Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) juga berkata:
(يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ
مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ، بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ إِلاَّ بِهَا.
فَإِنَّ بَنِيْ آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِالْاِجْتِمَاعِ
لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ
مِنْ رَأْسٍ حَتىَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا
خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ" رَوَاهُ أَبُوْ
دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ ... وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَوْجَبَ اْلأَمْرَ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَلاَ يَتِمُّ ذَلِكَ إِلاَّ
بِقُوَّةٍ وَإِمَارَةٍ ).
”Wajib diketahui bahwa kekuasaan atas manusia termasuk kewajiban agama
terbesar. Bahkan agama tak akan tegak tanpa kekuasaan.
Karena manusia tak akan sempurna kepentingan mereka kecuali dengan
berinteraksi karena adanya hajat dari sebagian mereka dengan sebagian
lainnya...
...Dan tak boleh tidak pada saat berinteraksi harus ada seorang
pemimpin hingga Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika keluar tiga orang dalam satu perjalanan maka hendaklah mereka
mengangkat satu orang dari mereka untuk menjadi pemimpinnya.’ (HR. Abu Dawud, dari Abu Said dan Abu Hurairah)
Dan karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan kewajiban ini tak
akan berjalan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan.” (Majmu’ul Fatawa, Juz 28 hlm. 390)
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Amr bin ash ra., bahwa dia berkata, "Aku pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إمَاماً، فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ
قَلْبِهِ، فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ. فَإنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ
فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
“Dan
siapa saja yang membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan kepadanya
genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah dia mentaatinya dengan
sekuat kemampuannya. Maka jika datang orang lain yang hendak mencabut kekuasaan
Imam itu, maka penggallah leher orang lain itu.” (HR. Muslim no. 1844)
Imam
an-Nawawi menjelaskan, “Maknanya, tolaklah yang kedua, sebab ia telah keluar
menentang Imam/Khalifah. Jika tidak bisa ditolak kecuali dengan perang maka
perangi dia. Jika perang itu menuntut untuk membunuh dia maka boleh membunuh
dia dan tidak ada tanggungan di dalamnya. Sebab, ia zalim dan melampaui batas
di dalam perangnya.”
Perintah
untuk mentaati seorang Imam merupakan perintah untuk mengangkatnya. Perintah
memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas tentang
wajibnya menjaga keberlangsungan Khalifah yang satu.
Sabda
Rasulullah SAW:
إِذَا بُوْيِعَ
لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُواْ الآخِرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
(HR. Muslim no.1853, Ahmad dan Abu ‘Awanah)
Makna
hadits ini menjelaskan keharaman adanya dua orang khalifah. Imam an-Nawawi di
dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan,
“Hadits ini dibawa pengertiannya: jika tidak tercegah kecuali dengan
membunuhnya. Di sini tidak boleh diakadkan baiat untuk dua orang Khalifah.
Telah dijelaskan adanya ijmak tentangnya.”
Ibn
al-Jawzi di dalam Kasyf al-Musykal ‘an
Hadits Shahihayn menjelaskan, “Jika telah tetap perkara Khalifah
dan terakadkan ijmak atas dia, lalu dibaiat yang lain dengan suatu jenis
penakwilan, maka ia membangkang dan para pendukungnya adalah bughat; mereka diperangi dengan perang
terhadap bughat. Sabda Nabi Saw. “maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya,”
maksudnya bukan dikedepankan lalu membunuhnya, tetapi maksudnya: perangilah dia
dan jika perkaranya mengantarkan sampai membunuhnya maka boleh.”
Imam
as-Suyuthi dalam Ad-Dibâj ‘alâ Muslim menjelaskan,
“Ini juga merupakan perintah untuk memeranginya meski mengantarkan pada
pembunuhannya.”
Hadits
ini menegaskan wajibnya kesatuan Khilafah dan haram berbilangnya Daulah
Islamiyah di seluruh dunia. Di dalam Mawsû’ah
Fiqhiyah al-Kuwaytiyah pada pembahasan, “Ta’adud ad-Dawlah al-Islâmiyah” dinyatakan bahwa jumhur fukaha
berpendapat bahwa tidak boleh ada dua orang Imam (Khalifah) di seluruh dunia
pada satu waktu; tidak boleh ada kecuali hanya seorang Imam/Khalifah. Dalilnya
adalah sabda Rasul di atas. Selain itu, berbilangnya Daulah Islamiyah
menyebabkan perselisihan dan perpecahan.
Khutbah
Umar ra. dalam pembaiatan Abu Bakar:
فَمَنْ بَايَعَ رَجُلاً عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
فَإِنَّهُ لاَ بَيْعَةَ لَهُ هُوَ وَلاَ الَّذِي بَايعَهُ تَغِرَّةً أَنْ
يَقْتُلاَ
“Siapa
saja yang membaiat seseorang tanpa musyawarah di antara kaum Muslim, maka tidak
ada baiat bagi dirinya dan bagi yang membaiat dirinya, sebaliknya kedua orang
tersebut layak untuk dibunuh.” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, IV/226)
Hal
ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorangpun dari mereka yang
mengingkarinya.
Sabda
Rasulullah SAW:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ
أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa
saja yang datang kepada kalian −sedangkan urusan
kalian seluruhnya ada pada satu orang laki-laki (Khalifah)− [orang yang datang
itu] hendak memecah-belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian,
maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim no.1852)
Hadits
Nabi Saw., Beliau pernah bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا
هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ
اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu
Bani Israel, (urusan) mereka dipelihara dan diurusi oleh para nabi, setiap kali
seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada
nabi lagi sesudahku. Sementara yang akan ada adalah para Khalifah, yang jumlah mereka banyak. Mereka
(para sahabat) berkata: ‘Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?’
Rasulullah Saw. bersabda: “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja.
Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada
mereka mengenai urusan rakyat yang diamanahkan kepada mereka.” (HR. Bukhari,
Muslim no.1842, Ahmad, dan Ibn Majah)
Hadits
ini juga diriwayatkan di dalam Shahîh Ibn
Hibbân; Musnad Abi ‘Awanah; Sunan al-Kubrâ al-Bayhaqî; Mushannaf Ibn Abi Syaybah; Musnad Ishhaq Ibn Rahawayh; Musnad Abi Ya’la al-Mûshili; Musnad li al-Khalâl oleh Abu Bakar
al-Khalal; dan di dalam as-Sunah li Ibn
Abi ‘Ashim.
Imam
an-Nawawi menjelaskan,
إذا بويع الخليفة بعد خليفة، فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها و بيعة
الثاني باطلة يحرم الوفاء بها…
“Makna
hadits ini, jika dibaiat seseorang sebagai Khalifah padahal sebelumnya Khalifah
telah dibaiat maka baiat pertama adalah sah, wajib dipenuhi; sedangkan baiat
kedua adalah batil, haram dipenuhi.
Ia
(yang dibaiat kedua) haram menuntut, baik mereka yang mengakadkan kepada yang
kedua itu mengetahui akad baiat yang pertama ataupun tidak; baik itu di dua
atau satu negeri, atau yang satu di negeri imam yang terpisah dan yang lain di
negeri lainnya.
وهذا هو الصواب الذي عليه…جماهير العلماء
Inilah
pendapat yang benar yang menjadi pendapat jumhur ulama.” (Imam Nawawi, Syarah Nawawi ‘Ala Shahih Muslim,
Juz XII hlm. 231)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar