Kemerdekaan Indonesia
tak bisa dilepaskan dari peran agama. Bahkan untuk mempertahankan kemerdekaan
pun agama ikut andil di dalamnya. Tapi anehnya, agama dianggap sebagai sumber
masalah sehingga harus dipinggirkan dari kehidupan politik. Dan niat ini muncul
dari seorang kepala negara muslim terbesar di dunia. Bagaimana menyikapinya?
Wartawan Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Fahmi Salim Zubair, Sekretaris
Komisi Dakwah MUI Pusat. Berikut petikannya.
Bagaimana
pendapat Anda dengan pernyataan Jokowi agar semua pihak memisahkan persoalan
politik dan agama?
Mestinya kalau ingin
konsisten seperti itu maka Presiden sendiri jangan bawa-bawa agama dalam
politik. Dan itu tidak mungkin. Politik identitas di negara ini sudah mendarah
daging. Sudah menjadi fakta sejarah dan tidak bisa dipisahkan dari tradisi
berpolitik di Indonesia.
Itu kalau kita
berbicara kultur dan sosiologi di Indonesia, mulai dari kerajaan-kerajaan
Hindu, kerajaan Budha, kerajaan-kerajaan itu selalu menggunakan agama sebagai
legalitasnya. Sama seperti sekarang, presiden disumpah dengan Al-Qur’an, kitab
sucinya.
Ketika Islam masuk ke
Indonesia, apalagi. Karena, Islam itu mengajarkan tidak ada pemisahan antara
kehidupan agama dengan politik. Agama itu menjadi pondasi, politik itu adalah
pelindung. Agama tidak bisa dilindungi bila tak ada politik. Dan sebaliknya, politik
tanpa agama tidak akan beretika, tidak akan beradab, tidak akan berbudaya.
Tapi
Said Aqil Siradj mendukungnya dengan menyatakan tidak ada politik dalam agama
dan tidak ada agama dalam politik. Apakah pernyataan itu benar?
Pernyataan itu
seolah-olah benar tetapi yang sesungguhnya itu adalah kebatilan. Sebab urusan
agama dan politik itu menjadi satu kesatuan tidak bisa dipisahkan. Justru yang
harus dipisahkan dari politik itu nilai-nilai berpolitik yang kotor, yang keji,
yang arogan, yang politik menghalalkan segala cara. Karena itu semua
bertentangan dengan agama.
Di sisi lain,
pernyataan itu juga bertentangan dengan watak Islam. Bagaimana kita mau
membuktikan kalau Islam itu rahmatan lil alamin
kalau tidak ada instrumen politik? Dalam sejarah Islam, peradaban Islam menjadi
rahmatan lil alamin tidak bisa diketahui
dan tidak bisa dirasakan oleh peradaban lain di dunia ini kecuali dengan
bersentuhan secara politik.
Karena politik ini
mengatur urusan orang banyak dan hubungan antar negara, antar peradaban. Kita
mau mentransfer nilai-nilai Islam rahmatan lil
alamin tanpa instrumen politik itu tidak akan bisa masif.
Menurut
Jokowi, pemisahan tersebut untuk menghindari gesekan antarumat. Pendapat Anda?
Justru yang
menghindari gesekan antar umat beragama itu karena hadirnya ajaran agama. Islam
mengajarkan toleransi, Islam mengajarkan adil; perbedaan suku, perbedaan
bahasa, perbedaan agama tidak boleh membuat kita berbuat curang dan zalim
kepada orang lain. Islam juga mengajarkan kita untuk mengelola perbedaan dengan
bermartabat.
Jadi lucu kalau
dikatakan agama hadir dalam politik membuat gesekan. Ini agama yang mana? Pasti
ada ajaran yang salah. Pemahaman seperti itu ingin mengelabui umat atau
menakut-nakuti umat seolah-olah agama itu sumber konflik. Pandangan ini kan sangat berbahaya.
Agama diturunkan oleh
Allah SWT sebagai rahmat, sebagai problem
solver bukan menjadi sumber konflik. Kalau kita, apalagi penguasa,
menakut-nakuti rakyat, dengan seolah-olah akan menjadi gesekan dengan membawa
agama dalam politik itu berarti beliau tidak memahami ajaran agama yang
sesungguhnya.
Menurut Said Aqil,
jika politik dan agama digabungkan, maka politik akan menjadi radikal. Ketika
ada oposisi, maka oposisi akan disingkirkan atas nama kafir, murtad dan lain
sebagainya. Tanggapan Anda?
Pernyataan itu
barangkali cocok diarahkan kepada pengalaman politik penyatuan antara negara
dan gereja di masa silam. Jadi saya aneh juga ini, Pak Said Aqil, seolah-olah
ingin memandang pengalaman politik Islam itu dengan kacamata perspektif
Kristen. Peradaban Barat, ketika ingin menyatukan agama (Kristen) dengan
politik, itu yang terjadi adalah inkuisisi, intoleransi, kepada umat
non-Kristiani. Kepada Yahudi, kepada Muslim, mereka mengusir, mereka membantai
kepada siapa saja yang berbeda dengan titah raja dan dekrit paus. Mereka yang
menyebabkan terjadinya Perang Salib, mereka yang mencampuradukan agama dengan
politik. Dengan konteks Kristiani seperti itu, dunia ini penuh dengan konflik.
Berdarah-darah.
Maka ditegaskanlah
harus dipisah agama dari politik. Itu pengalaman sekulerisme Kristen. Jangan
dibawa ke Islam. Jadi apa yang disampaikan Pak Said Aqil itu cocok untuk
Kristen, peradaban Barat abad pertengahan. Kalau dibawa untuk konteks Islam,
sangat tidak cocok, sangat tidak relevan. Sebab pengalaman politik Islam,
justru membuktikan jadi rahmatan lil alamin.
Dan para ulama sudah menyadari bahwa mazhab agama tidak bisa dijadikan alat
untuk membungkam atau memaksakan suatu pendapat keagamaan.
Contoh Imam Malik,
diminta supaya mazhabnya, dengan kitab Al-Muwatha'-nya
dijadikan mazhab resmi negara, beliau menolak. Karena itu bisa menyeragamkan
dan mematikan ijtihad. Ulama-ulama yang lain juga seperti itu.
Jadi pernyataan Pak
Said itu, menjadi salah satu pintu masuk untuk menyuburkan faham sekulerisme
dan liberalisme dalam tubuh umat Islam dengan alasan pengalaman politik Islam
itu seperti Kristen. Ini berbahaya.
Mengapa
keduanya kok ngomong seperti itu?
Ungkapan seperti itu
merupakan ungkapan orang yang minder, tidak percaya diri bahwa agama ini
sebagai solusi. Jangan-jangan revolusi mental ini ingin menjauhkan agama dengan
politik. Ini tidak boleh tenadi. Saya berharap, tokoh-tokoh ulama jangan sampai
menjadi loud speaker atau pen-syarah atau pemberi legitimasi dari
ungkapan-ungkapan para politisi yang masih awam.
Saya pandang Pak
Jokowi awam dalam masalah agama. Dan saya pikir, pernyataan beliau itu offset dari sisi agama. Tugas kita semua untuk
menyadarkan beliau, meluruskan beliau sebagai saudara sebangsa, sebagai saudara
seiman juga.
Islam
kan tidak memisahkan politik dan agama
tetapi mengapa negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini menerapkan sistem
berbangsa dan bernegaranya sekuler?
Karena jaringan dunia,
jaringan internasional. Sejak awal-awal kemerdekaan terjadi interaksi tarik
ulur antara Islam sebagai dasar negara, sebagai asas berpolitik atau tidak.
Jadi kekuatan dunia itu sangat memengaruhi.
Ketika dunia Islam ini
mundur, tidak memimpin peradaban, maka yang memimpin adalah nilai-nilai
sekuler. Kalau kita tidak mengejar ketertinggalan kita dan mematahkan dominasi
asing maka selama itu pula kita akan terus mengekor.
Kondisi umat Islam
saat ini kan memang menjadi konsumen dan
pengekor. Konsumen pemikirian, konsumen budaya, konsumen teori-teori tatanan
politik sekuler. Padahal kita punya khazanah sendiri, warisan peradaban Islam
yang luar biasa. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 194
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar