Makna Puasa Wajib Puasa Tujuan Supaya Bertaqwa
MENGGAPAI TAQWA DENGAN PUASA
Tujuan
puasa Ramadhan adalah membentuk individu-individu yang selalu bertaqwa
kepada Allah Swt. Allah Swt. telah berfirman, artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa
sebagaimana puasa itu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertaqwa.” [QS. Al-Baqarah:183]
Seorang mufassir ternama, Imam Ibnu al-‘Arabiy , menjelaskan makna firman Allah swt ,”la’allakum tattaquun” sebagai berikut:
“Dalam menafsirkan frasa ini, para ‘ulama tafsir terbagi menjadi tiga pendapat. Pertama,
ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “la’allakum tattaquun”
adalah “la’allakum tattaquun maa hurrima ‘alaikum fi’luhu” {agar kalian
terjaga dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan kepada kalian}. Kedua, ada
yang berpendapat bahwa, “la’allakum tattaquun” bermakna “la’allakum
tudl’ifuun fa tattaquun” [agar kalian menjadi lemah, sehingga kalian
menjadi bertaqwa]. Sebab, ketika seseorang itu sedikit makannya maka
syahwatnya juga akan lemah, ketika syahwatnya melemah maka makshiyyatnya
juga akan sedikit.” Ketiga, ada
yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Swt.
“la’allakum tattaquun”, adalah la’allakum tattaquun ma fa’ala man kaana
qablakum” [agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh orang-orang sebelum kalian {Yahudi dan Nashrani}.” [Imam Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quraan, juz I/108]
Makna pertama.
Ibadah puasa adalah agar kita mampu menghindarkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah swt. Atas dasar itu,
puasa harus mampu membentuk karakter untuk selalu membenci dan menjauhi
perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan batil.
Sayangnya,
betapa banyak kaum muslim yang sudah melaksanakan ibadah puasa puluhan
tahun lamanya, akan tetapi ia tidak pernah bisa terjaga dari
perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah.
Benar,
setiap tahun mereka menjalankan ibadah puasa, namun setiap tahun pula
mereka gemar berbuat maksiyat, mendzalimi orang lain, memakan riba dan
memangsa hak-hak orang lemah.
Puasa
yang mereka kerjakan tidak memberikan bekas dan pengaruh apapun,
kecuali sekedar haus dan dahaga. Bahkan, ada di antara para penguasa
(yang bathil menurut Syariah) yang disibukkan dengan kegiatan-kegiatan
seremonial untuk menyambut bulan Ramadhan. Mereka juga terlihat serius
dan komitmen tatkala menjalankan ibadah puasa. Mereka juga rela bangun
di pagi buta untuk mendapatkan berkah makan sahur. Di siang harinya,
mereka juga sangat serius dalam menjaga kesempurnaan pahala puasanya dan
dari hal-hal yang bisa membatalkan puasanya. Mereka juga sangat
disiplin dalam menetapkan waktu berbuka di sore harinya. Mereka selalu
memantau sang waktu detik per detik. Mereka sangat takut berbuka tidak
pada waktunya. Di malam harinya mereka juga terlihat bangun untuk
menjalankan qiyamul lail.
Namun,
keseriusan dan komitmen mereka terlihat hanya ketika menjalankan ibadah
puasa belaka. Ibadah-ibadah lainnya, seperti menerapkan hukum-hukum
Allah Swt., tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir, serta
mengganti hukum-hukum kufur tidak dijalankan dengan serius dan komitmen,
layaknya ketika mereka menjalankan ibadah puasa. Mereka terus
menelantarkan hukum-hukum Allah swt, memberikan loyalitas kepada kaum
kafir, bahkan berusaha memerangi para pengemban dakwah yang ikhlash
berjuang untuk menegakkan kalimat Allah Swt. (Maka mereka bukanlah
Khalifah dan tidak sah menurut hukum Islam)
Kita bisa bertanya, apakah mereka sudah mendapatkan hakikat dan tujuan
dari puasa? Ataukah, mereka hanya mendapatkan lapar dan haus belaka?
Puasa
harusnya menjadikan mereka mampu menghindarkan diri dari perbuatan yang
diharamkan oleh Allah Swt. Sebab, hal itu merupakan substansi dasar
dari “la’allakum tattaquun”. Jika kita mampu menghindarkan sesuatu yang
bisa membatalkan puasa kita, lantas mengapa kita tidak bisa meninggalkan
larangan-larangan Allah yang lainnya?
Jika
dalam melakukan puasa ia bisa menjaga dari hal-hal yang membatalkan
puasa, disiplin waktunya, memenuhi sunnah-sunnah dan keutamaannya, lalu
mengapa untuk ibadah-ibadah yang lain ia tidak bisa seserius dan
sedisiplin seperti tatkala mengerjakan puasa?
Makna Kedua. Puasa
harusnya tidak hanya menjadikan diri kita lemah secara fisik. Lebih
jauh dari itu, puasa juga harus mampu melemahkan hawa nafsu kita, hingga
akhirnya kita memiliki muyul
(kecenderungan) yang baik. Kecenderungan hanya ingin berbuat baik, dan
beribadah kepada Rabbnya dengan penuh keikhlasan dan ketawadhu’an. Puasa
harusnya semakin membersihkan qalbu kita untuk selalu bersemangat dalam
ibadah dan lemah dalam bermaksiyat. Dengan puasa, syahwat (nafsu tanpa
bimbingan wahyu) harusnya bisa dilemahkan sedangkan keinginan-keinginan baik
semakin ditingkatkan.
Jika
kita masih memuja hawa nafsu dan melemahkan tuntunan agama yang baik,
sungguh puasa kita belum mendapatkan hasil yang optimum. Dengan kata
lain, puasa yang sudah puluhan tahun kita kerjakan ini belum mampu
mengubah akhlaq kita (kepribadian kita), menjadi akhlaq yang lebih baik.
Semakin
lama kita berpuasa, harusnya keimanan dan
hati kita semakin jernih dan cemerlang. Semakin lama kita semakin
menjadi orang yang lembut, pemaaf, sabar, menghormati yang tua
dan menyayangi yang lebih muda.
Di sisi yang lain, semakin lama kita berpuasa kita semakin rindu dan
cinta kepada terwujudnya penerapan syariat Islam secara menyeluruh di
muka bumi ini. Kita semakin mencintai dan hanya memberikan loyalitas
kepada kaum mukmin. Kita semakin membenci aturan-aturan kufur,
antek-antek orang kafir, serta penguasa-penguasa (yang batal demi hukum
Islam) yang enggan dan menelantarkan penerapan syariat Islam. Kebencian karena Allah SWT
ini kita refleksikan dengan cara berjuang dan mengingatkan para penguasa
dengan cara yang ihsan. Sungguh setelah mengerjakan puasa kita
akan menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki pola sikap (nafsiyyah) yang
tangguh dan kuat. Puasa tidak ditujukan untuk melemahkan fisik kita,
akan tetapi melemahkan kejahliyahan.
Makna Ketiga. Puasa
merupakan wahana untuk melahirkan kaum mukmin yang bisa
menghindarkannya dari meniru-niru pemikiran, adat-istiadat
dan peradaban kaum kafir yang memang bertentangan dengan Islam. Kaum
mukmin harusnya memahami, bahwa kekufuran kaum kafir –Yahudi dan Nashrani—adalah
sumber keburukan dan kekejian. Perbuatan mereka yang suka
mengganti-ganti dan mengubah-ubah aturan-aturan Allah telah
memurukkan mereka ke tempat yang sangat hina. Atas dasar itu, seorang
mukmin akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi mereka.
Rasulullah Saw. pernah mengingatkan kepada kita semua dengan sabdanya,
“Sungguh,
kelak kalian akan mengikuti tingkah laku orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta; hingga jika mereka masuk
ke lubang biawak kalian akan mengikuti mereka.” Para shahabat bertanya,
“Apakah mereka itu adalah orang Yahudi dan Nashrani? Rasulullah Saw.
menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.” [Lihat al-Mustadrak 1/29,
4/455, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, 5/218]
Betapa ironisnya, betapa banyak para penguasa muslim (tapi bathil) yang
telah mengerjakan puasa (mungkin) puluhan tahun lamanya, namun perangai
mereka tetap saja meniru-niru orang Yahudi dan Nashrani. Bahkan, mereka
menerapkan sistem Yahudi dan Nashrani di tengah-tengah umatnya.
Mereka menjadi penjaga aturan-aturan kufur dan penabuh genderang
peperangan melawan syariat Islam dan para pengembannya.
Seluruh
tipudaya dan makar mereka kerahkan untuk menghambat para pengemban
dakwah yang ingin menegakkan kalimat Allah Swt. Puasa yang telah mereka
lakukan puluhan tahun tidak memberikan bekas apapun. Mereka tetap
membenci kaum muslim dan syariat Islam, bahkan bermuwalah dengan
orang-orang kafir. Tidak jarang di antara mereka bahkan bahu-membahu
dengan pasukan kafir untuk memerangi kaum muslim. Sungguh, puasa mereka
tidak memperoleh apapun kecuali sekedar lapar dan dahaga.
Puasa
yang selama ini kita lakukan harus mampu menjadikan diri kita hanya
ridho untuk diatur hanya dengan aturan-aturan Allah Swt., bukan dengan
aturan-aturan produk Yahudi dan Nashrani maupun produk pikiran manusia
manapun.
Sungguh, jika ini telah kita pahami bersama, tentu ibadah
puasa kita di bulan Ramadhan, dan ibadah-ibadah di bulan yang lain akan
bermakna dan semakin optimal. Bagi seorang muslim, ibadah puasa
merupakan wahana pembinaan agar kita semakin serius dan disiplin dalam
mengerjakan seluruh perintah Allah Swt. Selain itu, puasa menjadi wahana
yang bisa mengantarkan kita menjadi mukmin yang berakhlaqul karimah.
Lebih dari itu, puasa merupakan cambuk bagi kita agar kita
meninggalkan aturan-aturan kufur yang lahir dari peradaban kapitalisme
dan sosialisme dan kembali kepada syariat Islam.
Bacaan: buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar