Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 30 Maret 2016

Umat manusia dimuliakan melalui Khilafah Islam

 


Jabir bin Samurah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Islam akan tetap ada hingga Hari Akhir terjadi, atau saat kalian telah diperintah oleh dua belas Khalifah, mereka semua dari golongan Quraisy.” (Shahih Muslim)

Dijelaskan oleh Qadhi ‘Iyad: “Mungkin apa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah dalam hadits ini dan hadits lain yang sejenis ialah bahwa mereka adalah para Khalifah pada masa terkuat Khilafah, Kekuasaan Islam, saat segala urusan dijalankan dengan benar dan rakyat bersatu di bawah mereka yang menduduki jabatan Khalifah.” (Tarikh al-Khulafa, karya Imam as-Suyuthi, p.14)
Ibnu Hajar dalam Syarah al-Bukhari berkata: “Apa yang dikatakan oleh Qadhi Iyad merupakan pendapat terbaik di antara pendapat lain yang mengomentari hadits yang sama. Saya kira inilah pendapat terkuat karena didukung oleh sabda Nabi Saw. melalui sanad yang jelas: ‘Dan umat akan bersatu di bawah mereka…” (Fathul Baari)

Imam Jalaluddin as-Suyuti (911 H) dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa (Sejarah Para Khalifah) menuliskan sejarah para Khalifah hingga wafatnya Khalifah Mutawakkil Abul ‘Izz pada 903 H dan pengangkatan puteranya, al-Mustamsik Billah. Ia menuliskan dalam pengantar kitab tersebut: “Inilah sejarah singkat yang berisi biografi para Khalifah, para Amirul Mukminin, yang menjadi pelayan umat sejak masa Abu Bakar as-Siddiq ra. hingga saat ini.” Dan saat itu adalah 900 tahun setelah Hijrah.

Ibn Hawalah menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

لَتُفْتَحَنَّ لَكُمْ الشَّامُ ثَمَّ لَتُقْسَمَنَّ لَكُمْ كُنُوْزُ فَارِسِ وَالرُّوْمِ وَلِيَكُوْنَنَّ ِلأَحَدِكُمْ مِنَ الْمَالِ كَذَا وَكَذَا حَتَّى إِنَّ أَحَدَكُمْ لِيُعْطَى مِائَةَ دِيْنَارٍ فَيَتَسَخَطَهَا ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِى فَقَالَ يَا اِبْنَ حَوَالَةَ إِذَا رَأَيْتَ الْخِلاَفَةَ قَدْ نَزَلَتِ اْلأَرْضُ الْمُقَدَّسَةَ فَقَدْ أَتَتْ الْزَلاَزَلُ وَالسَّلاَسِلُ وَاْلبَلاَبِلُ وَالْفِتَنُ وَاْلأُمُوْرُ اْلعِظاَمُ وَالسَّاعَةُ أَقْرَبُ إِلَى النَّاسِ مِنْ يَدِى هَذِهِ إِلَى رَأْسِكَ
“Sungguh Syam akan ditaklukan untuk kalian. Kekayaan Persia dan Roma akan dibagikan kepada kalian. Kemudian salah seorang dari kalian akan memiliki harta begini dan begini hingga salah seorang akan diberi harta seratus dinar, tetapi ia marah karenanya.” Kemudian Beliau meletakkan tangannya di kepalaku dan bersabda, “Wahai putra Hawalah, jika engkau telah melihat Khilafah menempati tanah yang disucikan (Palestina) maka akan datanglah saatnya banyak gempa, guncangan, fitnah dan perkara-perkara besar. Saat itu Kiamat lebih dekat dari manusia daripada tanganku ini dari kepalamu.” (HR. Ahmad, Sunan Ahmad no.22540; Sunan Abu Dawud no.2535; ath-Thabrani, al-Hakim, al-Mustadrok no.8309; Sunan al-Baihaqi no.18333; at-Tarikh lil Bukhari no.3615)

Abdurrahaman bin Abi Umairah al-Mujni mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
هُنَاكَ فَي بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَتَكُوْنُ الْبَيْعَةُ
“Di sana, di Baitul Maqdis, akan terjadi baiat (kepada Imam/Khalifah).” (HR. Ibnu Asakir)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim dan beliau mensahihkannya.

إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبِهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُرِيَ لِي مِنْهَا
”Sesungguhnya Allah Swt. telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya umatku, kekuasaannya akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku.” (HR. Imam Muslim, Tirmidziy, dan Abu Dawud)

Senada dengan hadits di atas, Imam Ahmad juga menuturkan sebuah hadits dari Tamim al-Daariy bahwasanya beliau mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَلَا يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الْإِسْلَامَ وَذُلًّا يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْكُفْرَ“ وَكَانَ تَمِيمٌ الدَّارِيُّ يَقُولُ قَدْ عَرَفْتُ ذَلِكَ فِي أَهْلِ بَيْتِي لَقَدْ أَصَابَ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ الْخَيْرُ وَالشَّرَفُ وَالْعِزُّ وَلَقَدْ أَصَابَ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ كَافِرًا الذُّلُّ وَالصَّغَارُ وَالْجِزْيَةُ
Urusan ini (kekuasaan Islam) akan mencapai apa yang malam dan siang mencapainya. Dan Allah Swt. tidak membiarkan Bait al-Madar dan Bait al-Wabar, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam agama ini, dengan kemuliaan, atau dengan kehinaan. Kemuliaan, yang Allah akan memuliakannya dengan Islam, dan kehinaan, yang Allah akan menghinakannya dengan kekufuran.” Tamim al-Daariy berkata, “Saya melihat itu pada penduduk negeriku. Sungguh, sebagian orang yang masuk Islam mendapatkan kebaikan, kehormatan, dan kemuliaan. Sedangkan sebagian orang yang kafir, mereka mendapatkan kehinaan, kekerdilan, dan wajib membayar jizyah.” (HR. Imam Ahmad, dalam Musnad Imam Ahmad)

سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلاً قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
“Rasulullah Saw. pernah ditanya, “Kota manakah yang dibebaskan lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasul menjawab, “Kotanya Heraklius dibebaskan lebih dulu, yaitu Konstantinopel.” (HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)

Penaklukan pertama telah berhasil direalisasikan melalui tangan Muhammad al-Fâtih al-‘Utsmani seperti yang sudah diketahui. Hal itu terealisasi setelah lebih dari delapan ratus tahun sejak berita gembiranya disampaikan oleh Rasulullah Saw. Sabda Rasulullah bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan lebih awal, menunjukkan bahwa kota Roma pun yang terletak di Italia saat ini, akan ditaklukkan oleh kaum muslimin, meski bukan yang pertama. Hal ini terjadi setelah berdirinya kembali Khilafah Islam yang melanjutkan kembali kewajibannya melaksanakan jihad futuhat/ pembebasan ke seluruh penjuru dunia. Dengan kata lain, hadits ini merupakan kabar gembira berdirinya kembali Khilafah di masa yang akan datang.

Rasulullah Saw. bersabda:
 يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
“Akan ada pada akhir umatku Khalifah yang ‘menumpahkan’ (memberikan berlimpah) harta yang tidak terhitung jumlahnya.” (HR. Muslim, Ahmad (III/317), dan Ibnu Hibban (XV/75)

Selasa, 29 Maret 2016

Khilafah nubuwwah 30 tahun



 
Rasulullah Saw. memberikan bisyârah (kabar gembira) bahwa Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah akan kembali lagi.
Imam Ahmad di dalam Musnad-nya berkata: “Telah berkata Abdullah; telah berkata bapakku; telah berkata Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi; telah berkata Dawud bin Ibrahim al-Wasithi; telah berkata Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir bahwa Hudzaifah ibn al-Yaman berkata, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ» ثُمَّ سَكَتَ
“Di tengah-tengah kalian ada zaman Kenabian. Atas kehendak Allah zaman itu akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian. Khilafah itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkat Khilafah itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerintahan) yang zalim. Kekuasaan zalim ini akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerintahan) diktator yang menyengsarakan. Kekuasaan diktator itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan muncul kembali Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian.” (Hudzaifah berkata): Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar)

Al-Hafizh al-‘Iraqi dalam kitab Mahajjat al-Qarbi ilâ Mahabbat al-‘Arab menegaskan bahwa hadits tersebut sahih. Al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawâid mengomentari hadits tersebut: “Diriwayatkan oleh Ahmad dalam tarjamah An-Nu’man, dan al-Bazar lebih lengkap darinya dan Ath-Thabrani dengan sebagiannya dalam Mu’jam al-Awsath, dan para perawi (rijâl)-nya tsiqah.” Hadits tersebut juga dinilai sahih oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Syuaib al-Arna’uth.
Tentang Habib bin Salim (perawi), Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan: Habib bin Salim al-Anshari maula an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya: Abu Hatim berkomentar, “Tsiqqah.” Al-Bukhari berkomentar, “Tentang dia, perlu dipertimbangkan (fîhi nazhar).” Abu Ahmad bin ‘Adi berkomentar, “Di dalam matan-matan hadistnya tidak terdapat satupun hadits mungkar.” Aku [Ibn Hajar] berkomentar, “Al-Ajiri menuturkan dari Abu Dawud, “Tsiqqah.” Ibn Hibban menyebutkannya dalam kitabnya “At-Tsiqqât.” Diapun disebutkan di sana.” (Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, II/161)
Disebutkan bahwa at-Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada al-Bukhari mengenai suatu hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir, dan Al-Bukhari berkomentar, “Huwa hadits shahih (Itu hadits sahih).” (Lihat: At-Tirmidzi, Al-‘Ilal al-Kabîr, I/33)
Imam Muslim, yaitu salah satu murid Imam al-Bukhari, juga meriwayatkan suatu hadits dari Habib bin Salim yaitu no.2065 dalam Shahîh Muslim. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukadimah kitab sahih beliau.

Kekhilafahan dalam umatku 30 tahun” (HR. Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad, hadits no. 21928. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra, ath-Thayalisi, al-Bayhaqi dalam Dalaail an-Nubuwwah, Ibn Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah. Syu’aib Arna’uth menyatakan: sanadnya baik (isnâduhu hasan)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh para Imam yang lain dengan lafadz yang sedikit berbeda, di antaranya:
الْخِلافَةُ بَعْدِي فِي أُمَّتِي ثَلاثُونَ سَنَةً

Kekhilafahan setelahku dalam umatku 30 tahun” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
الْخِلافَةُ بَيْنَ أُمَّتِي ثَلاثُونَ سَنَةً
Kekhilafahan di antara umatku 30 tahun” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
الخلافة ثلاثون سنة
Kekhilafahan 30 tahun” (HR. Ibnu Hibban, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
الخلافة ثلاثون عاما
“Kekhilafahan 30 tahun” (HR. ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar)
الخلافة بعدي ثلاثون سنة
“Kekhilafahan setelahku 30 tahun” (HR. Ibnu Hibban)

Meski lafadz hadits ini menyebutkan bahwa kekhilafahan setelah Rasulullah Saw. 30 tahun, namun tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada khilafah. Dengan kata lain, hadits ini tidak berarti bahwa sistem pemerintahan kaum muslimin setelah itu bukanlah sistem khilafah. Sebab, lafadz hadits ini berbentuk lafadz yang mutlaq yang ke-mutlaq-annya di-taqyid oleh hadits Hudzaifah di atas. Artinya, kehilafahan yang 30 tahun itu adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, sementara setelahnya bukanlah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, meski tetap berbentuk sistem khilafah hingga datang masa mulkan jabriyyah (para penguasa diktator yang tidak menerapkan Syariah).
Kesimpulan ini juga didukung oleh hadits yang sama, dengan lafadz khilafah yang di-taqyid oleh kata nubuwwah sebagaimana riwayat Abu Dawud, al-Hakim, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُونَ سَنَةً
Khilafah nubuwwah 30 tahun” (HR. Abu Dawud: Sunan Abi Dawud, no.4648, 4/342; al-Hakim: al-Mustadrok ‘Ala Shohihain, no.4438, 3/75; ath-Thabrani: al-Mu’jam al-Kabir no.6330, 6/194. al-Albaniy menilai hadits ini hasan-shahih)

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.”
Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud, ”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun” (HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647)

الأَئِمَّة مِنْ قُرَيْشٍ
“Para Imam adalah dari Quraisy” (HR. Ahmad)
Hadits ini menjelaskan salah satu syarat afdhaliyah’ seorang khalifah. Yakni hendaknya ia orang Quraisy. Meski demikian, bukan berarti selain mereka tidak berhak atas khilafah. Dengan kata lain, syarat harus orang Quraisy bukanlah syarat in’iqad (syarat sah pengangkatan khilafah). Sebab, hadits di atas dan hadits-hadits semisal lainnya, dinyatakan dalam bentuk ikhbar yang tidak disertai dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan thalab (tuntutan) yang jaazim (tegas). Dengan demikian perintah ini hanyalah perintah yang hukumnya sunnah. Adapun celaan dalam riwayat lain seperti disebutkan dalam al-Bukhari:
عن معاوية أنه قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ رواه البخاري
“Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorangpun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan menelungkupkan wajahnya ke Neraka, selama mereka menegakkan agama (Islam).” (HR. Bukhari)
Hadits ini bukanlah celaan bagi orang yang tidak mengangkat orang Quraisy sebagai pemimpin, melainkan celaan bagi orang yang memeranginya. Selain itu, hadits-hadits di atas juga dinyatakan dalam bentuk isim jamid (bukan isim sifat) sehingga tidak dapat diambil mafhumnya. Dengan kata lain tidak berarti selain kabilah Quraisy tidak sah menduduki jabatan khilafah.


Senin, 28 Maret 2016

kewajiban Khilafah berdasarkan Syara’ bukan logika akal


 

 
Perjuangan itu pasti berhasil pada saatnya karena terdapat
Janji Kejayaan Umat Dari Allah Swt. Dalam al-Qur’an.
﴿وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾(النور: 55)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa (layastakhlifannahum) di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. an-Nur [24]: 55)

Al-‘Allâmah al-Qurthûbî menyatakan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi Saw. dan para sahabat saat mereka mengeluhkan beratnya perjuangan memerangi musuh hingga nyaris tak pernah meletakkan senjata. Lalu Allah pun menurunkan ayat ini, dan memenangkan Nabi-Nya atas seluruh Jazirah Arab. (Al-Qurthûbî, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,  XII/297)

Meski demikian, janji yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam ayat ini tidak hanya untuk Nabi Saw. dan para Sahabat, tetapi juga berlaku untuk seluruh umat Muhammad Saw. sepeninggal mereka. (Muhammad Amîn as-Syinqîthî, Adhwâ’ al-Bayân, Dâr ‘Alam al-Kutub, Beirut,  VI/126)

Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî menyatakan:
هَذِه الْجُمْلَةُ مُقَرِّرَةٌ لِمَا قَبْلَهَا مِنْ أَنَّ طَاعَتَهُمْ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم سَبَبٌ لِهِدَايَتِهِمْ، وَهَذَا وَعْدٌ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ لِمَنْ آمَنَ بِاللهِ، وَعَمِلَ اْلأَعْمَالَ الصَّالِحَاتِ بِاْلاِسْتِخْلاَفِ لَهُمْ فِي الأَرْضِ لِمَا اِسْتَخْلَفَ الذِّيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الأُمَمِ، وَهُوَ وَعْدٌ يَعُمُّ جَمِيْعَ اْلأُمَّةِ. وَقِيْلَ: هُوَ خَاصٌّ بِالصَّحَابَةِ، وَلاَ وَجْهَ لِذَلِكَ، فَإِنَّ اْلإِيْمَانَ، وَعَمِلَ الصَّالِحَاتِ لاَ يُخْتَصُّ بِهِمْ، بَلْ يُمْكِنُ وُقُوْعُ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ، وَمَنْ عَمِلَ بِكِتَابِ اللهِ، وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ، فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Kalimat ini menegaskan apa yang dinyatakan sebelumnya, bahwa ketaatan mereka kepada Rasulullah Saw. merupakan sebab bagi mereka mendapatkan hidayah. Ini merupakan janji dari Allah SWT bagi siapa saja yang beriman kepada Allah dan beramal salih untuk memberikan kekuasaan (istikhlafi) di muka bumi kepada mereka, sebagaimana Dia memberikan kekuasaan kepada umat-umat sebelum mereka. Ini merupakan janji yang berlaku umum untuk seluruh umat. Ada yang mengatakan, “Ini khusus untuk sahabat.” Namun, tidak ada alasan untuk mengartikan demikian, karena iman dan amal salih itu tidak hanya khusus untuk mereka. Sebaliknya, janji itu bisa berlaku bagi tiap umat, dan siapa saja yang mengamalkan Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya dia sejatinya telah mentaati Allah dan Rasul-Nya.” (Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî, Tafsîr al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,  1997, IV/43)

Keumuman cakupan janji Allah tersebut tampak dari shîghat yang digunakan di dalam ayat tersebut, antara lain: “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât” (orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian), serta kata ganti (dhamîr) yang berbentuk jamak, “hum” (mereka) yang kembali kepada “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât.” Karena itu, menurut ar-Razi, ayat ini berlaku bagi orang-orang yang mengumpulkan sifat “iman dan amal salih” dalam dirinya. (Al-Fakhr ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, 24/415)
Bahkan dengan tegas Imam al-Baidhâwî menyatakan, bahwa ini merupakan khithâb (seruan) untuk Rasul Saw. dan umatnya. (Al-Baidhâwî, Tafsîr al-Baidhâwi, Dâr al-Fikr, Beirut, IV/196)

Allah SWT berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali Imran [3]: 160)
]يا أيُّها الّذينَ آمَنوا إنْ تَنْصُروا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أقْدامَكُمْ[
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47]: 7)
إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari ni‘mat.” (QS. Al-Hajj [22]: 38)
Allah Swt. berfirman:
﴿وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. al-Hajj [22]: 40)
Allah juga berfirman, artinya:
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Akhirat)” (QS. al-Mu’min [40]: 51)

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS. Ar-Rûm [30]: 47)
Ketika kekuasaan Islam terwujud, ia akan menebarkan rahmat Syariah Islam.

Imam ‘Adhuddin Al Iiji (w. 756 H) berkata:
( نَصْبُ اْلإِمَامِ عِنْدَنَا وَاجِبٌ عَلَيْنَا سَمْعًا... وَأَمَّا وُجُوْبُهُ عَلَيْنَا سَمْعًا فَلِوَجْهَيْنِ: اَلْأَوَّلُ إِنَّهُ تَوَاتَرَ إِجْمَاعُ اْلمُسْلِمِيْنَ فِي الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ بَعْدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ اِمْتِنَاعَ خُلُوِّ اْلوَقْتِ عَنْ إِمَامٍ ... اَلثَّانِيُّ إِنَّهُ فِيْهِ دَفْعُ ضَرَرٍ مَظْنُوْنٍ وَإِنَّهُ وَاجِبٌ إِجْمَاعًا ).
Mengangkat Imam (Khalifah) bagi kami adalah wajib atas kami secara naqli (sam’an). Adapun wajibnya hal itu atas kami secara naqli, karena dua alasan, alasan pertama: telah diriwayatkan secara mutawatir adanya Ijma’ Kaum Muslimin generasi awal (para shahabat) setelah Nabi SAW bahwa tidak boleh ada kekosongan waktu dari adanya seorang Imam...
Alasan kedua: sesungguhnya pada yang demikian itu (pengangkatan Imam) dapat menolak kemudharatan yang patut diduga akan muncul, dan bahwa hal itu (menolak kemudharatan) adalah wajib menurut Ijma’.” (Imam ‘Adhuddin Al Iiji, Al Mawaqif, hlm. 961)
Juga berkata dalam al-Mawâqif: “Maksud Asy-Syâri‘ (Allah Swt.) dalam apa yang telah disyariahkan berupa muamalah, munâkahat, jihad, hudûd, peradilan, serta syiar-syiar Islam dan lainnya, semuanya tidak lain merupakan kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepada manusia. Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah) yang menjadi rujukan dalam apa-apa yang diperselisihkan oleh para hamba.”

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) berkata:
(وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ ).
Dan mereka [para ulama] telah sepakat bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang Khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan Syara’ bukan logika akal.” (Fathul Bari, Juz 12 hlm. 205)

Sabtu, 26 Maret 2016

Khilafah keberhasilan kewajiban penyebaran Islam


  


Melalui Khilafah, kewajiban pembebasan untuk penyebaran Islam berhasil dilakukan,
di bawah kepemimpinan Khalifah, atau Imam.

Tugas Khilafah mengemban dakwah Islam ke segala penjuru dunia dengan jihad futuhat, juga kewajiban Syar’i atas umat Islam. Dalilnya adalah ayat-ayat yang mewajibkan jihad (misalnya QS. At Taubah [9]: 29) yang pengamalannya telah dicontohkan Rasulullah SAW dengan melakukan berbagai futuhat (penaklukan) baik ke Jazirah Arab maupun ke luar Jazirah Arab semata-mata untuk menyebarluaskan Islam. (lihat: Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyyah, hlm. 155)

Imam Jamaluddin Al Ghaznawi (w. 593 H) berkata:
( لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يَقُوُمُ بِمَصَالِحِهِمْ مِنْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ وَتَجْهِيْزِ جُيُوْشِهِمْ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ وَصَرْفِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّيْهِمْ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِمَامٍ فَإِنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى إِظْهَارِ الْفَسَادِ فِي اْلأَرْضِ ).
”Tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan kepentingan-kepentingan mereka, seperti menerapkan hukum-hukum mereka (hukum Islam), menegakkan hudud mereka, mempersiapkan pasukan mereka, mengambil zakat-zakat mereka dan menyalurkannya kepada para mustahiq-nya,
Sebab kalau mereka tidak mempunyai seorang Imam (khalifah), maka hal ini akan membawa kepada merajalelanya kerusakan di muka bumi.” (Jamaluddin Al Ghazanawi, Ushuluddin, hlm. 66)


Imam Muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi Saw., Beliau pernah bersabda:
«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Imam itu laksana perisai, orang berperang di belakangnya, dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim)
Khalifah dan Khilafah adalah perisai, atau tameng. Siapa yang mempunyai tameng, dengan izin Allah, akhirnya dia akan menang. Hak-haknya tidak akan diabaikan, negerinya juga demikian. Musuh-musuhnya tidak akan berani mendekatinya. Semuanya ini dibuktikan oleh sejarah Khilafah. Di manakah Byzantium dengan Shuljan [raja]-nya? Di manakah Madain dengan Kisra-nya? Siapakah yang telah mengumandangkan suara takbir di wilayah yang terbentang, dengan panjang dan lebarnya seluas Samudera ke Samudera, kalau bukan Negara Islam, tentara dan keadilan Islam? Kaum Muslimin dengan Khilafah mereka menjalankan tugas untuk menyeru kepada Allah, Dzat yang Maha Kasih dan Penyayang, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Imam Ghazali (w. 505 H) dari Mazhab Syafi’i berkata:
...maka jelaslah bahwa kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedang keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat, dan itulah tujuan yang pasti dari para nabi.
Maka kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam Syariat yang tak ada jalan untuk meninggalkannya. Ketahuilah itu!” (Imam Ghazali, Al Iqtishad fi Al I’tiqad, hlm. 99)


Secara historis, Khilafah telah membawa rahmat dan pengaruh besar bagi umat Islam di dunia, termasuk bagi negeri ini dan penduduknya. Perlu diingat, Khilafah berperan besar bagi penyebaran Islam di negeri ini sehingga penduduk negeri ini mendapat rahmat dari Allah SWT dengan mendapatkan petunjuk kepada Islam. Di antara para wali dan ulama yang menyebarkan Islam di negeri ini sebagiannya diutus dan difasilitasi oleh Khilafah pada masa itu, termasuk sebagian dari wali songo. Kesultanan-kesultanan Islam yang dulu memerintah dan memakmurkan negeri ini pun berhubungan erat dengan Khilafah pada masa masing-masing. Bahkan Khilafah pernah turut membantu perjuangan rakyat negeri ini melawan penjajah. Kesultanan Aceh, misalnya, pernah dibantu oleh Khilafah Utsmaniyah dengan senjata modern kala itu dan pasukan yang dipimpin oleh panglima Hizir Reis dalam menghadapi penjajah.

Imam Nasafi (w.710 H) berkata:
( وَالْمُسْلِمُوْنَ لاَ بُدَّ لَهُمْ مِنْ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِتَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ وَسَدِّ ثُغُوْرِهِمْ وَتَجْهِيْزِ جُيُوْشِهِمْ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ وَقَهْرِ الْمُتَغِّلبَةِ الْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَاعِ الطَّرِيْقِ وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ وَقَبُوْلِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلىَ الْحُقُوْقِ وَتَزْوِيْجِ الصِّغَارِ وَالصَّغِيْرَاتِ الَّذِيْنَ لاَ أَوْلِيَاءَ لَهُمْ وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ).
Kaum muslimin tidak boleh tidak harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menerapkan hukum-hukum mereka, menegakkan hudud mereka, menutup tapal batas negeri mereka, menyiapkan tentara mereka, mengambil zakat mereka, dan membasmi para perampok dan pencuri serta pembegal, melaksanakan sholat Jumat dan hari raya, menerima kesaksian yang mendasari hak-hak, menikahkan remaja-remaja baik laki-laki maupun perempuan yang tak mempunyai wali, dan membagikan harta rampasan perang.” (Imam Nasafi, Al ‘Aqa`id An Nasafiyyah, hlm. 6)



Khilafah yang dikehendaki oleh Syariah adalah Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.
Islam telah menjelaskan metode pelaksanaan berbagai kewajiban, termasuk kewajiban Khilafah ini. Karena itu Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah juga harus terikat dengan metode yang telah dijelaskan oleh Rasul Saw. dalam sirah (perjalanan dakwah) beliau. Metode ini merupakan hukum Syariah yang wajib diikuti.

Di antara ketentuan metode itu adalah bahwa negeri tempat Khilafah ditegakkan haruslah memenuhi empat kriteria:
1. Kekuasaan di wilayah itu haruslah otonom bersandar kepada kaum Muslim.
2. Keamanannya harus terjamin dengan keamanan kaum Muslim. Perlindungan di dalam dan luar negeri harus pula dengan perlindungan Islam, berasal dari kekuatan kaum Muslim sebagai kekuatan Islam saja.
3. Orang yang dibaiat menjadi khalifah harus memenuhi syarat-syarat in’iqad (legal).
4. Segera secara langsung menerapkan Syariah Islam secara keseluruhan dan mengemban dakwah Islam. Artinya, Khalifah yang dibaiat itu harus berada di tengah-tengah rakyat (bukan pemimpin yang terus bersembunyi); memelihara urusan mereka, menyelesaikan problem mereka serta melaksanakan tugas pemerintahan dan ri’ayah seluruhnya sebagaimana yang disyariatkan.

Upaya penegakan Khilafah yang mengikuti metode Rasul Saw. adalah melalui dakwah fikriyah wa siyasiyah (pemikiran dan politik) tanpa kekerasan. Caranya melalui aktivitas pembinaan dan pengkaderan, berinteraksi bersama umat, dan thalab an-nushrah (menggalang dukungan para pemilik kekuatan riil).

Rabu, 23 Maret 2016

Imamah, Khilafah dan Imaratul Mukminin itu sinonim


 

Imam Al Juwaini (w. 478 H) berkata:
(... فَإِذَا تَقَرَّرَ وُجُوْبُ نَصْبِ الْإِمَامِ فَالَّذِيْ صَارَ إِلَيْهِ جَمَاهِيْرُ اْلأَئِمَّةِ أَنَّ وُجُوْبَ النَّصْبِ مُسْتَفَادٌ مِنَ الشَّرْعِ الْمَنْقُوْلِ )
... Maka jika telah tetap kewajiban mengangkat seorang Imam, maka yang menjadi pendapat jumhur para imam [mazhab] adalah kewajiban mengangkat Imam itu diambil dari Syara’ yang dinukil.” (Imam Al Juwaini (Al Haramain), Ghiyatsul Umam, hlm. 17)
Juga berkata: “Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia.” (Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, hlm. 5)


Syeikh Muhammad Najib Al Muthi’iy dalam takmilahnya atas Kitab Al Majmuu’ karya Imam An Nawawi menyatakan:
( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )
“Imamah, Khilafah dan Imaratul Mukminin itu sinonim”
Dalam bagian lain dinyatakan:
( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )
“Imam boleh juga disebut dengan Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin” (Syeikhul Islam Imam Al Hafidz Yahya bin Syaraf An Nawawi, Raudhah Ath Thalibin wa Umdah Al Muftiin, 10/49; Syeikh Khatib Asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, 4/132)

Al ‘Allamah Abdurrahman Ibnu Khaldun menegaskan:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام أ . هـ

“Sebagaimana telah kami jelaskan, (Imam) itu adalah wakil pemilik Syariah dalam menjaga Din (Islam) serta mengurus urusan dunia. (jabatan) itu disebut Khilafah dan Imamah. Yang menempatinya adalah Khalifah atau Imam.” (Abdurrahman Ibn Khaldun, Al Muqaddimah, hal. 190)
Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sungguh kalian akan berambisi mendapatkan kekuasaan, padahal ia hanyalah sebuah penyesalan dan kerugian di Hari Kiamat kelak.” (HR. an-Nasa’i, Ahmad dan al-Bukhari)
Tentang makna imârah dalam hadits ini, Imam Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Bârî (syarah shahih bukhari):
دَخَلَ فِيهِ الْإِمَارَة الْعُظْمَى وَهِيَ الْخِلَافَة ، وَالصُّغْرَى وَهِيَ الْوِلَايَة عَلَى بَعْض الْبِلَاد
“Makna imârah pada hadits itu, meliputi  imârah al-kubrâ yaitu al-Khilâfah dan imârah ash-shughra yaitu imârah atas suatu wilayah atau daerah yang terkecil sekalipun.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul bari, 20/167)
Sabda Rasul Saw. “satahrishûna (kalian akan berambisi)” menunjukkan pada kecintaan nafsu terhadap kepemimpinan karena di dalamnya bisa diraih kedudukan dan kelezatan duniawi. Ambisi hawa nafsu semacam ini dilarang. Rasul Saw. bersabda:
لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّك إنْ أُعْطِيتهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وَكِلْت إلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْت عَلَيْهَا
“Jangan engkau meminta al-imârah karena sesungguhnya jika engkau diberi al-imârah karena meminta maka engkau diserahkan padanya, dan jika engkau diberi al-imârah tanpa meminta maka engkau ditolong atasnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H):

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدينِ وسياسة الدنيا
“Imamah adalah sebutan bagi pengganti kenabian dalam menjaga Din (Islam) dan mengurus urusan dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkaam As-Sulthoniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, hlm. 3)

Khilafah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya. (Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/8)

عن عبد الملك ابن عمير قال قال معاوية ما زلت أطمع في الخلافة منذ قال ليرسول الله يا معاوية إذا ملكت فأحسن
Abdul Malik bin Umair berkata: “Muawiyah berkata: “Aku selalu menginginkan Khilafah sejak Rasululloh SAW bersabda kepadaku: “Wahai Muawiyah, apabila kamu berkuasa, maka berbuat baiklah.” (HR. Ahmad)
Hadits ini menunjukkan bahwa kata Khilafah, selain disebutkan oleh hadits, juga digunakan oleh para sahabat, di antaranya Muawiyah. Selain itu, beliau juga memahami kata “malakta” dalam sabda Rasulullah, adalah Khilafah.
Al-Imam ath-Thabraniy meriwayatkan:
حَدَّثَنِي الْمُطْعِمُ بن الْمِقْدَامِ الصَّنْعَانِيُّ , قَالَ: كَتَبَ الْحَجَّاجُ بن يُوسُفَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بن عُمَرَ: بَلَغَنِي أَنَّكَ طَلَبْتَ الْخِلافَةَ
Muth’im bin Miqdam as-Shon’aniy menyatakan bahwa al-Hajjaj bin Yusuf pernah menulis surat kepada ‘Abdullah bin Umar: Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau meminta jabatan Khilafah” (Riwayat at-Thabraniy dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Al-Hajjaj dalam riwayat ini juga menggunakan lafadz Khilafah, saat menyatakan bahwa Abdullah bin Umar menginginkan kepemimpinan umum bagi kaum muslimin tersebut, meski dalam lanjutan riwayat ini ‘Abdullah bin Umar menyangkal menginginkannya.


Rasulullah Saw. bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِي وَلا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَة إلا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخيرِ وتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالسُّوءِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَم اللهُ
“Allah tidak mengutus seorang nabi, tidak pula memberi kekuasaan kepada seorang Khalifah, kecuali ada pada dia dua jenis bithanah: bithanah yang menyerukan kebaikan dan mendorong dia pada kebaikan; bithanah yang menyerukan keburukan dan mendorong dia pada keburukan. Orang yang terjaga dari melakukan kesalahan adalah orang yang telah dijaga Allah.” (HR. al-Bukhari)
Bithanatur-rajuli artinya adalah orang-orang dekatnya yang dilibatkan serta mengetahui setiap urusannya. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, II/106)
Jika kata bithanah itu disandarkan (di-mudhaf-kan) pada seseorang artinya adalah pembantunya, orang dekatnya atau orang kepercayaannya. (Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, XIII/52)

Syaikh Abu Zahrah menjelaskan: “Semua mazhab politik beredar seputar al-Khilafah dan itu adalah al-Imâmah al-Kubrâ. Disebut Khilafah sebab orang yang menjabatnya dan menjadi penguasa tertinggi untuk kaum Muslim menggantikan Nabi Saw. dalam mengatur urusan mereka. Disebut Imâmah karena Khalifah disebut Imam, karena menaati dia adalah wajib dan karena masyarakat berjalan di belakang dia sebagaimana mereka shalat di belakang orang yang mengimami mereka di dalam shalat, yakni bermakmum kepada dia.” (Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 21)

Penjelasan Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186:

الخلافة أو الإمامة العظمى ، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً ، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
“Khilafah atau Imamah al-‘Uzhma atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin.” (Lihat: Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270)

Senin, 21 Maret 2016

Para Sahabat memilih dan mengangkat Khalifah




Allah Swt. berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ * وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS. Al-Maaidah: 50)
Dalam kitab At-Tafsir al-Munir Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa ayat ini berarti tak ada seorangpun yang lebih adil daripada Allah dan tak ada satu hukumpun yang lebih baik daripada hukum-Nya. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, VI/224)

Imam Ibnu Hajar dari Mazhab Syafi’i berkata: “Cara Imam al-A‘zham (Khalifah) mengurus (urusan rakyat) adalah menjaga Syariah, dengan menegakkan semua hukum (Islam) dan adil dalam menjalankan pemerintahan.” (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, juz XIII, hlm. 113)


Ijma’ Shahabat (kesepakatan para shahabat Nabi SAW) juga menegaskan wajibnya Khilafah bagi kaum muslimin.
Ijma’ Shahabat itu terwujud pada saat pertemuan para shahabat Nabi di Saqiifah Bani Saa’idah untuk membicarakan kepala negara pemimpin umat pengganti Rasulullah SAW yang telah wafat. Pada saat itu, seorang shahabat Nabi dari golongan Anshar, yakni Al Hubab Ibnul Mundzir mengusulkan, “Dari kami seorang pemimpin, dan dari kalian seorang pemimpin (minna amiir wa minkum amiir).” Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dengan tegas membantah perkataan Al Hubab Ibnul Mundzir itu dengan berkata:
أنه لا يحل أن يكون للمسلمين أميران

“Sesungguhnya tidaklah halal kaum muslimin mempunyai dua orang pemimpin” (Riwayat Al Baihaqi,  Sunan Baihaqi, Juz 8 hlm. 145). Perkataan Abu Bakar ash-Shiddiq itu didengar oleh para shahabat dan tak ada seorangpun yang mengingkarinya. Maka terwujudlah di sini Ijma’ Shahabat (kesepakatan para shahabat Nabi) mengenai ketunggalan Khilafah. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 316)

Imam Syahrastani (w. 548 H) berkata,
) ...مَا دَارَ فِيْ قَلْبِهِ وَلاَ فِيْ قَلْبِ أَحَدٍ أَنَّهُ يَجُوْزُ خُلُوُّ اْلأَرْضِ عَنْ إِمَامٍ. فَدَلَّ ذَلِكَ كُلُّهُ عَلىَ أَنَّ الصَّحَابَةَ وَ هُمْ الصَّدْرُ اْلأَوَّلُ كَانُوْا عَلىَ بُكْرَةِ أَبِيْهِمْ مُتَّفِقِيْنَ عَلىَ أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ ، فَذَلِكَ اْلإِجْمَاعُ عَلىَ هَذَ اْلوَجْهِ دَلِيْلٌ قَاطِعٌ عَلىَ وُجُوْبِ اْلإِمَامَةِ...
...tidak pernah terlintas dalam hati dia (Abu Bakar ash-Shiddiq ra.) dan juga hati seseorang (shahabat) bahwa bumi ini boleh kosong dari seorang Imam (Khalifah). Maka semua itu menunjukkan bahwa para shahabat semuanya tanpa kecuali –sedang mereka itu adalah generasi awal– sepakat bahwa tidak boleh tidak harus ada seorang Imam (khalifah).
Maka Ijma’ ini dalam bentuk seperti ini [Ijma’ Shahabat], adalah dalil yang pasti mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)... (Imam Syahrastani, Nihayatul Iqdam ‘an Ilmil Kalam, hlm. 480)

Mendirikan Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah hukumnya fardhu. Bukan sembarang fardhu, karena kaum Muslim bersegera melaksanakannya, sebelum mereka bersegera mengurus jenazah Rasulullah Saw. dan mengebumikannya. Rasul Saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan pada malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat (baiat umum/ baiat taat). Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada Selasa tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul Saw.

Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Ketika Rasulullah Saw. wafat, kaum Anshor berpihak kepada Sa’ad bin Ubadah di saqifah Bani Sa’idah, sedangkan Ali bin Abi Thalib bersama Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah menyendiri di rumah Fathimah. Sedangkan kaum Muhajirin berkubu kepada Abu Bakar, Umar dan Usaid bin Hudhair di Bani Abdul Asyhal. Tiba-tiba seseorang mendatangi Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan berkata, “Sesungguhnya kaum Anshor telah berpihak kepada Sa’ad bin Ubadah di Saqifah Bani Sa’idah. Jika kalian ada keperluan dengan mereka, segeralah pergi ke tempat mereka, sebelum perkara ini semakin membesar.” Saat itu, jenazah Rasulullah Saw. belum diurus dan pintu rumah beliau ditutup keluarga beliau.” (Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam)

Ibnu Ishaq berkata, “Setelah Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, kaum muslim mulai mengurus jenazah Rasulullah Saw. pada hari Selasa. Para shahabat yang memandikan jenazah Rasulullah Saw. adalah Ali bin Abi Thalib, Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib, al-Fadl bin ‘Abbas bin Abdul Muthalib, Qutsam bin al-‘Abbas, Usamah bin Zaid bin Haritsah, dan Syuqran mantan budak Rasulullah Saw.” (Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam)

Ibnu Qutaibah berkata, “Pada hari yang sama ketika Rasulullah Saw. wafat, Abu Bakar dibaiat di Saqifah Bani Sa’idah bin Ka’ab bin al-Khazraj. Kemudian besoknya, pada hari Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum, yakni baiat taat.” (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 74)
Amru bin Harits berkata kepada Said bin Zaid, “Apakah Anda menyaksikan wafatnya Rasulullah Saw.?” Said menjawab, “Ya.” Amru bertanya lagi, “Kapan Abu Bakar dibaiat (yaitu baiat in’iqad/ pengangkatan)?” Said berkata, “Pada hari saat Rasulullah Saw. wafat. Pasalnya, mereka tidak ingin berada di sebagian hari saja, sementara mereka tidak dalam berjamaah, yakni tidak ada Khalifah yang memimpin mereka.” (Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 255)

Maka fakta ini merupakan Ijmak Sahabat untuk lebih menyibukkan diri mengangkat Khalifah daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang hidup mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai orang yang dipilih sebagai Khalifah, namun mereka tidak berbeda pendapat sama sekali tentang wajibnya mengangkat Khalifah, baik ketika Rasul Saw. wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat.
Semuanya itu membuktikan betapa mendesak dan pentingnya kewajiban Khilafah.

Imam Nawawi (w. 676 H) berkata:
( أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ ).
Mereka [para shahabat] telah sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang Khalifah.” (Syarah Shahih Muslim, Juz 12 hlm. 205)
Imam Ibnu Hajar Al Haitsami (w. 973 H) berkata:
( إِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ اْلوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ).
“Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para Sahabat ridhwanulLah ‘alaihim telah berijmak bahwa mengangkat Imam (Khalifah) setelah lewatnya zaman kenabian adalah wajib. Mereka bahkan menjadikan kewajiban ini sebagai salah satu kewajiban yang paling penting (min ahammi al-wâjibât). Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri untuk memilih dan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah Saw.
Perbedaan mereka dalam menentukan (siapa yang menjadi khalifah) tidak menodai ijmak yang telah disebutkan itu.” (Ibnu Hajar Al Haitsami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 17)

Dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264-265), Imam al-Qurthubi menjelaskan, “Seandainya keharusan adanya Imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Sungguh orang akan berkata, “Sesungguhnya Imamah itu bukanlah sesuatu yang diwajibkan, baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain. Lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak diwajibkan.”
إِنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ وَاجِبٌ قَدْ عُرِفَ وُجُوْبُهُ فِي الشَّرْعِ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ

“Mengangkat seorang Imam (Khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191)

Minggu, 20 Maret 2016

TOPIK AL-MAHDI BERDERAJAT MUTAWATIR


TOPIK AL-MAHDI BERDERAJAT MUTAWATIR

Disebutkan oleh Syaikh ‘Atha’ bin Khalil:
“Sunnah mutawatirah, yaitu Sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok dari tabi’it tabi'in, yang berasal dari sekelompok tabi’in, dari sekelompok sahabat, dari Nabi Saw. Sekelompok (orang) tersebut disyaratkan harus terdiri dari bilangan yang cukup, yang menjamin bahwa mereka tidak akan sepakat atas suatu kebohongan dalam seluruh tingkatan riwayat.
Contohnya adalah hadits:
Barangsiapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat duduknya di Neraka. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah, Zubair dan yang lainnya)
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Abi Sa’id al-Khudri. Jalan (sanad) hadits tersebut mutawatir dengan lafadz yang sama. Inilah yang dinamakan dengan mutawatir lafdzi, dan termasuk ke dalam sunnah mutawatirah. Begitu juga hadits atau bagian hadits yang para perawinya mencapai batasan mutawatir, dan mereka sepakat atas maknanya bukan atas lafadznya. Ini yang disebut dengan mutawatir maknawi. Contohnya adalah hadits yang menyatakan bahwa sunnah shalat subuh itu dua raka'at. Riwayat hadits tersebut mutawatir dari berbagai jalan (sanad) dengan makna yang sama, meskipun berbeda-beda lafadznya. Hadits mutawatir layak dijadikan sebagai dalil dalam perkara akidah maupun hukum syara’, karena (sumber) ketetapannya berasal dari Rasulullah secara pasti, baik berupa perkataan ataupun perbuatan. (Terjemahan Taisir al-Wushul ila al-Ushul, hal. 92-93)

Al Hafizh Abul Hasan Al Aabari mengatakan, ”Berita yang membicarakan munculnya Imam Mahdi adalah hadits yang mutawatir dan amat banyak riwayat yang berasal dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang membicarakan mengenai kemunculannya.” (Tahdzib At Tahdzib, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy, 9/126, Mawqi’ Ya’sub)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Hadits-hadits yang membicarakan mengenai kemunculan Imam Mahdi adalah hadits yang shahih sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, Ahmad dan selainnya, dari hadits Ibnu Mas’ud atau yang lainnya.” (Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 8/254, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H)
Asy Syaukani mengatakan, ”Hadits-hadits yang membicarakan mengenai kemunculan Imam Mahdi yang dinanti-nanti ada dalam 50 hadits. Di antara hadits tersebut ada yang shahih, hasan dan dho’if. Hadits yang membicarakan Imam Mahdi dipastikan adalah hadits mutawatir, tanpa keraguan sedikitpun. … Begitu pula berbagai riwayat dari para sahabat tentang kemunculan Imam Mahdi amat banyak. Bahkan perkataan para sahabat ini dapat dihukumi sebagai hadits marfu’ yaitu perkataan Nabi, karena tidak mungkin ada ruang ijtihad dari mereka dalam masalah ini.” (Asyrotus saa’ah, ‘Abdullah bin Sulaiman Al Ghofiliy, hal. 105, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah)
Shidiq Hasan Khon –ulama India dan merupakan murid Asy Syaukani- mengatakan, ”Hadits yang membicarakan mengenai kemunculan Imam Mahdi dengan berbagai macam periwayatan adalah amat banyak, bahkan sampai derajat mutawatir ma’nawi. Hadits-hadits yang membicarakan hal tersebut disebutkan dalam berbagai kitab Sunan dan selainnya, juga dalam berbagai mu’jam dan kitab musnad.” (Al Idza’ah lima Kaana wa Maa Yakuunu Baina Yaday As Saa’ah, hal. 112-113. Dinukil dari Asyrotus Saa’ah, hal. 104)


Beberapa hadits dalam topik al-Mahdi:
1. Sunan Tirmidzi 2158 (Hasan - derajat hadits dalam artikel ini menurut Syaikh Al-Albani): Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dia berkata: Aku mendengar Zaid Al 'Ammi berkata: Aku mendengar Abu Ash Shiddiq An Naji menceritakan dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata: Kami takut akan terjadi hal hal yang diada-adakan sepeninggal nabi kami, lalu kami bertanya kepada Nabi Allah, lalu beliau bersabda:

إِنَّ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيَّ يَخْرُجُ يَعِيشُ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ تِسْعًا زَيْدٌ الشَّاكُّ قَالَ قُلْنَا وَمَا ذَاكَ قَالَ سِنِينَ قَالَ فَيَجِيءُ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَيَقُولُ يَا مَهْدِيُّ أَعْطِنِي أَعْطِنِي قَالَ فَيَحْثِي لَهُ فِي ثَوْبِهِ مَا اسْتَطَاعَ أَنْ يَحْمِلَهُ

"Dalam ummatku ini akan ada Al Mahdi yang muncul, ia hidup selama lima, tujuh atau sembilan -Zaid ragu- Abu Sa'id berkata: kami bertanya: yang benar lamanya berapa? beliau menjawab "Beberapa tahun, " beliau bersabda: "Seseorang datang kepadanya lalu berkata: Wahai Mahdi berilah aku, berilah aku." beliau bersabda: " Lalu Imam Mahdi memberinya dengan kedua telapak tangannya di bajunya sampai dia tidak mampu untuk membawanya."

2. Sunan Ibnu Majah 4076 (Shahih): Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Malik telah menceritakan kepada kami Abu Al Malih Ar Raqqi dari Ziyad bin Bayan dari Ali bin Nufail dari Sa'id bin Al Musayyab dia berkata, "Ketika kami berada di samping Ummu Salamah, tiba-tiba dia menyebutkan kepada kami mengenai perkara Mahdi, katanya,

كُنَّا عِنْدَ أُمِّ سَلَمَةَ فَتَذَاكَرْنَا الْمَهْدِيَّ فَقَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَهْدِيُّ مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ

"Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Al Mahdi berasal dari anak keturunan Fatimah."

3. Sunan Abu Daud 3736 (Hasan): Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Tammam bin Bazi' berkata, telah menceritakan kepada kami Imran Al Qaththan dari Qatadah dari Abu Nadhrah
dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْمَهْدِيُّ مِنِّي أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى الْأَنْفِ يَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِينَ

"Al Mahdi itu dari keturunanku, dahinya lebar dan hidungnya mancung, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi pernah dipenuhi dengan kejahatan dan kezhaliman. Ia akan berkuasa selama tujuh tahun."

4. Sunan Ibnu Majah 4075 (Hasan): Telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al Hafari telah menceritakan kepada kami Yasin dari Ibrahim bin Muhammad bin Al Hanafiyah dari Ayahnya dari Ali dia berkata,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَهْدِيُّ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ يُصْلِحُهُ اللَّهُ فِي لَيْلَةٍ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Al Mahdi dari (keturunan) kami, yaitu ahli bait yang Allah memperbaiki (keadaannya) dalam semalam."

5. Sunan Tirmidzi 2156 (Hasan shahih): Telah menceritakan kepada kami 'Ubaid bin Asbath bin Muhammad Al Qurosyi Al Kufi berkata: telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepadaku Sufyan Ats Tsauri telah menceritakan kepada kami dari 'Ashim bin Bahdalah dari Zirr dari Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda:

لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي

"Dunia tidak akan hilang sampai seorang lelaki dari ahli baitku menguasai orang-orang arab, namanya sama dengan namaku."

5 hadits topik al-Mahdi di atas adalah hadits-hadits dari para sahabat yaitu 'Ali, Abu Sa'id (2 hadits), Ummu Salamah, dan Ibnu Mas’ud. Dari 5 hadits di atas saja bisa disimpulkan bahwa topik al-Mahdi berderajat mutawatir.

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam