Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 31 Juli 2016

Al-Qur’an menyerang adat-istiadat rusak


 
  

Perjuangan dakwah Rasulullah Saw. dan para sahabat pada tahap kedua ini dilakukan dengan cara tanpa kekerasan. Beliau Saw. melakukan pergulatan pemikiran (shiraul fikri) dan perlawanan politik (kifah siyasi) tanpa menggunakan kekuatan fisik, tanpa mengangkat senjata, meskipun setiap lelaki Arab pada waktu itu sudah terbiasa menunggang kuda dan memainkan senjata.

Pergulatan pemikiran yang Beliau lakukan melawan kekufuran itu tergambar pada ayat-ayat yang turun di tahap kedua ini yang banyak mengetengahkan celaan-celaan terhadap ‘aqidah, sistem, adat-istiadat kafir Mekah yang rusak, seperti firman Allah Swt.:
﴿وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ﴾
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu. Dan mereka berbohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan,” tanpa (berdasar) ilmu. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka nisbatkan.” (QS. al-An‘âm [6]: 100)


“Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Katakanlah: “Allah.” Katakanlah: “Maka patutkah kalian menjadikan pelindung-pelindung kalian dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?” Katakanlah: “Adakah sama orang yang buta dan yang dapat melihat, atau samakah antara gelap-gulita dan terang-benderang? Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan sesuatu seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 16)

Dalam bidang sosial, Allah Swt. antara lain berfirman:
﴿وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ ! يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ﴾
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah-padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya dalam tanah. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. an-Nahl [16]: 58-59)

﴿وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا﴾
“Dan janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kalian hendak meraih keuntungan duniawi.” (QS. an-Nûr [24]: 33)


“dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS. al-An‘âm [6]: 151)

Al-Qur’an juga telah menyerang habis adat-istiadat yang rusak, membuat-buat hukum sekehendaknya. Dalam hal ini, Allah Swt. antara lain berfirman:



“Dan mereka mengatakan: "Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki," menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan.
Dan mereka mengatakan: "Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami," dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An‘âm [6]: 138-139)

Dalam perlawanan politik (kifah siyasi) yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat, para pemimpin Quraisy yang tersinggung dengan dakwah Islam dan yang sangat khawatir kedudukan mereka tergeser dengan berkembangnya dakwah Islam dan terus bertambah banyaknya orang-orang Quraisy yang masuk Islam telah melakukan berbagai makar untuk menyudutkan Rasulullah Saw., menghentikan langkah Beliau Saw., dan menjegal dakwah Islam.

Abû Jahal, Abû Sufyân, ‘Umayyah ibn Khalaf, Wâlid ibn Mughîrah, dan yang lainnya berkumpul di Dâr an-Nadwah untuk merundingkan perilaku Muhammad Saw. dan dakwahnya yang baru itu, sebelum orang-orang Arab datang ke Makkah untuk berhaji.

Pada saat itu, dakwah Muhammad Saw. telah menyusahkan mereka, membuat mereka susah tidur, serta mengguncang kepemimpinan mereka atas Makkah. Oleh karena itu, mereka ingin mengambil satu pendapat yang bisa mendustakan dakwah baru itu dan mendistorsikan pemikiran-pemikirannya.

Setelah melakukan dialog dan diskusi, merekapun sepakat untuk mempengaruhi orang-orang Arab yang datang dan memperingatkan mereka agar tidak mendengarkan “ocehan” Muhammad Saw. Sebab, Muhammad Saw. dianggap memiliki kata-kata yang menyihir; sering mengatakan kata-kata yang dapat memisahkan seseorang dari istrinya, dari keluarganya, dan bahkan dari kaumnya.

Allah Swt. menyingkapkan persekongkolan ini kepada Rasulullah Saw. dalam firman-Nya:
﴿إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ ! فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ ! ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ ! ثُمَّ نَظَرَ ! ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ ! ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ ! فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ ! إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ ! سَأُصْلِيهِ سَقَرَ﴾
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan. Maka celakalah dia, bagaimana dia menetapkan? Kemudian celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, lalu dia bermuka masam dan merengut. Dia lantas berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Selanjutnya dia berkata: “(al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” Aku akan memasukkannya ke dalam (Neraka) Saqar.” (QS. al-Mudatstsir [74]: 18-26)
….

Sabtu, 30 Juli 2016

Pembinaan kader dan kerangka tubuh gerakan Islam


 

 
Pertama, Tahap Pembinaan Dan Pengkaderan (Tatsqif)
Tahap ini dimulai sejak Beliau Saw. diutus menjadi rasul. Pada tahap ini Rasulullah Saw. melakukan pembinaan para kader dan membuat kerangka tubuh gerakan. Ketika turun firman Allah Swt. dalam surat Al Muddatsir (surat yang turun setelah surat Iqra’/ al-Qalam, lihat: Manna’ Khalil Qatthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. hal.92):“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!” (TQS. al-Muddatstsir: 1-2), Beliau Saw. mulai mengajak masyarakat untuk memeluk Islam. Dimulai dari istrinya Khadijah ra., sepupunya Ali bin Abi Thalib ra., mantan budaknya Zaid bin Haritsah, dan sahabatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., lalu Beliau menyeru seluruh masyarakat. Beliau berkeliling mendatangi rumah-rumah mereka. Beliau Saw. menyampaikan: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyembah-Nya dan janganlah kalian menserikatkan-Nya dengan sesuatu apapun.” Beliau menyeru manusia, mengikuti ayat di atas.

Setelah Rasulullah Saw. mengajak penduduk Mekkah untuk masuk Islam, sebagian orang menerima dan beriman kepadanya lalu masuk Islam dan sebagian yang lain menolaknya. Rasul mengumpulkan orang-orang yang beriman di sekeliling Beliau dalam suatu kelompok atas dasar agama baru itu secara rahasia. Para sahabat Beliau apabila hendak berjamaah shalat mereka pergi ke padang-padang rumput dan menyembunyikan sholat mereka dari kaum mereka. Kepada orang-orang yang baru masuk Islam, Rasulullah Saw. mengutus orang yang sudah lebih dulu masuk Islam dan faqih dalam dinul Islam untuk mengajarkan Al-Qur’an. Beliau Saw. pernah mengirim Khabbab bin al-Arat untuk mengajarkan al-Qur’an kepada Fathimah binti al-Khaththab dan suaminya, Sa’id bin Zaid di rumahnya. Ketika Umar bin Khaththab (kakak Fathimah) memergoki mereka sedang belajar di rumah Said, di mana Khabbab membacakan Al-Qur’an kepada mereka, Umar pun masuk Islam.

Beliau Saw. menjadikan rumah Al Arqam bin Abil Arqam (Daar al-Arqam) sebagai markas kutlah (kelompok dakwah) dan madrasah bagi dakwah baru ini. Di rumah Arqam itulah Rasulullah Saw. mengumpulkan para shahabat, mengajar Islam kepada mereka, membacakan Al-Qur’an kepada mereka, menjelaskannya, memerintahkan mereka untuk menghafal dan memahami al-Qur’an. Dan setiap kali ada yang masuk Islam, langsung digabungkan ke Darul Arqam. Beliau Saw. di markas pengkaderan itu selama 3 tahun membina (yutsaqqif) kaum muslimin generasi pertama itu, sholat bersama mereka, tahajud di malam hari yang lalu diikuti oleh para sahabat, Beliau Saw. membangkitkan keruhanian mereka dengan sholat, membaca al-Qur’an, membina pemikiran mereka dengan memperhatikan ayat-ayat Allah dan meneliti ciptaan-ciptaan-Nya, dan membina akal pikiran mereka dengan makna-makna dan lafazh-lafazh Al-Qur’an serta pemahaman dan pemikiran Islam, dan melatih mereka untuk bersabar terhadap berbagai halangan dan hambatan dakwah, dan mewasiatkan kepada mereka untuk senantiasa taat dan patuh sehingga mereka benar-benar ikhas lillahi ta’ala (lihat: Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, hal.11-12). Rasul tetap merahasiakan aktivitas bersama para pengikutnya, dan terus melakukan upaya-upaya pengkaderan dan pembinaan (tatsqiif) hingga turun firman Allah Swt.:
﴿فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ﴾
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr: 94) 

Tahap Kedua, Tahap Interaksi Dan Perjuangan (Marhalah Tafaul wal Kifah)
Meskipun aktivitas pada tahap pertama dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi masyarakat Mekah mengetahui bahwa Muhammad Rasulullah Saw. telah membawa agama baru. Mereka juga mengetahui banyak orang masuk Islam. Kafir Mekah pun tahu bahwa Rasulullah dan kutlah-nya merahasiakan kutlah dan pemelukan agamanya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Makkah telah tahu adanya agama dan dakwah baru serta kutlah baru, sekalipun mereka tidak tahu, di mana mereka berkumpul, dan siapa saja di antara orang-orang mukmin yang berkumpul. 

Setelah masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khaththab (3 hari setelah masuk Islamnya Hamzah), turun firman Allah Swt.:
﴿فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ! إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ ! الَّذِينَ يَجْعَلُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ﴾
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), yaitu orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain di samping Allah, maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya)” (QS. al-Hijr: 94-96)

Beliau Saw. pun menerangkan perintah Allah Swt. secara terang-terangan. Beliau Saw. pun menampilkan kutlahnya secara terang-terang kepada seluruh masyarakat, sekalipun masih ada sebagian kaum muslimin yang menyembunyikan ke-Islamannya bahkan sampai penaklukan kota Makkah. Setelah aksi menampilkan kutlah secara terang-terangan di Ka’bah, terjadilah pergesekan dakwah dan kelompok dakwah dengan masyarakat Makkah dan para pemimpinnya yang sangat cinta kepada kepemimpinan sistem jahiliyyah. Perjuangan kelompok dakwah Nabi dan para sahabat pun berubah dari fase rahasia (daur al istikhfa) ke fase terang-terangan (daur al-I’lan). Berpindah dari fase mengkontak orang-orang yang memiliki kesediaan menerima Islam ke fase berbicara kepada masyarakat secara menyeluruh….


Sabtu, 23 Juli 2016

Meremehkan ajaran Islam


 

…. Contoh lainnya adalah, bahwa wanita menurut pandangan orang-orang yang meremehkan ajaran Islam boleh menjabat sebagai imam (kepala negara), walaupun Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada wanita.” (HR.Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi)

Alasannya mereka, bahwa hadist tersebut diucapkan dalam kesempatan tertentu, sehingga tidak boleh dijadikan umum. Hal itu –menurut mereka- dilakukan untuk memberikan kepada Barat suatu gambaran bahwa Islam menghormati kaum wanita, sesuai dengan pemahaman kafiir Barat.
Contoh lain lagi adalah, mereka membolehkan transaksi dengan cara riba. Alasan bathilnya, bahwa riba itu merupakan transaksi internasional yang amat mendesak, yang tidak bisa ditinggalkan.

Kelemahan mental yang mereka tonjolkan itu hakikatnya merupakan kelemahan mereka, bukan kelemahan Islam. Sikap dzalim yang ada dibalik tafrîth sama dengan sikap yang ada di balik ifrâth, yaitu kebodohan terhadap agama dan kebodohan atas manusia. Dua jenis manusia ini sama-sama merusak agama. Keduanya dikuasai oleh hawa nafsu. Ingin mencari keridhaan nafsunya yang menggebu-gebu, dan mencari-cari keridhaan manusia, yang jauh dari ridha Allah.

Konsisten dengan perintah Allah, kita tidak boleh zalim, meremehkan sebagian kewajiban Islam, dan menyimpang. Firman Allah Swt.:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 143)

Allah telah menetapkan umat ini sebagai saksi yang adil bagi umat manusia, sebagaimana pada masa Rasulullah Saw. Dengan fungsinya itu berarti umat ini menjadi umat terbaik dan paling mulia. Kedudukan umat ini di hadapan manusia bagaikan puncak gunung yang menempati posisi yang paling tinggi.

Akidah tidak mungkin tegak di atas kompromi. Kompromi (dalam perkara ini) merupakan kesesatan yang sebenarnya. Sebab, perkaranya adalah antara cahaya dan kegelapan, antara petunjuk dan kesesatan. Telah dipahami dan ditetapkan sebelumnya bahwa tidak ada musyarri’ selain Allah, dan sesungguhnya tidak ada ganti (alternatif lain) bagi hukum-hukum Allah. Dan Allah sebaik-baik yang menghukumi.

Di balik pemikiran yang dilontarkan Barat tiada lain bermaksud ingin memusnahkan apapun yang menjadi bahaya bagi eksistensi dan imperialismenya.

“Maka karena itu, serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka.” (TQS. asy-Syura [42]: 15)
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberikan pertolongan.” (TQS. Huud [11]: 112-113)

Sesungguhnya, jiwa kita mengemban kebaikan agama ini, dan sangat menginginkan sekali untuk menjadikan ideologi Islam ini berkuasa. Dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya akan dibuka akal dan hati, untuk menolong agama ini. Sesungguhnya kebaikan yang kita inginkan untuk diri kita, kami sukai pula bagi selain kita, dan kami memohon kepada Allah agar menempatkan nasihat kami ini seperti hujan yang akan menghidupkan jiwa-jiwa. Dan hanya kepada Allah-lah segala tujuan.
Bacaan:
Sheikh Ahmad Mahmoud, The Da’wah To Islam, www.khilafah.com
Diolah oleh:
Annas I. Wibowo
4 Juni 2016


Jumat, 22 Juli 2016

Bangunan Islam sempurna dan paripurna


 


Seorang muslim yang beriman menganggap bahwa kebahagiaannya adalah memperoleh keridhan Allah Swt. Dan ketenangannya akan muncul apabila hajat udhwiyah (kebutuhan fisik) dan gharizah (naluri)nya dipenuhi berdasarkan imannya kepada Allah Swt. dan keterikatannya dengan syari’at-Nya. Begitulah, kami melihat bahwa bangunan Islam yang sempurna dan paripurna, seluruh pemikirannya itu harmonis, dan berdiri di atas asas yang satu. Apa yang sesuai dengan asas itu, diterima, dan apa yang tidak sesuai, ditolak.

Kapitalis adalah mabda’ (ideologi) yang bersumber dari hawa nafsu pikiran manusia. Bangunan pemikirannya satu sama lain memiliki jenis yang sama, yaitu bisa diambil seluruhnya atau ditinggalkan seluruhnya.
Pemikiran sekularisme merupakan asas atas seluruh penyelesaian (masalah)nya, dan setiap pemikiran kapitalis tegak di atasnya. Pemikiran sekularisme dibangun berasaskan ide kompromi, yang menganggap bahwa manusia itu adalah tuan bagi dirinya sendiri. Agar dia menjadi tuan bagi dirinya sendiri maka manusia harus dibebaskan. Dan itu tidak bisa direalisir kecuali jika dia menggunakan empat jenis kebebasan. Dari sinilah lahirnya ide tentang kebebasan. Ide tentang kebebasan di dalam ideologi kapitalis memiliki pemahaman yang khas. Agar manusia itu menjadi tuan bagi dirinya sendiri berarti dalam memenuhi kebutuhannya yang asasi harus sesuai dengan keinginannya (sendiri), yaitu tidak ada peraturan yang mengaturnya, baik agama atau yang lain, meski juga diembel-embeli ide HAM.
Dari sini lahirlah ide tentang demokrasi. Para penganut ide sekularisme menganggap bahwa kebahagiaan adalah apabila dia memperoleh sebanyak mungkin kesenangan dan kelezatan. Dengan demikian apa yang dipandang oleh akalnya adalah maslahat, itulah yang menjadi tujuan dari setiap perbuatannya, karena akalnya dijadikan musyarri’/ pembuat hukum.

Islam tidak menerima demokrasi, karena demokrasi berarti menempatkan rakyat sebagai sumber hukum. Di dalam Islam, hukum berada di tangan syara’. Pemikiran kapitalis itu akan memagari Islam agar tidak sampai pada jenjang kekuasaan. Sebab, ketika Islam telah memperoleh kekuasaan, pasti akan menghapus demokrasi dan seluruh pemahaman yang berasal daripadanya.
Oleh karena itu, Barat akan memerangi setiap pemikiran Islam yang bersifat mengakar (ideologis) dan akan memerangi setiap gerakan-gerakan Islam yang berusaha untuk sampai pada jenjang kekuasaan. Barat memandang bahwa gerakan-gerakan itu merupakan bahaya bagi eksistensi dan kepentingannya dan akan memusnahkan (peradaban) Barat langsung dari akarnya.
Dari sini kita amat memahami bahwa Barat akan memeranginya dan memusuhi Islam dan kaum Muslim, dan memandangnya sebagai musuh laten. Berdasarkan realitas itu pula Barat kemudian menempelkan sebutan dengan bermacam-macam stempel, seperti fundamentalis, karena gerakan-gerakan ini bertolak dari perkara pokok (ushul) yang tidak diakui oleh Barat keberadaannya. Barat juga menyebutnya sebagai teroris, karena gerakan-gerakan itu tidak mau ridho dengan Barat, disebabkan tidak ada perkara yang bisa mempersatukan keduanya. Barat menyebutnya juga sebagai radikal, karena dia tidak bermanis muka terhadap seluruh bentuk pemikiran Barat dan tidak menghormati eksistensinya.

Jika kita benar-benar memperhatikan, maka kita akan menyaksikan bahwa apa yang mereka tuduhkan kepada pihak lain itu sebenarnya merupakan sifat-sifat diri mereka sendiri. Justru Baratlah yang fundamentalis, karena mereka bertolak dari asas yang mereka yakini kebenarannya dan tidak mau menerima asas lain sebagai rivalnya. Hal itu amat kontradiktif dengan pemikirannya yang menggembar-gemborkan demokrasi, yang katanya membolehkan pihak-pihak lain sampai kepada jenjang kekuasaan, selama rakyat yang memilihnya.
Barat juga sebenarnya teroris, ekstremis dan fundamentalis, karena Barat tidak menghormati eksistensi politik Islam dan tidak mau berurusan dengannya, malah tidak mau bertemu dengannya. Jadi, betapa Barat telah melanggar mabda’ (ideologi)nya sendiri dan menjerumuskan dirinya sendiri kepada apa yang mereka tuduhkan kepada orang lain.

Apabila kita ingin menetapkan apakah suatu fikrah atau pemikiran itu benar atau salah, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus mengembalikan kepada asasnya. Setelah itu kita mencari hukum baginya dan menghukuminya berdasarkan asas tadi. Kita tidak boleh mencari hukum-hukum cabang melalui asas yang lain. Kita misalnya, tidak boleh mengatakan bahwa kebahagiaan di dalam Islam berdasarkan perolehan kelezatan (kenikmatan). Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa seorang muslim beriman kepada (prinsip-prinsip) kebebasan yang diyakini oleh Barat, karena Islam tidak mengakui hal itu dan sama sekali tidak menerimanya. Barangsiapa menerima Islam sebagai asas baginya, maka pasti akan rela terhadap apapun yang lahir dari Islam. Dia harus mengambil Islam secara keseluruhan, karena meninggalkan sebagian dari Islam sama saja dengan meninggalkan seluruhnya.

Berdasarkan hal ini kita menolak pernyataan yang berasal dari Barat, yang menyebutkan bahwa Islam adalah agama moderat, dan bahwa Islam tidak punya konsep jihad/ perang. Ini adalah perkataan yang memiliki tujuan batil, karena berasal dari asas yang rusak….


Rabu, 20 Juli 2016

Islam Ideologi yang Haq




Serangan Barat terhadap Islam memiliki beberapa wajah yang berbeda. Serangannya menyusup ke berbagai bidang, akan tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu berusaha untuk menjauhkan Islam dari kehidupan. Serangan Barat tidak hanya terbatas dengan memperburuk citra Islam, meruntuhkan negara Khilafah, menikam hukum-hukum Islam, dan menyerukan bahwa Islam hanyalah gambar yang akan hilang dengan berlalunya waktu, akan tetapi juga mencakup seluruh perkara yang bisa menjauhkan Islam dari kepemimpinan dunia sekali lagi. Islamophobia terus berlangsung. Makar terhadap Islam tidak akan pernah surut, agar orang-orang yang awam tidak beranjak dari cengkeraman mereka, kecuali jika kaum Muslim kembali memimpin dunia.


Barat memandang bahwa kaum Muslim adalah umat yang hidup dengan Islam; agama mereka adalah agama yang bersifat universal, yang layak bagi seluruh manusia dan mampu memperbaiki kehidupan manusia. Seluruh jiwa kaum Muslim akan selalu mencari jalan untuk bersatu. Barat amat memahami bahwa letak geografis dari negeri-negeri Islam yang banyak dan tersebar akan menjadi negara yang strategis dan bersatu. Keberadaannya menempati pusat-pusat benua dan terletak memanjang di atasnya. Negeri-negeri kaum Muslim memiliki sumberdaya alam yang luar biasa, melebihi kebutuhan negara-negara besar, dan mampu menjadikannya sebagai negara adidaya.


Lebih dari itu jumlah kaum Muslim mencapai sepertiga penduduk dunia. Cita-cita kaum Muslim, jika Allah memenangkan mereka, bukanlah untuk membunuh dan merampas kekayaan negeri-negeri yang mereka taklukkan, melainkan akan membukanya secara cermat; membebaskan manusia, dan seluruh umat manusia dari kebodohan dan kekufuran, kepada hidayah Islam karena kesadaran. Mengarahkan kepada suatu keyakinan bahwa memasukkan seseorang ke dalam Islam lebih dia cintai daripada dunia dan seisinya.


Islam menghadapi banyak sekali tipu daya dan makar keji terhadap hukum-hukumnya, dan terhadap para pengemban dakwahnya yang ikhlas. Tujuan mereka untuk menjauhkan pengaruh Islam kepada pengikutnya dan umat yang lain.


Kalau bukan karena Islam itu adalah agama Allah yang hak, pasti sudah terhapus dan hilang dari pengaruhnya yang luar biasa. Dan kalau bukan karena kehendak Allah yang akan terus berlaku, juga karena iradah-Nya yang pasti terjadi, maka kaum Muslim tidak mungkin tetap memberikan loyalitasnya kepada agama mereka pada masa yang paling mundur.


Barat telah berhasil membengkokkan tolok ukur kaum Muslim menyimpang, pemahaman-pemahaman mereka menjadi rancu dan pemikiran mereka menjadi rusak. 

Pada perang Salib yang pertama Barat melihat bahwa Islam menancap kuat di dalam jiwa kaum Muslim, dan realitasnya jauh lebih kuat dari berbagai usaha untuk melepaskannya. Oleh karena itu, Barat mengganti strateginya di dalam perang Salib yang kedua, yang hingga saat ini kita masih merasakan bencananya. Pada perang Salib kedua ini, Barat menjauhkan kaum Muslim dari agamanya, dan mencegah kaum Muslim untuk menyebarkanluaskan pemahaman-pemahaman Islam, keyakinan-keyakinannya, dan standar pemikirannya. Supaya Barat tetap mendominasi kaum Muslim secara fisik, maka Barat pun menciptakan pemikiran-pemikiran palsu yang dibarengi dengan dominasi secara fisik. 

Setelah itu, Barat menempatkan para penguasa yang telah teracuni dengan politik dan pemikiran yang rusak. Lalu Barat mengikat erat eksistensi negeri-negeri Islam (yang dijajahnya) dengan mengarahkan politik negara-negara tersebut berjalan dengan orientasi yang sama, yaitu merealisir kepentingan-kepentingan Barat. 

Dunia dijadikan oleh Barat bagaikan perseroan terbatas, yang di dalamnya terdapat investor (pemilik modal) dan negara-negara lain sebagai buruh dan konsumennya. Barat melengkapi hagemoninya atas dunia dengan penguasaan di bidang jaringan informasi (dan komunikasi) raksasa, dan menempatkan jaringan-jaringan informasi negara lain berkiblat kepada mereka. Hal itu dilakukan Barat agar kita tidak membaca melainkan apa yang mereka tulis, dan tidak mendengar kecuali apa yang mereka siarkan, serta tidak menyaksikan kecuali apa yang mereka tayangkan. Dan kita tidak membicarakan atau memahami perkara apapun kecuali menurut perspektif yang mereka inginkan. 

Ini merupakan bentuk penjajahan baru yang amat progresif, lebih berbahaya dan lebih licik dari penjajahan konvensional. Penjajahan konvensional berbentuk penguasaan manusia oleh pihak luar (secara fisik), sedangkan penjajahan model baru adalah penguasaan manusia, baik dari dalam (aspek pemikiran, budaya, ideologi, dan lain-lain) maupun dari luar (aspek militer, ekonomi dan politis). 

Kondisi tersebut menggiring kaum Muslim agar ketaatan dan loyalitasnya secara mutlak diberikan hanya kepada (pemikiran dan peradaban) ala Barat, sehingga tidak akan ada satupun yang bisa mengancam eksistensi penjajah.


Sampai-sampai terhadap agama kitapun, Barat menginginkan agar kita memahaminya dengan cara dan metode berpikir mereka. Jika ada orang yang menyimpang dari cara pandang mereka, maka mereka akan menggerakkan media masa untuk menyerang orang tersebut. Lalu menggambarkan orang tadi dengan citra negatif dan menganggap orang tadi menantang kemapanan, keluar dari kelaziman, merusak ijma’, dan mendeskripsikannya sebagai ekstrimis, teroris, fundamentalis dan radikal, bahkan menyebutnya sebagai musuh kemanusiaan dan orang-orang bodoh yang tidak layak hidup kecuali di dalam (zaman) kegelapan dan permusuhan, karena orang-orang itu melontarkan pemikiran yang menebarkan permusuhan dan provokasi. 

Setelah citra buruk direkayasa dan memanipulasi fakta, penguasa (yang menjadi antek penjaga kepentingan-kepentingan Barat) menindas orang-orang karena –menurut mereka- layak untuk dibungkam. Apa yang dilakukan mereka itu dengan memanfaatkan kebodohan masyarakat terhadap berbagai hakikat. Diperkuat dengan bantuan para “ulama” buruk (as-sû) yang mendukung seluruh perilaku Barat. ….


Senin, 18 Juli 2016

Asas Negara Akidah Islam


 


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 51-52)

Tidak bolehnya mengikuti yahudi dan nasrani bukan berarti boleh mengikuti selain mereka. Yang dimaksudkan disini adalah haram mengikuti apa dan siapa saja yang bertentangan dengan Islam. Haramnya mengangkat mereka menjadi pemimpin mengharuskan pula bagi kita berlepas diri dari pemikiran dan tingkah laku mereka.

Loyalitas itu hanya diberikan kepada Allah, kepada Rasul-Nya, ideologi Islam, orang-orang mukmin. Allah Swt. berfirman:
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (TQS. al-Maidah [5]: 56)
Loyalitas itu sesuatu yang dilakukan oleh anggota badan dan hati sekaligus.


Sistem Bathil Perlu Diganti

Di tengah-tengah kenyataan hidup kaum Muslim yang menyakitkan ini berdiri gerakan Islam yang melakukan aktitivitas untuk merubah kenyataan ini, memberikan alternatif yang baik dan istimewa dengan pandangan menyeluruh, dengan Khilafah Islamiyah.

Metode pengubahan masyarakat yang diakui syara’ mengharuskan kita untuk mengetahui realitas yang menjadi tempat aktivitas. Setelah itu baru memunculkan dalil-dalil syara’ yang berhubungan dengan fakta tersebut, dan memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan syara’.

Islam adalah agama yang paripurna. Di dalam Islam dijumpai cara-cara ishlâh (perbaikan) ketika faktanya memang membutuhkan ishlâh. Dijumpai pula cara-cara taghyîr (perubahan total) apabila faktanya memang membutuhkan taghyîr.

Taghyîr bisa dilakukan terhadap individu, bisa juga ditujukan untuk merubah keadaan masyarakat atau merubah kondisi bangsa-bangsa dan umat. Taghyîr harus dimulai dengan merubah asas yang darinya manusia, masyarakat atau kondisi dibangun dengan asas tersebut. Sebab, setiap pemikiran cabang berasal dari asasnya, termasuk pemahaman-pemahaman yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan ini. Dengan asas ini serta apapun yang berkaitan dengannya (baik berupa pemikiran cabang ataupun furu’), manusia bisa berbahagia atau menderita; umat bisa bangkit bisa juga mundur.

Asas yang menjadi landasan seorang muslim atau masyarakat Islam adalah akidah Islam. Setiap perbuatan seorang muslim tidak boleh menyimpang. Begitu pula aktivitas Daulah Islamiyah satupun tidak boleh keluar dari akidah Islam dan segala konsekuensinya.

Adapun ishlâh, adalah perubahan menyangkut perkara cabang atau furu’, bukan asasnya. Asas yang ada dibiarkan, tidak dirubah. Hanya dibersihkan saja. Eksistensi asas itu sendiri tetap diakui.

Jika asasnya itu ada, akan tetapi muncul kotoran-kotoran yang menutupi sebagian ‘baju’nya, berupa pemikiran-pemikiran yang mendominasinya, maka yang harus dilakukan dalam kondisi ini adalah ishlâh bukan taghyîr. Yang dilakukan adalahnupaya untuk menjernihkan kembali asasnya, lalu memperkuatnya agar kembali menyinari perkara-perkara cabang, terutama di dalam penerapan praktis.
Seorang muslim yang terpengaruh dengan tsaqafah (pemikiran) Barat misalnya, yang harus dilakukan terhadapnya adalah mensucikan kembali imannya dan menghilangkan segala kotoran yang menempel, agar orientasinya jelas dan tingkah lakunya benar. Terhadap seorang muslim yang terjerumus dalam perbuatan maksiat, yang harus dilakukan adalah memperkuat iman, mengubah perbuatan, sehingga terwujud dorongan yang memacunya untuk bertakwa, sekaligus berfungsi sebagai pengendali yang bisa mencegah dan menjaganya dari tindakan maksiat.
Jika kita ingin mengajak orang kafir masuk Islam, maka dakwah kita kepadanya adalah dakwah yang bersifat taghyîr. Karena asas yang dimilikinya, dan setiap perkara yang lahir dan terpancar dari asas tersebut adalah batil. Wajib mengganti asasnya dengan asas yang benar. Oleh karena itu kita tidak mengajak orang kafir untuk melakukan shalat sementara kita masih membiarkan asas kafir yang dianutnya.

Apabila kita ingin mengajak seorang muslim maka dakwah kita kepadanya adalah dakwah yang bersifat ishlâh, karena asas yang dimiliki muslim itu benar. Meskipun demikian kita wajib menjauhkannya dari segala kotoran yang menempel, yang menyebabkan orientasi dan konsistensinya melemah. Jadi, selama asas itu masih ada, maka dia hanya memerlukan perbaikan yang bisa mengembangkan dan menguatkannya, menyuburkan dan mensucikannya. Jika hal itu telah tercapai, dengan sendirinya dia akan memiliki orientasi yang benar dan konsistensi yang lurus.
Dengan demikian, seorang muslim yang meminum khamar, berzina, mencuri atau melakukan transaksi yang mengandung riba, atau berdiam diri dari aktivitas dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam, maka orang semacam ini memerlukan pengobatan atas imannya. Dia harus diingatkan kepada Allah yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur, yang wajib disembah dan ditaati. Wajib baginya untuk tidak melihat pada kecilnya dosa tetapi kepada keagungan Pencipta. Ketika al-Khaliq memerintah dan melarang, maka perintah dan larangan-Nya itu untuk kebaikan dirinya di dunia dan akhiratnya. Diingatkan pula bahwa balasan bagi tindakan maksiat adalah dosa, yang akan menjerumuskan pelakunya ke dalam Neraka. Dan balasan bagi ketaatan adalah pahala, yang akan diperolehnya nanti pada hari kiamat dan berhak memperoleh rahmat Rabbnya. Ingatannya diarahkan pada dahsyatnya hari kiamat dan adzab jahanam, serta nikmatnya Surga. Dengan demikian, keimanannya akan memacunya untuk berbuat taat dan meninggalkan maksiat. Dengan cara seperti ini tingkah laku seorang muslim bisa diluruskan kembali. Oleh karena itu, kita sekarang ini tatkala berdakwah kepada kaum Muslim sebagai individu-individu, wajib memperhatikan bahwa mereka itu adalah muslim yang harus diperbaiki pemikiran dan tingkah lakunya….


Sabtu, 16 Juli 2016

Penetapan tolok ukur terpuji dan tercela


 


Penetapan tolok ukur khair (baik) dan syar (buruk), hasan (terpuji) dan qabih (tercela), halal dan haram ada di tangan Allah semata. Apa yang dituntut oleh syara’ kepada kita untuk mengerjakannya adalah maslahat bagi kita. Dan apa yang diperintahkan syara untuk meninggalkannya maka itu adalah mafsadat. Tidak ada hak dan campur tangan manusia di dalam perkara ini selamanya. Seandainya manusia berhak, maka pasti Allah akan memberikan hak itu sejak mula pertama, dan syari’at tidak mungkin turut campur menetapkan hukum-hukum yang rinci. Implikasinya tentu saja seorang muslim hanya dituntut untuk beriman kepada Allah Maha Pencipta saja, tetapi tidak dituntut untuk beriman kepada Allah sebagai Pengatur bagi segala urusan manusia dan Pengatur bagi hidupnya.

Firman Allah Swt.:
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (TQS. al-A’raaf [7]: 157)

Artinya, thayyib (baik) adalah apa yang dihalalkan oleh Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa sesuatu itu adalah thayyib sampai Allah menghalalkannya. Khabits (buruk) adalah apa yang diharamkan oleh Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa sesuatu dikatakan khabits kecuali setelah Allah mengharamkannya. Ayat ini tidak bisa diartikan bahwa akal kita mampu menentukan sesuatu itu thayyib kemudian menghalalkannya, atau menetapkan sesuatu itu khabits kemudian mengharamkannya.

Ulama-ulama lurus berjalan sesuai dengan pokok-pokok Islam, terikat dengan syariat yang diwajibkan oleh tabi’at Islam itu sendiri, terikat dengan syari’at Allah dalam setiap perkara dan tidak membolehkan manusia turut campur dalam perkara tasyri’ (pembuatan hukum).

Seorang pengemban dakwah menurut syara’ dituntut bersikap terus terang dan berani, kuat dalam pemikiran, menantang apapun yang bertentangan dengan Islam serta berjuang untuk menjelaskan kepalsuannya. Syara’ menuntut agar kedaulatan mutlak berada di tangan mabda’ (ideologi) Islam, tanpa memperhatikan lagi apakah sesuai dengan mayoritas manusia atau bertentangan dengan mereka, sejalan dengan adat istiadat mereka atau tidak, apakah manusia menerima atau menolak, atau mungkin melawannya.
Pengemban dakwah tidak berbasa-basi dengan manusia dan tidak bermanis muka dengan para penguasa. Demikianlah keadaan Rasulullah Saw. di dalam dakwahnya. Beliau beriman dengan kebenaran yang beliau serukan, menantang dunia seluruhnya, tidak memandang pada kebiasaan, adat istiadat, akidah, agama kufur, penguasa atau rakyat, dan tidak berpaling sedikitpun kecuali kepada dakwah dan risalah Islam.
Ibnu Hisyam telah menyebutkan tindakan Rasulullah Saw. tatkala menjumpai orang-orang Quraisy dengan menyebut tuhan-tuhan mereka dan mencelanya, kemudian menganggap bodoh akal-akal mereka dan menganggap bapak-bapak (nenek moyang) mereka telah sesat. Akibatnya mereka membalas beliau dan sepakat untuk menentang dan memusuhinya. Demikian kiranya dakwah kaum Muslim saat ini. Hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang meneladani sikap Rasulullah Saw. dan mengikuti firman Allah Swt.:
“Katakanlah: ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata’.” (TQS. Yusuf [12]: 108)

Begitu juga dengan memperhatikan sabda Nabi Saw.:
“Telah aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepada (kedua)nya, maka tidak akan tersesat selamanya. Perkara yang jelas, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Sirah Ibnu Hisyam)

Juga dengan mencontoh salafush shaleh dan perkataan mereka:
Tidak akan baik akhir perkara ini, kecuali dengan apa yang membuat awalnya baik.

Merupakan hak Allah atas ulama yang mewarisi (perjuangan) Nabi Muhammad Saw. agar menunaikan hak Allah dan selalu berada di barisan paling depan para yang menjelaskan kebenaran, menegakkannya, menentang kebathilan, menyingkap segala rencana jahat mereka. Dengan kata lain dia wajib menjadi imam dari ilmu, mihrab dan hirab. Inilah yang dilakukan oleh generasi salafush shâleh.

Maka hendaklah para penganjur metode berpikir bathil dan pemikiran-pemikiran yang jauh dari pemahaman Islam ini sadar, bahwa metode berpikir dan pemikiran-pemikiran yang mereka lontarkan itu tidak berasal dari Islam. Mereka harus menjadi para pembela ideologi Islam.

Seandainya akal diberi kewenangan untuk menetapkan sendiri alasan-alasan pembuatan syariat, maka sesungguhnya akal akan mengharamkan banyak hal yang telah dibolehkan Allah Swt. dan menghalalkan banyak hal yang telah diharamkan Allah Swt. Oleh karena itu, qiyâs (analogi) tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan metode yang telah ditetapkan oleh syariat. Dengan kata lain, qiyâs syar‘î tidak akan terjadi kecuali dengan nash yang di dalamnya memang mengandung ‘illat (kondisi yang mendasari berlakunya suatu hukum syariah). Qiyâs tidak boleh dilakukan dengan nash yang tidak mengandung ‘illat syar‘iyyah; qiyâs tidak boleh didasarkan pada ‘illat ‘aqliyyah (‘illat yang diadakan sendiri oleh akal); dan qiyâs pun tidak boleh ditentukan dengan didasarkan pada ‘illat syar‘iyyah yang tidak disebutkan atau tidak ditentukan nash yang bersangkutan.
Oleh karena itu pula, para fuqaha membatasi ‘illat hanya pada ‘illat yang digali dari nash-nash syariat. Mereka menyatakan bahwa suatu ‘illat kadang-kadang dipahami dari suatu nash secara jelas (sharâhah), melalui penunjukkan (dilâlah), lewat penggalian (istinbâth), atau dengan analogi (qiyâs). (Dalam hal ini, bisa dirujuk berbagai kitab ushul fiqih).
Harus diketahui bahwa qiyâs hanya merupakan kewenangan bagi orang yang telah sangat memahami nash-nash yang ada, hukum-hukum syariat, dan berbagai fakta yang terjadi. Tidak setiap orang berhak dan bisa melakukan qiyâs sesuka hatinya sendiri. Jika tidak demikian, qiyâs hanya akan merupakan salah satu sarana untuk menghancurkan Islam dan menjauhkan hakikat hukum Allah Swt.
Dalam konteks ini, Imam Syafi‘i pernah berkata: ‘Seseorang tidak boleh melakukan qiyâs sampai ia memahami Sunnah Nabi, pendapat para ulama salaf, dan bahasa Arab; memiliki kecerdasan sehingga ia bisa membedakan hal-hal yang syubhat; tidak tergesa-gesa menyimpulkan pendapat; tidak mengabaikan pendapat orang yang mengkritiknya, sebab kritik akan membuatnya waspada dari keteledoran, dan waspada dari kesalahan yang diyakininya sebagai kebenaran’. Praktek qiyas memerlukan pemahaman yang amat cermat dan teliti. Jadi, tidak sah qiyas untuk menggali hukum kecuali dilakukan oleh seorang mujtahid. ….

Jumat, 15 Juli 2016

Kaum Muslim mengambil syariat Islam bukan syariat lainnya


 


Sirah para Nabi dijadikan suri tauladan dari segi sikap-sikapnya. Allah Swt. telah memberikan kepada setiap Nabi itu aturan-aturan yang berbeda. Allah berfirman:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan manhaj (jalan) yang terang.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)

Setiap Nabi diutus khusus kepada kaumnya saja, sedangkan Rasulullah Saw. diutus kepada seluruh umat manusia. Risalah beliau adalah risalah penutup. Allah telah memerintahkan seluruh pemeluk agama-agama lain untuk mengikuti risalah ini dan meninggalkan syari’at mereka. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imran [3]: 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (TQS. Ali Imran [3]: 85)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)
Tabiat risalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. berbeda dengan tabi’at risalah lainnya dari segi keadaannya sebagai risalah penutup yang sempurna. Dan eksistensi Daulah Islamiyah merupakan aspek penting dari risalah ini. Daulah Khilafah Islamiyah adalah metode yang syar’iy untuk memelihara Islam, menerapkan dan menyebarkannya. Sedangkan kita telah menemukan pada para Nabi terdahulu kekhususan di dalam dakwah. Mereka diutus kepada kaumnya, bukan kaum yang lain. Ini berarti bahwa risalah itu terbatas hanya untuk waktu dan tempat tertentu. Berbeda dengan Islam, yang hukum-hukumnya bersifat tetap, dan layak untuk setiap waktu dan tempat.

Oleh karena itu risalah Islam tidak boleh dianalogikan dengan yang lainnya. Kaum Muslim harus mengambil hanya dari syariat Islam saja, bukan dari syariat lainnya. Hukum-hukum syariat Islam saling berkaitan satu sama lain dengan ikatan yang sesuai dengan tabiat risalah itu.

“Katakanlah, inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (TQS. Yusuf [12]: 108)


Syariat Islam telah mewajibkan sebagian perkara dan mengharamkan perkara lainnya. Syara’ tidak mengizinkan manusia untuk merubah, mengganti dan menyelewengkannya. Allah Swt. sebagai Pembuat hukum yang Maha Bijaksana telah memberikan keringanan karena mengetahui bahwa manusia kadang-kadang membutuhkannya.

Namun, apabila syara’ tidak memberikan keringanan maka manusia tidak boleh berpaling dari hukum itu, meskipun hawa nafsu dan bisikan setan menyenanginya dengan dalih maslahat. Siapapun yang membolehkan perkara yang jelas-jelas haram, atau mengharamkan perkara yang nyata-nyata halal, padahal Allah tidak memberikan kepadanya keringanan dalam masalah itu, maka dia terjerumus kefasikan.


Akal-Akalan Membolehkan Kebathilan

Para penguasa antek yang ada sekarang ini telah menggunakan orang-orang muslim yang saleh sebagai ornamen yang menghiasi pemerintahan mereka yang buruk. Hal itu mereka gunakan untuk menipu orang-orang-orang awam.

Bergabung melestarikan hukum kufur sistem pemerintahan jahiliah sama artinya dengan memberikan kepercayaan kepada orang-orang yang dzalim, berarti memperpanjang umur kebatilan.
Allah Swt. memperingatkan kita terhadap hal itu.
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka.” (TQS. Hud [11]: 113)

Salah satu contoh hukum syara’ yang jelas dan qath’i –yang tidak boleh ada ijtihad di dalamnya- adalah tidak bolehnya melakukan transaksi dengan cara riba. Allah telah mengharamkannya dengan tegas berdasarkan firman-Nya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

Terdapat juga qarinah-qarinah (indikasi) yang sesuai dengan hukum syara’ yang qath’i dan memperkuat pendapat. Allah berfirman:
“Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah.” (TQS. al-Baqarah [2]: 276)

Allah juga telah memperingatkan orang-orang yang melakukan transaksi dengan cara riba dan memberikan kepada mereka peringatan berupa (sikap) perang.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 278-279)

Allah menggambarkan orang yang memakan riba dengan:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.” (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

Rasulullah Saw. menggolongkan riba ke dalam kelompok dosa besar dan mensejajarkannya dengan perbuatan syirik kepada Allah. Beliau bersabda:
“‘Jauhilah tujuh dosa besar’. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Apakah itu wahai Rasulullah? Rasul berkata: ‘Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali (yang dihalalkan) karena menegakkan kebenaran, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, menuduh perempuan baik-baik dan beriman melakukan zina’.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Meskipun demikian ada sebagian orang menelaahnya berdasarkan metode yang bathil asas manfaat/ maslahat, juga berdasarkan ASUMSI darurat maupun terpaksa, yaitu bahwa transaksi riba itu boleh! Ke mana perginya pengharaman yang bersifat qath’i dan jelas? Dan ke mana hilangnya peringatan dan ancaman? Dengan metode berpikir seperti itu mereka mengganti hukum-hukum Allah, merubahnya dan menjadikan hukum syara’ itu bersifat “fleksibel”. Metode itu dengan sendirinya akan meremehkan perkara-perkara agama dan identitas seorang muslim….

Rabu, 13 Juli 2016

Paham Dan Sistem Kebebasan Demokrasi




Tatkala Barat meyakini ide pemisahan agama dari kehidupan, maka pada saat itu Barat telah memberikan kepada dirinya hak untuk membuat undang-undang. Mereka berpandangan bahwa manusia wajib menjalani kehidupannya menurut pendapatnya sendiri, bukan menurut Allah dan Rasul-Nya; dan berjalan sesuai dengan keinginanya sendiri. Barat juga memandang bahwa hal itu tidak mungkin bisa terlaksana kecuali jika manusia diberikan kebebasan. Kebebasan tersebut tergambar dalam kebebasan berakidah, kebebasan memiliki, kebebasan menyampaikan pendapat, dan kebebasan pribadi (bertingkah laku). Mereka juga beranggapan bahwa pemikiran tentang kebebasan adalah perkara yang sakral, yang tidak mungkin disentuh (dirubah-rubah).

Kebebasan berakidah, membolehkan setiap individu untuk menganut agama berdasarkan pilihannya sendiri, dan boleh berpindah dari satu agama kepada agama yang lain, meskipun hal itu dilakukannya setiap hari. Kebebasan ini juga membolehkan individu untuk menjadi seorang atheis.
Kebebasan memiliki, membolehkan setiap individu untuk memiliki apa saja yang disukainya dengan segala cara yang dikehendakinya; membolehkannya untuk membelanjakan hartanya sekehendak hatinya. Seandainya seseorang ingin memberikan hartanya kepada anjingnya atau dikubur bersamanya ketika dia mati dan tidak mewariskannya kepada ahli warisnya, maka terhadap perkara semacam ini tidak boleh ada seorangpun yang berhak melarangnya.
Kebebasan berpendapat, membiarkan individu untuk mempropagandakan apa saja yang dia sukai, baik benar ataupun salah, tanpa ada sanksi atau pengawasan. Setiap individu berhak mengoreksi, mengkritik pendapat apa saja yang bertentangan dengan akal ataupun hawa nafsunya, dan tidak ada seorangpun yang berhak untuk melarangnya.
Sedangkan kebebasan bertingkah laku, membolehkan setiap individu untuk melakukan apa saja urusan pribadinya tanpa memperdulikan nilai-nilai dan ikatan akhlak ataupun larangan agama.

Ide tentang kebebasan yang merupakan kebutuhan dalam sistem demokrasi menuntut para pengikutnya untuk menanggalkan kebenaran, sehingga menjadikan para penganutnya terperosok pada derajat yang lebih rendah dari hewan.

Kebebasan beragama, telah menempatkan agama sebagai sesuatu yang tidak bernilai di dalam masyarakat kapitalis. Mereka meremehkan agama dengan memberikan keleluasaan kepada siapapun untuk menukar agamanya semudah mengganti bajunya. Dengan menyebarnya pemikiran materialistik sementara pemikiran yang bersifat agamis menghilang maka lenyap pulalah nilai-nilai akhlak, kemanusiaan dan kebenaran. Akibatnya banyak jiwa yang kehilangan rasa kasih sayangnya, sehingga manusia hidup bagaikan serigala-serigala, yang kuat menguasai yang lemah.

Kebebasan mengeluarkan pendapat, yang membolehkan individu manusia untuk mengatakan apa saja yang mereka sukai dan mengajak kepada apapun yang mereka inginkan. Akibatnya, muncul ide-ide yang menyimpang, aneh, dan batil di tengah-tengah masyarakat mereka, yang terlepas dari kebenaran dan dari tolok ukur kebenaran. Bukanlah sesuatu yang mengherankan jika anda mendengar pernyataan seperti yang dilontarkan Salman Rusydi. Dengan dalih kebebasan berakidah dan dikemas dengan kebebasan berpendapat, dia leluasa menghujat Rasulullah Saw.

Kebebasan memiliki yang mengacu kepada tolok ukur berlandaskan asas manfaat, telah melahirkan raksasa kapitalisme. Penjajahan dijadikan sebagai metode baginya untuk menguasai bangsa-bangsa lain, merampas kekayaan mereka dan memonopoli kekayaan mereka serta mengisap darah rakyatnya. Selain itu di antara mereka sama-sama bersaing dan berebut untuk mendapatkan bagian. Itu sama saja dengan memperjualbelikan darah bangsa-bangsa, menyalakan fitnah dan perang di antara negara-negara.
Hal itu dilakukan agar mereka bisa menjual komoditas yang dihasilkan industri perang mereka yang akan mengucurkan keuntungan besar bagi mereka. Negara-negara kapitalis ini telah terlepas dari nilai-nilai agama, akhlak dan rasa kemanusiaan dengan bermodalkan demokrasi. Bahkan memperalat agama jika kondisinya tersudut, sebagai kuda tunggangan yang digunakan untuk kepentingan mereka, seraya berpura-pura menyerukan akhlak dan kemanusiaan, untuk menutupi wajahnya yang buruk dan baunya yang sangat busuk.

Kebebasan bertingkah laku, telah merubah masyarakat di negara-negara demokratis menjadi masyarakat binatang. Menempatkan mereka kepada sikap permisivisme (serba boleh) yang tidak pernah dicapai oleh hewan sekalipun. Perundang-undangan mereka telah membolehkan hubungan seksual yang menyimpang. Tidaklah mengherankan jika anda dapat melihat di dalam masyarakat mereka apa yang tidak pernah terlihat di kalangan hewan sekalipun, yaitu hubungan seksual dilakukan secara terang-terangan, juga dengan sesama jenis kelamin. Tanpa rasa malu mereka melakukan hubungan seksual secara massal, tidak jarang juga dilakukan dengan anggota keluarga mereka, seperti dengan ibu-ibu mereka, saudara-saudara perempuan mereka dan anak-anak perempuan mereka. Malahan mereka melakukannya dengan hewan. Akibatnya muncul di tengah-tengah mereka berbagai penyakit yang belum pernal dikenal sebelumnya.
Institusi keluargapun hancur di dalam masyarakat mereka, dan kasih sayang lenyap di antara anggota keluarga. Kebebasan bertingkah laku adalah kebebasan yang lepas dari semua ikatan, dan bebas dari setiap nilai. Kebebasan yang menghancurkan institusi keluarga. Kebebasanlah yang menjadi sebab terjadinya seluruh malapetaka dan dilanggarnya segala sesuatu yang jelas-jelas diharamkan.
Mereka bebas melakukan zina, homoseks, lesbian, nudis, minum minuman keras dan melakukan seluruh aktivitas bagaimanpun kejinya dilakukan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan.

Semua itu adalah trade mark demokrasi, yang merupakan produk hawa nafsu manusia yang bukan berasal dari Allah Swt. dan tidak bersandar pada wahyu yang turun dari langit. Demokrasi juga tidak ada kaitannya dengan satu agamapun. Seandainya kita merujuk kepada asal usul lahirnya, sebagaimana yang ada di benak para pencetusnya, yaitu para pemikir, kemudian memperhatikan juga situasi dan kondisi lahirnya, maka akan tampak jelas bagi kita bahwa demokrasi berdiri di atas asas yang kufur.

Amat jelas pula bahwa demokrasi merupakan reaksi terhadap perkataan Louis XIV yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kekuasaan para raja berdasarkan pada perwakilan dari Pencipta dan sumber (kekuasaan)nya adalah Tuhan semata bukan rakyat, dan para raja tidak bertanggung jawab tentang cara-cara pelaksanaan kekuasaan, kecuali kepada Tuhan’. Selain itu, para pemikir melukiskan teori tentang kontrak sosialnya John Jacques Roussou, bahwa teori ini merupakan Injil Revolusi Perancis yang sekuler.

Dari seluruh paparan di atas, jelas bagi kita adanya kontradiksi antara Islam dengan demokrasi yang sangat menyeluruh; meliputi sumber datangnya, akidah yang mendasarinya, asas tempat berdirinya, pemikiran-pemikirannya dan sistem yang dibawanya….

Demokrasi sistem dan pemikiran asas manfaat hawa nafsu


 


Yang menjadi sumber datangnya demokrasi adalah manusia. Dan hakim di dalam sistem demokrasi, yaitu tempat dikembalikannya seluruh penetapan hukum tentang perbuatan maupun hukum tentang segala sesuatu, termasuk standarisasi baik dan buruknya adalah hawa nafsu dan kebutuhan yang bersifat situasional. Demokrasi adalah rekaan para filosof Eropa.

Islam sendiri sangat kontradiktif dengan apa yang disebutkan di atas. Islam berasal dari Allah Swt., yang mewahyukannya kepada Nabi-Nya Muhammad, hamba-Nya dan Rasul-Nya Saw. sedangkan hakim di dalam Islam, yaitu tempat dikembalikannya pembuatan hukum, adalah syara’ bukan akal. Fungsi akal terbatas hanya di dalam memahami nash-nash (teks-teks) syara’.

Akidah yang melahirkan demokrasi adalah akidah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yaitu akidah yang berlandaskan pada jalan tengah (kompromi). Akidah ini mengakui keberadaan agama akan tetapi menghapus peranannya di dalam kehidupan dan di dalam negara. Selanjutnya menetapkan bahwa manusialah yang berhak membuat peraturan hidupnya. Berdasarkan akidah inilah dibangun peradaban demokrasi dan ditetapkan arah pemikiran demokrasi.

Islam sangat bertentangan dengan hal itu. Islam berlandaskan kepada akidah Islam, yang mewajibkan berjalannya seluruh urusan kehidupan dan negara berdasarkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain, harus sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang terpancar dari akidah Islam. Di atas akidah inilah dibangun peradaban Islam.

Adapun asas tempat berdirinya demokrasi adalah kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Berdasarkan atas kedaulatan rakyat itu sistem demokrasi melahirkan tiga bentuk kekuasaan: Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang menterjemahkan secara praktis bentuk kedaulatan dan kekuasaan rakyat.

Sedangkan di dalam Islam, kedaulatan itu berada di tangan syara’. Umat tidak memiliki hak untuk membuat undang-undang. Meskipun demikian, Islam menyerahkan penerapan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya kepada kaum Muslim. Dan semua itu ditampakkan dengan berdirinya Daulah Khilafah, yang diatur oleh nash-nash syara’.

Demokrasi datang dengan sistem dan pemikiran yang berdiri berdasarkan asas kemaslahatan (manfaat) dan hawa nafsu. Sementara, perundang-undangan Islam tegak berdasarkan pada teks-teks (nash) dan istinbath hukum-hukum syara’ yang berasal dari teks-teks tersebut. Islam berdiri di atas keterikatan terhadap syara’ dan senantiasa mengikuti petunjuk.


Pendapat yang menyebutkan bahwa kemajuan di bidang ilmu dan teknologi yang terdapat di dunia Barat merupakan buah dari demokrasi adalah perkataan yang dilontarkan oleh orang yang tidak mengetahui fakta dan realitas. Alasannya, karena berbagai bentuk penemuan itu lahir berdasarkan proses penelitian ilmiah yang merupakan perkara-perkara yang bisa dicapai oleh akal manusia manapun yang telah diberikan Allah. Jadi, hal itu tidak berkaitan dengan pandangan hidup (ideologi).

Fenomena tentang ilmu dan teknologi bisa kita saksikan ada di kalangan orang-orang kapitalis, sosialis, ataupun muslim. Sebab, Allah telah memberikan kepada manusia kemampuan akal seperti itu. Artinya, agama atau mabda’ (ideologi) tidak berimplikasi apapun terhadap kemajuan yang diraih sains dan teknologi. Meskipun demikian kita perlu membahas, apakah agama atau mabda membolehkan ilmu pengetahuan, dan membolehkan penggunaan akal? Atau malah memberangusnya seperti yang dilakukan gereja pada masa lalu?

Mabda (ideologi) Islam tidak hanya membolehkan penggunaan akal di dalam sainstek, bahkan Islam mewajibkannya dalam rangka mempersiapkan kekuatan yang wajib dimiliki untuk menegakkan kedaulatan mabda’ Islam.

Barat telah menawarkan kepada kita komoditasnya yang rusak, seperti demokrasi, padahal syara’ telah melarang kita untuk mengambilnya. Sementara, pada saat yang sama Barat menghalang-halangi kita untuk memperoleh komoditas yang lain, yaitu sains dan penemuan-penemuannya, karena hal itu akan memberikan bagi kita jalan untuk memiliki sebab-sebab kekuatan yang kita butuhkan. Untuk perkara ini syara’ tidak melarang kita untuk mengambilnya. Itu menunjukkan bahwa Barat menyadari apa yang dilakukannya.

Orang-orang yang menyerukan demokrasi terdiri dari beberapa golongan. Di antara mereka ada yang busuk dan penipu, tetapi ada juga orang yang ikhlas hanya tidak mengetahui hakikat demokrasi. Tidak ada jalan lain bagi kelompok yang ikhlas itu kecuali harus menjauhkan dirinya dari lontaran perkataan seperti ini. Jika tidak, maka keadaannya sama saja dengan orang yang menyembah Allah dalam kondisi jahil, yang bisa menyebabkannya jatuh dalam ma’siyat. Tabi’at orang yang ikhlas adalah mudahnya untuk kembali dari kesalahan dan cepat mengambil pelajaran.

Ada juga yang pernah mengatakan bahwa sosialisme berasal dari Islam dan Rasulullah Saw. adalah imam sosialis mereka. Tatkala kebusukan sosialis tersingkap, maka dengan apa mereka memberikan jawaban?. Demikian juga halnya dengan demokrasi, yang sekarang ini sedang menghadapi sakaratul maut dan menunggu detik-detik kematiannya. Sesungguhnya propaganda seperti ini tidak berpihak pada kepentingan Islam melainkan demi kebaikan demokrasi. Mereka menempatkannya sebagai pemikiran yang agung ketimbang menjelaskan kepalsuannya. Mereka mengembannya, bukan malah membela ideologi Islam.

Pelaksanaan perintah Allah merupakan proses menjadikan kalimat Allah yang tertinggi, dan ideologi yang tampil ke puncak hanyalah ideologi yang diridhoi Allah semata. Hal itu tidak akan bisa dicapai kecuali dengan adanya partai ideologi Islam yang mendapatkan petunjuk dalam memahami perintah-perintah tersebut dan memiliki perspektif ketika didirikannya, cemerlang pemikirannya, pemahamannya terhadap hukum-hukum Islam sangat mendalam, menyuarakan ide-ide yang bersifat pokok dan istilah-istilah yang orisinil dari Islam, tidak mau tunduk kepada realitas (yang rusak) dan tidak diwarnai oleh situasi maupun kondisi. ...

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam