Tak
Henti Sampai Di Sini
Kali ini kalangan
liberal kalah.Tapi mereka pasti akan mencari jalan lain. Soalnya, bukan kali
ini saja kalangan liberal ingin mengutak-atik berbagai peraturan dan
perundang-undangan negara menyangkut keluarga yang masih berbau lslam.
Mereka berjuang melepaskan Islam dari dalamnya dan menjadikan aturan itu sesuai
nilai-nilai “universal” [baca: Barat].
Sebelum menggugat
pasal demi pasal, pada 2007 lalu, mereka telah berusaha merombak seluruh isi UU
Perkawinan melalui Draft Amandemen UU Perkawinan No 1/1974. Dalam pasal 11
draft yang diajukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anik itu. seorang duda dikenai
pasal iddah (transisi) sebagaimana
seorang janda. Untuk duda karena kematian istri, masa transisi ditetapkan 130
hari atau 4 bulan 10 hari. Perkawinannya putus karena perceraian, maka iddah si duda sama dengan iddah eks istrinya yaitu 3 kali haid atau 3
bulan untuk yang sudah menopause.
Pengajuan Draft
Amandemen UU Perkawinan tersebut merupakan kelanjutan perjuangan Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHl) yang gagal. Penyusunan CLD-KHI yang
dipimpin tokoh liberal Musdah Mulia dengan sokongan dana sekitar Rp6 milyar
dari The Asia Foundation, di antara isinya adalah pernikahan bukan ibadah,
perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda
agama, boleh kawin kontrak, ijab-kabul bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas
memilih agamanya sendiri.
Begitu upaya itu
kandas, mereka terus mencari jalan lain. Berbagai UU sekular pun lahir atas
tangan-tangan mereka dengan dukungan The Asia Foundation, USAID, World Bank,
dll. Misalnya saja UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PDKRT). UU
tersebut mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik istri atau anak atas nama
penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat
yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam.
Begitu pula, amandemen
UU Kesehatan yang memuat aturan yang 'bergesekan' dengan hukum Islam semisal
mencegah nikah dini, tapi memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. Ada
juga UU Perlindungan Anak yang memberi peluang kebebasan pada anak dalam mengeluarkan
pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan
dalam berperilaku, termasuk kebebasan beragama.
Perjuangan kaum
liberal ini tidak lepas dari “kitab suci” mereka berupa konvensi dan
kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan
lain-lain, semisal Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak
sipil dan politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, dan
lainnya yang spiritnya menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan
perempuan.
Tak sampai di situ,
dengan dalih HAM, mereka pun bisa mendesak adanya pengakuan terhadap komunitas
lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dan lebih jauh lagi, mereka
bisa jadi meminta perkawinan sejenis dilegalkan seperti di dunia Barat.
Bahaya
Penulis buku
'Detik-detik Penghancuran Keluarga' Iwan Januar, menilai liberalisasi sangat
berbahaya bagi keluarga. Sayangnya, banyak keluarga Muslim yang lengah padahal
mereka tengah menjadi sasaran deislamisasi oleh Barat. Berbagai serangan perang
pemikiran dan perang kebudayaan diarahkan kepada keluarga Muslim.
Serangan paling vital
adalah melakukan liberalisasi keluarga. Satu di antaranya adalah melegalkan
kawin campur nikah beda agama, terutama agar para Muslimah dapat dinikahi oleh
pria non-Muslim. Bahkan, lanjutnya, di Jakarta malah sudah ada seorang tokoh liberal
yang menyediakan diri menjadi penghulu untuk pernikahan haram ini.
Kaum liberal, kata
Iwan, mencoba memasukkan paham feminisme ke dalam rumah tangga Muslim. Kaum
Muslimin coba dibuat percaya bahwa pembagian kerja istri/ibu dan suami/ayah
dapat diubah berdasarkan kesepakatan bersama. ”Jadi seorang perempuan tidak
boleh dipaksa tinggal di rumah, melahirkan dan mengurus anak, dan tidak ada
ketaatan pada suami. Rumah tangga adalah kesepakatan bersama. Tidak ada
pemimpin dan bawahan,” tulisnya.
Dan yang lebih
menjijikkan lagi, papar Iwan, kini tengah diperjuangkan agar diakui dan
disahkan perkawinan sejenis untuk kaum gay dan lesbian. Bahkan kaum liberal ini
tidak takut mengutak-atik ayat-ayat Allah dan memutarbalikkan hukum untuk
membenarkan hawa nafsu bejat mereka.
Di sisi lain keluarga
Muslim juga dihadang dengan kebijakan pembatasan usia pernikahan, birth control, pornografi, dsb. Menurutnya,
aturan-aturan ini kerap dibungkus dengan alasan yang terdengar indah tapi
sebenarnya bertabrakan dengan syariat Islam dan bersifat destruktif bagi
keluarga Muslim dan masyarakat.
Ujung
dari itu semua adalah penghancuran institusi keluarga karena keluarga saat ini
adalah benteng terakhir umat lslam. Menurut Iffah
Ainur Rochmah, keluarga dalam Islam ibarat benteng yang kokoh (hishan al hashin) yang menjadi pelindung anggotanya dari kerusakan dan
berbagai ancaman musuh. Kerusakan keluarga, kata Iffah, akan berakibat rusaknya
generasi. Kalau generasi sudah rusak, siapa lagi yang bisa menjadi tumpuan
harapan bagi tegaknya kembali sistem lslam? []emje
Begini
yang Barat Inginkan
Liberalisasi telah
sukses di Eropa. Agama Katolik pun tak berdaya. Larangan homoseks oleh Vatikan
pun tak diindahkan. Mungkin jika larangan itu yang melanggar adalah orang
biasa, wajar. Tapi ini dipertontonkan oleh pejabat negara.
Perdana Menteri
Luxemburg, Xavier Bettel (42), menjadi contoh liberalisasi. Ia adalah pemimpin
negara anggota Uni Eropa pertama yang menikah dengan sesama jenis. Bettel
menikah dengan rekannya, Gauthier Destenay, seorang arsitek asal Belgia. Mereka
menjadi pasangan gay pertama yang menikah di Lexembourg, negara mayoritas
Katolik yang bergabung dengan Uni Eropa paling akhir, dan mendukung penuh hak
bagi pasangan sesama jenis.
Partai pimpinan Bettel
memenangkan pemilihan dalam koalisi pemerintah setelah berjanji akan
memodernisasi Luxembourg. Beberapa janji partai Bettel adalah mengganti
pendidikan agama di sekolah dengan kelas etika umum, dan menurunkan usia hak
pilih menjadi 16 tahun.
Pasangan yang memakai
setelan jas berwarna gelap dan dasi itu, melambaikan tangan kepada warga
setelah proses janji suci. “Luxembourg dapat mengambil contoh,” ujar Bettel
bersama Destenay.
Kalau sudah begitu,
siapa Ibu Negaranya? Inilah yang diinginkan Barat di negeri-negeri Muslim! []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 154
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar