Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]
Pasal 189
Hubungan negara dengan negara-negara lain yang ada di dunia dijalankan berdasarkan empat kategori:
Pertama, negara-negara yang ada di dunia Islam dianggap seolah-olah berada dalam satu wilayah negara, sehingga tidak masuk ke dalam hubungan luar negeri, dan tidak dimasukkan dalam politik luar negeri. Negara wajib menyatukan negara-negara tersebut ke dalam wilayahnya.
Kedua, negara-negara yang terikat perjanjian di bidang ekonomi, perdagangan, bertetangga baik atau perjanjian tsaqafah, maka negara-negera tersebut diperlakukan sesuai dengan isi teks perjanjian. Warga negaranya dibolehkan memasuki negeri-negeri Islam dengan membawa kartu identitas tanpa memerlukan paspor, jika hal ini dinyatakan dalam teks perjanjian, dengan syarat terdapat perlakuan yang sama. Hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara-negera tersebut terbatas pada barang dan kondisi tertentu yang amat dibutuhkan, serta tidak menyebabkan kuatnya negara yang bersangkutan.
Ketiga, negara-negara yang -antara kita dengan mereka- tidak terikat perjanjian, termasuk negara-negara imperialis seperti Inggris, Amerika, dan Perancis, begitu pula dengan negara-negara yang memiliki ambisi pada negeri-negeri Islam seperti Rusia; maka secara hukum dianggap sebagai negara yang bermusuhan (muhariban hukman). Negara menempuh berbagai tindakan kewaspadaan terhadap mereka dan tidak boleh membina hubungan diplomatik. Warga negara-negara tersebut dibolehkan memasuki negeri-negeri Islam tetapi harus membawa paspor dan visa khusus bagi setiap individu untuk setiap kali perjalanan. Kecuali negara-negara tersebut menjadi muhariban fi’lan.
Keempat, negara-negara yang tengah berperang (muhariban fi’lan) seperti Israel, maka terhadap negara tersebut harus diberlakukan sikap dalam keadaan darurat perang sebagai dasar setiap perlakuan dan tindakan, baik terdapat perjanjian gencatan senjata atau tidak. Dan seluruh penduduknya dilarang memasuki wilayah Islam.
Pasal ini diturunkan dari hukum-hukum mengenai Darul Islam dan darul kufur, dan dari hukum-hukum mengenai mu’ahid dan musta’min.
Kategori pertama terkait dengan tanah-tanah Islam yang pernah dikuasai pemerintahan Islam, seperti India, atau di mana mayoritasnya Muslim seperti Libanon. Semua tanah Islam sejak runtuhnya Khilafah pada 1342 Hijriyah hingga nanti didirikan-kembali dengan izin Allah SWT adalah termasuk darul kufur, karena diperintah dengan selain Islam dan keamanan eksternalnya bukan keamanan Islam. Ada pula yang diamankan dengan Islam tapi diperintah dengan selain Islam. Semua itu termasuk darul kufur dan karena mereka tadinya Darul Islam maka wajib mengembalikannya menjadi Darul Islam. Tapi selama mereka diperintah dengan selain Islam, atau keamanannya adalah keamanan selain Islam, maka mereka tetap darul kufur, sehingga hukum-hukum darul kufur berlaku padanya.
Tanah-tanah itu sebagai darul kufur bukan berarti bahwa semua penduduknya adalah kafir, dan bukan berarti bahwa Darul Islam semua penduduknya adalah Muslim. Tetapi, makna daar di sini adalah makna syar’i: “haqiqat syar’iyah,” dengan kata lain, syariahlah yang memberinya makna, seperti istilah shalat dan shiyam dan lain-lain dari istilah syar’i.
Atas dasar itu, istilah Darul Islam berlaku pada negeri di mana mayoritas penduduknya Nasrani, sebagai contoh, tapi merupakan bagian dari Negara Islam. Ini karena hukum-hukum yang berlaku adalah Islam dan keamanan tanah itu adalah dengan keamanan Islami selama tanah itu tetap menjadi bagian dari Negara Islam.
Dan sejalan dengan itu, mengenai tanah di mana mayoritas masyarakatnya Muslim tapi menjadi bagian dari negara yang tidak memerintah dengan Islam, dan keamanannya tidak ditegakkan oleh pasukan Muslim tapi oleh pasukan kafir, maka istilah darul kufur berlaku padanya meskipun mayoritas penduduknya Muslim.
Jadi makna kata daar di sini adalah haqiqat syar’iyah dan tidak memandang proporsi kaum Musliminnya ketika istilah itu digunakan, tetapi hukum-hukum yang diterapkan dan keamanan rakyatnya yang dinilai. Dengan kata lain, makna daar diambil dari nash-nash syara’ yang menjelaskan makna itu, sebagaimana istilah shalat diambil dari nash-nash syara’ dan bukan dari makna bahasa istilah itu.
Hukum-hukum mengenai darul kufur sama sekali berbeda dengan hukum-hukum mengenai Darul Islam, jadi ada hukum-hukum yang spesifik padanya.
Jika kaum Muslimin yang tinggal di darul kufur tidak mampu menjalankan ibadah agamanya di sana, maka dia wajib pindah ke darul kufur yang lain di mana dia mampu menjalankannya, sebab firman-Nya SWT:
((إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97))
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (para malaikat) bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)." (Para malaikat) berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisa’ [4]: 97)
Ini berlaku jika tidak ada Darul Islam sebagaimana hari ini.
Namun, jika ada Darul Islam, hukum-hukum terkait hijrah dari darul kufur ke Darul Islam adalah sebagai berikut:
1. Siapapun yang mampu hijrah, dan tidak mampu mempraktikkan agamanya secara terbuka di negerinya, tidak pula mampu menjalankan hukum-hukum Islam yang dibebankan kepadanya – maka hijrah ke Darul Islam wajib atas dirinya. Dalam keadaan ini dia tidak boleh tinggal di darul harbi, dengan kata lain, darul kufur. Tetapi, hijrah ke Darul Islam hukumnya wajib. Dalilnya adalah ayat yang telah disebutkan, karena tepat untuk penarikan hukumnya:
((إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97))
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (para malaikat) bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)." (Para malaikat) berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisa’ [4]: 97)
Selain itu, juga ditunjukkan dari hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dari Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: لا تَرَايَا نَارَاهُمَ»
"Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang bermukim di antara orang-orang musyrik." Mereka bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Mereka tidak saling melihat api obor perang mereka.”
Artinya, bahwa jika keduanya menyalakan api kamu tidak dapat membedakan di antara mereka, sebagai konotasi untuk tidak tinggal di negeri mereka.
Kemudian tentang apa yang al-Bukhari riwayatkan:
«لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ»
“Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah”
Dan sabda Beliau saw.:
«لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ»
“Tidak ada hijrah setelah al-fath [Makkah]”
Dan:
«قَدْ انْقَطَعَتْ الْهِجْرَةُ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ»
“Hijrah telah selesai, tetapi (yang masih berlangsung adalah) jihad dan niat.”
Dan diriwayatkan bahwa ketika Shafwan bin Umayyah masuk Islam ada yang mengatakan kepadanya: “Tidak ada agama bagi siapa yang tidak berhijrah.” Maka ia datang ke Madinah, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya:
«مَا جَاءَ بِكَ أَبَا وَهْبٍ؟ قَالَ: قِيلَ إِنَّهُ لاَ دِينَ لِمَنْ لَمْ يُهَاجِرْ، قَالَ: ارْجِعْ أَبَا وَهْبٍ إِلَى أَبَاطِحِ مَكَّةَ، فَقَرُّوا عَلَى مَسْكَنِكُمْ فَقَدْ انْقَطَعَتْ الْهِجْرَةُ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، فَإِنْ اسْـتُـنْـفِرْتـُـمْ فَانْفِرُوا»
“Apa yang membuatmu datang kemari wahai Abu Wahab?” Ia menjawab: “Katanya, tidak ada agama bagi siapa yang tidak berhijrah.” Beliau saw. bersabda: “Pulanglah wahai Abu Wahab ke tanah Makkah dan tinggallah di rumah-rumah kalian, hijrah sudah terputus, yang ada tinggal jihad dan niat, dan jika kalian dipanggil (untuk perang) maka berangkatlah.” (diriwayatkan oleh Ibnu Asakir)
Semua ini menegasikan hijrah setelah penaklukan Makkah, tapi peniadaan ini mempunyai ‘illat syar’i (yaitu yang membangkitkan hukum) diturunkan dari hadits itu sendiri, sebab sabda Beliau saw.: “setelah fathu Makkah” datang dalam bentuk yang mengandung ‘illat, yang berarti bahwa penaklukan Makkah adalah ‘illat di balik peniadaan perlunya hijrah. Karena ‘illat beredar bersamaan dengan ada dan tiadanya ma’lul-nya (hukum yang dibangkitkan), maka ‘illat dalam hal ini tidak spesifik untuk penaklukkan Makkah akan tetapi berlaku untuk penaklukkan tempat manapun, dengan dalil riwayat lainnya: “Tidak ada hijrah setelah al-fath [Makkah].” Ini didukung oleh apa yang al-Bukhari riwayatkan dari ‘Aisyah ra. ketika dia ditanya tentang hijrah, dia menjawab:
«لاَ هِجْرَةَ الْيَوْمَ، كَانَ الْمُؤْمِنُ يَفِرُّ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ. فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ الإِسْلامَ، وَالْمُؤْمِنُ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ»
"Sudah tidak ada hijrah hari ini. Dulu orang-orang Mukmin lari dengan membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut mendapatkan fitnah (cobaan). Adapun sekarang, Allah telah memberikan kemenangan pada Islam (dengan al-fathu). Dan orang beriman dapat menjalankan ibadah kepada Tuhannya di manapun dia mau."
Hadits ini menunjukkan bahwa hijrah bagi Muslim sebelum penaklukan itu adalah dalam rangka lari dengan agamanya sehingga menghindar dari penindasan, dan hijrah ditiadakan setelah penaklukan Makkah sebab seorang Muslim telah menjadi mampu secara terbuka mempraktikkan agamanya dan menegakkan hukum-hukum Islam. Jadi, penaklukan yang mendasarinya adalah ‘illat bagi peniadaan perlunya hijrah, dan bukan penaklukan Makkah sebagai kejadian spesifik. Dengan begitu, maknanya adalah tidak ada hijrah dari suatu negeri setelah negeri itu ditaklukkan. Dan sabda Beliau saw. kepada Shafwan bahwa hijrah telah berakhir artinya adalah hijrah dari Makkah setelah Makkah ditaklukkan, sebab hijrah adalah pergi meninggalkan negeri kaum kafir dan dari darul kufur. Oleh karena itu, jika sebuah negeri ditaklukkan dan menjadi Darul Islam maka negeri itu tidak lagi sebuah negeri kaum kafir, juga bukan darul kufur, maka tidak ada hijrah darinya. Begitulah, setiap tanah yang ditaklukkan maka tidak ada hijrah darinya setelah penaklukannya (karena tanah itu telah menjadi bagian dari Darul Islam). Hal ini didukung oleh apa yang Ahmad riwayatkan dari Mu’awiyah yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
«لا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا تُقُبِّلَتْ التَّوْبَةُ، وَلا تَزَالُ التَّوْبَةُ مَقْبُولَةً حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ الْمَغْرِبِ»
“Hijrah tidak akan terputus sampai taubat terputus dan taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya.”
Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Beliau saw. bersabda:
«إِنَّ الْهِجْرَةَ لا تَنْقَطِعُ مَا كَانَ الْجِهَادُ»
“Hijrah tidak akan pernah terputus selama ada jihad.”
Dan dalam riwayat lainnya:
«لا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا قُوتِلَ الْعَدُوُّ»
“Hijrah tidak akan terputus selama musuh diperangi.”
Ini menunjukkan bahwa hijrah dari darul kufur ke Darul Islam terus berlanjut dan tidak terputus.
2. Orang yang mampu hijrah, tapi mampu mempraktikkan agamanya secara terbuka di negerinya, dan menjalankan hukum-hukum syara’ yang dibebankan kepadanya. Dalam kondisi ini hijrah di-sunnah-kan dan bukan wajib. Dalilnya adalah bahwa Rasul saw. menuntutkan hijrah dari Makkah sebelum penaklukannya sementara Makkah masih darul kufur, dan diturunkan ayat-ayat yang secara eksplisit menyebutkannya, seperti firman-Nya SWT:
((إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ)) [البقرة 218] وقوله سبحانه: ((آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ))
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]: 218), dan firman-Nya SWT: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS at-Taubah [9]: 20)
Mengenai tidak wajibnya hijrah bagi orang dalam kondisi tersebut adalah karena Rasul saw. mengakui kaum Muslimin yang tetap di Makkah. Diriwayatkan bahwa ketika Nu’aim an-Nahham mau berhijrah, suku dia, Bani ‘Adi, berkata kepadanya: “Tinggallah bersama kami dan tetaplah dalam agamamu, dan kami akan mencegah siapapun yang ingin mencelakaimu, dan teruslah membantu kami sebagaimana selama ini kamu terus membantu,” dia biasa menolong anak-anak yatim dan para janda. Maka dia menunda hijrahnya dalam beberapa waktu dan setelah itu berhijrah. Maka Nabi saw. bersabda kepadanya:
«قَوْمُكَ كَانُوا خَيْراً لَكَ مِنْ قَوْمِي لِي، قَوْمِي أَخْرَجُونِي وَأَرَادُوا قَتْلِي، وَقَوْمُكَ حَفِظُوكَ وَمَنَعُوكَ»
“Kaummu lebih baik daripada kaumku. Kaumku mengusirku dan ingin membunuhku. Sementara kaummu menjagamu dan melindungimu.” (Ibnu Hajar, al-Ishabah)
3. Bagi orang yang tidak mampu, maka Allah SWT Maha Pengampun, dan dia tidak diminta untuk melakukannya karena ketidakmampuannya untuk berhijrah, apakah karena sakit atau dipaksa tinggal, atau karena kelemahan seperti perempuan, anak-anak dan semisalnya. Dalilnya adalah firman-Nya SWT:
((إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98))
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS an-Nisa’ [4]: 98)
4. Bagi orang yang mampu mempraktikkan agamanya secara terbuka di negerinya, dan menjalankan hukum-hukum syara’ yang dibebankan kepadanya, dan di waktu yang sama dia memiliki kemampuan untuk mengubah darul kufur tempat dia tinggal menjadi Darul Islam – haram baginya dalam kondisi seperti itu untuk berhijrah dari darul kufur ke Darul Islam, baik dia memiliki kemampuan itu sendirian atau dengan mengorganisir dirinya bersama kaum Muslimin di negerinya, atau melalui bantuan dari kaum Muslimin di luar negerinya, atau melalui melalui upaya bersama Negara Islam, ataupun dengan jalan lain yang sesuai syariat. Wajib atasnya untuk berusaha mengubah darul kufur menjadi Darul Islam, dan dalam kondisi tersebut dia haram berhijrah dari sana. Dalilnya adalah bahwa upaya untuk mengubah negerinya menjadi Darul Islam adalah wajib. Sehingga jika dia tidak berupaya padahal mampu mengupayakannya dan meninggalkan upaya untuk menggabungkannya dengan Darul Islam dan dia malah berhijrah, maka dia melakukan dosa sebagaimana mengabaikan kewajiban lain.
Atas dasar ini, jika ada Darul Islam, tinggal secara permanen di darul kufur hukumnya haram bagi orang yang wajib hijrah. Selain itu, tinggal permanen di darul kufur menjadikan Muslim itu warga darul kufur, sehingga hukum-hukum yang berlaku atas darul kufur berlaku pula dalam hubungan dia dengan Negara Islam dan dalam hubungannya dengan individu lain. Oleh sebab itu, hudud tidak diterapkan baginya, dan zakat tidak ditarik darinya oleh Negara Islam, dan siapapun di Darul Islam tidak dapat mewarisi darinya, dan bukan kewajiban untuk mendapat nafkah dari warga Darul Islam yang wajib memberinya nafkah andaikan dia tinggal di Darul Islam, karena syariat tidak diterapkan atas warga darul kufur. Maka dari itu, mereka tidak berkewajiban sebagaimana kaum Muslimin berkewajiban dan tidak pula punya hak sebagaimana kaum Muslimin punya, sehingga mereka tidak tercakup oleh hukum-hukum. Dalilnya adalah bahwa kaum Muslimin meminta dua perkara dari mereka yang di darul kufur. Pertama, Islam. Kedua, untuk masuk ke dalam naungan kekuasaan Islam. Dalam riwayat dari Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya yang berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْراً، ثُمَّ قَالَ: اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلاَ تَغُلُّوا وَلاَ تَغْدِرُوا وَلاَ تَمْثُلُوا وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيداً، وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلالٍ، فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَلا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ...»
“Apabila Rasulullah saw. mengangkat seseorang sebagai pemimpin pasukan atau detasemen Beliau menasihati secara khusus kepadanya untuk bertaqwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum Muslimin yang bersamanya. Beliau lalu bersabda: “Berperanglah di jalan Allah. Perangilah mereka yang kafir kepada Allah. Taklukkan (sebagai jihad), jangan mencurangi [harta rampasan perang], jangan mengkhianati janji, dan jangan memutilasi tubuh-tubuh [mayat], jangan membunuh anak-anak. Apabila kalian bertemu dengan musuh kalian dari orang-orang musyrik, maka ajaklah mereka kepada tiga hal, apabila mereka mau menerima salah satu dari tiga hal tersebut, maka terimalah mereka dan berhentilah memerangi mereka. Lalu serulah mereka pada Islam. Jika mereka menyambutnya, terimalah mereka, dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam, yang berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin. Bila mereka enggan dan lebih memilih tempat mereka, beritahukan pada mereka bahwa mereka seperti kaum badui kalangan Muslimin, mereka berkewajiban melaksanakan hukum Allah yang berlaku bagi kaum Muslimin dan mereka tidak mendapatkan ghanimah dan fai` sama sekali kecuali bila mereka berjihad bersama kaum Muslimin...” (HR Muslim)
Maka dalam hadits itu Rasul saw. bersabda:
«ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ»
“Kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam, yang berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin.” (HR Muslim)
Nash ini menjadikan hijrah sebagai syarat bagi mereka untuk mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana kita, dengan kata lain, agar mereka tercakup oleh hukum-hukum. Pemahaman atas sabda Beliau saw.:
«وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ»
“jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan,” adalah bahwa jika mereka tidak melakukannya maka mereka tidak punya hak-hak kaum Muhajirin, tidak pula punya kewajiban yang berlaku pada mereka, sebab mencapai hasil berhubungan dengan pencapaian syaratnya, sehingga jika syaratnya tidak dipenuhi maka hasilnya tidak didapat. Jadi, jika mereka tidak berhijrah maka mereka tidak punya hak-hak yang dimiliki kaum Muslimin di Darul Islam.
Sabda Rasul saw.:
«فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُسْلِمِينَ»
“Beritahukan pada mereka bahwa mereka seperti kaum badui kalangan Muslimin, mereka berkewajiban melaksanakan hukum Allah yang berlaku bagi kaum Muslimin,” maknanya adalah dari segi bahwa mereka tidak dibunuh, tidak pula hartanya diambil sebagai ghanimah, dan bukan dari segi hukum-hukum diterapkan atas mereka, sebab subjek hukum-hukumnya telah dijelaskan secara eksplisit dengan syarat yang tadi disebutkan.
Rasul saw. menjelaskan lebih lanjut mengenai perkara harta, dan menyebutkannya dalam hadits yang sama:
«وَلا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ»
“dan mereka tidak mendapatkan ghanimah dan fai` sama sekali kecuali bila mereka berjihad bersama kaum Muslimin”
Maka Rasul saw. memandang bahwa penolakan mereka untuk berhijrah meniadakan hak mereka atas fai’ dan ghanimah, dan harta apapun yang lain juga tercakup melalui analogi dengan fai’ dan ghanimah. Dengan kata lain, mereka tidak punya hak atas apapun terkait harta. Maka, orang yang tidak berhijrah ke Darul Muhajirin seperti para non-Muslim dalam hal hak-hak terkait harta. Dengan demikian, dia tidak punya hak-hak kaum Muslimin dan tidak pula kewajiban-kewajiban diterapkan atasnya. Hukum-hukum harta tidak diterapkan atasnya karena dia tidak berhijrah ke Darul Muhajirin. Ini penjelasan dengan penekanan pada aspek hak-hak hartanya, meskipun semua hukum tidak diterapkan atasnya karena sabda Rasul saw.:
«إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ»
“jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin.”
Demikianlah ketika Darul Muhajirin saja (yaitu berpusat di Madinah ketika itu) yang Darul Islam, dan manapun selainnya adalah darul harbi, dengan kata lain, darul kufur, sehingga ketika Rasul saw. pergi dalam dalam ekspedisi perang melawan setiap negeri selain Darul Muhajirin Beliau memandangnya sebagai darul harbi. Menurut dalil yang diriwayatkan dari Anas yang berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وآله وسلم إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ، وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ بَعْدَ مَا يُصْبِحُ
"Apabila Rasulullah saw. memerangi suatu kaum, Beliau tidak memeranginya hingga datang waktu shubuh. Apabila mendengar suara adzan Beliau menahan diri dan apabila tidak mendengar adzan, Beliau lantas memeranginya setelah waktu shubuh.” (HR al-Bukhari)
Dan diriwayatkan Isam al-Muzani yang berkata: “Apabila Rasulullah saw. mengirim pasukan detasemen (sariyah) untuk suatu ekspedisi, Beliau berpesan kepada mereka:
«إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا أَوْ سَمِعْتُمْ مُنَادِيًا فَلا تَقْتُلُوا أَحَدًا»
"Jika kalian melihat masjid atau mendengar panggilan adzan maka janganlah kalian membunuh seorangpun." (diriwayatkan oleh Imam hadits yang lima kecuali Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi mengatakan itu hasan gharib)
Dua riwayat itu menunjukkan bahwa Rasul saw. memandang bahwa di manapun selain Darul Muhajirin adalah darul kufur dan tidak membedakan antara penduduk Muslimnya dan non-Muslimnya selain bahwa yang Muslim tidak diperangi, tidak dibunuh dan hartanya tidak diambil sebagai ghanimah. Sedangkan yang non-Muslim diperangi, mereka bisa dibunuh dan hartanya diambil sebagai ghanimah, sementara dalam semua hal lainnya hukumnya sama. Jadi, setiap tanah yang bukan Darul Islam adalah termasuk darul harbi, dan hukum-hukum tentang darul harbi berlaku.
Ini semua menunjukkan bahwa hukumnya adalah terkait dengan negerinya, dan maka siapapun yang tinggal di darul harbi, dengan kata lain, darul kufur, sementara ada Darul Islam, maka hukum-hukum mengenai darul harbi berlaku pada dia, baik dia seorang Muslim maupun kafir, mereka sama dalam hal itu, kecuali bahwa ketika tanah itu ditaklukkan secara paksa maka yang Muslim tidak dibunuh dan hartanya tidak diambil sebagai ghanimah. Demikian pula, hukum-hukum mengenai Darul Islam berlaku atas warga di Darul Islam, dan kaum Muslimin maupun dzimmi sama dalam hal ini. Artinya, bahwa perbedaan dalam hal hukum-hukum adalah hasil dari perbedaan negerinya. Dengan begitu, siapapun yang tinggal di darul kufur, baik Muslim maupun non-Muslim, tidak berlaku hukum-hukum Islam atasnya, karena sabda Rasul saw. dalam riwayat Sulaiman bin Buraidah:
«أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ»
“jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin.”
Karena pemahamannya adalah bahwa jika mereka tidak melakukannya, yaitu jika mereka tidak berhijrah ke Darul Muhajirin, maka mereka tidak memiliki hak dan tidak pula kewajiban yang diterapkan atas mereka; dengan kata lain, atas mereka tidak berlaku hukum-hukum Islam yang berlaku di Negara Islam (Darul Islam) sebab mereka tidak berkewarganegaraan Islam, kecuali untuk dua hukum yaitu: darah dan harta mereka dilindungi ketika penaklukan darul kufur-nya di mana mereka tinggal. Ini karena sabda Rasul saw. yang diriwayatkan ‘Abdullah bin Umar yang berkata: “Rasulullah saw. bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dan mereka menegakkan shalat, dan membayar zakat dan jika mereka telah melakukan itu maka darah dan harta mereka dilindungi denganku, kecuali dengan haknya, sementara hisab mereka terserah kepada Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Umar, Abu Hurairah, Ibnu Umar dan lainnya, dengan redaksi dari Muslim)
Bagi orang yang tinggal permanen di Darul Islam, baik mereka Muslim maupun dzimmi, mereka dicakup oleh semua hukum Islam yang Negara terapkan di Darul Islam selain apa yang syara’ kecualikan atas non-Muslim semacam peribadatan mereka.
Penilaian ini atas negeri dari segi sebagai darul kufur atau Darul Islam adalah apa yang disebut sebagai kewarganegaraan. Siapapun tinggal di Darul Islam, Muslim maupun non-Muslim, membawa kewarganegaraan Islam (kewarganegaraan Darul Islam), dan hukum-hukum Islam diterapkan atasnya oleh Negara. Dan siapapun yang tinggal di darul kufur, Muslim maupun kafir, membawa kewarganegaraan darul kufur, dan hukum-hukum Islam tidak diterapkan atas mereka oleh Negara Islam.
Lebih lanjut, penilaiannya adalah terhadap bertempat tinggalnya secara permanen, bukan bertempat tinggal sementara, sehingga jika seorang Muslim yang tinggal di Darul Islam dan pergi ke darul kufur dalam rangka perdagangan, pengobatan, mencari ilmu pengetahuan, mengunjungi kerabat, berwisata, atau tujuan lain, dan tinggal di sana berbulan-bulan atau bertahun-tahun tapi dia membawa kewarganegaraan Islam, yaitu tempat tinggal permanennya sehingga dia akan kembali pulang kepadanya yaitu ke Darul Islam, maka dia termasuk warga Darul Islam, meskipun sedang tinggal di darul kufur.
Dan jika seorang Muslim yang tinggal di darul kufur datang ke Darul Islam untuk perdagangan, pengobatan, mencari ilmu pengetahuan, mengunjungi kerabat, berwisata, atau tujuan lain, dan dia tinggal di Darul Islam selama sehari, sebulan, setahun, atau lebih, tapi dia membawa kewarganegaraan kufur, yaitu tempat tinggal permanennya yang dia akan pulang kepadanya yaitu ke darul kufur maka dia termasuk warga darul kufur, sehingga hukum-hukum musta’min diterapkan padanya, dan dia tidak dapat masuk Darul Islam kecuali dengan jaminan keamanan, dengan kata lain, dengan izin Negara Islam. Oleh sebab itu, kewarganegaraan mengikuti tempat tinggal permanennya, bukan sekadar bertempat tinggal sementara, seberapa lamapun dia tinggal.
Atas dasar ini, jika Negara Islam telah didirikan, dengan kata lain, telah ada kembali Negara Khilafah, tanah-tanah yang diperintahnya dengan kekuasaan kaum Muslimin, dan keamanan Islam, maka tanah-tanah itu menjadi Darul Islam, dan tanah lainnya akan dinilai: jika di sana tidak diperintah dengan Islam atau keamanannya adalah keamanan kufur, maka itu termasuk darul kufur atau dengan kata lain, darul harbi meskipun jika semua penduduknya Muslim, sehingga hukum-hukum tentang darul harbi berlaku atasnya. Namun, jika di sana diperintah dengan Islam, dan keamanannya adalah keamanan Islam, tapi belum menyatu dengan Khilafah, maka itu termasuk Darul Islam dan hukum-hukum Islam berlaku atasnya, dan hukum tentangnya adalah seperti hukum bughat, akad-akad mereka sah dan pengangkatan mereka untuk para hakim dan gubernur sah, dan keputusan pengadilan serta gubernur mereka sah, tapi mereka diperangi dengan perang yang untuk membuat mereka bertaubat, mau berbai’at kepada Khalifah, sebab hadits:
«إِذَا بُويِعَ لِخَليفتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا»
“Jika dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim, dari Abu Said). Dengan kata lain, perangi mereka.
Berdasarkan ini, jika Negara Islam telah tegak kembali di bagian manapun dari tanah Muslim seperti Irak, Turki dan Suriah sebagai contoh, maka hukum Muslim yang tinggal di Inggris, Amerika, Rusia atau di manapun dari berbagai negeri kufur dan tanah kaum kafir adalah hukum atas orang yang tinggal di darul harbi, dalam hal ini tidak ada bedanya Muslim dan kafir kecuali darah dan harta Muslim terjaga ketika penaklukan negeri itu.
Sedangkan bagi kaum Muslimin yang tinggal di tanah kaum Muslim, maka jika mereka menerapkan Islam dan belum menyatu dengan Khilafah, maka tanah mereka adalah Darul Islam dan hukum atas mereka adalah hukum mengenai bughat. Jika mereka tidak menerapkan Islam maka itu termasuk darul kufur. Demikian pula, setiap tanah dari tanah Islam yang tetap tidak menerapkan Islam, atau keamanan eksternalnya bukan keamanan Islam, maka termasuk darul kufur, dan hukum mengenai darul kufur berlaku atasnya, bahkan seandainya semua penduduknya Muslim. Tidak ada bedanya apakah tanah itu bersebelahan dengan Negara Islam yang Khalifah kaum Muslimin perintah atau tidak bersebelahan. Jadi, Negara Islam akan menilai semua tanah Islam yang diperintah dengan Islam, ataupun yang mayoritas penduduknya Muslim, sebagai (satu) tanah Islam yang tunggal yang wajib bergabung dengan Negara Islam, dan menjadi di bawah bendera Islam, sehingga di pundaknya ada bai’at kepada Khalifah.
Frase keamanan Islam artinya dilindungi dengan kekuasaan Islam, dan frase keamanan kufur artinya dilindungi dengan kekuasaan kufur. Abu Dawud meriwayatkan dari Sa’ad yang berkata:
لَمَّا كَانَ يَوْمُ فَتْحِ مَكَّةَ أَمَّنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وآله وسلم النَّاسَ إِلاَّ أَرْبَعَةَ نَفَرٍ وَامْرَأَتَيْنِ وَسَمَّاهُمْ» وعن أبي بن كعب «فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ قَالَ رَجُلٌ لا يُعْرَفُ: لا قُرَيْشَ بَعْدَ الْيَوْمِ، فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وآله وسلم أَمِنَ الأَسْوَدُ وَالأَبْيَضُ إِلا فُلانًا وَفُلانًا نَاسًا سَمَّاهُمْ
“Ketika terjadi penaklukan Makkah Rasulullah saw. memberikan keamanan kepada semua orang, kecuali empat orang laki-laki dan dua wanita, dan Beliau menyebutkan mereka,” dan dari Ubay bin Ka’ab: “Tatkala hari penaklukan [Makkah] seorang laki-laki tak dikenal mengatakan: “Tidak akan ada Quraisy setelah hari ini.” Lalu juru kabar Rasulullah saw. mengumumkan bahwa yang hitam dan yang putih telah diberi keamanan, kecuali si fulan dan si fulan, mereka yang Beliau sebutkan,” (HR Ahmad dalam al-Musnad dengan sanad hasan, dan al-Hakim meriwayatkan yang serupa dalam al-Mustadrak, juga Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Keduanya dari Ubay bin Ka’ab).
Jadi, inilah makna keamanan. Disematkan ke Islam atau kufur, tinggal menghubungkannya dengan kekuasaan yang memberi keamanan itu, karena keamanan dalam Negara diperoleh dengan kekuasaannya. Oleh karena itu, keamanan Islam adalah keamanan oleh kekuasaan kaum Muslimin dan keamanan kufur adalah keamanan oleh kekuasaan kufur.
Keamanan dalam negeri adalah untuk mengamankan darah, harta dan kehormatan setiap orang rakyatnya dengan keamanan dari penguasanya. Sementara keamanan eksternal adalah bahwa perbatasan Negara dilindungi oleh kekuasaannya dari invasi, bukan oleh kekuasaan lain.
Kategori kedua dalam pasal ini, dalilnya adalah bahwa Islam membolehkan berperjanjian damai dengan negara-negara lain. Allah SWT berfirman:
((ِ((إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ)) [النساء 90] وقال: ((وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ)) [النساء 92] وقال: ((وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ))
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai).” (QS an-Nisa’ [4]: 90), dan Dia SWT berfirman: “Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh).” (QS an-Nisa’ [4]: 92), dan Dia SWT berfirman: “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka.” (QS al-Anfal [8]: 72)
Rasul saw. membuat perjanjian dengan Yuhannah bin Ru’bah, pemimpin Ailah, dan membuat perjanjian dengan Bani Dhamrah. Terdapat syarat-syarat dalam perjanjian-perjanjian itu yang diberlakukan, dan wajib atas kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat tersebut karena sabda Nabi saw.:
«وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ»
“Kaum Muslim itu wajib terikat atas syarat-syarat mereka” (HR at-Tirmidzi yang mengatakan itu hasan)
Itu selama syaratnya tidak menyalahi Islam. Jika syaratnya bertentangan dengan Islam maka ditolak karena sabda Rasul saw. yang diriwayatkan at-Tirmidzi:
«إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»
“kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”
Dan sabda Beliau saw.:
«مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ»
“Syarat apapun yang tidak ada di Kitabullah, maka itu bathil.” (muttafaq ‘alaih dari ‘Aisyah ra.)
Oleh sebab itu, kaum Muslimin menjalankan penerapan syarat-syarat itu menurut apa yang tertulis dalam teks perjanjian selama tidak menyelisihi Islam. Jadi, dalil untuk kategori kedua ini adalah dalil yang membolehkan perjanjian damai dan dalil wajibnya memenuhi syarat-syaratnya.
Kemudian mengenai hubungan ekonomi dan perdagangan, pertimbangannya dalam hal bahaya atas umat yang bisa muncul akibat dari kesepakatan ekonomi, seperti jika bahan mentah diekspor ke luar negeri, atau berakibat tutupnya pabrik-pabrik di dalam negeri, atau apapun yang serupa. Maka, perjanjiannya dibatasi pada apapun yang tidak menimbulkan bahaya dan apapun yang menimbulkan bahaya adalah haram, sesuai kaidah: “Jika satu bagian dari perkara yang mubah menghantarkan pada timbulnya bahaya (dharar), hanya bagian itu saja yang dilarang, dan perkara yang mubah itu tetap mubah,” demikian sama berlaku pada ranah perjanjian perdagangan.
Negara-negara itu termasuk negara-negara muharibah hukman, sebab mereka adalah kaum kafir yang tidak tunduk pada kekuasaan Islam, sehingga mereka termasuk muharibin. Rasul saw. bersabda:
«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»
“Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah.”
Hadits ini umum. Status mereka sebagai muharibin hukman, dengan kata lain, menurut hukum, adalah karena perjanjian antara kita dan mereka.
Kategori ketiga, dalilnya adalah dalil bagi hukum-hukum mengenai darul harbi dalam ketiadaan perjanjian antara kita dan mereka. Dalil untuk tidak mengadakan hubungan diplomatik apapun dengan negara-negara yang disebutkan di kategori ketiga itu adalah fakta bahwa adanya kedutaan mereka di tanah yang berada di bawah kekuasaan Islam akan menimbulkan bahaya karena pekerjaan kedutaan negara-negara semacam itu adalah berusaha meningkatkan pengaruh negara mereka di negara tempat kedutaan mereka berada. Konsekuensinya, itu diharamkan sesuai penerapan kaidah yang mengharamkan sesuatu yang mubah jika itu menghantarkan kepada bahaya. Namun, rakyat mereka tidak dilarang memasuki Negara kecuali jika itu akan menimbulkan bahaya. Dan delegasi diplomat tidak akan dilarang memasuki Negara kecuali masuknya orang-orang tertentu yang dikirim dalam delegasi, bukan delegasi diplomat secara umum, akan menimbulkan bahaya.
Negara-negara itu termasuk muharibah hukman sebab tercakup dalam sabda Beliau saw.:
«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»
“Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah,” dari segi bahwa mereka kaum kafir.
Sementara status mereka sebagai muharibin hukman bukan fi’lan adalah karena tidak ada perang antara kita dan mereka, dan tidak ada pengumuman perang aktual antara kita dan mereka, sehingga jika mereka menyerang tanah Muslim, maka mereka akan diperlakukan sesuai kategori keempat pasal ini yang membahas perang aktual. Oleh karenanya, Amerika dan Inggris dianggap muharibah fi’lan setelah mereka memulai perangnya terhadap Irak dan Afghanistan. Dan negara manapun yang menyatakan perang terhadap tanah Muslim manapun juga dianggap demikian. Dan diterapkan hukum-hukum harbi fi’liyah (perang aktual) selama situasi perang masih berlangsung antara kita dan mereka.
Kategori keempat dalilnya adalah dalil jihad dalam memerangi kaum kafir, dan dalil-dalil yang yang menjadikan darah dan harta kaum non-Muslim yang diperangi itu halal, dan dalil-dalil berperang dalam peperangan. Allah SWT berfirman:
((قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ))
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu.” (QS at-Taubah [9]: 123)
Dan Nabi saw. bersabda:
«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»
“Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah.” (muttafaq ‘alaih, dengan redaksi dari Muslim)
Dan Beliau saw. membuat pengecualian bagi kaum Muslimin di antara mereka dengan sabda Beliau saw.:
«فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلا بِحَقِّهَا»
“Jika mereka telah melakukan itu maka darah dan harta mereka dilindungi denganku, kecuali dengan haknya (sesuai syariat).”
Dan Allah SWT berfirman:
((وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ))
“Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (taktik) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah” (QS al-Anfal [8]: 16)
Dan juga karena sabda Rasul saw.:
«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ»
"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan," dan Beliau menjelaskannya sampai Beliau saw. bersabda:
«وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ»
“kabur dari medan peperangan” (muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah).
Dan hukum-hukum berperang dan peperangan lainnya dan dalil-dalil mengenai darul harbi dan peperangan lainnya.
Tidak boleh Negara memiliki perjanjian damai permanen dengan negara-negara muharibah fi’lan, dengan kata lain, gencatan senjata permanen, perjanjian damai permanen, sebab hal itu mencegah jihad yang terus berlanjut sampai hari kiamat. Sehingga perjanjian damai permanen menghalangi penyebaran Islam yang harus berlangsung hingga Allah SWT menjadikannya menang atas segala jalan hidup lain. Allah SWT berfirman:
((وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ))
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS al-Anfal [8]: 39).
Dan Rasul saw. bersabda:
«وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ»
“Jihad tetap berjalan sejak Allah mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal.” (HR Abu Dawud, dari Anas).
Mengenai perjanjian damai sementara dengan negara-negara itu, dan gencatan senjata sementara, dipandang dengan berikut ini:
a. Jika negara yang sedang dalam perang aktual dengan kita, tanahnya bukan tanah Islam di mana negara itu dibentuk, maka boleh memiliki perjanjian sementara dengannya, dengan kata lain, tidak berperang dengannya selama tempo tertentu, jika tiada perang itu dalam rangka kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin, dan menuruti syarat-syarat yang ditetapkan syara’.
Dalil untuk ini adalah perjanjian Hudaibiyah, yang ada antara Negara Islam yang Rasul saw. dirikan berpusat di Madinah dan negara Quraisy yang didirikan di tanah yang belum ditaklukkan Islam, dengan kata lain, negara lain itu tidak didirikan di atas tanah Islam.
b. Jika negara yang sedang dalam perang aktual dengan kita, berdirinya sebagai sebuah entitas itu seluruhnya di atas tanah Islam, dengan kata lain, entitas itu tidak punya tanah yang bersambung padanya yang belum pernah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, semacam israel – negara yahudi yang merampas Palestina – maka tidak boleh memiliki perjanjian dengannya, karena berdirinya Negara itu bathil, dan karena sebuah perjanjian dengannya berarti menyerahkan tanah Islam kepadanya, yang merupakan keharaman dan kejahatan terhadap Islam. Maka, kondisi perang aktual dengannya harus tetap, tanpa memandang apakah ada perjanjian yang disepakati dengannya oleh para penguasa bathil di tanah-tanah Muslim atau tidak.
Dengan begitu, perjanjian apapun dengan negara yahudi, bahkan hanya atas sejengkal tanah, diharamkan syara’ karena itu adalah perampasan dan penjajahan dan seluruh entitasnya didirikan di atas tanah Muslim dan menyerahkan tanah Islam kepadanya, dan memberi kendali atas kaum Muslimin di sana, yang haram menurut syara’. Islam menuntut bahwa semua kaum Muslimin berperang melawannya, dan maka pasukan bersenjata mereka harus dikirim berperang, dan semua yang mampu berperang digalang sebagai tentara dalam militer, dan terus melangsungkan itu sampai negara yahudi diakhiri dan tanah-tanah Muslim diselamatkan darinya. Allah SWT berfirman:
((وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا (141))
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukminin.” (QS an-Nisa’ [4]: 141)
Dan firman-Nya SWT:
((فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ)) [البقرة 194]، وقال تعالى: ((وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُم))
“Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS al-Baqarah [2]: 194), dan firman-Nya SWT: “Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.” (QS al-Baqarah [2]: 191) []
Bacaan:
http://nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-foreign-policy/1186-dstr-syasi-khrg-189
Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar