Orientasi
Salah
Kata ulama dalam Kamus
Besar Bahasa lndonesia merupakan orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan
agama Islam. Selain itu, juga memiliki akhlak mulia, mengamalkan ilmu untuk
kebaikan dan kemajuan umat.
Saat ini, minat
perempuan dalam ilmu agama masih sangat kurang. Sedikit sekali perempuan yang
punya cita-cita menjadi ulama. Orang tua dan pendidik pun jarang menanamkan
cita-cita tersebut pada anak-anak perempuan.
Hal ini disebabkan
sistem hidup yang diterapkan adalah kapitalis-sekuler. Sistem ini tidak
mendukung lahirnya ulama-ulama perempuan dengan cepat dan masif. Kurikulum
pendidikan yang sekuler, memisahkan pendidikan agama dengan non-agama. Sehingga
kian jauh pemahaman anak didik dari agama.
Orientasi belajar
perempuan pun salah arah. Akhirnya lebih suka belajar ilmu-ilmu umum untuk
menunjang kariernya kelak. Memang, tidak masalah belajar ilmu umum, asal ilmu
agama tidak ditinggalkan. Tetapi yang terjadi, kesibukan mempelajari ilmu umum
membuat perempuan abai belajar agama.
Di sisi lain, malah
lebih sibuk belajar hal-hal khusus yang berkait dengan keperempuan saja.
Seperti tak ada habisnya mengulas tips-tips make
up wajah, memutihkan kulit, mengusir jerawat, melangsingkan tubuh,
berbusana yang fashionable, dan
sejenisnya. Obrolan perempuan pun tak beranjak dari situ. Jarang membincangkan
masalah agama.
Tak jarang ulama
perempuan jumlahnya masih sedikit. Kalaupun ada perempuan yang menonjol di
bidang ilmu agama, rasionya masih jauh dibandingkan jumlah perempuan yang ada.
Teladan
Sahabiyah
Munculnya ulama
perempuan tidak lahir begitu saja. Perlu didukung oleh peradaban keilmuan yang
diterapkan sistem Islam. Bercermin pada pendidikan perempuan di era kerasulan
dan era khilafah, di mana aktivitas belajar dan studi dikelola negara.
Nabi SAW tak pernah
mengabaikan perempuan. Bahkan beliau menyisihkan waktu khusus untuk mendidik
perempuan. Abu Sa'id al-Khudri ra. menceritakan, beberapa wanita mengatakan
kepada Nabi SAW, ”Pria telah di depan kita (dalam pengetahuan). Oleh karena
itu, pilihlah hari khusus untuk kepentingan kami juga.” Nabi SAW lalu
menetapkan satu hari untuk mereka. Beliau SAW akan menemui mereka pada hari
itu, menyarankan mereka dan mendidik mereka tentang perintah Allah SWT. (HR.
Al-Bukhari)
Dari peradaban Islam
yang ditegakkan Rasullullah SAW, lahirlah ulama-ulama perempuan. Aisyah ra.
sangat masyur dengan gelar 'Faqihat ul-Ummah' atau ahli hukum dari umat.
Beliau meriwayatkan lebih dari 2.200 hadits dari Nabi SAW. Seorang ulama, Ibnu
Hajar bahkan mengatakan: ”Satu dari empat perintah Nabi SAW diriwayatkan oleh
Aisyah."
Ulama perempuan
lainnya yang juga istri Rasul SAW adalah seperti Ummu Salamah, Hafsah, Umm
Habibah dan Maymunah. Mereka juga unggul dalam hadits dan fatwa Islam. Ulama
lain adalah Asma binti Abu Bakar, Umm Atiyah, Umm Shareek, Fathimah binti Qais
ra., Khansa binti Amr, Hind binti Athathah, Atikah, Umm Aiman dan Safiyah binti
Abdul Muthalib bin Hasyim.
Era
Gemilang
Di era khilafah,
sejarah menorehkan pentingnya pendidikan perempuan. Mereka bisa mengakses
pendidikan di rumah, sekolah, masjid, perguruan tinggi dan lembaga lainnya.
Bahkan mereka bisa bepergian ke seluruh dunia Islam untuk mencari ilmu, tanpa
hambatan batas-batas negara. Karena, negara khilafah telah menyatukan semua
wilayah ke dalam satu negara.
Tak heran bila
lahirlah ribuan ulama perempuan. Termasuk kejayaan Islam di Cordoba dan
Andalusia yang melahirkan mercusuar ilmu. Para ulama perempuan bertebaran di
sana. Ditemukan, 8.000 lebih biografi muhaditsah
atau ahli hadits perempuan.
Menurut Ruth Roded,
dosen senior di Sejarah Islam dan Timur Tengah di Universitas Ibrani Yerusalem,
proporsi dosen perempuan di banyak perguruan tinggi Islam klasik, lebih tinggi
daripada proporsi dosen perempuan di universitas-universitas Barat saat ini.
Nama-nama ulama
perempuan terkenal di bawah khilafah, antara lain Umm Darda. Abad ke-7 beliau
mengajari hadits dan fiqh di Masjid Besar Umayyah di Damaskus, ibukota khilafah
saat itu. Salah satu muridnya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang akan
duduk dalam lingkaran studinya bersama siswa lain.
Nafisa binti Hassan,
intelektual di Mesir abad ke-9 M, adalah guru dari Imam Syafi'i. Amrah binti
Abd al-Rahman di Madinah, mengeluarkan fatwa tentang transaksi bisnis dan
hukuman. Aishah binti Abd-al-Hadi, abad ke-9 M, guru utama yang mengajarkan
Sahih al-Bukhari di masjid agung Bani Umayyah.
Shaykhah Umm aI-Khayr
Fatimah binti lbrahim, abad ke-14 M mengajar hadits di Masjid Nabawi. Zainab
binti Kamal adalah ulama abad ke-14 yang mengajar lebih dari 400 kitab-kitab
hadis.
Para ulama
laki-lakipun, memiliki banyak guru perempuan. Ibnu Hajar berguru dari 53
perempuan, as-Sakhawi memiliki ijazah dari 68 perempuan, as-Suyuti belajar dari
33 guru perempuan dan Ibnu Asakir meriwayatkan hadits dari 80 perempuan lebih.
Para ulama perempuan
di zaman keemasan ini, mendapat kedudukan terhormat di masyarakat. Namun, tidak
melupakan tugas pokoknya sebagai ummu wa
rabbatul bayt. Di ranah domestik, apik dalam mengelola rumah tangga,
mengasuh dan mendidik anak.
Walhasil, menjadi
ulama perempuan adalah kedudukan mulia dan terhormat. Ilmu yang dimilikinya
bermanfaat di dunia, dan berkah di akhirat. Karena itu, setiap Muslimah
hendaknya bercita-cita menjadikan dirinya seorang ulama. Memiliki visi untuk berkontribusi
mencerdaskan umat.
Memang, jalan yang
ditempuh tidak mudah. Mengingat negara dengan sistem sekulernya saat ini tidak
kondusif untuk mengakomodasi semangat belajar agama. Maka di sinilah umat butuh
khilafah untuk mencetak generasi ulama-ulama terbaik harapan umat.
---
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 197
Tidak ada komentar:
Posting Komentar