“Dan
sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab (Taurat) kepada Musa dan Kami telah
menjadikan Harun saudaranya, menyertai dia sebagai wazir (pembantu). Kemudian
Kami berfirman kepada keduanya: ”Pergilah kamu berdua kepada kaum yang
mendustakan ayat-ayat Kami.” Maka Kami membinasakan mereka sehancur-hancurnya.”
(TQS. al-Furqan [25]: 35-36).
Para nabi
dan rasul adalah utusan Allah SWT yang diperintahkan untuk menyampaikan
risalah-Nya. Risalah itu menunjukkan kepada jalan yang benar lagi lurus. Jalan
yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Jalan yang menuntun manusia mendapatkan ridha-Nya.
Meskipun
demikian, tidak semua manusia menerima petunjuk tersebut. Bahkan ada yang
menentang dan memusuhinya.
Ayat ini
adalah di antara yang memberitakan kesudahan dari nasib mereka yang
dibinasakan.
Diutusnya Nabi
Musa dan Harun
Allah SWT berfirman: Walaqad aataynaa Muusaa al-Kitaab
(dan sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab [Taurat] kepada Musa). Dalam
ayat sebelumnya diberitakan tentang adanya musuh bagi setiap nabi. Ditegaskan
pula, cukuplah bagi Allah SWT sebagai Pemberi petunjuk dan Penolong. Berita
tersebut untuk menghibur Rasulullah ﷺ yang didustakan oleh sebagian kaumnya.
Kemudian dalam ayat ini dan beberapa ayat berikutnya dikisahkan kepada
Rasulullah ﷺ tentang dakwah para nabi dan kehancuran musuh-musuh
mereka. Kisah Nabi Musa dan Harun yang berhadapan dengan Fir'aun dan
pengikutnya diceritakan pertama kali.
Disebutkan
dalam ayat ini bahwa Allah SWT telah memberikan kepada Musa al-Kitab. Yang
dimaksud dengan al-Kitaab di sini adalah
al-Tawraah (Taurat). Demikian
diterangkan para mufassir seperti Imam al-Qurthubi, Ibnu Jarir al-Thabari, Abu
Hayyan al-Andalusi, dan lain-lain.
Di samping
diberi Kitab Taurat, Musa as. juga dibantu oleh saudaranya, yakni Harun. Allah
SWT berfirman: Wa ja'alnaa akhaahu Haaruuna
waziir[an] (dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai dia
sebagai al-waziir [pembantu]). Dalam
ayat ini disebutkan bahwa Harun dijadikan sebagai wazir. Menurut al-Zajjaj
-sebagaimana juga dikutip al-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini- secara
bahasa kata al-waziir berarti yang
menjadi tempat kembali dan diamalkan pendapatnya. Ini karena kata tersebut
berasal dari al-wazar yang maknanya
adalah yang menjadi tempat berlindung.
Wahbah
al-Zuhaili memaknai al-waziir sebagai
orang yang dimintai pendapat dan diajak bermusyawarah dalam berbagai urusan.
Disebut waziir al-malik aw al-raiis
karena dia membantu dan menolong raja atau kepala negara dalam menanggung beban
tugasnya.
Menurut
al-Ashma'i al-muwaazarah berarti al-mu’aawanah (bantuan, pertolongan).
Dikemukakan pula oleh Ibnu Jarir al-Thabari, keberadaan Musa sebagai wazir
adalah mu'iin wa zhahir (pembantu dan
penolong). Al-Baidhawi juga mengatakan bahwa Harun membantu Musa dalam dakwah
dan meninggikan kalimat Allah.
Keberadaan
Harun sebagai wazir tidak menegasikan kenabiannya. Sebab, dalam satu zaman
terkadang diutus beberapa nabi, yang satu sama lain diperintahkan untuk saling
bantu. Demikian diterangkan al-Zamakhsyari, al-Syaukani, Abu Hayyan
al-Andalusi, dan beberapa mufassir lainnya. Mengenai diutusnya rasul lebih dari
seorang pada waktu yang sama juga diterangkan dalam firman Allah SWT: “(Yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang
utusan, lalu mereka mendustakan keduanya, kemudian Kami kuatkan dengan (utusan)
yang ketiga.” (TQS. Yasin [36]: 14).
Juga perlu
dicatat, sekalipun Harun adalah seorang nabi, namun dia mengikuti syariah Musa,
sebagaimana layaknya al-waziir mengikuti
sultan atau pemimpinnya. Demikian diterangkan Syihabuddin al-Alusi.
Keberadaan
Harun as. sebagai nabi diberitakan dalam firman Allah SWT: “Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian
rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi” (TQS. Maryam
[19]: 53). Perbedaannya dengan Musa as., Harun as. hanya seorang nabi,
sedangkan Musa nabi sekaligus rasul. “Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam al-Kitab
(al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul
dan nabi” (TQS. Maryam [19]: 51).
Sedangkan
keberadaan Harun as. sebagai waziir bagi
Musa as., itu merupakan pengabulan doa Musa As. Ketika diperintahkan pergi
menemui Fir'aun, Musa as. memohon kepada Allah SWT agar saudaranya itu
dijadikan sebagai wazir baginya (TQS. Thaha [20]:36).
Fir'aun
Dihancurkan
Kemudian
Allah SWT berfirman: Faqulnaa [i]dzhabaa ilaa
al-qawm al-ladziina kadzdzabuu bi aayaatinaa (kemudian Kami berfirman
kepada keduanya: “Pergilah kamu berdua kepada kaum yang mendustakan ayat-ayat
Kami"). Sebagai utusan Allah SWT, mereka diperintahkan untuk menyampaikan
dakwah kepada kaumnya. Dalam ayat ini, mereka diperintahkan untuk mendakwahi
kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Kaum yang dimaksud ayat ini adalah
Fir'aun dan kaumnya. Demikian penjelasan para mufassir, seperti al-Baidhawi,
Ibnu Athiyah, dan lain-lain.
Selain
dalam ayat ini, perintah Allah SWT kepada Musa as. untuk mendatangi Fir'aun
juga diberitakan dalam beberapa ayat lain. Seperti dalam firman-Nya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut." (TQS. Thaha
[20]: 43-44).
Dari
ayat-ayat tersebut, tampak jelas bahwa perintah mendatangi Fir'aun adalah untuk
memberikan petunjuk dan peringatan kepada mereka. Untuk menguatkan, beliau pun
menunjukkan mukjizat sebaga bukti kebenaran beliau sebagai utusan Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “Lalu Musa memperlihatkan
kepadanya mukjizat yang besar” (TQS. al-Nazi'at [79]: 20).
Akan tetapi
Fir'aun keras kepala. Dia tetap mendustakan dan mendurhakainya. Bahkan
berpaling dan menantang Musa. Lalu mengumpulkan para pembesarnya dan mengaku
sebagai tuhan yang paling tinggi (lihat: QS. an-Nazi'at [79]: 21 -24).
Sebagai
balasan kedurhakaan mereka, Allah SWT pun menghancurkan mereka. Di akhr ayat
ini Allah SWT berfirman: Fadammarnaahum
tadmiir[an] (maka Kami membinasakan mereka sehancur-hancurnya).
Dikemukakan al-Alusi kata tadmiir
berarti kehancuran yang amat parah. Menurutnya, kata al-tadmiir pada asalnya berarti memecahkan sesuatu hingga tidak
mungkin bisa diperbaiki lagi.
Sebagaimana
diterangkan Fakhruddin al-Razi dan al-Baidhawi, dalam ayat ini sebenarnya ada
kata yang dihilangkan, yakni: Fadzahabaa
ilayhim fakadzdzabuuhumaa (keduanya pun pergi kepada kaum tersebut, lalu
kaum tersebut mendustakan mereka). Itu artinya, azab yang ditimpakan kepada
Fir'aun dan kaumnya itu setelah mereka mendustakan Musa dan Harun.
Diterangkan
al-Biqai, Allah menghancurkan mereka adalah dengan menenggelamkan mereka di
lautan. Peristiwa ini disebutkan beberapa ayat. Di antaranya adalah firman
Allah SWT: “Dan (ingatlah), ketika Kami belah
laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan
pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan” (TQS. al-Baqarah
[2]: 50).
Demikianlah.
Orang-orang yang menjadi musuh bagi utusan Allah SWT harus menerima hukuman
dari Allah SWT atas kejahatan yang mereka lakukan. Allah dengan mudah mencabut
semua kekuatan mereka dan menghancurkan mereka.
Inilah
pelajaran penting harus dipetik dari ayat ini. Siapapun yang tidak ingin
mengalami nasib yang sama seperti Fir'aun dan para pengikutnya, maka tidak
boleh melakukan sikap yang sama dengan musuh-musuh para nabi itu. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Musa As.
dan Harun As. adalah utusan Allah untuk menyampaikan petunjuk-Nya.
2. Kaum
yang mendustakan dakwah para nabi akan ditimpa azab yang dahsyat.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar