Menilik dari aspek historis, sistem republik
jelas dilahirkan dari aqidah sekularisme yang menolak campur tangan Islam untuk
mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya negara. Selain itu,
sistem republik juga murni berasal dari rekacipta dan hawa nafsu manusia, bukan
berasal dari hukum Islam.
Istilah pemerintahan rakyat hanyalah jargon
yang sengaja dipropagandakan untuk menipu rakyat, agar mereka merasa ikut serta
dalam menentukan arah pemerintahan dengan berpartisipasi dalam mekanisme pemilu sistem
republik. Padahal sejatinya yang diuntungkan hanyalah segelintir orang,
utamanya pemilik modal dan elit partai politik. produk legislasi wakil rakyat
justru menguntungkan pihak asing, pemilik modal dan merugikan rakyat. Di
Indonesia, disahkannya UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba
(Mineral, Barang tambang), UU BHP (Badan Hukum Pendidikan), dll adalah wujud
konkret ilusi sekaligus kecacatan sistem republik.
negara kapitalis seperti AS dapat hidup dan
kaya karena hasil mengeksploitasi negara Dunia Ketiga (tertinggal). Agar mereka dapat dengan
mudah mengeruk kekayaan negara lain, maka adanya kesamaan standar, persepsi dan
keyakinan bagi seluruh negara di dunia menjadi sangat penting. Standar,
persepsi dan keyakinan tersebut sedemikian rupa akan dikesankan sebagai ide
yang terbaik, berlaku universal, sehingga mau tidak mau semua negara diarahkan
(baca: dipaksa) menganutnya. Standar, persepsi dan keyakinan tersebut tidak
lain adalah sistem republik (termasuk HAM) dan liberalisme ekonomi dunia yang
muncul dari ideologi Kapitalisme.
Untuk memperjuangkan kepentingan ideologinya,
yang dilakukan negara kapitalis adalah mengajak seluruh dunia untuk menjadikan
Kapitalisme —termasuk sistem republik— sebagai standar, persepsi, serta keyakinan
yang berlaku di segala aspek kehidupan bagi seluruh umat manusia.
Untuk itu, negara kapitalis seperti AS
melakukan internasionalisasi ideologi Kapitalisme sebagai asas interaksi dan UU
Internasional. AS dan negara kapitalis lainnya kemudian membentuk PBB dan
Piagam PBB, yang menjadi legitimasi dan alat kepentingan internasionalnya.
Sebagai pembentuk badan internasional itu, AS
tentu harus mendapat jaminan, bahwa kepentingan-kepentingannya tetap bisa
terjamin. Karena itu, dibuatlah Dewan Keamanan PBB (DK PBB) dengan anggota
tetap yang memiliki hak veto. Dengan hak ini, AS dapat dengan mudah
menggagalkan segala keputusan yang dianggap bertolak belakang dengan
kepentingannya; tidak peduli sebaik apapun keputusan itu; tidak peduli
meskipun seluruh negara mendukung keputusan tersebut.
Amerika Serikat sebagai negara adidaya seolah
tidak boleh disalahkan. Dengan semena-mena mereka menggempur Irak dan
Afganistan atas nama kebebasan dan demokratisasi. Mereka juga mendiskreditkan
umat Islam dengan mencurigainya sebagai bagian dari teroris yang akan
menghancurkan Amerika. Sudah ratusan ribu warga Irak, Afganistan, Bosnia,
Sudan, Somalia, mati di tangan tentara Amerika tanpa salah apa-apa.
Sistem republik membatasi hanya aspirasi yang
sesuai dengan keinginan sistem republik (baca: imperialis), supaya Islam tidak tegak
dan imperialis tetap bisa leluasa mengeruk keuntungan atas kekayaan negeri-negeri
Islam serta mengekspor budayanya.
(tatanan kehidupan tidak-Islam, anti-syariah supaya masyarakat lemah, gampang diliciki dan disesatkan sampai tutup usia)
sistem republik adalah alat bagi globalisasi
untuk memperlancar liberalisasi perdagangan dan investasi. Globalisasi —yang di
dalamnya ada liberalisasi perdagangan, sistem republik, HAM, lingkungan hidup
dan hak paten— menjadi kebutuhan ‘survivality’ bagi kapitalis agar tetap menjadi
adidaya dan mengeruk kekayaan alam dunia.
Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun lebih
telah berhasil menjadikan negeri ini makin demokratis. Bahkan sekarang negeri
ini dianggap sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia –setelah AS dan
India-. Meski demikian, nyatanya proses sistem republik yang makin demokratis
itu tidak korelatif dengan peningkatan kesejahteraan dan kehidupan rakyat yang
baik. Padahal sistem republik dan proses demokratisasi dianggap menawarkan
perubahan kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Fakta menunjukkan tawaran itu
seperti pepesan kosong alias bohong.
dalam sistem republik bisa dikatakan tidak
ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena hukum dan aturan penentuannya
diserahkan pada selera akal manusia, sementara selera akal selalu berubah dari
waktu ke waktu. Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah
menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke
depan bisa dinilai sebagai madharat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kepentingan (ego). Artinya, perubahan
yang ditawarkan oleh sistem republik itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan
oleh kepentingan hawa nafsu.
Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak
yang mendominasi proses sistem republiklah yang akan menentukan perubahan yang
terjadi. Di sinilah masalahnya.
sistem republik itu dalam prosesnya
membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinvestasi
melalui proses sistem republik menjadi sangat menonjol dan menentukan.
Ironisnya semua itu selalu diatasnamakan suara dan kepentingan rakyat karena
rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian
kepentingan para pemodal sistem republik itulah yang menjadi penentu arah
perubahan yang terjadi. Jadi sistem republik memang menjadikan perubahan tetapi
bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan
aktor-aktor sistem republik dan para pemodal mereka.
sistem republik adalah sistem buatan manusia
yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa
melepaskan diri dari kepentingan hawa nafsu. Lebih dari itu, sistem republik sebagai
sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari sistem republik
adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan adalah hak membuat hukum.
Itu artinya sistem republik menjadikan rakyat –riilnya adalah wakil-wakil
rakyat- sebagai pembuat hukum. Sebaliknya, dalam Islam membuat dan menentukan
hukum itu adalah hak Allah SWT. Artinya dalam Islam hanya syara’ yang menjadi hukum.
Allah telah menjelaskan bahwa hanya Islamlah
sistem yang bisa menawarkan kehidupan kepada umat manusia. Hanya Islamlah yang
bisa membawa manusia menuju cahaya, sementara sistem selain Islam justru
mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan.
Menggantungkan harapan terjadinya perubahan
hakiki kepada proses sistem republik hanya akan mendatangkan kekecewaan. Fakta yang
terjadi di negeri-negeri Islam selama ini sudah menegaskan hal itu. Karena itu,
tidak sepantasnya kita masih menaruh harapan pada sistem republik.
tetap saja keadilan dan kesejahteraan yang
diharapkan tidak pernah tercapai. Yang terjadi justru monopoli kekuasaan dan
kekayaan oleh segelintir orang sementara angka kemiskinan, penindasan dan
berbagai kejahatan sosial makin tinggi.
Jalan untuk mewujudkan perubahan hakiki,
yaitu untuk mewujudkan penerapan Islam secara menyeluruh, hanya bisa dilakukan
melalui thariqah (metode) dakwah Rasulullah Saw.
konsep dasar kedaulatan sistem republik ada
di tangan rakyat berarti yang berhak membuat hukum manusia, jadi apa saja bisa
dimusyawarahkan. Berbeda dengan Islam yang konsep kedaulatannya ada di tangan
Allah berarti yang berhak membuat hukum hanya Allah saja. Jadi tidak ada
musyawarah dalam perkara yang sudah ditetapkan secara pasti oleh Allah, namun
dibolehkan bermusyawarah dalam pilihan-pilihan yang mubah.
Dalam masalah tasyri’ (penetapan hukum),
keputusan diambil dengan cara merujuk kepada sumber hukum yakni al Qur'an dan As
Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh keduanya (ijma' shahabat dan qiyas). Musyawarah hanya dilakukan dalam teknis pelaksanaan suatu
perkara. Rasulullah bermusyawarah dengan para shahabat tentang di mana mereka
harus menghadapi pasukan kafir Quraisy dalam perang Uhud, apakah di dalam atau
di luar kota Madinah. Rasul tidak bermusyawarah tentang apakah jihad itu wajib
atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar