BAB 2
Barat dan Hukum Internasional
Salah satu
poin penting yang dijadikan alasan pembenaran serangan ke Irak adalah klaim
bahwa Irak telah melanggar berbagai hukum internasional dan tidak menghormati
sejumlah resolusi PBB. Bab ini mencoba mengupas kontradiksi Barat sendiri tehadap
hukum internasional, dan fakta bahwa lima negara anggota tetap DK PBB mempunyai
hak veto, sebuah pilihan yang tidak dimiliki negara-negara lain seperti Irak.
Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa
1.
Abad ke-20 mungkin dikenal sebagai Abad Perang.
Setelah berlalunya dua perang dunia yang telah merenggut nyawa sekitar sepuluh
juta orang, beberapa konflik lain menghasilkan kematian bagi jutaan orang
lainnya. Entah karena kehilangan sejumlah besar rakyatnya atau karena adanya
tantangan untuk perimbangan kekuasaan, meletusnya dua perang dunia ditindak
lanjuti dengan adanya upaya dari kekuatan baru dunia untuk bersekutu guna
mencegah potensi konflik selanjutnya. Maka, setelah Perang Dunia I, lahirlah
Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sementara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir
usai Perang Dunia II. Kedua organisasi ini bertujuan untuk menjaga dan
memelihara perdamaian melalui persatuan internasional. Akan tetapi keduanya
telah gagal mencapai tujuan mereka, yakni menciptakan perdamaian dan keamanan dunia.
2.
Liga Bangsa-Bangsa dibentuk segera setelah The
Great War (1914-1918). Presiden AS Woodrow Wilson, adalah salah seorang
pemrakarsanya melalui 14 poinnya yang terkenal, termasuk di dalamnya
penghapusan diplomasi rahasia dengan keterbukaan, kebebasan perairan
internasional dari peperangan, penghapusan pembatasan perdagangan internasional
bila memungkinkan dan sebagainya. Sebagai hasil dari LBB, muncullah format baru
peta Eropa dan peta Timur Tengah; Polandia, Yugoslavia dan Cekoslowakia,
menjadi batas Eropa yang baru, dan tentu saja ada peta Timur Tengah yang baru.
Irak modern diciptakan oleh LBB sebagaimana halnya negara-negara baru seperti
Palestina, Syria, dan Libanon. Bagaimanapun, tidak seluruh kekuatan dunia
berpartisipasi dalam LBB; Kongres AS menolak bergabungnya Jerman ke dalam LBB,
dan di tahun 1933, Jerman pun keluar.
3.
Di antara seluruh anggota LBB, negara-negara kuat
saat itu cenderung lebih mementingkan urusannya masing-masing; Perancis
menduduki Rhineland untuk menekan Jerman agar membayar kerugian yang mereka
derita akibat perang sebelumnya, dan Italia menduduki Corfu. Keduanya terjadi
di tahun 1923. Invasi Italia atas Abbessinia pada tahun 1935, dan selanjutnya
perang saudara di Spanyol yang meletus sejak tahun 1936, lebih mempertegas betapa
impotennya LBB, terutama ketika sanksi yang dijatuhkan terhadap Spanyol
ternyata tidak mampu menghentikan perang saudara di sana.
4.
Negara-negara kecil mencoba untuk menggoyang
kekuatan para adidaya. Ketika Eamon de Valera dari Irlandia menjadi Presiden Dewan
LBB –cikal bakal Dewan Keamanan PBB– ia mengusulkan agar LBB memiliki sebuah
pasukan multinasional untuk menghentikan agresi Italia tahun 1935. Ia bahkan
siap menyumbangkan pasukan Irlandia yang berjumlah kecil untuk proyek tersebut,
namun tawarannya tidak memperoleh dukungan dari negara-negara besar. De Valera
pun mengeluh, ‘Kita belum pernah mampu menahan keinginan kita dengan
mengorbankan kepentingan sendiri ketika kepentingan itu bertentangan dengan
keadilan’ [The Independent, 6 Oktober 2002]. Uni Soviet, anggota sejak
tahun 1934, dikeluarkan karena menyerang Finlandia di tahun 1939. Akhirnya, LBB
sama sekali tidak berdaya untuk mencegah meletusnya Perang Dunia II. Pada tahun
1946, dilakukan voting untuk membubarkan LBB. Setelah itu, beragam properti dan
kelengkapan organisasinya banyak yang ditransfer ke PBB.
5.
Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebuah organisasi
yang didirikan oleh kekuatan utama dunia, dengan tujuan –secara teoritis–
menyelesaikan persengketaan internasional yang berpotensi menimbulkan
peperangan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia. PBB
juga mempromosikan nilai-nilai semacam hak asasi manusia, yang sejalan dengan
nilai-nilai kekuatan dunia Barat. Meskipun demikian, terlepas dari eksistensi
organisasinya yang besar dengan perwakilan lebih dari 180 negara anggota guna
memecahkan beragam sengketa internasional secara diplomatis, kekuatan dunia
tetap bermain dan menelikung organisasi ini untuk meraih tujuan mereka
masing-masing. AS, Inggris, Cina, Rusia dan Perancis telah menjadi anggota
tetap Dewan Keamanan PBB, tanpa pemilihan. Mereka memiliki kekuatan untuk
memveto setiap resolusi PBB yang tidak mereka sepakati, sehingga resolusi itu
tidak bisa menjadi hukum. Karena itulah, Anda tidak akan menemukan resolusi
Dewan Keamanan PBB yang mengutuk invasi AS ke Panama, penggunaan senjata kimia
mereka di Vietnam ataupun pembunuhan massal yang dilakukan Rusia di Chechnya.
Invasi Irak
ke Kuwait tahun 1991 konon melanggar hukum internasional dan resolusi PBB.
Namun, seandainya Kuwait diinvasi oleh salah satu dari lima anggota tetap Dewan
Keamanan, niscaya DK PBB tidak akan mampu berbuat apa-apa. Konsekuensi dari
dimilikinya hak veto oleh lima negara tersebut adalah mereka dapat membatalkan
sebuah resolusi, sekalipun resolusi tersebut mendapatkan dukungan
internasional. AS dikenal paling sering mempergunakan hak vetonya untuk
mencegah resolusi yang bertentangan dengan kepentingannya sendiri. Akan tetapi,
PBB kerap dianggap sebagai benteng demokrasi dan dasar objektivitas
internasional, hingga kini.
6.
Beragam resolusi yang ditujukan untuk isu-isu Timur
Tengah pun banyak yang dibatalkan oleh veto AS. Beberapa waktu yang lalu,
sebuah majalah Inggris Economist, mencoba mengilustrasikan tidak adanya
standar ganda antara penggunaan kekuatan terhadap Irak dan kurangnya opsi
militer terhadap negara-negara semacam Israel. Dalam majalah tersebut
disebutkan, bahwa resolusi-resolusi yang digunakan berbeda secara hukum
[Economist, halaman 23-25, edisi 12-18 Oktober 2002]. Namun demikian, majalah
tersebut luput melihat fakta bahwa negara-negara semacam Amerika dan Inggris
tidak akan pernah meloloskan resolusi yang memungkinkan dilakukannya upaya
militer untuk menekan Israel, walaupun beberapa kasus pencaplokan tanah,
kejahatan perang dan pembunuhan sistematis terhadap warga sipil terus terjadi.
Beberapa veto AS yang terbaru di antaranya mencakup: usul pengiriman pasukan
perdamaian PBB ke Tepi Barat, Gaza, 2001; tuntutan agar Israel menghentikan
pembangunan pemukiman di sebelah Timur Yerusalem serta pembangunan berbagai
pemukiman serupa di daerah-daerah pendudukan lainnya, 1997; seruan agar
pemerintahan Israel menahan diri untuk tidak melakukan segala tindakan termasuk
perencanaan pembangunan pemukiman, 1997; penegasan bahwa pengambilalihan tanah
yang dilakukan Israel di Yerusalem Timur adalah tidak sah dan melanggar
berbagai resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB dan ketetapan yang
diatur dalam poin 4 Konvensi Jenewa; menunjukkan dukungan terhadap proses
perdamaian, termasuk Declaration of Principles 13 September 1993, 1995;
rancangan resolusi NAM untuk menciptakan sebuah komisi yang beranggotakan tiga
anggota Dewan Keamanan PBB ke Rishon Lezion, di mana seorang tentara Israel
menembaki tujuh orang warga Palestina, 1990; daftar ini masih lebih panjang
lagi (Lihat tabel ihwal sejumlah veto yang dikeluarkan AS dan menguntungkan
Israel pada bagian akhir bab ini).
7.
Pada musim panas 2002, AS memveto perpanjangan misi
di Bosnia karena takut tentara mereka yang dikirimkan ke sana akan diseret ke
International Criminal Court (Mahkamah Kriminal Internasional) oleh musuh-musuh
mereka [BBC online, 3 Juli 2002]. Ini jelas menunjukkan bahwa manuver yang
dilakukan AS untuk PBB hanya terjadi bilamana hal itu menguntungkan AS.
Bagaimanapun, sikap pilih kasih terhadap hukum internasional merupakan bagian
dan menjadi paket dari kebijakan luar negeri AS. AS senantiasa menuntut Irak
untuk mematuhi hukum internasional, sedangkan AS sendiri tidak mengindahkannya
dan malah menginjak-injak aturan yang sama. Robin Theurkauf, seorang Visiting
Fellow pada Yale University dan istri dari salah satu korban peristiwa 11
September 2001, mengatakan, ‘Kita yang berada di AS menyukai hukum
internasional dan kita pun ingin negara-negara lain mematuhinya. Akan tetapi, adalah
sebuah kemunafikan yang sangat kentara ketika kita menuduh negara-negara lain
melanggar aturan sementara kita sendiri secara agresif menolak gagasan untuk
tunduk kepada sistem hukum internasional sebagai bagian dari masyarakat dunia’
[Milan Rai., ‘War Plan Iraq’., hal. 205].