Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 26 Juni 2011

Wajib Memerangi Khalifah Yang Jelas Terbukti Kafir

  

Wajib Memerangi Khalifah Yang Jelas Terbukti Kafir

Sebagaimana perintah ketaatan di atas telah dikecualikan dari satu hal, yaitu dari perintah untuk melakukan kemaksiatan, maka demikian halnya keharaman untuk memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, serta mengangkat senjata dalam rangka menentangnya juga dikecualikan dari satu hal, yaitu adanya kekufuran yang nyata. Kalau kekufuran yang nyata itu nampak, maka wajib diperangi. Karena adanya nash-nash yang menjelaskan tentang keadaan semacam ini. Sehingga pengecualinya berdasarkan nash.

Auf Bin Asyja'i berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai, dan merekapun mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalianpun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian." Ditanyakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian."
Yang dimaksud dengan "menegakkan shalat" di atas adalah "memerintah dengan Islam", yaitu menerapkan hukum-hukum syara'. Jadi pemakaian ungkapan "menegakkan shalat" adalah termasuk dalam katagori "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan). Seperti firman Allah:
"Maka, merdekakanlah budak." (TQS. Al Mujadalah: 3)
Yang dimaksud adalah memerdekakan budak secara keseluruhan, bukan hanya raqabah (budak mukatab) saja.

Dalam hadist itu, Rasulullah menyatakan: "Ma Aqaama Fiikum As Shalat" (selagi mereka masih menegakkan shalat), yang dimaksud oleh pernyataan Beliau itu adalah menegakkan seluruh hukum syara', bukan hanya menegakkan shalat saja. Hal ini merupakan pembahasan Majaz (figurative language; bahasa kias) yaitu "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan).

Diriwayatkan dari Umi Salamah; bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
"Akan ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema'rufannya dan kemunkarannya, maka siapa saja yang membencinya dia akan bebas, dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Mereka bertanya: "Tidakkah kita akan memerangi mereka?" Beliau bersabda: "Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)."
Yang dimaksud dengan pernyataan di atas adalah selagi mereka masih menegakkan hukum-hukum syara', yang antara lain adalah hukum shalat. Di mana pembahasan itu merupakan pembahasan "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan).

Diriwayatkan pula dari Ubadah Bin Shamit yang menyatakan:
"Kami diseru oleh Nabi Saw. lalu kami membai'at Beliau." Dia melanjutkan: "Beliau mengambil janji dari kami, agar kami membai'atnya dengan mendengarkan dan mentaati (semua perintahnya), baik dalam keadaan lapang maupun terpaksa; baik ketika sedih maupun gembira, serta dalam keadaan yang tidak menyenangkan kami; juga agar kami tidak merebut urusan (pemerintahan) dari yang berhak (khalifah yang sah), kecuali kalau (kata Beliau): “Kalian menemukan kekufuran yang nyata, dan kalian sanggup membuktikannya di hadapan Allah.'"

Tiga hadits di atas, yaitu hadits dari Auf Bin Malik, hadits Umi Salamah, hadits Ubadah Bin Shamit itu tema sentralnya adalah memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, di mana hadits-hadits tersebut semuanya berupa larangan memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, dengan larangan yang tegas:
"Tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang." Beliau menjawab: "Jangan."
"Tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan."
"Dan hendaknya kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari yang berhak."

Semuanya itu melarang memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, dengan larangan yang tegas. Sebab, kalau ada suatu larangan kemudian larangan tersebut disertai dengan kecaman bagi yang memisahkan diri, seperti dalam hadits:
"Siapa saja yang memisahkan diri dari suatu ketaatan, serta memisahkan diri dari jama'ah, (lalu mati) maka matinya adalah seperti mati jahiliyah."

Maka, larangan itu berarti larangan yang tegas atau bermakna haram. Sebab mengklaim matinya orang yang memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, dengan klaim mati jahiliyah itu menjadi indikasi yang menunjukkan adanya larangan dengan tegas. Karena itu, hadits-hadits ini menjadi dalil atas keharaman memisahkan diri dari seorang khalifah.

Akan tetapi larangan di atas dikecualikan dari satu keadaan, yang dinyatakan oleh dua hadits yang pertama, yaitu tidak mendirikan shalat dan tidak melaksanakan shalat. Kemudian hal itu dipertegas dengan pernyataan hadits ketiga dengan adanya kekufuran yang nyata.

Tidak menegakkan shalat dan tidak melaksanakan shalat, maksudnya adalah tidak memerintah dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, atau memerintah dengan hukum-hukum kufur, sehingga penampakan kekufuran tersebut tidak meragukan lagi.
Kufrul bawwah (kekufuran yang nyata) adalah kata yang maknanya umum, karena kata itu merupakan kata yang menunjukkan jenis yang masih bersifat umum, sehingga kata tersebut merupakan kata yang bermakna umum. Jadi, maksudnya adalah apabila kekufuran yang nyata tersebut benar-benar nampak, maka hukum memisahkan diri dari kekuasaannya adalah wajib. Baik dia memerintah dengan hukum-hukum kufur, seperti kalau dia memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah, atau tidak memerintah dengan hukum-hukum Islam, seperti membiarkan orang-orang murtad dari Islam, padahal orang-orang murtad itu menunjukkan kekufurannya secara terang-terangan, ataupun yang lain.
Fakta-fakta ini semua merupakan fakta kekufuran yang nyata, yaitu umum mencakup semua kekufuran. Inilah keadaan yang mengecualikan, yaitu nampaknya kekufuran yang nyata, sehingga ketika kekufuran yang nyata itu benar-benar nampak, maka wajib memisahkan diri.

Ketentuan makna di dalam hadits-hadits yang mewajibkan memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah di atas dengan satu keadaan itu adalah karena Rasulullah Saw. mencegah agar tidak menentang mereka, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangan mereka, kemudian Beliau mengecualikan semuanya itu dari satu keadaan. Pengecualian memisahkan diri yang sebelumnya merupakan larangan itu berarti diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang dikecualikan.
Sehingga mafhum hadits-hadits tersebut menunjukkan adanya perintah untuk menentang seorang khalifah, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangannya, apabila keadaan (kekufuran yang nyata) itu terjadi. Karena makna mafhum sama seperti makna mantuq, dilihat dari segi hujjah. Sehingga makna mafhum itu juga bisa menjadi dalil yang menunjukkan, bahwa Allah memerintah menentang para khalifah serta memerangi dan merebut kekuasaan dari tangan mereka, apabila kekufuran yang nyata tersebut telah terlihat.

Sedangkan qarinah yang menunjukkan bahwa perintah itu bermakna wajib, adalah tema sentral perintah itu sendiri yang disertai ta'kid (penegasan) terhadap perintah itu. Sehingga memerintah dengan hukum-hukum Islam itu jelas telah diwajibkan oleh Allah, dan bukannya disunahkan. Sedangkan nampaknya kekufuran yang nyata, sebaliknya, telah diharamkan oleh syara', dan bukannya dimakruhkan. Maka, tema sentral perintah tersebut menjadi qarinah yang menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang tegas. Sehingga memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah dalam keadaan yang dikecualikan itu, tidak bisa dinilai hanya mubah, tetapi jelas fardhu bagi kaum muslimin.

Akan tetapi harus difahami, bahwa yang dimaksud dengan nampaknya kekufuran yang nyata itu adalah kekufuran yang bisa dibuktikan dengan dalil yang pasti, bahwa ia jelas-jelas kufur. Karena Rasulullah Saw. tidak hanya menyatakan sampai di situ; "Kufran Bawwahan" melainkan Beliau melanjutkan dengan sabda Beliau berikutnya: "Di mana kalian memiliki bukti di hadapan Allah (tentang kekufuran tersebut)." Dan kata Burhan, tidak biasa dipergunakan selain untuk menunjukkan dalil yang tegas (qath'i).
Oleh karena itu, adanya dalil yang qath'i menjadi salah satu syarat memisahkan diri. Apabila masih ada bukti yang masih kabur; apakah kufur atau tidak, atau hanya dengan bukti yang bersifat dugaan (dzanni) bahwa ia telah kafir, sekalipun bukti tersebut benar, maka tetap tidak diperbolehkan untuk memisahkan diri. Karena memisahkan diri tidak diperbolehkan, selain apabila ada bukti yang pasti bahwa ia telah benar-benar kafir.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kekufuran yang nyata, adalah orang yang tidak lagi diragukan kekafirannya, serta orang yang bisa dibuktikan dengan bukti yang pasti (qath'i) bahwa dia benar-benar kafir. Apabila seorang khalifah memerintah melakukan suatu perbuatan atau tindakan, yang diliputi kesamaran bahwa dia tidak kafir, maka tidak boleh memisahkan diri dari kekuasaannya, dengan alasan kekufuran yang nyata, karena adanya kesamaran tadi.
Semisal, kalau seorang khalifah memerintah mempelajari teori dialektika di perguruan tinggi, atau mempelajari akidah-akidah kufur, padahal anda yakin bahwa mempelajari akidah kufur bisa menyebabkan kekufuran, maka anda tetap haram memeranginya. Anda juga tidak boleh berlepas diri dari pemerintahannya dengan alasan terlihatnya kekufuran yang nyata. Karena diapun memiliki alasan yang membolehkan untuk mempelajari akidah-akidah kufur, sebagaimana yang ada di dalam Al Qur'an. Di mana Allah paparkan semuanya kemudian semuanya ditentang.

Dengan demikian, setiap sesuatu yang mempunyai dalil, atau syubhat ud-dalil (dalil yang masih diperselisihkan) yang menyatakan bukan termasuk kufur, sedangkan di sisi lain ada dalil atau syubhat ud-dalil yang menyatakan termasuk Islam, maka perintah seorang khalifah untuk melakukannya, atau dia melakukannya sendiri, tetap tidak bisa diklaim dengan hukum-hukum kufur, juga tidak boleh diklaim dengan status menampakkan kekufuran yang nyata, sehingga tidak termasuk dalam pengecualian. Oleh karena itu, tidak boleh memisahkan diri dengan alasan tersebut. Malah tetap wajib memegang bai’at taat.

"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (TQS. Asy-Syuura: 10)

"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. An-nisa [4]: 59)

Diriwayatkan dari Adi bin Hatim: Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai [QS. (9) at-Taubah: 31]. Saya berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda, “Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.” (HR. ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).

“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat amir (yang sah menurut hukum Islam) atas kalian seorang hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar dan taatilah dia selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah.” (HR. at-Tirmidzi)

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (TQS. An-Nisaa': 60)

”Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad dari Ali ra.)

“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,..." (TQS. An-Nisaa': 65)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam