Aisyah
ra. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
إِذَا أَرَادَ
الله بِالأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَه وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهَ وَإِنْ
ذَكَرَ أَعَانَه وَإِذَا أَرَادَ الله بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَه وَزِيرَ
سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
“Jika
Allah menghendaki kebaikan terhadap seorang amir, Allah menjadikan bagi dia
seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar; jika ia lupa, wazir itu akan
mengingatkan dirinya, dan jika ia ingat, wazir itu akan membantu dirinya. Jika
Allah menghendaki terhadap amir itu selain yang demikian, Allah menjadikan bagi
dia wazîr yang jahat/buruk; jika ia lupa, wazir itu tidak mengingatkan dirinya,
dan jika ia ingat, wazir itu tidak membantu dirinya.” (HR. Ahmad)
An-Nawawi
berkata bahwa sanad hadits ini
bagus (jayyid). Al-Bazzar meriwayatkan
hadits tersebut dengan sanad yang
dinyatakan oleh al-Haitsami bahwa para perawinya adalah perawi yang sahih. (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah,
hlm. 56)
Diriwayatkan
oleh Imam at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
وَأَمَّا
وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Dua
wazir-ku dari penduduk bumi ini adalah
Abu Bakar dan Umar.”
Hadits
ini telah digunakan oleh para fuqâha’ (ahli
fikih) secara umum serta diterima oleh kebanyakan mereka (sebagai dalil).
Status hadits ini adalah hasan.
Adanya
kekebalan diplomatik yang dimiliki oleh para duta asing, tercantum dalam sabda
Rasulullah Saw. melalui Abdullah bin Mas’ud:
“Telah
datang Ibnu Nuwahah dan Ibnu Afak, dua orang utusan dari Musailamah kepada Nabi
Saw. Kepada kedua utusan tersebut Rasulullah berkata, “Apakah engkau berdua
bersaksi bahwa aku ini Rasulullah?” Keduanya menjawab, “Kami bersaksi bahwa
Musailamah itu adalah Rasulullah.” Kemudian Rasulullah berkata, “Aku beriman
kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Seandainya –tidak terdapat kebiasaan untuk
tidak membunuh utusan– maka aku pasti akan membunuh dua orang utusan ini.
Namun, berlangsung kebiasaan bahwa para utusan (duta besar) itu tidak boleh
dibunuh.” (HR. Baihaqi; lihat: Ibnu Katsir, Bidayah
wa Nihayah, V/51)
Juga
sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya
aku tidak pernah mengkhianati perjanjian, dan tidak pernah menahan para utusan
(duta).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Ibn
Qudamah memberi alasan, bahwa duta/konsul/delegasi negara Kafir Harbi tersebut
tidak boleh dibunuh karena faktor kepentingan kedua belah pihak, agar informasi
dari kedua belah pihak bisa sampai satu kepada yang lain. Hadits ini menjadi
dasar yang digunakan oleh semua fuqaha', bahwa duta/konsul/delegasi negara
Kafir Harbi itu mempunyai kekebalan diplomatik. Dengan catatan, jika mereka
duta/konsul/delegasi, harus ada bukti surat yang dibawa dari negaranya yang
ditujukan kepada Khalifah kaum Muslim. Mereka juga tidak boleh membawa senjata.
Mereka juga tidak akan diizinkan masuk ke negeri kaum Muslim untuk mencuri,
merampok, atau melakukan mata-mata, karena bisa membahayakan kaum Muslim. (Ibn
Qudamah, al-Mughni, 2352)
Terdapat
riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. pernah menerima tamu seseorang yang
berasal dari Negara Kafir, yaitu Jahjah bin Said al-Ghifari, yang dijamu oleh
Nabi dengan disembelihkan seekor kambing dan diperahkan susu untuknya, dan
fakta riwayat tersebut juga menunjukkan:
Pertama,
Jahjah bin Said al-Ghifari adalah orang yang datang kepada Nabi dengan jaminan
keamanan (al-aman), dengan kata lain
statusnya sebagai Kafir Musta'min.
Nabi menerimanya, memberi jaminan keamanan (al-aman),
serta menjamu dan menghormatinya, karena keinginannya untuk masuk Islam. Karena
itu, setelah diterima dan dijamu dengan baik, esok harinya, diapun menyatakan
masuk Islam (HR. Ibn 'Abdi al-Barr, at-Tamhid,
juz XXI/263).
Ini
sejalan dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 6. Karena itu, menurut
al-Qurthubi, semua ulama' sepakat, bahwa jika orang Kafir datang ke negeri
Islam untuk belajar Islam, dia boleh mendapatkan jaminan keamanan (al-aman). (al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, juz VIII/75)
Kedua,
status tamu Kafir Musta'min yang
ingin mempelajari Islam, dengan jaminan keamanan (al-aman)
yang diberikan oleh Nabi (kepala negara Islam), sama dengan tamu Muslim, karena
mereka telah mendapatkan dzimmah, meski bersifat mu'aqqatah (sementara), bukan mu'abbadah sebagaimana Ahli Dzimmah. Dalam konteks ini, Nabi
bersabda: "Siapa saja yang menzalimi orang yang terikat perjanjian (dengan
kaum Muslim), atau mengurangi (hak-hak)-nya maka akulah yang akan menjadi
penuntutnya pada Hari Kiamat." (HR. Abu Dawud; az-Zarkasyi, al-La'ali' al-Mantsurah fi al-Ahadits al-Masyhurah,
I/13)
Larangan
pakta pertahanan bersama atau aliansi militer strategis.
Hadits
Nabi, ”Janganlah kalian meminta bantuan pada api orang musyrik.” (HR. Ahmad dan
Nasa’i)
Api
di sini merupakan kinayah terhadap
peperangan (al-harb), sebagaimana firman
Allah Swt:
﴿ كُلَّمَا
أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ﴾
“Setiap
mereka menyalakan api peperangan Allah Swt. memadamkannya” (QS. al- Maa-idah
[5]: 64)
Kerjasama
yang akan menghalangi Negara Khilafah Islam untuk memiliki dan mengembangkan
senjata adalah diharamkan secara mutlak. Karena Allah Swt. berfirman:
﴿ وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ﴾
“Siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian
menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang
kalian tidak mengetahuinya.” (QS. al-Anfal [6]: 60)
Rasulullah
Saw. bersabda:
»اَلْجِهَادُ
مَاضٍ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ«
“Jihad
itu berlangsung hingga hari Kiamat.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibn
Majah)
Rasulullah
Saw. bersabda:
الْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ تَعَالَىٰ إِلَى أَنْ
يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ
عَادِلٍ
“Jihad
itu tetap berlangsung sejak Allah SWT mengutusku hingga umatku yang terakhir
memerangi Dajjal. Kewajiban jihad ini tidak akan gugur oleh kezaliman pemimpin
yang zalim, dan tidak pula oleh keadilan pemimpin yang adil.” (HR. Abu
Dawud)
Diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dari az-Zuhri:
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْهَمَ لِقَوْمٍ
مِنَ الْيَهُودِ قَاتَلُوا مَعَهُ
“Sesungguhnya
Nabi Saw. memberikan bagian harta rampasan perang kepada orang Yahudi yang ikut
berperang bersama beliau.” (HR. at-Tirmidzi)
Meski
hadits ini termasuk di antara hadits mursal dari az-Zuhri, Ibnu Qudamah
menjadikan hadits ini sebagai dalil—terkait masalah ini—dalam kitabnya Al-Mughni. (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 211)
Ibnu
Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni,
dan Ibn Hisyam dalam kitab Sirah-nya
menggunakan hadits tentang Shafwan bin Umayah:
أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ خَرَجَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ وَهُوَ عَلَى شِرْكِهِ، فَأَسْهَمَلَهُ،
وَأَعْطَاهُ مِنَ الغَنَائِمِ مَعَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
“Sesungguhnya
Shafwan bin Umayah pernah keluar bersama Nabi Saw. pada saat Perang Hunain,
sedang ia—saat itu—masih musyrik. Kemudian Nabi Saw. memberi dia bagian harta
rampasan Perang Hunain bersama dengan para muallaf.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar