Oleh: KH. Hafidz
Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah
Sumber utama ekonomi
sebuah negara, termasuk negara khilafah, ada empat yakni perdagangan, jasa,
pertanian, dan industri. Perdagangan, baik domestik maupun luar negeri, terkait
dengan arus pertukaran barang [jual-beli]. Sedangkan jasa terkait dengan manfaat
yang diberikan oleh orang [manfaat syakhsh]
atau pekerjaan [manfaat 'amal). Adapun
pertanian terkait dengan pengelolaan lahan sawah dan perkebunan. Sementara
industri terkait dengan pengolahan bahan menjadi barang lain, baik yang terkait
dengan barang milik pribadi, umum, maupun milik negara.
Dalam konteks tenaga
kerja asing, masalahnya jelas terkait dengan jasa yang diberikan, baik oleh
orang [manfaat as-syakhsh] atau
pekerjaan [manfaat al-'amal]nya. Jasa
ini semuanya bersumber dari manusia, bukan barang. Karena itu, yang dihukumi
dalam hal ini adalah orang yang memberikan jasa tersebut, baik pribadi maupun
keahliannya.
Status
Warga Negara Pekerja
Status orang yang
berada di wilayah negara khilafah bisa dibagi menjadi dua: (1) Warga negara
Negara Khilafah; (2) Warga negara asing [bukan khilafah]. Warga Negara Khilafah
bisa dipilah lagi menjadi dua: (1) Muslim; dan (2) Ahli dzimmah. Warga negara
asing [bukan khilafah] bisa dibagi menjadi dua: (1) Kafir harbi fi'lan; (2) Kafir harbi hukman, baik yang terikat perjanjian
dengan khilafah, disebut mu'ahad atau
yang tidak.
Status masing-masing
orang ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda, antara satu dengan yang
lain.Warga negara khilafah, baik Muslim maupun ahli dzimmah, sama-sama
mempunyai hak sebagai warga negara, yang wajib dijamin sandang, papan, pangan,
pendidikan, kesehatan dan keamanannya. Karena itu, selain mereka mempunyai
kewajiban bekerja, bagi laki dewasa, berakal dan mampu, juga dijamin oleh
negara. Negara wajib menyediakan lapangan kerja untuk mereka, sehingga mereka
bisa menunaikan kewajibannya. Ini berlaku sama, baik untuk Muslim maupun
non-Muslim.
Berbeda dengan warga
negara asing. Bagi warga negara kafir harbi
fi'lan, seperti Cina, Rusia, AS, dan Israel, misalnya, keberadaan mereka
di wilayah khilafah hanya boleh untuk mempelajari Islam, bukan untuk berdagang
atau bekerja. Karena itu, mereka tidak boleh melakukan aktivitas lain di
wilayah khilafah, baik yang terkait dengan perdagangan maupun jasa. Ini karena
visa [al-aman] yang diberikan oleh
negara khilafah hanya untuk belajar, bukan yang lain.
Sedangkan warga negara
asing kafir harbi hukman, baik yang
terikat perjanjian dengan khilafah [mu'ahad],
maupun bukan, seperti Jepang, Korea, dan negara-negara yang tidak terlibat
langsung dalam memerangi Islam dan kaum Muslim, maka mereka boleh keluar-masuk
wilayah khilafah tanpa visa khusus, tidak sebagaimana kafir harbi fi'lan. Mengenai boleh dan tidaknya mereka berdagang atau
bekerja, bergantung pada perjanjian antara negara mereka dengan negara
khilafah. Jika perjanjiannya meliputi perdagangan dan jasa, maka mereka boleh
berdagang dan bekerja di wilayah negara khilafah. Jika tidak, maka tidak boleh.
Tindakan
Terhadap TKA
TKA yang berasal dari
wilayah kafir harbi fi'lan jelas tidak
diperbolehkan berdagang dan bekerja di wilayah khilafah. Karena itu, ketika
mereka berdagang atau bekerja di wilayah negara khilafah, ini dianggap sebagai
pelanggaran hukum, dan merupakan tindak kriminal [jarimah].
Karenanya, negara akan menindak dengan tegas pelanggaran atau tindak kriminal
seperti ini. Bisa dideportasi, bisa dipenjara atau sanksi lain yang dianggap
tepat oleh hakim, disesuaikan dengan tingkat kejahatannya.
Adapun TKA yang
berasal dari wilayah kafir harbi hukman,
jika dalam klausul perjanjian antara negaranya dengan negara khilafah meliputi
kebolehan untuk berdagang dan bekerja, maka mereka tidak dilarang bekerja di
wilayah negara khilafah. Namun, jika klausulnya tidak mencakup kebolehan
berdagang dan bekerja, maka mereka dilarang berdagang dan bekerja di wilayah
khilafah. Jika mereka melakukan pelanggaran, maka pelanggaran ini akan ditindak
tegas oleh negara. Karenanya, negara akan menindak dengan tegas pelanggaran
atau tindak kriminal seperti ini.
Bisa dideportasi, bisa
dipenjara atau sanksi lain yang dianggap tepat oleh hakim, disesuaikan dengan
tingkat kejahatannya. Selain itu, membuka masuknya TKA, apalagi dari negara
kafir harbi fi'lan, jelas mengancam
kedaulatan negara, baik dalam aspek keamanan, daya beli dan daya saing ekonomi,
maupun yang lain. TerIebih, ketika warga negaranya sendiri membutuhkan lapangan
kerja, dan seharusnya lapangan kerja itu menjadi hak mereka, lalu diserobot oleh
warga negara lain. Kebijakan seperti ini jelas tidak akan dilakukan oleh
khalifah, sebagai pemangku khilafah, karena akan mengancam ketahanan negaranya
sendlri.
Terlebih, ketika TKA
dari negara kafir harbi fi’lan itu
jelas-jelas musuh kaum Muslim, yang di wilayahnya, kaum Muslim mengalami
serangan dan diskriminasi. Mereka juga mempunyai kepentingan untuk menguasai
sumber daya alam, energi dan kekayaan alam lainnya. Bahkan, terbukti mereka
juga melakukan berbagai tindak kriminal yang merusak, seperti produksi dan
perdagangan narkoba. Terhadap negara kafir harbi
fi'lan negara khilafah akan menutup rapat pintunya, dan ekstra
hati-hati. Karena hukum asalnya, negara seperti itu, begitu juga rakyatnya,
adalah musuh negara khilafah.
Hubungan negara
khilafah dengan negara kafir harbi fi'lan
adalah hubungan perang. Karena itu, tidak mungkin negara khilafah membuka ruang
baik kepada negaranya maupun rakyatnya untuk keluar masuk wilayahnya, baik
berdagang maupun bekerja. Dalam kondisi perang seperti ini, sangat riskan
karena bisa jadi mereka melakukan aksi spionase terhadap negara khilafah.
Membahayakan
Negara
Warga negara kafir harbi fi'lan, di luar izin untuk mempelajari
Islam, tidak diperbolehkan melakukan aktivitas lain. Jika ini mereka lakukan,
maka tindakan ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum. Karena itu, selain
tindakan tegas sebagaimana yang dilakukan negara khilafah terhadap mereka di
atas, negara juga bisa memata-matai semua aktivitas mereka dengan warga negara
khilafah, yang dikenal dengan istilah ahl
ar-raib [orang yang dicurigai melakukan persekongkolan dengan musuh].
Jika terbukti, maka
bukan hanya warga negara kafir harbi fi'lan
yang akan ditindak dengan tindakan tegas oleh negara khilafah, tetapi juga ahli ar-raib, yang notabene warga negara
khilafah. Bagi warga negara kafir harbi fi'lan,
bisa dideportasi, bisa dipenjara atau sanksi lain yang dianggap tepat oleh
hakim, disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Sedangkan bagi warga negara
khilafah, mereka bisa dikenai takzir, baik dipenjara, didenda maupun dibunuh.
Semuanya diserahkan kepada keputusan hakim, dengan mempertimbangan berat dan
ringan tingkat kejahatannya.
Begitulah cara negara
khilafah menjaga ketahanan negaranya, dan kebijakannya terhadap warga negara
asing, khususnya Kafir harbi fi'lan.
Dengan cara seperti itu, negara khilafah akan menjadi negara yang sangat kuat,
kompetitif, dan bukan saja mempunyai daya saing yang tinggi, tetapi memimpin
dunia dan menjadi adidaya. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 188
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar