Petinggi yang zalim –berdampak atas orang banyak dengan kezalimannya– tak layak diikuti
dan harus dipahamkan kepada umat penyimpangannya:
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi
hina; yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah; yang banyak
menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa; yang kaku
kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya; karena dia mempunyai
(banyak) harta dan anak.” (QS. Al-Qalam: 10-14)
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang
mendustakan perkataan ini (al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan
berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui,”
(QS. Al-Qalam: 44)
Karena itu, merupakan keharusan untuk menjelaskan dan
membongkar makar, tipudaya dan strategi mereka. Dengan begitu, umat selamat
dari makar mereka dan tidak bisa dijadikan alat oleh mereka. Ini merupakan
bagian dari perjuangan politik (kifâh as-siyasî)
yang harus dilakukan.
Meski dakwah politik itu berat dan sungguh tidak mudah, di
balik itu dakwah politik mempunyai keutamaan yang justru tidak sedikit. Mereka
yang melaksanakannya insyaAllah akan
mendapat pahala yang agung (tsawab[un] ‘azhim)
karena dianggap melakukan jihad yang paling utama (afdhal al-jihad). Kalaupun sampai mati dalam menjalankan dakwah
politik, itu bukan mati konyol atau mati sia-sia, melainkan mati syahid yang
sangat mulia di sisi Allah Swt. InsyaAllah.
Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf an-Nawawi dalam Riyaadh ash-Shaalihiin menyebutkan:
Hadits
dari Abu Sa’id al-Khudri ra., Nabi -shallallaahu
‘alayhi wa sallam-, pernah bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَة
عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad
yang paling utama adalah perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim.” (HR.
Imam at-Tirmidzi dalam Bab. al-Fitan No.2175 dan Abu Dawud)
Hadits
dari Abu Abdullah Thariq bin Syihab al-Bajali bahwa seorang pria bertanya
kepada Nabi -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-:
“Jihad apa yang paling utama?” Nabi -shallallaahu
‘alayhi wa sallam- menjawab:
كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Perkataan
yang haq di hadapan penguasa yang zhalim.” (Imam an-Nasa’i meriwayatkannya
dalam Bab Fadhl Man Takallama bil Haq ’Inda
Imaam Jaa’ir; Imam al-Mundziri menyatakan dalam at-Targhiib bahwa sanad hadits ini shahih (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidz,
al-Hafizh al-Mubarakfuri, juz. VI/ hlm. 396)
Menjelaskan hadits
ini, Dr. Mushthafa al-Bugha menuturkan: “Sesungguhnya perbuatan menyuruh kepada
yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar di hadapan penguasa yang zhalim
termasuk seutama-utamanya jihad, karena perbuatan tersebut menunjukkan
sempurnanya keyakinan pelakunya, di mana ia menyampaikannya di hadapan penguasa
yang zhalim nan otoriter dan ia tak takut terhadap kejahatan dan penindasannya,
bahkan ia menjual dirinya untuk Allah (berkorban demi memperjuangkan agama
Allah), … dan dalam perkara ini terdapat bahaya yang lebih besar ketimbang
bahaya peperangan di medan perang.” (Nuzhat
al-Muttaqiin Syarh Riyaadh ash-Shaalihiin, Dr. Mushthafa al-Bugha dkk.,
juz. I/ hlm. 216-217)
Dalam riwayat lainnya dari Imam at-Tirmidzi, dari Abu Sa’id
al-Khudri:
إِنّ مِنْ أَعْظَمِ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sesungguhnya
di antara seagung-agungnya jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil di
hadapan penguasa yang zhalim.” (HR. At-Tirmidzi)
Al-Hafizh Abu al-A’la al-Mubarakfuri (w.
1353 H) menjelaskan bahwa: “(كلمة عدل) yakni kalimat yang benar
sebagaimana dalam riwayat lainnya dan maksudnya adalah kalimat yang mengandung
faidah menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar baik berupa
lafazh di lisan atau yang semakna dengannya seperti tulisan dan yang semisalnya.”
(Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan
at-Tirmidzi, al-Hafizh al-Mubarakfuri, juz.VI/ hlm.396)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar