Harus dijelaskan
kepalsuan setiap pemikiran kontemporer seperti kapitalisme, nasionalisme/
ashobiyah, atau patriotisme. Harus pula dilakukan upaya untuk membandingkan
antara pemikiran-pemikiran Islam dan pemikiran-pemikiran lainnya untuk
memperoleh hasil, yaitu meruntuhkan setiap pemikiran selain Islam dan
selanjutnya meruntuhkan pula setiap institusi yang berdiri di atasnya.
Dari sini kemudian
dijelaskan, bahwa hanya Islam yang benar dan layak untuk seluruh dunia (karena
keuniversalan akidah dan sistemnya) dan hanya pada Daulah Islamiyah Islam dapat
direpresentasikan secara utuh. Di dalam medan semacam inilah jamaah ideologi
Islam berusaha untuk menjatuhkan setiap propaganda, slogan-slogan yang digelar,
papan-papan pengumuman, dan seruan-seruan palsu yang ditanamkan oleh
orang-orang kafir di benak umat Islam seperti slogan, “Kebebasan kebudayaan dan
pemikiran,” “Berikan apa yang menjadi hak kaisar kepada kaisar dan berikan apa
yang menjadi Allah kepada Allah,” “Tanah airku selalu benar.”
Hendaknya partai
politik ideologi Islam beraktivitas untuk menjauhkan setiap pemikiran Barat
dari benak umat Islam dan dari kehidupan mereka, yaitu dengan menyangkal
berbagai pemikiran destruktif yang berkembang seperti: “Pembaharuan Syariat,”
“Yurisprudensi Syariat,” “Elastisitas syariat untuk merespon perkembangan
zaman,” (menurut versi Barat) “Pemisahan agama dari politik,” “Tidak ada
politik dalam agama,” “Tidak bisa diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena
adanya perubahan waktu dan tempat,” dan lain-lain. Selain meruntuhkan semua
propaganda ini, organisasi/partai dakwah ideologi Islam juga mesti menanamkan
pemikiran-pemikiran yang benar yang berlandaskan pada —sekaligus lahir dari—
konsep syahadat “Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh.”
Secara
syar‘î, dapat dimaklumi, bahwa kalimat Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad
Rasûlullâh —baik secara ilmu maupun amal— tidak akan bersih berada di
dalam jiwa sampai segala pemikiran selainnya dibuang dan setiap keimanan kepada
selain-Nya dijauhkan dari dalam jiwa itu. Allah Swt. berfirman:
“Oleh karena itu, siapa saja yang ingkar
(kufur) terhadap thâghût dan beriman
kepada Allah, berarti ia telah berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak
akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (TQS. al-Baqarah [2]:
256)
Dalam
ayat di atas, kata kufur terhadap thâghût
supaya tidak menempel satu noda syirik atau satu kotoran kekufuran pun dalam
jiwa, sehingga setelah itu datang keimanan yang ikhlas. Inilah keadaan yang
dialami oleh orang yang berpegang teguh pada tali yang kukuh (‘urwah al-wutsqâ).
Allah Swt. berfirman:
“Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, serta mohonkanlah ampunan atas
dosamu dan atas dosa orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Allah
mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (TQS. Muhammad [47]:
19).
Frasa
lâ ilâha berarti bahwa setelah meneliti
dan memikirkan, muncullah ‘ilm (baca:
keyakinan) —yang bermakna negasi— bahwa sesungguhnya tidak ada ‘tuhan’ yang ada
sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Kemudian, frasa illâ Allâh merupakan afirmasi (itsbât) bahwa ketuhanan (ulûhiyyah) hanyalah hak/milik Allah semata.
Artinya, kalimat di atas menegasikan tuhan selain Allah, dan sekaligus
mengafirmasikan (mengukuhkan) bahwa hanya Allah yang layak disebut Tuhan.
Dalam perspektif
bahasa Arab, kalimat semacam ini adalah bentuk pengukuhan (itsbât) yang paling kuat dan memiliki fungsi
untuk memberikan pembatasan/pengkhususan (al-hashr). Oleh karena itu, bukan pemikiran
sosialis, nasionalisme/ashobiyah, atau patriotisme yang akan menyelamatkan atau
merupakan pemikiran yang benar. Alasannya, pemikiran-pemikiran itu semuanya
adalah rusak dan batil, menyengsarakan manusia, dan bukan membahagiakannya.
Jadi, selain Islam dan syariat-Nya, tidak ada yang lain yang merupakan
petunjuk, cahaya, dan penyembuh.
Partai
politik ideologi Islam mesti melakukan pembinaan atas para anggotanya sekaligus
membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah
Islâmiyyah) mereka. Caranya adalah dengan menyampaikan kepada mereka
sejumlah tolok ukur/ standar yang benar dan memuaskan jiwa-jiwa mereka. Dengan
begitu, mereka suka untuk senantiasa terikat dengan syariat, dan benci jika
melanggarnya; mereka cinta untuk selalu berhukum dengan syariat, dan benci jika
berhukum dengan selainnya. Dengan begitu pula, cara berpikir mereka dalam
memandang perkara-perkara yang ada selalu terjaga dengan sejumlah tolok ukur
dan pemikiran yang bersumber dari syariat; kecenderungan mereka mengikuti
kecenderungan Islam; serta keridhaan dan kebencian mereka semata-mata karena
alasan syar‘î.
Partai
politik ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran ini kepada
para pengikutnya melalui sejumlah halqah murakkazah
(pembinaan intensif). Halaqah ini dimaksudkan dalam rangka mempersiapkan para
aktivis partai ideologi Islam untuk memimpin dan melaksanakan aktivitas dakwah
ideologi Islam. Hal itu dilakukan setelah mereka ikut terjun ke dalam realitas
bersama partai untuk mengajak masyarakat agar mengadopsi pemikiran-pemikiran
Islam.
Partai
politik ideologi Islam juga mesti berusaha memahami realitas yang ada dengan
cara berpikir. Ia juga mesti menyampaikan kepada para aktivisnya proses
berpikir yang dipergunakannya. Dengan demikian, partai ideologi Islam berperan
sebagai pembimbing bagi para aktivisnya mengenai bagaimana cara mereka
berinteraksi dengan realitas, serta bagaimana cara mereka untuk sampai pada
pemahaman Islam mengenai sejumlah realitas yang ada yang menempati posisi
sebagai obyek hukum (manâth al-hukm) baginya; seperti definisi akal, kebutuhan
fisik (hâjât al-‘udhawiyyah), naluri-naluri (gharâ-iz), kebangkitan (nahdhah), masyarakat (mujtama‘), peradaban/kultur (hadhârah),
kebudayaan material (madaniyyah), dan
lain-lain. Semua itu tentu saja mesti didefinisikan karena adanya kebutuhan
untuk mengetahui hakikatnya yang sangat berkaitan dengan banyak hukum syariat….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar