Pengkhianat dalam
beberapa ayat Al-Qur’an senantiasa diposisikan sebagai orang yang dibenci oleh
Allah SWT. Seperti dalam beberapa surat berikut:
”Dan janganlah kamu
berdebat -untuk membela- orang-orang yang mengkhianati dirinya, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang banyak berkhianat dan berlumur
dosa” (TQS. An-Nisaa':107).
”Sesungguhnya Allah
tidak menyukai para pengkhianat” (Al-Anfaal: 58).
”Tidaklah makar jahat
itu akan menimpa, kecuali kepada pelakunya sendiri” (TQS. Fathir: 43).
Dalam rentang sejarah
pun para pengkhianat menjadi penyebab dibantainya umat Islam. Hal ini bisa
ditelusuri bagaimana ibukota kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad hancur lebur dan
banjir darah disebabkan seorang pengkhianat bernama Muayyaduddin Ibnul 'Alqami,
seorang perdana menteri Khalifah al-Mu'tashim Billah yang bekerja sama dengan
Hulaghu Khan dengan janji jabatan untuk menghancurkan Baghdad. Begitupun tiga
orang pengkhianat bernama Yusuf bin Kamasyah dan Abul Qasim al-Malih, serta
satu tokoh agama bernama al-Baqini yang dengan hina menyerahkan kekuasaan
Granada kepada Raja Fernando 3 dan Ratu Isabella untuk dihancurkan dan
diserahkan kepada kerajaan Kristen hanya demi harta dan jabatan.
Dampak adanya
pengkhianatan sangat dahsyat terhadap umat Islam. Sekitar 400.000 orang lebih
terbunuh di Ibukota Khilafah Abbasiyah pada saat pembantaian oleh pasukan
Mongol. Begitupun di Spanyol, umat Islam nyaris bersih tak tersisa kecuali
hanya bangunan dan beberapa saja yang selamat dari pembantaian umat Kristen.
Sekali lagi, ini karena pengkhianatan.
Perlakuan
terhadap Pengkhianat
Pengkhianatan bisa
saja dilakukan oleh Muslim ataupun kafir (ahlu
dzimmah, ahlu musta'min). Berkhianat merupakan tindakan yang haram.
Bahkan diposisikan sebagai ahlu bughat
(pembangkang). Sebagaimana diharamkan bagi seluruh kaum Muslimin bersekongkol
dengan orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin, baik secara individu maupun
negara. Sebab, jika seorang Muslim memerangi seorang Muslim lainnya diharamkan,
maka pengharaman bersekongkol dengan orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin
lebih berat lagi.
Allah SWT
menggambarkan pembunuhan seorang Muslim terhadap Muslim yang lain sebagai
kekafiran karena begitu besar dosanya. Rasulullah SAW bersabda, "Mencela
seorang Muslim adalah fasik, sedangkan membunuh seorang Muslim adalah
kekafiran.” Oleh karena itu, isti'anah dengan
orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin lebih berat.
Akan tetapi, walaupun
hal ini diharamkan, namun hal ini tidak mengeluarkan eksistensi keimanan ahlu bughat. Hukum Allah bagi hak mereka tidak
berubah. Mereka tetap dianggap bughat
dan mendapat perlakuan sebagai ahlu bughat
meskipun mereka bersekongkol dengan orang-orang kafir.
Sedangkan bagi ahlu dzimmah dianggap berkhianat jika mereka
membatalkan perjanjian di antara mereka dengan daulah ketika ada. Namun ketika
daulah Islam tidak ada seperti saat ini, maka posisi orang kafir dianggap masih
sebagai ahlu dzimmah bagi mereka yang
berketurunan ahlu dzimmah. Ketika daulah
Islam masih ada dahulu. Sehingga perjanjiannya masih berlaku hingga saat ini,
dan batalnya perjanjian yang dilakukan saat ini berimplikasi terhadap mereka
setelah nanti Daulah Khilafah tegak kembali.
Ibn al-Qayyim
mengemukakan delapan perkara mengenai hukum-hukum ahlu
dzimmah yang wajib tidak dilakukan oleh mereka, jika mereka melakukannya
maka batal perjanjiannya. Kedelapan hal tersebut adalah:
(1) Membantu memerangi
kaum Muslim
(2) Membunuh kaum
Muslim dan Muslimah
(3) Membegal kaum
Muslim di jalan
(4) Memberi tempat
kepada mata-mata (musuh)
(5) Membantu kaum
kafir untuk memerangi kaum Muslim, baik dengan panduan ataupun tulisan mengenai
informasi kaum Muslim
(6) Menzinahi Muslimah
(7) Menyetubuhi wanita
Muslimah atas nama pernikahan
(8) Memfitnah kaum
Muslimin agar meninggalkan agamanya
Kemudian Ibn al-Qayyim
menambahkan empat lagi yaitu; jika Ahlu Dzimmah menyebut nama Allah,
kitab-kitab-Nya (al-Qur’an), agama-Nya dan menyebut Rasul-Nya SAW dengan
sebutan yang tidak layak.
Jika ahlu dzimmah mengabaikan kedua belas hal di
atas, maka mereka telah membatalkan jaminan keamanan, baik semuanya tadi
dinyatakan sebagai syarat dalam perjanjian ataupun tidak.
Konsekuensi hukuman
atas pengkhianatan perjanjian bagi ahlu dzimmah
dibagi menjadi lima keadaan:
1. Jika mereka (ahlu dzimmah) mengangkat senjata terhadap kaum
Muslimin karena terlibat dengan bughat
(pemberontakan), maka mereka akan diperangi oleh khalifah sebagai ahlu bughat.
2. Jika mereka
mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin yang melakukan bughat dalam rangka membela Daulah Islam, maka
Perjanjian mereka tidak batal.
3. Jika mereka
mengangkat senjata untuk membegal di jalanan, maka mereka akan diperlakukan
sebagaimana tindakan kriminal yang dilakukan oleh umat Islam dalam hal hukuman
bagi pembegal.
4. Jika mereka
mengangkat senjata tidak terlibat bughat
maupun musuh (kafir harbi), maka mereka
akan diperangi sebagaimana memerangi ahlu harb.
5. Jika mereka
mengangkat senjata memerangi umat Islam karena bergabung dengan kaum kafir harb, maka mereka akan diperangi sebagai
kaum kafir harb.
Khalifah bisa
memperlakukan para pengkhianat yang menjadi sebab dibantainya umat Islam dengan
dua cara: pertama, bagi seorang Muslim
yang membantu orang kafir membunuhi umat Islam, maka akan dikenai hukuman bughat.
Kedua, bagi kafir
harbi yang bersama dengan ahlu bughat
harus diperangi dengan pemerangan yang sebenarnya, dan berjihad melawan mereka
dengan jihad yang bersifat syar'iyyah,
serta memerangi mereka dengan peperangan yang tanpa kompromi. Bagi mereka
ditegakkan kondisi perang, dan memperlakukan mereka yang kena tawan sebagai
tawanan, dan diberlakukan bagi mereka hukum-hukum tawanan.
Mereka dikenai seluruh
hukum jihad, serta seluruh hukum yang dikenakan kepada ahlu harbi. Demikian pula jika orang-orang kafir tersebut adalah
kafir musta'min. Sebab, jika mereka
bersekongkol dengan ahlu bughat, pada
dasarnya mereka (kafir musta'min) telah
melepaskan perjanjiannya, sehingga mereka berubah menjadi ahlu harbi. Akan tetapi hal itu bisa
dijatuhkan kepada mereka jika mereka (kafir
musta'min) melakukan hal tersebut berdasarkan pilihan dan ketertundukan
mereka. Yaitu, jika mereka bersekongkol dengan ahli
bughat karena pilihan mereka.
Adapun jika mereka (kafir musta'min) bersekongkol dengan ahlu bughat karena paksaan, takut siksaan dan
ancaman mereka, otomatis kafir musta'min
diperlakukan sebagai bughat bukan
perlakuan muharibin [layaknya kafir harbiy].
Adapun jika
orang-orang kafir yang bersekongkol dengan ahlu
bughat adalah kafir dzimmiy maka
persekongkolan dengan ahlu bughat tidak
mengeluarkan eksistensi mereka sebagai ahlu
dzimmah, baik persekongkolannya atas pilihan [sendiri] atau paksaan.
Sebab, kafir dzimmi adalah bagian dari
warga Daulah Islamiyah. Oleh karena itu, kafir
dzimmi dikenai hukum bughat.
Mereka diperangi dengan pemerangan yang bersifat edukatif, bukan dengan agresi
militer.
Wallahu'alam.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 195
---