Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 30 Maret 2015

KHILAFAH : WAJIB TUNGGAL ATAU BOLEH LEBIH DARI SATU


 

KHILAFAH : WAJIB TUNGGAL ATAU BOLEH LEBIH DARI SATU?

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI

 

Pendahuluan

  Khilafah telah menjadi pembicaraan publik di Indonesia akhir-akhir ini, baik pada level pemerintah maupun level masyarakat dengan berbagai segmennya. Seorang tokoh ormas Islam pun kemudian melontarkan ide “Khilafah Nasionalis”, sebagai lawan dari “Khilafah Internasionalis” yang ditolaknya tanpa alasan syar’i. Ide “Khilafah Nasionalis” nampaknya dimaksudkan untuk mengkrompomikan dua ide yang bertentangan (kontradiktif), yaitu Khilafah sebagai ajaran Islam di satu sisi, dengan ide negara-bangsa pada sisi lain.
  Terlepas apakah lontaran itu serius atau hanya retorika kosong, ada persoalan yang muncul dengan ide “Khilafah Nasionalis” tersebut. Jika ide ini diterapkan, niscaya akan muncul fenomena ta’addud al-Khilafah (berbilangnya Khilafah), yakni adanya lebih dari satu negara Khilafah di Dunia Islam. Misalnya, akan ada Khilafah Indonesia, Khilafah Malaysia, Khilafah Brunei, dan seterusnya. Apakah kondisi seperti ini dibenarkan Syariah Islam? Bolehkah ada lebih dari satu Khilafah pada waktu yang sama di Dunia Islam?
  Pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas menunjukkan strategisnya kajian tentang apakah Khilafah itu memang boleh ta’addud (berbilang), yaitu lebih dari satu, ataukah wajib hanya satu saja untuk seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia walau berbeda-beda bangsa? Makalah ini berusaha menjawab persoalan krusial tersebut.

Mendudukkan Ikhtilaf 

Apakah ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan fuqoha mengenai hukum mengangkat khalifah (nashbul khalifah) dan juga mengenai apakah Khilafah wajib satu ataukah boleh berbilang? Jawabannya adalah tidak ada ikhtilaf di kalangan fuqoha` bahwa mengangkat khalifah (nashbul khalifah) adalah fardhu, demikian pula tidak ada ikhtilaf bahwa tidak boleh mengangkat dua orang khalifah yang berada pada daerah yang sama (fi shuq’in waahidin). (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 313).

Tidak adanya ikhtilaf mengenai haramnya mengangkat dua khalifah pada daerah yang sama, dijelaskan dalam kitab Ghayatul Maram fi ‘Ilmil Kalam karya Imam Al Amidi hlm. 382 sebagai berikut :


ولا خلاف في أنه لا يجوز عقد الإمامة لشخصين في صقع واحد، متضايق الأقطار، و متقارب الأمصار

 

“Tidak ada ikhtilaf bahwa tidak boleh mengadakan akad Imamah (Khilafah) bagi dua orang di satu daerah yang sama, yang berhimpitan negeri-negerinya dan berdekatan kota-kotanya.” (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 313).

Jadi, ikhtilaf fuqoha` dalam masalah ini hanya terjadi pada kasus pengangkatan dua orang khalifah yang berada di dua daerah yang berjauhan, bukan pada daerah yang sama. Dalam masalah ini ada dua pendapat : Pendapat pertama, boleh mengangkat dua khalifah. Atau dengan kata lain kaum muslimin boleh memiliki lebih dari satu negara Khilafah. Ini merupakan pendapat Zaidiyah, Karamiyah, Abu Ishaq Al Isfaroyini, Abdul Qahir Al Baghdadi, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan Imam Haramain (Juwaini).

Pendapat kedua, tidak boleh mengangkat dua khalifah. Atau dengan kata lain, kaum muslimin di seluruh dunia tidak boleh memiliki lebih dari satu negara Khilafah. Inilah pendapat jumhur ulama, seperti Ibnu Hazm, Al Kamal Ibnul Humam, Abu Ya’la Al Farra`, Asy Sya’rani, Qadhi Abdul Jabbar, Al Iiji, Al Jurjani, Al Qalqasyandi, Al Amidi, An Nawawi, Al Mawardi, At Taftazani, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 314).

 

Dalil Masing-Masing Pendapat

Pendapat pertama menyatakan bahwa jika dua tempat berjauhan, maka boleh mengangkat dua khalifah. Pendapat pertama ini berdalil dengan dalil-dalil akli (hujjah ‘aqliyyah), di antaranya sebagai berikut :

Pertama, mengangkat dua khalifah boleh jika ada hajat (kebutuhan) untuk mengangkat dua khalifah. Ini merupakan pendapat Abu Ishaq Isfarayini dan Imam Haramain.

Kedua, mengangkat dua khalifah boleh jika terdapat jarak yang jauh di antara dua khalifah.  Ini pendapat Imam Haramain.

Ketiga, mengangkat dua khalifah boleh jika di antara dua Khalifah terdapat pemisah alami (haajiz thabi’iy) seperti laut, atau ada musuh di antara keduanya, yang tidak mampu dikalahkan  oleh salah satu dari keduanya. Ini pendapat Abdul Qahir Al Baghdadi. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 313; Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al Marakbi, Al Khilafah Al Islamiyyah Bayna Nuzhum Al Hukm Al Mu’ashirah, hlm. 65-67).

Adapun pendapat kedua yang merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, menegaskan Khilafah wajib hanya satu. Dengan kata lain umat Islam tidak boleh mengangkat dua khalifah walaupun umat Islam berada di dua tempat yang berjauhan, seperti misalnya Maroko dengan Merauke (Indonesia).   

Pendapat kedua dalilnya adalah dalil-dalil syar’i, berupa As Sunnah dan Ijma’ Shahabat.

Dalil pertama adalah As Sunnah, ada 5 (lima) nash sebagai berikut :

Pertama, sabda Rasulullah SAW :

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

 

“Jika keluar tiga orang dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka memilih pemimpin satu orang dari mereka.” (HR Abu Dawud no 3608).

 

Hadits tersebut menurut manthuq (makna tersurat) mewajibkan adanya satu pemimpin untuk tiga  orang dalam sebuah perjalanan. Menurut mafhum mukhalafah (makna tersirat yang berkebalikan dari makna tersurat) dari hadits tersebut, yakni dari lafazh “ahadahum” (satu orang dari mereka), berarti tidak boleh hukumnya mengangkat pemimpin lebih dari satu. Dan jika untuk tiga orang dalam perjalanan saja tidak boleh mengangkat pemimpin lebih dari satu, maka berdasarkan mafhum muwafaqah (makna tersirat yang bersesuaian dengan makna tersurat), berarti lebih tidak boleh lagi ada lebih dari satu khalifah bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. (Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/265). 

Kedua, sabda Rasulullah SAW :


ومن بايع إماما، فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه، فليطعه إن استطاع. فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر

 

“Dan siapa saja yang membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah dia mentaatinya dengan sekuat kemampuannya. Maka jika datang orang lain yang hendak mencabut kekuasaan Imam itu, maka penggallah leher orang lain itu.” (HR Muslim no 1844).

 

Ketiga, sabda Rasulullah SAW :


إذا بويع لخليفتين، فاقتلوا الآخر منهما

 

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no 1853).

 

Keempat, sabda Rasulullah SAW :


من أتاكم، وأمركم جميع، على رجل واحد، يريد أن يشق عصاكم، أو يفرق جماعتكم، فاقتلوه

 

Siapa saja yang datang kepada kalian --sedangkan urusan kalian seluruhnya ada pada satu orang laki-laki (Khalifah)-- [orang yang datang itu] hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” (HR Muslim no 1852).

 

Kelima, sabda Rasulullah SAW :


كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء. كلما هلك نبي خلفه نبي. وإنه لا نبي بعدي. وستكون خلفاء فتكثر) قالوا: فما تأمرنا؟ قال (فوا ببيعة الأول فالأول. وأعطوهم حقهم. فإن الله سائلهم عما استرعاهم

 

Dahulu Bani Israil  diatur oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak. Mereka [para shahabat] bertanya,’Lalu apa yang Engkau perintahkan kepada kami [ketika khalifah jumlahnya banyak]?” Nabi SAW bersabda,”Penuhilah baiat untuk khalifah yang pertama, yang pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada mereka mengenai urusan rakyat yang diamanahkan kepada mereka .” (HR Muslim no 1842).

 

Setelah memaparkan lima hadits di atas, Syekh Mahmud Abdul Majid Al Khalidi berkata :


هذه الأحاديث الخمسة، وهي أحاديث صحيحة، تدل دلالة واضحة على وحدة الخلافة، و أنه لا يجوز أن يكون للمسلمين إلا دولة واحدة.

 

Lima hadits ini –dan ia adalah hadits-hadits yang shahih– menunjukkan dengan jelas mengenai kesatuan (ketunggalan) Khilafah, dan bahwa tidak boleh kaum muslimin mempunyai negara kecuali satu negara saja.” (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 316).

 

Dalil kedua, yaitu Ijma’ Shahabat (kesepakatan para shahabat Nabi SAW) juga menegaskan ketunggalan Khilafah bagi kaum muslimin. Ijma’ Shahabat iu terwujud pada saat pertemuan para shahabat Nabi di Saqiifah Bani Saa’idah untuk membicarakan pemimpin umat pengganti Rasulullah SAW yang telah wafat. Pada saat itu, seorang shahabat Nabi dari golongan Anshar, yakni Al Hubab Ibnul Mundzir mengusulkan,”Dari kami seorang pemimpin, dan dari kalian seorang pemimpin (minna amiir wa minkum amiir).” Maka Abu Bakar Shiddiq dengan tegas membantah perkataan Al Hubab Ibnul Mundzir itu dengan berkata :

أنه لا يحل أن يكون للمسلمين أميران

Sesungguhnya tidaklah halal kaum muslimin mempunyai dua orang pemimpin.” (HR Al Baihaqi,  Sunan Baihaqi, Juz 8 hlm. 145). Perkataan Abu Bakar Shiddiq itu didengar oleh para shahabat dan tak ada seorang pun yang mengingkarinya. Maka terwujudlah di sini Ijma’ Shahabat (kesepakatan para shahabat Nabi) mengenai ketunggalan Khilafah. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 316).

 

Tarjih

Pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama, termasuk mazhab yang empat, yang menetapkan wajibnya wahdatul Khilafah (ketunggalan Khilafah) dan haramnya lebih dari satu orang khalifah bagi seluruh umat Islam. Alasan pentarjihan pendapat jumhur tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah, hanya didukung oleh dalil akli, bukan dalil syar’i, baik ayat Al Qur`an maun Al Hadits. Padahal masalah yang dibahas adalah hukum syar’i yang dalilnya wajib dalil syar’i, bukan dalil aqli. Dalam pembahasan hukum syar’i, dalilnya wajib dalil syar’i, bukan dalil aqli, sesuai dengan definisi hukum syar’i itu sendiri, yaitu sbb :


الحكم الشرعي هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد

 

Hukum syar’i adalah khithab (seruan/firman) dari Allah sebagai Pembuat Syariah yang berkaitan dengan perbuatan para hamba.”

 

Yang dimaksud Khithaabus Syaari’ adalah dalil syar’i, yaitu apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ dan Qiyas, bukan yang lain (dalil akli).

Kedua, pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah, pada sebagiannya, khususnya pendapat Al Juwaini, Al Isfaroyini, dan Al Baghdadi, sebenarnya menunjukkan hukum dalam kondisi darurat (rukhsah), seperti adanya lautan atau musuh yang memisahkan dua khalifah. Jadi pendapat tersebut bukan menunjukkan hukum asal (azimah).

Artinya, sebenarnya pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah itu, mengakui hukum asal (azimah) yang ada, yaitu wajib tunggalnya Khilafah (wahdatul Khilafah) dan haram Khilafah lebih dari satu (berbilang). Syekh Al Marakby menganalisis pendapat pertama tersebut dengan berkata :


فالأصل عدم جواز التعدد فإذا استدعت الضرورة ذلك جاز...فالتعدد محظور أصلا أباحته الضرورة فإذا زالت الضرورة حرم التعدد

“[Pendapat yang membolehkan berbilangnya Khilafah tersebut] hukum asalnya sebenarnya tak membolehkan berbilangnya Khilafah. Jika kondisi darurat mengharuskan berbilangnya Khilafah, barulah boleh ada lebih dari satu Khilafah. Jadi berbilangnya Khilafah hukum asalnya haram, yang dibolehkan oleh kondisi darurat. Maka jika kondisi darurat ini lenyap, haram hukumnya Khilafah lebih dari satu.” (Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al Marakbi, Al Khilafah Al Islamiyyah Bayna Nuzhum Al Hukm Al Mu’ashirah, hlm. 65-66)

Ketiga, pendapat kedua tersebut, yang mewajibkan ketunggalan Khilafah, didukung oleh dalil-dalil syar’i yang sangat kuat dari As Sunnah dan Ijma’ Shahabat. Sebagai contoh, hadits Nabi SAW :


إذا بويع لخليفتين، فاقتلوا الآخر منهما

 

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no 1853).

Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ‘Ala Shahih Muslim memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan berkata :

إذا بويع الخليفة بعد خليفة، فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها و بيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها...وهذا هو الصواب الذي عليه...جماهير العلماء

 

“Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah [sebelumnya], maka baiat untuk khalifah pertama hukumnya sah yang wajib dipenuhi. Sedang baiat untuk khalifah kedua hukumnya batal yang haram untuk dipenuhi...Inilah pendapat yang benar yang menjadi pendapat jumhur ulama. (Imam Nawawi, Syarah Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, Juz XII hlm. 231).       

Dengan demikian, jelaslah bahwa pendapat jumhur inilah yang pendapat yang benar (shawab) dan pendapat yang lebih kuat (rajih). Pendapat ini pula yang menjadi pendirian dari imam mazhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, radhiyallahu ‘anhum. Syekh Abdurrahman Al Jaziri menjelaskan pendapat empat imam mazhab mengenai ketunggalan Khilafah (wahdatul Khilafah) tersebut sebagai berikut:


وقال الشيخ عبد الرحمن الجزيري (1360 ه) : ) إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ شَعَائِرَ الدِّيْنِ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُوْمِيْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ وَعَلىَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ وَقْتٍ وَاحِدٍ فِيْ جَمِيْعِ الدُّنْيَا إِمَامَانِ لاَ مُتَّفِقَانِ وَلاَ مُفْتَرِقَانِ ). الفقه على المذاهب الأربعة ج 5 ص 416

 

Syeikh Abdurrahman Al Jaziri berkata (w. 1360 H), ”Telah sepakat para imam [yang empat; Abu Hanifah. Malik, Syafi’i, dan Ahmad] bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, V/416).

 

Kesimpulan

Dari kajian di atas dapat diambil 5 (lima) kesimpulan sebagai berikut;

Pertama, tidak ada ikhtilaf mengenai wajibnya mengangkat khalifah (nashbul khalifah).

Kedua, tidak ada ikhtilaf mengenai tidak bolehnya mengangkat dua khalifah pada daerah yang sama (fi suq’in wahidin).

Ketiga, ikhtilaf yang ada hanyalah mengenai hukum mengangkat dua khalifah jika keduanya berada pada dua daerah yang berjauhan.

Keempat, jika terdapat dua daerah yang berjauhan, ada dua pendapat : sebagian ulama membolehkan berbilangnya Khilafah, sedangkan jumhur ulama mengharamkan berbilangnya Khilafah dan tetap mewajibkan ketunggalan Khilafah (wahdatul Khilafah).

Kelima, pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa jika dua daerah berjauhan maka haram hukumnya mengangkat dua khalifah dan tetap wajib adanya ketunggalan Khilafah (wahdatul Khilafah). Wallahu a’lam.

Jumat, 06 Maret 2015

PENDAPAT ULAMA TENTANG KEWAJIBAN MENDIRIKAN KHILAFAH





PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA MENGENAI WAJIBNYA KHILAFAH

(أَقْوَالُ عُلَمَاءِ اْلأُمَّةِ فِيْ وُجُوْبِ اْلخِلاَفَةِ)
Oleh : KH. MUHAMMAD SHIDDIQ AL JAWI

PENDAPAT IMAM AL MAWARDI
®  وقالالإمام الماوردي (450 ه) : ( وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُوْمُ بِهَا وَاجِبٌ بِالْإجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمُ اَلْأَصَمُّ).
®  الأحكام السلطانيةص 5
®  Imam Mawardi (w. 450 H) berkata,”Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya, hukumnya wajib berdasarkan Ijma’, meskipun Al Asham menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak wajibnya Khilafah]. “
®  Imam Mawardi, Al Ahkam Al Sulthaniyyah, hlm. 5.

PENDAPAT IMAM IBNU HAZM
®  قالالإمام ابن حزم (456 ه) : ( إتَّفَقَ جَمِيْعُ أهْلِ السُنَّةِ وَجَمِيْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِيْعُ الشِيْعَةِ وَجَمِيْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ اْلإمَامَةِ... ).
®  الفصل في الملل والأهواء والنحل لابن حزم (4/87)
®  Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata,”Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij atas wajibnya Imamah (Khilafah)...”
®  Ibnu Hazm, Al Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal,  Juz 4 hlm. 87.

®  قالالإمام ابن حزم (456 ه) : (وَاتَّفَقُوْا أَنَّ الْإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ حَاشَا النَّجْدَاتِ...).
®  مراتب الإجماع ص 207
®  Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata,”Mereka (ulama) telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa tidak boleh tidak harusada seorang Imam (Khalifah), kecuali An Najadat...”
®  Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, hlm. 207.

PENDAPAT IMAM ABU YA’LA AL FARRA
®  وقالالإمام أبو يعلى الفراء(458 ه): ( نَصْبَةُ اْلإِمَامِ وَاجِبَةٌ وَ قَدْ قَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ ابْنِ عَوْفِ بْنِ سُفْيَانَ الْحِمْصِيِّ " ألْفِتْنَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ إمَامٌ يَقُوْمُ بِأَمْرِ النَّاسِ“ ).
®  الأحكام السلطانيةص 19
®  Imam Abu Ya’la Al Farra` (w. 458 H)  berkata,”Mengangkat seorang Imam (Khalifah) hukumnya wajib. Imam Ahmad RA dalam riwayat Muhammad bin Auf bin Sufyan Al Himshi berkata,’Adalah suatu cobaan, jika tak ada seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan urusan manusia.”
®  Abu Ya’la Al Farra`, Al Ahkam As Sulthaniyyah, hlm. 19.


PENDAPAT IMAM ABDUL QAHIR AL BAGHDADI
®  وقالالإمام عبد القاهر البغدادي (469 ه): ( وَقَالُوْا فِي الرُّكْنِ الثَّانِيْ عَشَرَ الْمُضَافِ إِلىَ الْخِلاَفَةِ وَاْلإِمَامَةِ: إِنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَاجِبٌ عَلىَ اْلأُمَّةِ، لِأَجْلِ إِقَامَةِ اْلإِمَامِ يَنْصِبُ لَهُمُ الْقُضَاةَ وَاْلأُمَنَاءَ، وَيَضْبَطُ ثُغُوْرَهُمْ، وَيُغْزِيْ جُيُوْشَهُمْ، وَيَقْسِمُ اْلفَيْءَ بَيْنَهُمْ، وَيَنْتَصِفُ لِمَظْلُوْمِهِمْ مِنْ ظَالِمِهِمْ ).
®  الفرق بين الفرق (1/340)

®  Imam Abdul Qahir Al Baghdadi (w. 469 H) berkata,”Mereka [ulama Ahlus Sunnah] berkata mengenai rukun ke-13 yang disandarkan kepada Khilafah atau Imamah : bahwa Imamah atau Khilafah itu fardhu atau wajib atas umat Islam, agar Imam dapat mengangkat para hakim dan orang-orang yang diberi amanah, menjaga perbatasan mereka,menyiapkan tentara mereka, membagikan fai` mereka, dan melindungi orang yang dizhalimi dari orang-orang yang zhalim.”
®  Abdul Qahir Al Baghdadi, Al Farqu Bainal Firaq, Juz 1 hlm. 340.

PENDAPAT IMAM AL JUWAINI
®  قالالإمام أبو المعالي الجويني (478 ه) : (نَصْبُ اْلإِمَامِ عِنْدَ اْلإِمْكَانِ وَاجِبٌ... فَإِذَا تَقَرَّرَ وُجُوْبُ نَصْبِ الْإِمَامِ فَالَّذِيْ صَارَ إِلَيْهِ جَمَاهِيْرُ اْلأَئِمَّةِ أَنَّ وُجُوْبَ النَّصْبِ مُسْتَفَادٌ مِنَ الشَّرْعِ الْمَنْقُوْلِ ). غياث الأممص 17
®  Imam Al Juwaini (w. 478 H) berkata,”Mengangkat Imam pada saat ada kemampuan wajib...Maka jika telah tetap kewajiban mengangkat seorang Imam, maka yang menjadi pendapat jumhur para imam [mazhab] adalah kewajiban mengangkat imam itu diambil dari syara’ yang dinukil.”
®  Imam Al Juwaini (Al Haramain), Ghiyatsul Umam, hlm. 17.

PENDAPAT IMAM GHAZALI
®  قال الإمام الغزالي (505 ه) :
®   (...فَبَانَ أَنَّ السُّلْطَانَ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ وَنِظَامِ الدُّنْيَا، وَنِظَامُ الدُّنْيَا ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ ، وَنِظَامُ الدِّيْنِ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ الْفَوْزِ بِسَعَادَةِ اْلآخِرَةِ ، وَهُوَ مَقْصُوْدُ الْأَنْبِيَاءِ قَطْعًا ، فَكَانَ وُجُوْبُ اْلإِمَامِ مِنْ ضَرُوْرِيَّاتِ الشَّرْعِ الَّذِيْ لاَ سَبِيْلَ إِلىَ تَرْكِهِ فَاعْلَمْ ذَلِكَ.)
®   الإقتصاد في الإعتقاد ص 99
®  Imam Ghazali (w. 505 H) berkata,”...maka jelaslah bahwa kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedang keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat, dan itulah tujuan yang pasti dari para nabi.
®  Maka kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariat yang tak ada jalan untuk meninggalkannya. Ketahuilah itu ! ”
®  Imam Ghazali, Al Iqtishad fi Al I’tiqad, hlm. 99.

PENDAPAT IMAM SYAHRASTANI
®  قال الإمام الشهرستاني (548 ه) : ) ...مَا دَارَ فِيْ قَلْبِهِ وَلاَ فِيْ قَلْبِ أَحَدٍ أَنَّهُ يَجُوْزُ خُلُوُّ اْلأَرْضِ عَنْ إِمَامٍ. فَدَلَّ ذَلِكَ كُلُّهُ عَلىَ أَنَّ الصَّحَابَةَ وَ هُمْ الصَّدْرُ اْلأَوَّلُ كَانُوْا عَلىَ بُكْرَةِ أَبِيْهِمْ مُتَّفِقِيْنَ عَلىَ أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ ، فَذَلِكَ اْلإِجْمَاعُ عَلىَ هَذَ اْلوَجْهِ دَلِيْلٌ قَاطِعٌ عَلىَ وُجُوْبِ اْلإِمَامَةِ... 
®  نهاية الإقدام عن علم الكلام ص 480

®  Imam Syahrastani (w. 548 H) berkata,”...tidak pernah terlintas dalam hati dia (Abu Bakar Shiddiq RA) dan juga hati seseorang (shahabat) bahwa bumi ini boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Maka semua itu menunjukkan bahwa para shahabatsemuanya tanpa kecuali –sedang mereka itu adalah generasi awal– sepakat bahwa tidak boleh harus ada seorang imam (khalifah).
®  Maka Ijma’ ini dalam bentuk seperti ini [Ijma’ Shahabat], adalah dalil yang pasti mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)...
®  Imam Syahrastani, Nihayatul Iqdam ‘an Ilmil Kalam, hlm. 480.

PENDAPAT IMAM JAMALUDDIN AL GHAZNAWI
®  وقالالإمام جمال الدين الغزنوي (593 ه) :
®   ( لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يَقُوُمُ بِمَصَالِحِهِمْ مِنْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ وَتَجْهِيْزِ جُيُوْشِهِمْ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ وَصَرْفِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّيْهِمْ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِمَامٍ فَإِنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى إِظْهَارِ الْفَسَادِ فِي اْلأَرْضِ ).
®  جمال الدين الغزنوي ،أصول الدين ص 66
®  Imam Jamaluddin Al Ghaznawi (w. 593 H) berkata
®  ”Tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan kepentingan-kepentingan mereka, seperti menerapkan hukum-hukum mereka (hukum Islam), menegakkanhudud mereka, mempersiapkan pasukan mereka, mengambil zakat-zakat mereka dan menyalurkannya kepada para mustahiqnya,
®  Sebab kalau mereka tidak mempunyai seorang Imam (khalifah), maka hal ini akan membawa kepada merajalelanya kerusakan di muka bumi.”
®  Jamaluddin Al Ghazanawi, Ushuluddin, hlm. 66.

PENDAPAT IMAM AL QURTHUBI
®  وقالالإمام القرطبي (671 ه) : ( وَلاَ خِلَافَ فِيْ وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ، إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَصَمِّ، حَيْثُ كَانَ عَنِ الشَّرِيْعَةِ أَصَمُّ. وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ وَاتَّبَعَهُ عَلىَ رَأْيِهِ وَمَذْهَبِهِ ).
®  الجامع لأحكام القرآن (1/264)
®  Imam Qurthubi (w. 671 H) berkata,”Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat Khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Asham, yang dia itu memang ‘asham’ (tuli) dari Syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mazhabnya.”
®  Imam Qurthubi, Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Juz 1 hlm. 264.

PENDAPAT IMAM NAWAWI
®  قالالإمام النووي (676 ه) : ( أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ ).
®  شرح صحيح مسلم (ج 12ص 205)
®  Imam Nawawi (w. 676 H) berkata,”Mereka [para shahabat] telah sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang Khalifah.”
®  Syarah Shahih Muslim, Juz 12 hlm. 205.

PENDAPAT IMAM AN NASAFI
®  وقالالإمام النسفي (710 ه) : ( وَالْمُسْلِمُوْنَ لاَ بُدَّ لَهُمْ مِنْ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِتَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ وَسَدِّ ثُغُوْرِهِمْ وَتَجْهِيْزِ جُيُوْشِهِمْ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ وَقَهْرِ الْمُتَغِّلبَةِ الْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَاعِ الطَّرِيْقِ وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ وَقَبُوْلِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلىَ الْحُقُوْقِ وَتَزْوِيْجِ الصِّغَارِ وَالصَّغِيْرَاتِ الَّذِيْنَ لاَ أَوْلِيَاءَ لَهُمْ وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ).
®  العقائدالنسفية ص 6

®  Imam Nasafi (w.710 H) berkata,”Kaum muslimin tidak boleh tidak harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)yang akan menerapkan hukum-hukum mereka, menegakkan hudud mereka, menutup tapal batas negeri mereka, menyiapkan tentara mereka, mengambil zakat mereka, dan membasmi para perampok dan pencuri serta pembegal, melaksanakan sholat Jumat dan hari raya, menerima kesaksian yang mendasari hak-hak, menikahkan remaja-remaja baik laki-laki maupun perempuan yang tak mempunyai wali, dan membagikan harta rampasan perang.” 
®  Imam Nasafi, Al ‘Aqa`id An Nasafiyyah, hlm. 6

PENDAPAT IMAM IBNU TAIMIYYAH
®  وقالالإمام ابن تيمية (728 ه) : (يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ، بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ بَنِيْ آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِالْاِجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتىَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ" رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ ... وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَوْجَبَ اْلأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَلاَ يَتِمُّ ذَلِكَ إِلاَّ بِقُوَّةٍ وَإِمَارَةٍ ).
®  مجموع الفتاوى ج28/ص390

®  Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) berkata :
®  ”Wajib diketahui bahwa kekuasaan atas manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan agama tak akan tegak tanpa kekuasaan.
®  Karena manusia tak akan sempurna kepentingan mereka kecuali dengan berinteraksi karena adanya hajat dari sebagian mereka dengan sebagian lainnya...

®  ...Dan tak boleh tidak pada saat berinteraksi harus ada seorang pemimpin hingga Rasulullah SAW bersabda,’Jika keluar tiga orang dalam satu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat satu orang dari mereka untuk menjadi pemimpinnya.’ (HR Abu Dawud, dari Abu Said dan Abu Hurairah)
®  Dan karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan kewajiban ini tak akan berjalan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan. “
®  Majmu’ul Fatawa, Juz 28 hlm. 390.

PENDAPAT IMAM ‘ADHUDDIN AL IIJI
®  وقالالإمام عضد الدين الإيجي (756 ه) :
®   ( نَصْبُ اْلإِمَامِ عِنْدَنَا وَاجِبٌ عَلَيْنَا سَمْعًا... وَأَمَّا وُجُوْبُهُ عَلَيْنَا سَمْعًا فَلِوَجْهَيْنِ: اَلْأَوَّلُ إِنَّهُ تَوَاتَرَ إِجْمَاعُ اْلمُسْلِمِيْنَ فِي الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ بَعْدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ اِمْتِنَاعَ خُلُوِّ اْلوَقْتِ عَنْ إِمَامٍ ... اَلثَّانِيُّ إِنَّهُ فِيْهِ دَفْعُ ضَرَرٍ مَظْنُوْنٍ وَإِنَّهُ وَاجِبٌ إِجْمَاعًا ).
®  المواقف ص 961

®  Imam ‘Adhuddin Al Iiji (w. 756 H) berkata,”Mengangkat Imam (Khalifah) bagi kami adalah wajib atas kami secara naqli (sam’an). Adapun wajibnya hal itu atas kami secara naqli, karena dua alasan, alasan pertama : telah diriwayatkan secara mutawatir  adanya Ijma’ Kaum Muslimin generasi awal (para shahabat) setelah Nabi SAW bahwa tidak boleh adanya kekosongan waktu dari adanya seorang Imam...
®  Alasan kedua : sesungguhnya pada yang demikian itu (pengangkatan Imam) dapat  menolak kemudharatan yang patut diduga akan muncul, dan bahwa hal itu (menolak kemudharatan) adalah wajib menurut Ijma’.”
®  Imam ‘Adhuddin Al Iiji, Al Mawaqif, hlm. 961.

PENDAPAT IMAM IBNU KHALDUN
®  وقالالإمام ابن خلدون (808 ه) : ( إِنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ وَاجِبٌ قَدْ عُرِفَ وُجُوْبُهُ فِي الشَّرْعِ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لِأَنَّ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ وَفَاتِهِ بَادَرُوْا إِلىَ بَيْعَةِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَتَسْلِيْمِ النَّظَرِ إِلَيْهِ فِيْ أُمُوْرِهِمْ, وَكَذَا فِيْ كُلِّ عَصْرٍمِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَلَمْ تُتْرَكِ النَّاسُ فَوْضَى فِيْ عَصْرٍ مِنَ الْأَعْصَارِ وَاسْتَقَرَّ ذَلِكَ إِجْمَاعاً دَالاٌّ عَلَى وُجُوْبِنَصْبِ الْإِمَامِ ).
®   مقدمة ابن خلدون ص 191
®  Imam Ibnu Khaldun (w. 808 H) berkata ”Sesungguhnya mengangkat Imam (Khalifah) adalah wajib yang telah diketahui kewajibannya dalam Syariat berdasarkan Ijma’ Shahabat dan Tabi’in, karena para shahabat Nabi SAW pada saat wafatnya Nabi SAW bersegera membaiat Abu Bakar RA dan menyerahkan kepadanya pertimbangan mengenai urusan mereka.
®  Demikian pula halnya pada setiap masa dan tidaklah manusia dibiarkan dalam keadaan kacau. Hal itu sudah menjadi ketetapan berdasarkan Ijma’, yang menunjukkan wajibnya mengangkat Imam (Khalifah).” 
®  Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191.

PENDAPAT IMAM IBNU HAJAR AL ASQALANI
®  وقالالإمام ابن حجر العسقلاني (852 ه) : (وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ ).
®  فتح الباريج 12 ص 205
®  Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) berkata,”Dan mereka [para ulama] telah sepakat bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syara’ bukan akal.”
®  Fathul Bari, Juz 12 hlm. 205.

PENDAPAT IMAM IBNU HAJAR AL HAITSAMI
®  وقالالإمام ابن حجر الهيثمي (973 ه):
®   ( إِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ اْلوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ).
®  الصواعق المحرقة ص 17

®  Imam Ibnu Hajar Al Haitsami (w. 973 H) berkata :
®  ”Ketahuilah juga, para shahabat Nabi SAW telah sepakat bahwa mengangkat Imam (Khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban terpenting karena mereka telah menyibukkan diri dengan hal itu dari menguburkan jenazah Rasulullah SAW.”
®  Ibnu Hajar Al Haitsami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 17.

PENDAPAT IMAM SYAMSUDDIN AR RAMLI
®  وقالالإمام شمس الدين الرملي (1004 ه) : (يَجِبُ عَلىَ النَّاسِ نَصْبُ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِمَصَالِحِهِمْ، كَتَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ... لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ بَعْدَ وَفَاتِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَلىَ نَصْبِهِ حَتَّى جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ، وَقَدَّمُوْهُ عَلىَ دَفْنِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ تَزَلِ النَّاسُ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ عَلىَ ذَلِكَ ).
®  غاية البيان ص

®  Imam Syamsuddin Ar Ramli (w. 1004 H) berkata,”Wajib atas manusia mengangkat seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan kepentingan-kepentingan mereka, seperti menerapkan hukum-hukum mereka (hukum Islam), menegakkan hudud mereka...
®  Hal itu berdasarkan Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Nabi SAW mengenai pengangkatan imam hingga mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting, dan mereka mendahulukan hal itu atas penguburan jenazah Nabi SAW. Dan manusia senantiasa pada setiap masa selalu berpendapat demikian (wajib mengangkat Imam).
®  Syamsuddin Ar Ramli, Ghayatul Bayan, hlm.

PENDAPAT IMAM SYAUKANI
®  وقالالإمام الشوكاني (1250 ه) : ) فَصْلٌ يَجِبُ عَلىَ اْلمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ إِمَامٍ:  أَقُوْلُ قَدْ أَطَالَ أَهْلُ اْلعِلْمِ اْلكَلاَمَ عَلىَ هَذِهِ اْلمَسْأَلَةِ فِي اْلأُصُوْلِ وَاْلفُرُوْعِ... ).
®  السيل الجرار ج 4 ص 503
®  وقالالإمام الشوكاني أيضًا : ) وَقَدْ ذَهَبَ اْلأَكْثَرُ إِلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ وَاجِبَةٌ ...فَعِنْدَ اْلعِتْرَةِ وَ أَكْثَرِ اْلمُعْتَزِلَةِ وَ اْلأَشْعَرِيَّةِ تَجِبُ شَرْعاً ).
®  نيل الأوطار ج 8 ص 265

®  Imam Syaukani (w. 1250 H) berkata,”Pasal : wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang Imam (Khalifah) : saya katakan sungguh para ulama telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam perkara ushul dan furu’...”
®  Imam Syaukani, As Sailul Jarar, Juz 4 hlm. 503
®  Imam Syaukani berkata,”Mayorias ulama berpendapat Imamah itu wajib...maka menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Mu’tazilah, dan Asy’ariyah, [Imamah/ Khilafah] itu wajib menurut syara’.”
®  Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz VIII hlm. 265.  

PENDAPAT SYEIKH ABDURAHMAN AL JAZIRI
®  وقالالشيخ عبد الرحمن الجزيري (1360 ه) : ) إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ شَعَائِرَ الدِّيْنِ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُوْمِيْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ وَعَلىَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ وَقْتٍ وَاحِدٍ فِيْ جَمِيْعِ الدُّنْيَا إِمَامَانِ لاَ مُتَّفِقَانِ وَلاَ مُفْتَرِقَانِ).
®  الفقه على المذاهب الأربعة ج 5 ص 416

®  Syeikh Abdurrahman Al Jaziri (w. 1360 H) berkata:
®  ”Telah sepakat para Imam [Yang Empat] bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.”
®  Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, Juz V hlm. 416.
  
PENDAPAT SYEIKH WAHBAH ZUHAILI
®  قال الشيخ وهبة الزحيلي :
® 


®  الفقه الإسلامي و أدلّته ج 8 ص 272

®  Syeikh Wahbah Zuhaili berkata :
®  ”Mayoritas besar dari ulama Islam --yaitu ulama Ahlus Sunnah, Murji’ah, Syi’ah, dan Mu’tazilah kecuali segelintir dari mereka, dan Khawarij kecuali An Najdat-- berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti.”
®  Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz VIII hlm. 272.

PENDAPAT SYEIKH SA’DI ABU JAIB
®  قال الشيخ سعدي أبو جيب :
®  ( إِتَّفَقُوْا عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ، وَ أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ. وَقَالَ بَعْضُ الْخَوَارِجِ : لاَ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ. وَقَدْ حَادُّوْا عَنِ اْلإِجْمَاعِ بِذَلِكَ الْقَوْلِ. وَقَالَ الدَّاوُدِيّ : إِنَّ إِقَامَةَ الْخَلِيْفَةِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ ).
®  موسوعة الإجماع في الفقه الإسلامي ص 395

®  Syeikh Sa’di Abu Jaib berkata :
®  ”Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak harus ada seorang Imam (khalifah). Berkata sebagian Khawarij,’Tidak wajib mengangkat seorang khalifah.’ Sungguh mereka telah menentang ijma’ dengan pendapat itu. Ad Dawudi berkata,’Sesungguhnya mengangkat Khalifah itu sunnah mu`akkadah.”  
®  Sa’di Abu Jaib, Mausu’ah Al Ijma’ fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 395

PENDAPAT SYEIKH ABDULLAH DUMAIJI
®  قال الشيخ عبد الله بن سليمان بن عمر الدميجي (ط 1404 ه  / 1987 م)  :
®   ( إِتَّفَقَ السَّوَادُ اْلأَعْظَمُ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ عَلىَ وُجُوْبِ نَصْبِ اْلإِمَامِ وَلَمْ يَشُذَّ عَنْ هَذَا اْلإِجْمَاعِ إِلاَّ النَّجْدَاتُ مِنَ اْلخَوَارِجِ وَالأَصَمُّ وَاْلفُوَطِيْمِنَ اْلمُعْتَزِلَةِ).
®  الإمامة العظمى عند أهل السنة والجماعة ص 48-49

®  Syeikh Abdullah bin Sulaiman bin Umar Ad Dumaiji berkata :
®  ”Telah sepakat golongan terbesar dari kaum muslimin atas wajibnya mengangkat Imam (Khalifah), dan tidak ada yang menyalahi Ijma’ ini kecuali An Najdat dari Khawarij, juga Al Asham dan Al Fuwathi dari Mu’tazilah.”  
®  Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (cet. I, 1407 H / 1987 M), hlm. 48-49.

PENDAPAT MAUSU’AH FIQHIYYAH KUWAITIYYAH
®  ورد في الموسوعة الفقهية الكويتية (ط 1404 ه / 1983 م ) :
®  ( أَجْمَعَتِ اْلأُمَّةُ عَلىَ وُجُوْبِ عَقْدِ اْلإِمَامَةِ وَعَلىَ أَنَّ اْلأُمَّةَ يَجِبُ عَلَيْهَا اْلاِنْقِيَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ يُقِيْمُ فِيْهِمْ أَحْكَامَ اللهِ وَيَسُوْسُهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِيْ أَتىَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَخْرُجْ عَنْ هَذَا اْلإِجْمَاعِ مَنْ يُعْتَدُّ بِخِلاَفِهِ ).
®  الموسوعة الفقهية الكويتية ج 6 ص 217

®  Terdapat dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah (cetakan 1404 H / 1983 M) :
®  Telah sepakat umat Islam mengenai wajibnya akad Imamah (Khilafah) dan wajibnya umat mentaati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah yang dibawa Rasulullah SAW.
®  Dan tak ada yang keluar dari Ijma’ ini orang yang teranggap dengan penyimpangannya dari Ijma’ tersebut.
®  Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz VI hlm. 217.

TERIMA KASIH
WASSALAM

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam