“Dari
Anas ra. dituturkan bahwa Nabi Saw. pernah melewati satu kaum yang sedang
melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda, “Andai kalian tidak
melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi baik.” Anas berkata: Pohon
kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang jelek. Lalu Nabi Saw. suatu saat
melewati lagi mereka dan bertanya, “Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka
berkata, “Anda pernah berkata demikian dan demikian.” Beliaupun bersabda,
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)
Meski
ungkapan sabda Rasul Saw. “antum a’lamu bi amri
dunyakum” itu bersifat umum, sesuai ketentuan ushul, ungkapan umum itu
jika datang sebagai komentar atau jawaban atas suatu pertanyaan atau situasi,
maka ia bersifat umum pada jenis masalah atau situasi itu. Narasi hadits
tersebut jelas mengenai penyerbukan kurma. Jadi, sabda Rasul Saw. “antum a’lamu bi amri dunyakum” itu berlaku
untuk perkara-perkara semacam penyerbukan kurma, dan itulah yang disebut
dengan “amru dunya (perkara
dunia).”
Hadits
mengenai hal ini juga diriwayatkan dari penuturan Musa bin Thalhah dari
bapaknya yang berkata:
“Aku pernah bersama Rasulullah Saw. melewati satu
kaum yang sedang ada di atas pohon kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa yang
mereka lakukan?” Mereka berkata, “Mereka sedang melakukan penyerbukan kurma
(yakni) menjadikan bunga jantan di atas bunga betina sehingga terserbuki.”
Rasulullah Saw. lalu bersabda, “Saya duga itu tidak berguna sedikitpun.”
Thalhah berkata: Lalu mereka diberitahu hal itu. Kemudian mereka meninggalkan
(penyerbukan itu). Selanjutnya Rasulullah Saw. diberitahu hal itu. Lalu beliau
bersaba, “Jika hal itu berguna bagi mereka maka hendaklah mereka lakukan, sebab
aku tidak lain hanya menduga. Jadi jangan kalian menyalahkan aku karena dugaan
itu. Namun, jika aku berbicara kepada kalian sesuatu dari Allah maka ambillah
karena aku tidak akan pernah mendustai Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR.
Muslim)
Juga diriwayatkan dari penuturan Rafi’ bin
Khadij yang berkata:
“Nabiyullah Saw. datang ke Madinah, sementara mereka
(penduduk Madinah) sedang melakukan penyerbukan kurma. Lalu beliau bertanya,
“Apa yang kalian lakukan?” Mereka berkata, “Kami sedang melakukan penyerbukan
kurma.” Beliau bersabda, “Andai tidak kalian lakukan, itu mungkin lebih baik.”
Lalu mereka meninggalkan aktivitas penyerbukan itu. Kemudian ternyata pohon
kurma itu berbuah buruk atau berkurang buahnya. Rafi’ bin Khadij berkata: Lalu
mereka mengabarkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Aku ini seorang
manusia. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu dari agama kalian maka
ambillah. Jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu berupa pendapat (ra’yu)
maka aku hanyalah seorang manusia.” (HR. Muslim)
Islam
tidak datang mengatur amru dunya,
yakni masalah teknis dan semacamnya itu secara detil. Islam hanya mengatur
perkara itu melalui hukum-hukum umum. Detil teknis dan perkara eksperimental
sainstek itu bisa dipilih sesuai hasil eksperimen, pengalaman, menurut situasi
dan keadaan (seperti pola irigasi, rotasi tanaman, teknis produksi, cara
manufaktur, dsb.) selama dalam batas-batas koridor hukum-hukum Syariah.
Saat
Hubab bin al-Mundzir ra., dalam Perang Badar, mempertanyakan posisi pasukan
kaum Muslim, “Wahai Rasulullah, bagaimana
pandanganmu tentang tempat ini? Apakah ini tempat yang diwahyukan oleh Allah
kepada engkau sehingga kami tidak boleh bergeser maju atau mundur? Ataukah ini
merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya?”
Rasul
Saw. menjawab, “Ini merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya.”
Kemudian Hubab menunjukkan suatu posisi yang lebih strategis. Nabi Saw. pun
kemudian mengikuti pendapat Hubab. (lihat: Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, hlm. 598)
Aisyah
ra. bertutur:
كَانَ يَأْخُذُ
مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ
“Rasulullah
Saw. memungut zakat untuk setiap 20 dinar atau lebih sebesar setengah
dinar.” (HR. Ibn Majah)
|
|
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ
الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي
لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى
تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا
“Nabi Saw. telah mengangkat Ibnu al-Atabiyyah sebagai
Amil untuk mengurusi (menarik) zakat Bani Sulaim. Tatkala ia menghadap
Rasulullah Saw., beliau Saw. menanyainya, dan ia menjawab, “Ini untukmu,
sedangkan ini merupakan hadiah yang telah dihadiahkan kepadaku. Beliau
Saw. bersabda, ”Mengapa engkau tidak duduk di rumah bapak dan ibumu, sampai
hadiahmu datang sendiri kepadamu, jika engkau memang benar.” (HR.
Bukhari no.6464, Muslim)
هَدَايَا
الأُمَرَاءِ غُلُولٌ
“Hadiah
bagi penguasa adalah ghulul (kecurangan).”
(HR. Imam Ahmad dan Imam Baihaqiy)
Imam
al-Khathiib al-Baghdadiy dalam Kitab Talkhiish
al-Mutasyaabih menyebutkan sebuah hadits dari Anas ra. bahwasanya
Rasulullah Saw. bersabda:
هَدَايَا
الْعُمَّالُ سُحْتٌ
“Hadiah
bagi para pejabat negara (‘amil) adalah suht (haram).”
Imam
Abu Dawud mengetengahkan sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari
bapaknya, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ
اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ غُلُولٌ
“Barangsiapa
yang kami pekerjakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan kami telah
memberikan upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah suatu
kecurangan.” (HR. Abu Dawud)
Hadits
mengenai Abyadh bin Hammal ra.:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ
الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ
“Ia
pernah datang kepada Rasulullah Saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu
Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis
itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya
laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata: Rasul lalu menariknya dari Abyadh
bin Hammal.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll.)
Surat
Rasulullah Saw. kepada Tamim ad-Dari. Abu Yusuf menyebutkan di dalam Al-Kharâj: Tamim ad-Dari, yaitu Tamim bin
Aus—seorang laki-laki dari Lakham—berdiri, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki tetangga
orang Romawi di Palestina. Mereka memiliki satu kampung, namanya Habra, dan
kampung lain disebut Aynun. Jika Allah menjadikan Anda membebaskan Syam,
berikanlah dua kampung itu kepadaku.” Rasulullah Saw. kemudian bersabda:
“Keduanya untuk kamu.” Tamim berkata
lagi: “Kalau begitu, tuliskanlah hal itu untuk
aku.” Rasulullah Saw. pun menuliskannya untuk dia: “Bismillâh ar-rahmân ar-rahîm. Ini adalah surat dari
Muhammad Rasulullah kepada Tamim bin Aws ad-Dari, bahwa ia sebagai pemilik
kampung Habra, dan rumah Aynun serta seluruh isi kampungnya—lembah dan
gunungnya, airnya, ladangnya, tumbuh-tumbuhannya, dan binatang ternaknya adalah
milik Tamim dan keturunannya. Tidak boleh seorangpun merebut, merampas atau
mengambil haknya secara zalim. Siapa saja yang berbuat zalim dan mengambil
sesuatu dari salah seorang dari mereka, maka ia akan mendapat laknat Allah, para
malaikat dan manusia seluruhnya.”
Ali
adalah yang menuliskan surat di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar