Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 06 April 2021

Menjaga Makna Di Balik Simbol Islam


Di tahun 2017 jagad maya disemarakkan oleh parade panji-panji Rasulullah SAW. Ibu-ibu, Muslimah dan bahkan anak-anak, tak ketinggalan menyemarakkan berkibarnya panji kebanggaan umat Islam tersebut dengan berbagai atraksi. Foto maupun video.

Ketika viral, ada saja yang tak sepakat. Terutama foto atau video yang melibatkan anak-anak. Simbol Islam ini dituduh sebagai simbol radikalisme. Mengajak anak-anak ikut serta, sama saja menanamkan nilai-nilai radikal sejak dini. Tak ayal, banyak pihak menyerukan agar pemerintah melakukan upaya deradikalisasi.

Bahasa Simbol

Dalam kancah kehidupan, manusia tidak terlepas dari simbol-simbol. Ketika melihat sosok perempuan berjilbab dan berkhimar, apa yang terekam dalam benak? Dia Muslimah. Jika ada seorang perempuan tanpa penutup kepala dan mengenakan kalung salib di lehernya, benak awam sekalipun, langsung paham: dia penganut Kristiani.

Di kalangan pesantren, para santri terbiasa mengenakan sarung, koko, dan peci sebagai identitas khasnya. Sementara para militer, tersimbolkan dengan rambut cepak, sepatu bot berat dan pakaian lorengnya. Beberapa waktu lalu, viral perempuan berdaster. Ingatan langsung terbenak: kaum ibu rumah tangga (IRT).

Hal-hal semacam itu dipahami masyarakat sebagai simbol, yakni salah satu sarana untuk mengenalkan makna tertentu di baliknya. Simbol umumnya lebih mudah diterima, diingat, dan melekat dalam benak. Melebihi definisi makna yang ada di baliknya.

Maka, umat Islam penting mengenai simbol-simbol Islam. Simbol agamanya sendiri. Supaya tidak terjebak mengenakan simbol yang salah. Misal, ketika musim Natal, Muslim malah memakai topi sinterklas, padahal itu adalah simbol khasnya kaum Nasrani.

Memahami Definisi

Simbol adalah tanda hubungan dengan obyeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan dan aturan tertentu. Jadi, bersifat “suka-suka" sesuai kesepakatan. Dalam artian, tidak ada hubungan antara tanda dengan obyek yang ditandai.

Contohnya, warna merah dan putih dalam bendera Indonesia adalah simbol. Merah dimaknai berani, putih suci. Itu kesepakatan para pencipta bendera itu, atau pendiri negara ini, dahulu kala. Negara lain yang menggunakan warna merah dan putih di benderanya, boleh jadi beda memaknai warna tersebut.

Nah, sejatinya, Islam tidak banyak menggunakan simbol-simbol dalam beragama. Artinya, tidak sengaja menciptakan simbol tertentu. Berbeda dengan Nasrani yang menjadikan salib sebagai simbol, atau patung dewa dalam agama Hindu-Budha, atau api dalam agama Majusi.

Tetapi, memang ada simbol khusus dengan makna khusus dalam Islam. Misalnya panji Rasulullah SAW, itu adalah simbol tertentu dengan makna tertentu. Demikian pula ka'bah sebagai simbol arah kiblat. Tetapi, berbeda dengan simbol lain, simbol Islam bukan berdasar konsensus manusia, melainkan bersumber dari wahyu. Jadi, umat Islam tidak punya hak membuat simbol-simbol Islam "suka-suka".

Sarung, baju koko dan peci misalnya, bukan simbol ciptaan Islam, melainkan hanya aplikasi pelaksanaan syariat Islam “menutup aurat". Maka itu, sarung tidak dikenal di Arab Saudi, karena itu hanya identik dengan budaya Muslim di Indonesia. Artinya, Islam tidak menafikan budaya lokal, selama sejalan dengan syariah Islam.

Demikian pula jilbab dan khimar, sebagai perangkat penutup aurat Muslimah. Sejatinya bukan simbol, tetapi bagian dari pelaksanaan syariah Islam. Namun, pada akhirnya toh dianggap simbol Islam dalam bahasa komunikasi. Apalagi di Barat, yang notabene Muslimnya minoritas, jilbab menjadi salah satu simbol Islam yang hingga kini masih ditakuti.

Pahami Maknanya

Simbol tidak semestinya dipahami sebagai benda semata. Karena, di balik simbol ada makna tertentu. Terlebih jika itu menyangkut simbol-simbol yang telanjur identik dengan Islam. Sehingga, harus ada proses memahami makna di balik simbol tersebut. Sebab, simbol tanpa paham maknanya, menyebabkan kesalahan dalam pengaplikasiannya. Keluar dari konteks sesungguhnya.

Contoh, Muslimah yang mengenakan kerudung, lantas mengenakan topi Sinterklas, jadi kacau identitasnya. Muslimah apa non-Muslim? Hal ini disebabkan awamnya pemahaman terhadap makna di balik topi Sinterklas tersebut, “Ah, cuma topi saja diributkan."

Demikian pula, keprihatinan pun muncul ketika ada Muslimah bercadar, malah nonton konser musik cadas. Bahkan menjadi penggemar setianya. Berlindung di balik ungkapan ”musik adalah bahasa universal". Padahal, sebagaimana produk seni, musik tidaklah bebas nilai. Bahkan sudah jadi rahasia umum, musik cadas identik dengan aliran kiri.

Ada pula Muslimah bercadar yang menjadi Disc Jockey (DJ). Padahal profesi ini identik dengan diskotek alias tempat hiburan malam. Jingkrak-jingkrak, lampu remang-remang, tempat ikhtilat laki-perempuan berjoget bebas. Sungguh tidak pada tempatnya Muslimah berada di sana.

Tidak benar bila berlindung di balik ungkapan ”menutup aurat itu tidak menghalangi aktivitas Muslimah” lantas menjajal segala aktivitas yang 'menyimpangkan' pemaknaan simbol Islam. Image Muslimah berjilbab -terlebih lagi bercadar- adalah alim, menjaga diri, jauh dari hiruk pikuk hura-hura dan pesta-pesta. Apa jadinya jika Muslimah berjilbab bertingkah laku tak ada bedanya dengan yang tidak berjilbab? Simbol jilbab luntur seketika.

Melawan Monsterisasi

Jilbab dan khimar, alhamdulillah, dengan izin Allah, pada akhirnya telah menjadi ”konsensus bersama" sebagai pakaian trendy. Istilah populernya hijab. Tetapi, sangat penting bagi Muslimah paham bahwa jilbab dan khimar bukan semata tren, tapi kewajiban. Sehingga, mengenakan hijab harus dengan memahami makna Islam di baliknya.

Jangan cuma mengenakannya sebatas “simbol." Berhijab, tapi pacaran. Berhijab, tapi korupsi. Berhijab, tapi membela penista agama. Berhijab, tapi berzina. Dan seterusnya. Na'udzubillahi min zalik. Hal ini lambat laun akan meruntuhkan citra hijab yang baik.

Hijab sebagai pakaian takwa, bergeser menjadi pakaian biasa saja. Toh, pemakainya tak menjamin Muslimat taat. Akibatnya, banyak yang enggan berhijab dengan berlindung pada kalimat "untuk apa berhijab, kalau tetap maksiat.”

Terlebih, saat ini ada upaya kriminalisasi dan monsterisasi simbol-simbol Islam. Utamanya simbol-simbol Islam yang belum dikenal khalayak. Seperti panji Rasulullah SAW yang baru tahap sosialisasi. Termasuk mengenalkannya pada anak-anak, jangan takut. Justru anak-anak perlu dikenalkan sejak dini, agar paham dan bangga dengan simbol Islam sejati.

Keberadaan orang-orang dewasa yang menolak simbol Islam saat ini, dikarenakan mereka tidak dikenalkan sejak dini. Wajar. Ini perlu proses edukasi. Kaum Muslimah layak berkontribusi. Mengenalkan simbol Islam tiada henti. Agar suatu hari nanti, atas izin Allah, simbol Islam pada akhirnya menjadi “konsensus bersama", diterima dan dipahami dengan penuh kebanggaan. Percayalah, ini hanya soal waktu. Tetap semangat duhai para ibu. []kholda

---
Sumber: Tabloid Media Umat edisi 196


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam