Diusun oleh: Aida
Di tengah musibah wabah corona, Publik dibuat resah
dengan munculnya RUU HIP (haluan Ideologi Pancasila). Walaupun akhirnya
pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP ini, namun RUU ini
telanjur memantik kemarahan masyarakat Indonesia. Apakah ini “testing the water”?
Munculnya RUU ini diakui adalah inisiatif anggota DPR.
Ketua DPP-PDIP yang juga menjabat sebagai wakil ketua MPR dari fraksi PDIP,
Ahmad Basarah berpandangan RUU HIP ini tetap diperlukan hadir sebagai ikhtiar
bangsa untuk benar-benar mengembalikan ideologi Pancasila dan dapat menjadi
ideologi yang hidup dan dapat bekerja di tengah-tengah bangsa sendiri serta
dapat melindungi dan membentengi rakyat dan bangsa Indonesia dari ancaman
bekerjanya ideologi komunisme, liberalisme, kapitalisme dan paham ekstrimisme
keagamaan apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
“PDIP berharap RUU HIP ini kelak akan
menjadi undang-undang instrumental yang dapat berfungsi sebagai instrumen hukum
untuk internalisasi dan pembumian Pancasila ke dalam alam pikiran dan perasaan
kebatinan masyarakat Indonesia,” kata Ahmad Basarah. Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1354712/pdip-berdoa-ruu-hip-jadi-undang-undang-instrumental
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo (Romo Benny) juga berbicara terkait
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Romo Benny menilai
RUU HIP bertujuan memperkuat ideologi bangsa, yakni Pancasila. "Tujuan RUU
HIP tentunya untuk memperkuat ideologi bangsa kita, yaitu Ideologi
Pancasila," kata Romo Benny dalam diskusi bertema 'RUU HIP Akan Dibawa ke
Mana' yang digelar oleh AP3Knl, Rabu (17/6/2020).
Benny mengatakan haluan ideologi Pancasila
merupakan pedoman bagi semua lapisan masyarakat dalam bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. RUU ini, kata dia, diharapkan dapat memperkuat ideologi dan
kelembagaan."Ke depannya, Pancasila harus menjadi kurikulum dari
pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Karena Pancasila adalah sumber
dari segala sumber dan keutamaan hidup," sambungnya. Sumber: https://m.detik.com/news/berita/d-5057747/romo-benny-bpip-soal-ruu-hip-untuk-perkuat-ideologi-pancasila
Memang, sejak ditanda-tangani oleh
presiden Jokowi pada Mei 2018 lalu, sejak itulah, berbagai polemik terkait BPIP
ini mulai bermunculan. Mulai dari gaji ‘wah’ yang diterima oleh Ketua Dewan
Pengarah BPIP hingga para anggota per bulannya. Hingga pernyataan-pernyataan
kontroversial yang menyinggung SARA, seperti "Agama musuh terbesar
Pancasila" dan “Salam pancasila” yang terlontar dari Kepala BPIP Yudian
Wahyudi. (detik.com)
Sayang, walaupun sepak terjang BPIP tak memiliki
pengaruh terhadap terjaganya nilai-nilai pancasila di negeri ini. Namun,
keberadaan mereka malah akan dikuatkan landasan hukumnya dengan pembentukan
Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Di mana Rancangan Undang-Undangnya pun
akhirnya kembali menuai kontroversi.
Pada faktanya, tak hanya sekadar Isi dari RUU HIP ini
yang bermasalah. Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya RUU HIP ini hanyalah
sebagai penguatan secara hukum dari keberadaan BPIP yang mengalami desakan
untuk dibubarkan.
Pasalnya, BPIP sebagai lembaga ad hoc
(sementara sifatnya) untuk membantu Presiden. Memperhatikan semua figure
didalam formasi BPIP adalah para orang yang memiliki komitmen kental kepada
Joko Widodo dan tidak akan bisa mengkritisi Presiden. Sementara Presiden
didalam beberapa keputusannya, banyak yang sudah bertentangan dengan Pancasila
misalnya dengan banyaknya TKA asing China tenaga kerja kasar yang masuk ke
Indonesia secara berlebihan di beberapa proyek Investasi China tanpa pengawasan
ketat dari Pemerintah. Sementara semua personil BPIP tidak pernah mau
mengkritisi Presiden Joko Widodo. (kompasiana.com)
Memunculkan
Keresahan dan Menuai Penolakan
Adanya inisiatif DPR untuk menyusun RUU HIP di tengah
kecamuk Covid 19, justru memunculkan kecurigaan publik. Publik menduga ada yang
ingin mendapat manfaat disaat situasi wabah corona. Banyak pihak yang resah
karena RUU HIP ini disinyalir akan memeras Pancasila menjadi TRISILA dan
diperas lagi menjadi EKASILA. Bahkan tak sekedar memeras, namun diduga kuat
akan mengganti Pancasila, (Pasal 7).
Mengandung
Bahaya
1. Mengubah konstutisi agar semakin
sekuler
Pada pasal 6 ayat 1 dan 2 menunjukkan adanya upaya
untuk mengganti Pancasila. Ada perbedaan konsep yang semula sesuai kesepakatan
para pendiri bangsa pada sidang PPKI tgl 18/8/1945 akan diubah dan diganti
dengan konsep Pancasila yang diajukan Bung Karno dalam pidato sidang BPUPKI
1/6/1945. Hal ini nampak dengan diperingati 1 juni sebagai hari lahirnya
Pancasila. Padahal konsep pancasila 1 juni 1945 itu berbeda dengan konsep
ketika berdirinya negara dalam pembukaan konstitusi 1945.
Indikasi yang lain, nampak jelas pada konsep RUU HIP
ini Menjadikan SENDI POKOK Pancasila adalah KEADILAN SOSIAL. Padahal sebelumnya
yang menjadi dasarnya adalah KETUHANAN bukan KEADILAN SOSIAL. Konstitusi kita
menegaskan hal ini pada Pasal 29 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Kontroversi pasal 7 yang berpotensi mengaburkan makna
Pancasila itu sendiri. Memeras Pancasila menjadi trisila, lalu menjadi ekasila,
yaitu Gotong Royong, disinyalir dapat melumpuhkan sila pertama, yaitu
“Ketuhanan YME”. Padahal, sila pertama adalah clausa prima. Bahkan menurut
pengamat politik Siti Zuhra, jika Pancasila ingin direduksi, seharusnya
pakailah sila pertama karena telah termaktub dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.
Pasal Ini dapat diartikan mengubah PANCASILA menjadi EKASILA.
RUU ini diduga “Mengubah” Konstitusi Negara. Ia
mengubah haluan negara dan mengancam NKRI. Pasal 4 huruf b dapat dinilai
sebagai menempatkan UU ini setara dengan UUD (Konstitusi). "pedoman bagi
Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan,
serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik,
hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan
keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan;"
Pada Pasal tersebut dapat juga dinilai ‘setara’ dengan
UUD (konstitusi), karena terdapat frasa ‘PEDOMAN’ bagi bidang politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan
keamanan. Meminjam istilah prof. Danil Rasyid bahwa Pasal 4 huruf b menjadi
Omnibus Law Cipta Rezim Otoriter untuk membentuk sebuah Masyarakat Pancasila
(pasal 8) sesuai kehendak rezim berkuasa. Atau dalam istilah Ismail Yusanto
“sekulerisme radikal”.
Dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi
secara eksplisit disebut dalam sebuah norma hukum seperti RUU HIP, secara pasti
akan mereduksi peranan agama dalam proses proses pengambilan keputusan di
bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. iptek akan menggeser
pertimbangan-pertimbangan agama dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Jelas sekali, rumusan pada RUU HIP pasal 34 Jo pasal 43 ini adalah
sekulerisasi.
Dari telaahan diatas, nyatalah bahwa RUU HIP ini
secara telak akan membawa negeri yang merdeka dalam konstitusi diakui 'atas
berkat rahmat Allah yang maha kuasa' ke arah sekuler radikal atau ke arah lebih
sekuler.
2. Sebagai cover/kedok dukungan pada
komunisme
Sulit menghindari dugaan publik RUU ini terpapar
“virus Komunis”. Semestinya dalam membahas Pancasila, TAP MPR yang melarang PKI
dan ajaran komunis, harusnya dimasukan dalam konsideran. Karena sejarah
mencatat beberapa kali PKI yang berpaham komunis telah berkhianat dan
memberontak di negeri ini.
Namun dalam konsiderannya justru tidak memuat Tap MPRS
No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Organisasi Terlarang, dan Larangan
Menyebarkan dan Mengembangkan Faham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Hal ini,
menambah keyakinan bahwa RUU HIP ini dibuat dalam rangka menjaga hubungan
dengan negara patron yang memang berhaluan komunis.
Selain masalah konsideran yang menimbulkan tanya
publik, ternyata Draft RUU HIP yang terdiri dari 10 Bab dan 60 Pasal ini pun
mengundang tanda tanya publik.
RUU ini Merupakan inisiatif DPR yang kini di pimpin
oleh Puan Maharani (PDIP). Di sisi lain, RUU ini dibahas oleh Panja (panitia
Kerja) yang dipimpin juga oleh politisi PDIP, Rieke Dyah Pitaloka.
Seakan-akan TAP MPRS ini dianggap tidak perlu diingat,
bahkan mungkin dalam jangka panjang, jika rezim seperti ini terus-menerus
berkuasa, TAP MPRS ini tidak boleh (haram) diingat. Ada upaya untuk melupakan.
Jadi, RUU ini mengandung kepentingan ideologi. Fakta ini membuktikan rezim tak
lagi menolak komunisme. Minimal tidak menolak.
Nampaknya, RUU ini terjadi di Rezim yang dipimpin oleh
Presiden (dari PDIP), Menkumham (dari PDIP), Ketua DPR (PDIP) ketua Panja
(PDIP). Jadi sulit dihindari banyak tanda tanya publik bahwa dibalik RUU ini
PDIP punya banyak peran.
Dalam RUU ini justru lebih kental memuat misi
Soekarnoisme tentang Pancasila menjadi Trisila dan menjadi Ekasila. Ini nampak
pada Pasal 7 draft RUU ini, yaitu: pada ayat (3) Trisila sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terkristalisasi dalam EKASILA yaitu GOTONG ROYONG). Jadi intinya
adalah gotong royong. Ekasila gotong royong secara filosofis sama dengan
komunalisme-komunisme. Komunalisme 1 langkah menuju komunisme.
Seperti komentar Imam besar Front Pembela Islam (FPI),
Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mengaitkan dugaan itu dengan materi keadilan
sosial. Pasal 6 ayat 1 RUU HIP membahas keadilan sosial sebagai sendi pokok
Pancasila. Menurut HRS, keadilan sosial itu mirip persis dengan manifesto
Partai Komunisme yang pernah dibawakan DN Aidit pada tahun 1963. Saat itu, DN
Aidit menyatakan, bahwa urat tunjang -yakni sendi pokok intisari- Pancasila
adalah keadilan sosial bukan ketuhanan yang maha esa.
Trauma bangsa ini tak akan bisa hilang terhadap
tragedi berdarah pembunuhan jendral yang dilakukan PKI pada 30 September 1965
silam. Juga pembantaian terhadap 500 ribu lebih para ulama dan santri oleh PKI
di Madiun tahun 1948. Sungguh fakta sejarah yang memilukan kaum muslimin.
Wajar akhirnya masyarakat melihat bahwa RUU ini
sengaja dibuat untuk membangkitkan kembali paham komunis yang telah dilarang.
Hingga MUI mengancam, jika tak dihentikan pembahasan RUU ini, pihaknya akan
mengawal masyarakat Indonesia untuk menolak RUU ini.
3. Alat represif untuk memukul lawan
politik ala Orba dan Orla
Selama ini siapa saja yang mencoba kritis dan
menasihati penguasa maka akan dituduh anti pancasila. Bahkan tak cukup dituduh
anti pancasila, mereka pun difitnah akan mengganti pancasila. Ini tuduhan
paling ampuh karena setelah itu mereka bisa dikriminalisasi secara legal.
Bahkan menggunakan aparat negara untuk menekan dan menghukum mereka yang
kritis. Tak penting apakah benar-benar mereka anti pancasila atau tidak. Yang
penting mereka bisa dikriminalisasi dan tak kritis lagi.
Padahal kita pun tahu, hanya pihak penguasa yang bisa
mengubah dan mengganti Pancasila. Lebih khusus lagi adalah rezim yang sedang
berkuasa. Kalau Rakyat biasa tak mungkin bisa mengubah pancasila. Ormas pun tak
mungkin bisa mengubah Pancasila. Kalau ada yang menuding ada orang atau
kelompok yang hendak mengubah Pancasila, itu Fitnah yang keji.
Pancasila hanya bisa diubah oleh rezim yang berkuasa
melalui institusi Negara yang diberi kewenangan oleh Undang-undang. Rakyat
biasa tak bisa melakukannya. Kalau tiba-tiba ada si “Fulan” yang mengaku sudah
mengubah Pancasila dan mengumumkan ke publik maka tentu tidak dianggap sah.
Bahkan dianggap tidak ada. Si “Fulan” pun bisa dianggap orang kurang waras.
Karena ia tak punya kewenangan sesuai amanat UU.
Akan sangat berbeda jika yang membuat tafsir dan
mengubah pancasila itu dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Tentu sebagai lembaga
resmi Negara akan diakui publik. Bahkan Negara sebagai satu-satunya institusi
yang punya kewenangan untuk memaksa rakyatnya tunduk, menerima dan menjalankan
kebijakan Negara.
Presiden dapat menghakimi siapa yang pancasilais dan
siapa yang anti-Pancasila. Ini sangat berbahaya, mengingat rezim hari ini
semakin represif dan anti-Islam. Maka, Prof. Suteki menegaskan kembali dalam
bincangnya di ILC bahwa RUU HIP ini bukan hanya ditunda, tapi harus ditolak
keberadaannya tanpa syarat.
Bahkan menurut Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara,
RUU ini selain tidak berguna bagi masyarakat, juga secara tegas menyampaikan
bahwa Pancasila adalah milik penguasa. Karena dalam pasal 43 ayat 1 disebutkan
“Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam pembinaan haluan ideologi
pancasila”. Artinya di sini, presiden adalah sosok yang pancasilais. (islamtoday.id 08/06/2020)
RUU HIP ini dapat menjadi alat pemukul terhadap
lawan-lawan politik rezim. Melalui ini, secara subjektif mendefinisikan apa itu
masyarakat Pancasila, dan siapa itu manusia Pancasila (pasal 12 ayat 2 dan 3).
Dengan rumusan itu, rezim akan dengan mudah memaksa
rakyat untuk berpikir dan bertindak mengikuti rumusan itu, lalu menyingkirkan
siapa saja yang dianggap berbeda dengan rumusan tersebut tak peduli meski yang
bersangkutan sesungguhnya telah menjalankan perintah ajaran agama dengan
sebaik-baiknya.
Dengan RUU HIP ini, bila disahkan nanti, akan menjadi
alat guna memukul siapa saja yang perjuangkan penerapan Syariah Islam secara
kaffah dengan alasan usaha itu dianggap tidak sesuai dengan masyarakat
Pancasila dan manusia Pancasila sebagaimana dirumuskan RUU HIP ini.
Beberapa kalangan bahkan menganggap RUU HIP ini akan
melanjutkan represi UU No. 16/2017 tentang Ormas yang semena-mena mencabut BHP
HTI. Dan bakal mempraktikkan kembali represi Orla dan Orba pada ormas dan umat
Islam.
4. Menyasar umat Islam, khususnya
pejuang khilafah
Setelah sebelumnya ngotot enggan mencantumkan TAP MPRS
Nomor : XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, Pernyataan PKI sebagai Organisasi
Terlarang dan Larangan Paham atau ideologi Komunisme, Marxisme dan Leninisme
dalam konsideran RUU HIP, karena banyaknya desakan pubik, kini PDIP berubah
fikiran.
Namun, PDIP nampak licik karena secara substansi PDIP
tak tegas menyatakan TAP MPRS Nomor : XXV/MPRS/1966 setuju dijadikan konsideran
mengingat dalam RUU HIP, namun PDIP justru setuju dan mendorong ada penambahan
ketentuan menimbang (konsideran) dalam Rancangan Undang Undang atau RUU Haluan
Ideologi Pancasila yang menegaskan larangan ideologi marxisme-komunisme,
kapitalisme-liberalisme, radikalisme, serta bentuk khilafahisme.
"PDI Perjuangan setuju penegasan larangan
terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, seperti
marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme, serta bentuk
khilafahisme, ditambahkan dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila".
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulis, Ahad, 14
Juni 2020.
Menyandingkan dan mensejajarkan ajaran Islam Khilafah
dengan komunisme, Marxisme dan Leninisme adalah suatu bentuk kelancangan yang
vulgar. Bahkan, bentuk kedengkian yang nyata kepada Islam dan kaum muslimin.
Ini sama saja menabuh genderang kemarahan kaum muslim Indonesia, karena
dianggap telah mencederai ajaran agama Islam. Pernyataan ini juga
mengkonfirmasi secara jelas bahwa PDIP memang anti Islam. RUU HIP yang notabene
usulan PDIP, didesain penuh "Ruh" Komunisme. Yang diminta publik
khususnya umat Islam adalah dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, kenapa
Hasto menarik Khilafah dalam konsideran menimbang ?
5. Mereduksi dan meminggirkan agama,
mengagamakan Pancasila
Juru bicara HTI Ismail Yusanto menjelaskan, ada
masalah yang mendasar di pasal 12 ayat 3 yang merumuskan ciri-ciri manusia
Pancasila. Di sana disebutkan tentang beriman dan bertakwa, tetapi
kelanjutannya dikatakan bahwa manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang
maha esa, menurut kepercayaannya masing-masing dan manusia yang adil dan
beradab.
"Ini adalah persoalan besar, karena iman dan
taqwa adalah pengucapan yang spesifik boleh kita katakan berasal dari Islam,
karena agama lain tidak menggunakan pengucapan itu," ungkap Ismail.
Sumber: media umat news.
Jadi iman dan taqwa ini, menurut Ismail, seharusnya
diadopsi dari Islam ketika memakai pengucapan ini. Dia melanjutkan, ketika ini
dipakai, lalu dibawa kepada konstruksi yang berbeda dari Islam ini adalah
bentuk meminggirkan agama.
"Kemanusiaan yang adil dan beradab itu bukanlah
dasar agama, kalau dasar agama itu Al-Qur’an dan hadis. Di situlah, sekali
lagi, kita bisa melihat kalau ada upaya meminggirkan agama, dan sekaligus kalau
dikatakan kemanusiaan yang adil dan beradab itu sila dari Pancasila, kemudian
di situ dijadikan iman dan taqwa sebagai dasar, berarti Pancasila hendak
dijadikan agama, atau mengamalkan Pancasila," jelas Ismail. Sumber: media
umat news. Dari sini bisa kita lihat bahwa seolah ada upaya untuk menyingkirkan
agama dari kehidupan.
Dalam pasal 23 RUU HIP disebutkan bahwa pembinaan
agama sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin
syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan
kebudayaan nasional Indonesia dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing.
Rumusan tentang pembinaan agama ini terkait dengan
paham ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana disebut dalam pasal 7 ayat 2 RUU
HIP. Paham ketuhanan yang berkebudayaan tak dapat dipungkiri diambil dari
pidato bung Karno saat sidang di BPUPKI. Dengan rumusan seperti ini, tak pelak
posisi agama semakin termarjinalisasi. Kedudukannya menjadi sekedar sub bidang
dari bidang mental spiritual. Bukan sebagai petunjuk dalam pengaturan hidup
manusia di dalam semua aspek kehidupan.
Reduksi makna dan kedudukan agama tampak ketika RUU
HIP di pasal 12 menyebut ciri tentang manusia Pancasila, yakni beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang maha esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Rumusan ini mengandung paham sekularisme sinkretisme,
bahkan pluralisme agama. Frasa "menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab" jelas telah meletakkan hakikat keimanan dan ketaqwaan yang
semestinya dipahami dan dilaksanakan dengan dasar dan ukuran yang bersifat
Wahyu, menjadi dengan dasar dari suatu yang bersifat sekular. Bagaimana bisa,
iman dan taqwa dengan dasar dan ukuran kemanusiaan? Bukankah iman dan taqwa
kepada Tuhan semestinya dengan ukuran Tuhan?
Bahaya Telah
Nyata, Umat Harus Waspada!
Entah mengapa DPR berinisiatif mengusulkan RUU semacam
ini. Apalagi ditengah wabah corona yang telah menelan banyak korban. RUU ini
sangat berbahaya dan mengancam keutuhan negara. Perlu kewaspadaan dari seluruh
elemen bangsa. Jangan sampai RUU ini justru diperalat untuk tunggangan
kepentingan ideologi lain, baik itu kapitalis-liberal maupun Sosialis-Komunis.
Lalu, mereka bekerja menyerahkan kekayaan alam kepada
oligarki dan korporasi. kemudian menikmati kekayaan itu bersama kroninya,
sambil menuding ada bahaya dari kelompok aktifis garis keras, teroris, radikal,
anti pancasila, intoleran, dll.
Walhasil, patut diduga keras RUU ini memuat agenda
berbahaya yang menghancurkan` Negara. Mengobrak-abrik hukum dan tatanan negara,
mengancam Konstitusi. Publik dan elemen bangsa harus waspada dan menolak RUU
ini. Semoga Allah menjaga negeri ini dari tangan-tangan jahat yang akan
menghancurkannya.
Perjuangan
Umat, Kembali kepada Islam Sebagai Haluan Negara yang Hakiki
Jika ajaran agama Islam, yaitu Khilafah
dipropagandakan sebagai ideologi, kemudian dikampanyekan dan dibuat opini
seolah-olah sesuatu kejahatan, maka menurut Ketua LBH Pelita Umat, Chandra
Purna Irawan, dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran pasal 156a KUHP, yang
berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia”.
Sejatinya biang kerok permasalahan yang melanda negeri
ini bukanlah disebabkan ajaran Islam Khilafah atau radikalisme, seperti yang
terus dipropagandakan penguasa hari ini. Namun biang kerok dari permasalahan
yang terus menghantui adalah dasar negara ini yang sekuler dan rezim korup
dalam sistem pemerintahan Demokrasi. Sistem inilah yang melegalkan eksploitasi
SDA, sistem ini pula yang menyebabkan kesengsaraan masyarakat semakin
berlapis-lapis. Tapi mereka justru mengkambing-hitamkan Islam.
Islam adalah agama yang mengatur seluruh kehidupan.
Berbeda dengan ideologi sekuler-kapitalis yang memisahkan agama dengan
kehidupan. Islam menjadikan agama sebagai pedoman manusia dalam menjalani
kehidupan; Bagaimana cara beribadah, mencari nafkah, mendidik putra-putri
mereka, hingga cara mengurusi negara. Semua telah disyariatkan. Mengembalikan
sistem pemerintahan Khilafah, adalah kewajiban kaum muslim. Sehingga
memperjuangkannya adalah semata bentuk ketaatan seorang hamba pada perintah
penciptanya. Telah jelas keunggulan ideologi Islam sebagai dasar negara. Dan
telah terbukti kesuksesan sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan dalam
menyejahterakan warganya.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengoreksi total
haluan negara kita. Jika sudah jelas terbukti haluan negara ini cacat dari
asasnya, maka segera tinggalkan. Beralihlah menuju haluan hakiki yang berasal
dari Sang Pembuat manusia yaitu Allah SWT.
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
(TQS. Al-Jaatsiyah: 18). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar