “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang
kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh
al-Quran.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Ihya At Turats, 2/12)
Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, dalam bukunya Al-Ahkâm
as-Sulthâniyah wa al-Wilayât ad-Dîniyah (hlm. 3) mengatakan:
أَمَّا
بَعْدُ
فَإِنَّ
اللهَ جَلَتْ
قُدْرَتُهُ
نَدَبَ
لِلْأُمَّةِ
زَعِيْماً
خَلَفَ بِهِ
النُّبُوَّةَ،
وَحَاطَ بِهِ
الْمِلَّةَ،
وَفَوَّضَ
إِلَيْهِ اَلسِّيَاسَةَ،
لِيَصْدُرَ
التَّدْبِيْرُ
عَنْ دِيْنٍ
مَشْرُوْعٍ،
وَتَجْتَمِعُ
الْكَلِمَةُ
عَلَى رَأْيٍ
مَتْبُوْعٍ،
فَكَانَتْ
الْإِمَامَةُ
أَصْلاً
عَلَيْهِ اِسْتَقَرَتْ
قَوَاعِدُ
الْمِلَّةِ،
وَاِنْتَظَمَتْ
بِهِ
مَصَالِحُ
الْأُمَّةِ.
“Ammâ ba’du. Sungguh
Allah Yang Maha Tinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk
menggantikan (masa) kenabian, (yaitu) melindungi agama dan mewakilkan kepada
dirinya pemeliharaan urusan umat. Hal itu bertujuan agar pengaturan itu keluar
dari agama yang disyariatkan dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang
diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi pondasi
kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.”
Imam Taqiyuddin an-Nabhani –radhiyallahu ‘anhu–
berkata :
فكان
يتولى النبوة
والرسالة
وكان في نفس
الوقت يتولى
منصب رئاسة
المسلمين في
إقامة أحكام
الإسلام
“Maka Nabi
SAW dahulu memegang kedudukan kenabian dan kerasulan, dan
pada waktu yang sama Nabi SAW memegang kedudukan kepemimpinan kaum
muslimin dalam menegakkan hukum-hukum Islam.” (Taqiyuddin
an-Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal. 116-117)
Syaikh ‘Ali al-Ghazi dalam Syarah Aqidah at-Thahawi berkata:
Penguasa durjana menentang Syariah dengan politik yang durjana. Mereka
mengalahkan Syariah. Ahbar su’ adalah
ulama’ yang meninggalkan Syariah dengan mengikuti pandangan dan analogi mereka
yang rusak. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Rahib adalah
orang bodoh yang menjadi sufi dengan mengikuti perasaan dan imajinasi mereka.
(Ibn al-Qayyim, Ighatsah al-Lahfan,
Juz I, hal. 346)
Ibnu Ishak meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. yang
berkata:
Setelah Abu Bakar dibai’at di Saqifah, besoknya Abu Bakar
duduk di atas mimbar. Lalu Umar berdiri dan berbicara sebelum Abu Bakar
berbicara. Umar memuji dan menyanjung Allah SWT, sebab hanya Allah semata yang
berhak untuk dipuji dan disanjung. Kemudian Umar berkata, “Sesungguhnya Allah
telah menjaga Kitab-Nya di tengah kalian, yang dengan itu Rasulullah membimbing
kalian. Karena itu, jika kalian berpegang teguh dengan Kitab-Nya, maka Allah
pasti memberi petunjuk kepada kalian. Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan
urusan kalian pada orang yang terbaik di antara kalian. Dia adalah sahabat
setia Rasulullah dan orang kedua ketika keduanya tengah berada di gua. Dengan
demikian dia merupakan orang yang paling layak untuk mengurusi urusan kalian.
Untuk itu, bangkitlah, lalu berbaiatlah.” Lalu orang-orangpun membaiat Abu
Bakar sebagai baiat umum (taat) setelah baiat yang berlangsung di Saqifah
(Mahmud, Bai’ah fi al-Islam Târîkhuhâ wa Aqsâmuhâ bayna an-Nadzariyah
wa at-Tathbîq, hlm. 177)
Rasulullah Saw. melalui sabdanya:
«كَانَتْ
بَنُو
إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا
هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ
بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا
فَمَا تَأْمُرُنَا
قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ
الْأَوَّلِ
فَالْأَوَّلِ»
“Dahulu Bani
Israel, (urusan) mereka dipelihara dan diurusi oleh para nabi, setiap kali
seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada
nabi lagi sesudahku. Sementara yang akan ada adalah para khalifah, yang
jumlah mereka banyak. Mereka (para sahabat) berkata: ‘Lalu apa yang engkau
perintahkan kepada kami?’ Rasulullah Saw. bersabda: “Penuhilah baiat yang
pertama lalu yang pertama.” (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah ra.)
Buklet ini disusun oleh: Annas I. Wibowo
27/10/2015
Daftar bacaan:
hizbut-tahrir.or.id
mediaumat.com
Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir)
Sabtu, 28 November 2015
Keputusan Hukum Merupakan Otoritas Allah
«…وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي»
“Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup ia tidak merasa
lapang kecuali mengikutiku.” (HR. Ibn Abiy Syaibah
dalam Mushannaf)
فَإِنَّهُ
لَوْكَانَ
مُوْسَى
حَيًّا بَيْنَ
أَظْهُرِكُمْ,
مَا حَلَّ
لَهُ إِلاَّ
أَنْ
يَتَّبِعَنِيْ
Nabi Saw. bersabda, “Seandainya
Nabi Musa as. hidup di tengah-tengah kalian, maka tidak halal bagi dirinya,
kecuali mengikuti aku.” (HR. Imam Ahmad)
«قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ، وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ، فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ»
“Sungguh
telah aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih bersih di mana malamnya
laksana siangnya, tidak akan tergelincir darinya setelahku kecuali orang yang
binasa, dan siapa saja dari kalian yang hidup sesudahku, ia akan melihat
perbedaan yang banyak. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian
ketahui dari Sunnahku dan Sunnah
Khulafaur Rasyidun yang mendapat petunjuk. Kalian wajib taat (kepada pemimpin
yang Syar’i sah dibai’at) meski ia (asalnya) seorang hamba sahaya Habsyi,
gigitlah dengan gigi geraham kalian, sesungguhnya mukmin itu laksana onta ke
mana dipandu ia akan terpandu.” (HR. Ahmad)
« … فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ
فَتَمَسَّكُوْا
بِهَا
وَعَضُّوْا
عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ …»
“…Maka kalian wajib
berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat
dengan gigi geraham. …” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan
Tirmidzi )
Sabda Rasulullah Saw.:
«مَنْ
سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ
سُنَّةً
حَسَنَةً
فَعُمِلَ
بِهَا
بَعْدَهُ
كُتِبَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا
وَلاَ يَنْقُصُ
مِنْ
أُجُورِهِمْ
شَىْءٌ
وَمَنْ سَنَّ
فِى
الإِسْلاَمِ
سُنَّةً
سَيِّئَةً
فَعُمِلَ
بِهَا
بَعْدَهُ
كُتِبَ
عَلَيْهِ
مِثْلُ وِزْرِ
مَنْ عَمِلَ
بِهَا وَلاَ
يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ
شَىْءٌ»
“Siapa yang mencontohkan di
dalam Islam contoh yang baik lalu dilakukan sesudahnya maka
dituliskan untuknya semisal pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun, sebaliknya siapa saja yang mencontohkan di
dalam Islam contoh yang buruk lalu dilakukan sesudahnya, maka
dituliskan atasnya semisal dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa
mereka sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah)
Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi Saw. juga pernah
bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى
هُدًى، كَانَ
لَهُ مِنَ الأَجْرِ
مِثْلُ
أُجُورِ مَنْ
تَبِعَهُ،
لاَ يُنْقِصُ
ذَلِكَ مِنْ
أُجُورِهِمْ
شَيْئًا،
وَمَنْ دَعَا
إِلَى
ضَلاَلَةٍ،
كَانَ عَلَيْهِ
مِنَ
الإِثْمِ
مِثْلُ
آثَامِ مَنْ
تَبِعَهُ، لاَ
يُنْقِصُ
ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ
شَيْئًا
“Siapa saja yang mengajak pada
petunjuk maka untuknya pahala semisal orang yang mengikutinya, hal itu tidak
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Siapa saja yang mengajak pada kesesatan
maka atasnya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak
mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah,
at-Tirmidzi, Abu Ya’la dan Ibn Hibban)
إِذَا ٱلسَّمَآءُ
ٱنفَطَرَتۡ,
وَإِذَا ٱلۡكَوَاكِبُ
ٱنتَثَرَتۡ,
وَإِذَا ٱلۡبِحَارُ
فُجِّرَتۡ,
وَإِذَا ٱلۡقُبُورُ
بُعۡثِرَتۡ,
عَلِمَتۡ نَفۡسٞ
مَّا
قَدَّمَتۡ
وَأَخَّرَتۡ
“Jika langit terbelah, jika
bintang-bintang jatuh berserakan, jika lautan dijadikan meluap dan jika
kuburan-kuburan dibongkar maka setiap jiwa akan mengetahui apa saja yang telah
dia kerjakan dan yang telah dia tinggalkan.” (QS. al-Infithar [82]: 1-5)
Menurut Asy-Syaukani, mâ akhkharat adalah sunnah hasanah aw sayy’ah (kebiasaan yang baik maupun
yang buruk). Sebab, orang tersebut memperoleh pahala dari kebiasaan baik yang
dia kerjakan dan pahala orang yang ikut mengerjakannya; juga mendapatkan dosa
kebiasaan buruk yang dia lakukan dan dosa orang-orang yang ikut mengerjakannya.
(Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 479)
“Belumkah tiba waktunya bagi
orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah dan
(tunduk) kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah
mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diturunkan Al Kitab, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. [57] al-Hadid:
16)
al-Zuhaili dalam tafsirnya mengartikan
kata dzikril-Lâh berarti wa’zhihi wa irsyâdihi (nasihat dan petunjuk-Nya). Sedangkan wa mâ
nazala min al-haqq (dan kepada
kebenaran yang telah turun [kepada mereka]). Yang dimaksud dengan kebenaran
yang diturunkan itu adalah Al Qur’an. Demikian penjelasan para mufassir seperti
al-Thabari, al-Syaukani, al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Jazairi, dan
lain-lain. Dan menurut al-Zamakhsyari dan al-nasafi, dzikril-Lâh dan wa mâ nazala min al-haqq menunjuk kepada satu obyek, yakni Al Qur’an. Sebab, Al
Qur’an mencakup untuk dua perkara: al-dzikr wa
al-maw’izhah (peringatan dan nasihat).
faqasat qulûbuhum, Ibnu ‘Abbas memaknai
‘hati mereka menjadi keras’ sebagai cenderung kepada dunia dan berpaling dari
nasihat Allah SWT. Ibnu Hayyan al-Andalusi juga mengartikannya sebagai shalabat (keras) hati mereka lantaran tidak terpengaruh untuk
melakukan kebaikan dan ketaatan.
Nabi SAW telah bersabda:
كُلُّ
شَرْطٍ
لَيْسَ فِي
كِتَابِ
اللَّهِ فَهُوَ
بَاطِلٌ
وَإِنْ كَانَ
مِائَةَ
شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak
sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2375; Muslim no. 2762; Ibnu Majah no. 2512; Ahmad no. 24603;
Ibnu Hibban no. 4347)
Dikatakan oleh Imam al-Qurthubi, hadits
ini menerangkan bahwa syarat atau akad yang wajib dipenuhi adalah yang sesuai
dengan kitabullah atau agama Allah. Apabila di dalamnya jelas bertentangan
dengannya, maka tertolak, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Barangsiapa yang
mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dalam perintah kami, maka tertolak” (HR. Muslim dari Aisyah).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari berkata:
أَنَّ
الشُّرُوط
الْغَيْر
الْمَشْرُوعَة
بَاطِلَة
وَلَوْ
كَثُرَتْ
“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai Syara’
adalah bathil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul
Bari, 8/34)
“Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
(QS. [5] al-Maidah: 1)
Ayat ini menegaskan bahwa keputusan hukum merupakan otoritas Allah SWT.
Dikatakan oleh Ibnu Katsir, Dialah Yang Maha Bijaksana dalam semua perkara yang
diperintahkan maupun dilarang-Nya.
قُلْ
أَرَأَيْتُم
مَّا أَنزَلَ
اللَّهُ لَكُم
مِّن رِّزْقٍ
فَجَعَلْتُم مِّنْهُ
حَرَامًا
وَحَلَالًا
قُلْ آللَّهُ
أَذِنَ
لَكُمْ ۖ أَمْ
عَلَى
اللَّهِ
تَفْتَرُونَ ﴿٥٩﴾
“Katakanlah: “Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap
Allah?” (QS. Yunus [10]: 59)
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf [7]: 3)
Kalimat “maa unzila ilaykum min
rabbikum” (apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu), artinya adalah Al-Qur`an dan
As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi, Beirut: Dar Shaadir, Juz III/2)
“Dan
sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka setelah datangnya
ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang
yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 145)
Menurut Imam Suyuthi, larangan pada
ayat di atas tidak hanya khusus kepada Nabi SAW, tapi juga mencakup umat Islam
secara umum. Larangan tersebut adalah larangan melakukan perbuatan sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang bodoh atau orang kafir [seperti turut merayakan
hari raya mereka]. Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah perbuatan yang
diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. (Lihat Imam Suyuthi, Al-Amru bi
Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida` (terj.),
hal. 92)
Jumat, 27 November 2015
Tidak Boleh Berhukum Dengan Selain Hukum Allah
وَإِذَا
دُعُوا إِلَى
اللَّهِ
وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ
إِذَا
فَرِيقٌ مِنْهُمْ
مُعْرِضُونَ
(48) وَإِنْ
يَكُنْ
لَهُمُ
الْحَقُّ
يَأْتُوا
إِلَيْهِ
مُذْعِنِينَ
(49) أَفِي
قُلُوبِهِمْ
مَرَضٌ أَمِ
ارْتَابُوا
أَمْ
يَخَافُونَ
أَنْ يَحِيفَ
اللَّهُ
عَلَيْهِمْ
وَرَسُولُهُ
بَلْ
أُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
(50)
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak
untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka
datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena)
dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena)
takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya,
mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. an-Nur [24]: 48-50).
Ibnu katsir: “Jika keputusan hukum tidak
menguntungkan mereka, maka merekapun berpaling darinya dan mengajak untuk
berhukum kepada yang tidak haq serta menghendaki agar berhukum kepada selain
Rasulullah Saw. demi mendukung kebathilan mereka. Kemudian Allah berfirman “(artinya)
Apakah (ketidakdatangan
mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit” Yakni tidak ada
alternatif lain selain hati mereka telah dijangkiti penyakit yang selalu
menyertai, atau keraguan tentang agama ini telah merasuk ke dalam hati mereka,
atau mereka khawatir Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim dalam menetapkan
hukum.” (Tafsir Ibnu
Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir, juz 18, hal. 74)
كُلُّ
أُمَّتِي
يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ إِلَّا
مَنْ أَبَى
قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ
وَمَنْ
يَأْبَى
قَالَ مَنْ
أَطَاعَنِي
دَخَلَ
الْجَنَّةَ
وَمَنْ
عَصَانِي
فَقَدْ أَبَى
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Setiap orang dari umatku akan masuk Surga,
kecuali yang enggan.” Para
sahabat bertanya heran, “Siapa yang enggan masuk Surga, wahai Rasulullah?” Kata
beliau, “Mereka
yang menaati aku akan masuk Surga, sedangkan yang menentang aku berarti mereka
enggan masuk Surga.” (HR. al-Bukhari, Ahmad dan
an-Nasa’i)
Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Al-Qur’an
itu merupakan pemberi syafaat dan benar isinya. Siapa saja yang menjadikan
al-Qur’an sebagai imamnya niscaya ia akan memandunya menuju Surga. Sebaliknya,
siapa saja menjadikan al-Qur’an di belakang punggungnya (tidak diterapkan) maka
ia akan menjebloskannya ke dalam Neraka.” (HR. Ibnu Hibban)
Imam Ibnu Katsir berkata:
ينكر
تعالى على من
خرج عن حكم
الله المحكم
المشتمل على
كل خير ،
الناهي عن كل
شر وعدل إلى
ما سواه من
الآراء
والأهواء
والاصطلاحات
، التي وضعها
الرجال بلا
مستند من
شريعة الله ، …
فلا يحكم
بسواه في قليل
ولا كثير ،
قال الله
تعالى : ﴿
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ ﴾
أي : يبتغون
ويريدون ، وعن
حكم الله
يعدلون . ﴿
وَمَنْ
أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ ﴾
أي : ومن أعدل
من الله في
حكمه لمن عَقل
عن الله شرعه
، وآمن به
وأيقن وعلم
أنه تعالى
أحكم الحاكمين
.
“Alloh mengingkari siapa-siapa yang tidak menerapkan hukum Alloh Swt.
yang jelas, komprehensif meliputi setiap kebaikan dan mencegah dari setiap
keburukan, serta berpaling kepada selainnya yang berupa pendapat, hawa nafsu,
dan istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada Syari’at
Alloh Swt., … maka tidak boleh berhukum dengan selain hukum Alloh Swt., baik
sedikit maupun banyak. Alloh Swt. berfirman (yang artinya): “Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki”, atau: yang mereka kehendaki dan mereka mau,
sedangkan dari hukum Alloh Swt. mereka berpaling. “dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin?” atau: siapakah
yang lebih adil syari’atnya daripada hukum Alloh Swt. bagi siapa-siapa yang
berfikir tentang Alloh Swt., mengimani-Nya, dan yakin serta tahu bahwa Alloh Swt.
adalah seadil-adilnya hakim.” (Al-Marja’
As-Sabiq, juz 3, hlm. 131)
Nabi Saw. bersabda:
إِنْ
اللهَ فَرَضَ
فَرَائِضَ
فَلاَ تُضَيِّعُوهَا
وَحَدَّ
حُدُودًا
فَلاَ
تَعْتَدُوهَا
وَنَهَى عَنْ
أَشْيَاءَ
فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا
“Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan sejumlah kewajiban maka janganlah kalian menelantarkannya; telah
memberikan sejumlah batasan maka janganlah melanggarnya; dan telah melarang
sejumlah perkara maka janganlah melakukannya.” (HR. ad-Dâruquthniy)
Allah Swt. melarang kaum Muslim berkompromi dalam masalah
aqidah dan hukum. Allah Swt. berfirman:
فَلَا
تُطِعِ
الْمُكَذِّبِينَ
(8) وَدُّوا لَوْ
تُدْهِنُ
فَيُدْهِنُونَ
(9)
“Maka janganlah kamu ikuti
orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya
kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. al-Qalam
[68]: 8-9)
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Musnadnya
dari Ali karramallahu wajhah, yang
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Kelak akan ada fitnah”. Ali berkata: “Apa
yang bisa menyelamatkan dari fitnah itu, wahai Rasulallah?” Rasulullah SAW
bersabda: “Kitabullah
(Al-Qur’an). Di dalamnya terdapat berita tentang orang-orang sebelum dan
sesudah kalian. Ia pemberi keputusan atas apa yang kalian perselisihkan.
Al-Qur’an merupakan pemisah antara hak dan bathil, dan ia bukanlah senda gurau.
Siapa saja yang meninggalkannya dengan sombong, maka ia menjadi musuh Allah.
Siapa saja yang mencari petunjuk pada selain Al-Qur’an, maka Allah akan
menyesatkannya. Al-Qur’an adalah tali Allah yang kokoh, cahaya-Nya yang terang,
peringatan yang bijak, jalan yang lurus, obat yang ampuh, menjaga siapa saja
yang berpegang teguh dengannya, keselamatan bagi siapa saja yang mengikutinya;
apa saja yang bengkok, al-Qur’an meluruskannya; apa saja yang menyimpang,
al-Qur’an akan mengembalikannya. Al-Qur’an tidak akan disesatkan oleh hawa
nafsu, tidak akan tercampuri oleh bahasa-bahasa lain, tidak akan diwarnai oleh
berbagai pendapat, tidak membuat kenyang para ulama, tidak membuat bosan
orang-orang yang takwa, tidak usang meski banyak yang menolak, dan kehebatannya
tidak pernah habis. Al-Qur’an membuat jin berhenti seketika ketika jin
mendengarnya. Sehingga jin berkata: ‘Sesungguhnya kami mendengar bacaan
(Al-Qur’an) yang begitu mengagumkan. Siapa saja yang mengetahuinya, maka ia
mengetahui hal-hal sebelumnya; siapa saja yang berkata dengannya, maka ia
benar(jujur); siapa saja yang berhukum dengannya, maka dia pasti adil; siapa
saja yang mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala; dan siapa saja yang
menyeru kepadanya, maka ia menyeru kepada jalan yang lurus.’
قُلْ
إِنْ
كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ
اللهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ
اللهُ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali
Imron (3): 31)
Frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku)
bermakna umum, karena tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada
aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi Saw.
Imam Ibnu Katsir menyatakan,”Ayat yang
mulia ini (QS. Ali Imron (3): 31) adalah pemutus bagi siapa saja yang mengaku
mencintai Allah SWT, namun ia tidak berjalan di atas jalan Nabi Muhammad SAW;
maka ia telah berdusta dalam pengakuannya itu, hingga ia mengikuti Syariat Nabi
Muhammad SAW dan agama Nabi SAW di seluruh perkataan dan perbuatannya. Seperti
yang ditetapkan dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau SAW
bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan,
maka perbuatan itu tertolak.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adziim, QS. Ali Imron (3): 31)
Rabu, 25 November 2015
Beribadah Kepada Allah Dan Tunduk Pada Syariah-Nya
“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu
sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti
hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak
ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. [13] Ar Ra'd:
37)
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami
mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah
itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum
(menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah
Yang Maha cepat hisab-Nya.” (QS. [13] Ar Ra'd: 41)
Ibnu Katsir: “Ibnu Abbas berkata, “Apakah mereka tidak
melihat, bahwa Kami membukakan bagi Muhammad Saw. daerah demi daerah.” Ibnu
Katsir: “… yaitu dengan kemenangan Islam atas kemusyrikan, daerah demi daerah
…, Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.” (Tafsir Ibnu Katsir:
Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni
Katsiir, juz 13, hal. 515)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ
إِلا
كَافَّةً
لِلنَّاسِ
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat
manusia seluruhnya.” (QS. Saba’ [34]: 28)
Terkait dengan firman Allah ini, Ar-Razi berkata, “Kaffa[tan], artinya bahwa risalah itu untuk semua,
yakni umum untuk semua manusia, sehingga mereka dilarang keluar dari ketundukan
terhadap risalah itu.” (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, XXV/207)
Rasulullah Saw. juga bersabda:
بُعِثْتُ
إِلَى كُلِّ
أَحْمَرَ وَ
أَسْوَدَ
“Aku diutus untuk semuanya,
yang berkulit merah maupun hitam.” (HR. Muslim)
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى
ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ
مِنَ
السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ
وَلَكِنْ
كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ
بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. [7] Al-A’raf: 96)
وَمَا
خَلَقْتُ
الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ
إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa
penafsiran yang lebih tepat adalah sebagaimana pendapat Ibn Abbas, yaitu bahwa
jin dan manusia diciptakan Allah tiada lain untuk beribadah kepada Allah dan
tunduk pada perintah-Nya.
وَلا
تَقُولُوا
لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُكُمُ
الْكَذِبَ
هَذَا حَلالٌ
وَهَذَا
حَرَامٌ
لِتَفْتَرُوا
عَلَى
اللَّهِ
الْكَذِبَ إِنَّ
الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ
عَلَى
اللَّهِ
الْكَذِبَ لا
يُفْلِحُونَ
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”(QS. An-Nahl: 116)
Menurut al-Syaukani, ayat ini berarti:
Janganlah kalian mengharamkan atau menghalalkan sesuatu melalui ucapan
lisan-lisan kalian tanpa hujjah.
Al-Zamakhsyari menafsirkannya dengan pernyataan: Janganlah kamu mengharamkan
dan menghalalkan hanya dengan perkataan yang ucapkan lisan-lisan dan
mulut-mulut kalian—bukan karena ada hujjah
dan alasan yang jelas—akan tetapi hanya sekadar ucapan dan klaim yang kosong.
Menurut Ibnu Katsir, termasuk dalam
tindakan yang dilarang ayat ini adalah semua bid’ah yang diada-adakan yang
tidak memiliki sandaran Syar’i, menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah,
atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan hanya berdasarkan pendapat dan selera
mereka semata.
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ
لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ
لَكُمُ
الْإِسْلَامَ
دِينًا{
“Hari ini Aku telah
menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk
kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian.” (QS.
al-Mâ’idah [5]: 3)
Islam adalah agama yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad Saw., untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya (An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm.
69). Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah;
hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian;
hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian.
(An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm. 69)
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari
yang besar.” (QS. [10] Yunus: 15)
]قُلْ
هَذِهِ
سَبِيلِي
أَدْعُو
إِلَى اللَّهِ
عَلَى
بَصِيرَةٍ أَنَا
وَمَنِ
اتَّبَعَنِي[
“Katakanlah: “Inilah jalan
(agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata …” (QS. Yusuf [12]: 108)
Imam al-Qurthubi menjelaskan: “Katakanlah, wahai Muhammad,
“Inilah jalanku, sunnahku dan manhajku.” Ibn
Zaid menyatakan, ar-Rabi’ berkata, “Dakwahku.” Muqatil berkata, “Agamaku.” Semua ini, menurut al-Qurthubi, maknanya satu, yaitu
apa yang menjadi jalan hidupku dan aku serukan untuk menggapai Surga. Adapun
makna ‘ala bashirah adalah
dengan keyakinan dan dalam kebenaran. (Al-allamah al-Qurthubi, Al-Jami’
li Ahkami al-Qur’an, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t., IX/272)
Imam as-Syaukani menyatakan bahwa makna, ‘ala bashirah adalah dengan hujjah yang jelas (hujjah wadhihah). Kata bashirah mempunyai konotasi pengetahuan yang bisa membedakan
antara yang haq dan batil. (Al-allamah Muhammad bin ‘Ali as-Syaukani, Tafsir
Al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah,
Beirut, 1997, III/57)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang
yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat
kemenangan.” (QS. an-Nur
[24]: 51-52)
Dinyatakan ath-Thabari, frasa idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih ditafsirkan dengan idzâ du‘û ilâ hukm Allâh wa ilâ hukm Rasûlih (jika mereka dipanggil pada
hukum Allah dan pada hukum Rasul-Nya). (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, vol. 9
[Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992], 341)
an yaqûlû sami’nâ wa
atha’nâ (Mereka mengucapkan,
“Kami mendengar dan kami patuh”) menurut Muqatil dan Ibnu ‘Abbas, frasa
tersebut bermakna, “Kami mendengar ucapan Nabi Saw. dan mentaati perintahnya,”—meskipun
dalam perkara yang tidak mereka sukai dan membahayakan mereka. (Al-Wahidi,
an-Naisaburi, Al-Wasîth fî
Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol.
3 [Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1994], 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 46)
Tidak ada yang mendapatkan keberuntungan
(al-falâh) kecuali orang yang
berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, menaati Allah dan Rasul-Nya. (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 3, 382)
Waman yuthi’illâh wa
Rasûlahu (Siapa saja yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya). Artinya, mereka taat pada perintah dan larangan
Allah dan Rasul-Nya, menerima hukum-hukum-Nya, baik menguntungkan maupun
merugikan mereka. (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9,
341)
Al-Jazairi menjelaskan bahwa takut
kepada Allah Swt. adalah takut yang disertai pengetahuan, lalu meninggalkan larangan
dan menahan diri dari apa yang disenangi. (Al- Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 3, 382)