Oleh:
Annas I. Wibowo, S.E.
Build–operate–transfer (BOT) atau build–own–operate–transfer
(BOOT) adalah sebuah bentuk pendanaan proyek, di mana entitas swasta
mendapatkan konsesi dari entitas swasta atau pemerintah untuk mendanai,
mendesain, membangun, memiliki, dan mengoperasikan sebuah fasilitas yang
ditentukan dalam kontrak selama masa tertentu. Skema BOT banyak dilakukan di
proyek infrastruktur yang penting bagi kesejahteraan sosial semacam
transportasi kereta api, pabrik penyulingan, dan pembangkit listrik. Selama
masa kontrak, pihak swasta memiliki dan berhak mengambil semua keuntungan dari
pengoperasian fasilitas yang dibangun. Di akhir masa konsesi, biasanya
kepemilikan fasilitas yang dibangun sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah.
Sebagian
atau seluruh pihak berikut ini terlibat dalam proyek BOT:
· Pemerintah: Biasanya menjadi inisiator
proyek dan menyediakan sejumlah dukungan seperti menyediakan lahan dan
perubahan aturan-aturan.
· Pemegang izin/ konsesi: Para sponsor
proyek yang berperan sebagai concessionaire menciptakan special
purpose entity (SPE, dalam hal ini adalah perusahaan
swasta yang dibuat secara khusus oleh perusahaan-perusahaan induk pemegang
konsesi untuk menjalankan skema BOT) dan berkontribusi dalam modal perusahaan
SPE itu.
· Bank pemberi utang: Kebanyakan proyek BOT
didanai -dalam porsi yang besar- melalui utang komersial (dengan riba). Bank
asing atau dalam negeri memberi utang kepada perusahaan SPE.
· Pemberi utang lainnya: SPE mungkin
memiliki sejumlah pemberi utang yang lain seperti bank pembangunan nasional
atau regional.
· Pihak-pihak terkait kontrak proyek:
Karena SPE hanya memiliki sejumlah terbatas tenaga kerja, dia akan
mensubkontrakkan sebagian pekerjaan ke pihak ketiga untuk memenuhi kewajibannya
dalam kesepakatan konsesi. Dia juga harus memastikan adanya cukup kontrak
dengan penyuplai material dan sumberdaya lain yang dibutuhkan proyek.
Dalam
proyek BOT perusahaan proyek atau operator mendapatkan penghasilan dari pembayaran yang diberikan
pemerintah atau dari tarif yang dibebankan kepada konsumen, misalnya untuk
jalan tol. Penghasilan itu diperlukan untuk menutup biaya, mengembalikan modal
dan menghasilkan keuntungan. (lihat: https://en.wikipedia.org/wiki/build–operate–transfer)
Di
Republik Indonesia skema pembangunan build-operate-transfer ada dalam
Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah
dengan istilah Bangun Guna Serah (BGS).
Skema BOT
dapat dirinci ke dalam aspek politik luar negeri, kepemilikan harta, pengelolaan,
dan akadnya.
Pada aspek
politik luar negeri, BOT bisa melibatkan kerjasama dengan swasta asing
dan/atau pemerintah negara asing. Dilihat dari status negara asing beserta
perusahaan swastanya, terbagi menjadi 3:
1.
Negara Kafir Harbi Fi’lan – Ad-Daulah
Al-Muharibah Fi’lan (negara kafir harbi yang secara de facto sedang
memerangi kaum Muslimin)
2.
Negara Kafir Harbi Hukman – Ad-Daulah
Al-Muharibah Hukman (negara kafir harbi secara hukum/ de jure)
3.
Negara Kafir Mu’ahid - Ad-Dawlah
Al-Mu’ähidah (negara yang mempunyai perjanjian dengan negara Khilafah)
Syariat
melarang perjanjian kerjasama apapun dengan Negara Kafir Harbi Fi’lan.
Negara tersebut wajib diperangi.
Daulah
Islamiyah boleh menjalin perjanjian kerjasama dengan Negara Kafir Harbi
Hukman yaitu yang tidak berperang dengan kaum Muslimin, begitu pula dengan
Negara Kafir Mu’ahid sesuai dengan klausul perjanjian dengan mereka.
Syariat
Islam pun telah menggariskan kerjasama dengan Negara Kafir Harbi Hukman
yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Ditinjau dari aspek kepemilikan
harta, infrastruktur/fasilitas yang dikonsesikan dengan skema BOT dimiliki
oleh pihak swasta sejak awal proyek meskipun hanya selama periode tertentu,
baik kepemilikannya sebagian maupun seluruhnya. Kerjasama pemerintah dan swasta
bisa berwujud perusahaan yang dimiliki bersama (joint venture) atau
pemerintah mengelola sebagian urusan dan swasta mengelola sebagian yang lain.
Perusahaan joint venture di mana pihak swasta menjadi sekutu modal
maupun menjadi sekutu tenaga/manajemen sebagai pengelola harta milik umum
hukumnya haram. Tidak boleh mengubah kepemilikan umum menjadi dikuasai oleh
swasta meskipun saham kepemilikan swasta itu hanya sebagian saja. Tidak boleh
pula swasta turut memiliki dengan menjadi sekutu tenaga dalam sebuah syirkah
sehingga pengelolanya pemerintah bersama swasta.
Infrastruktur
yang menurut syariat Islam tergolong harta Baitul Mal milik umum/ masyarakat
secara bersama maka haram dikuasai oleh individu/swasta dalam negeri maupun
asing. Harta yang tergolong milik umum ini contohnya jalan-jalan umum termasuk
yang populer disebut dengan jalan tol, sungai, danau, kanal atau terusan besar
seperti terusan suez, pulau buatan, lapangan umum, masjid.
Infrastruktur
yang boleh menjadi milik umum maupun negara contohnya industri
pengeksploitasian tambang, pemurnian barang tambang dan peleburannya, juga
minyak bumi dan penyulingannya.
Jika
dilakukan swastanisasi maka salah satu dampaknya adalah berlakunya prinsip
bisnis mencari keuntungan sebesar-besarnya, harga barang atau jasa yang
dihasilkan dari infrastruktur itu menjadi mahal atau tidak terjangkau banyak
orang, dan keuntungannya pun tidak kembali kepada masyarakat. Padahal
semestinya pendapatan dari infrastruktur milik umum merupakan milik bersama
masyarakat dan mereka berserikat dalam harta tersebut. Harta ini merupakan
salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum muslimin di mana Khalifah -sesuai
dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syara’- membagikan harta tersebut kepada
mereka demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.
Infrastruktur
yang boleh dimiliki oleh swasta yaitu semisal landasan pesawat terbang, sarana
transportasi seperti bus dan pesawat terbang, pabrik motor, alat-alat
penambangan. Dalam kategori ini, Kafir Harbi Hukman maupun Mu’ahad
tetap tidak boleh memiliki tanah maupun bangunan termasuk pabrik di negara
Khilafah. Konsekuensi kepemilikan warga asing atas tanah dan bangunan itu
mengakibatkan adanya pemanfaatan untuk kepentingan mereka, baik sebagai pribadi
maupun negaranya. Dalam konteks inilah maka para ulama menegaskan hukum
kepemilikan atas tanah dan bangunan di wilayah negara khilafah berbeda dengan
hukum kepemilikan atas barang bergerak. Karena status tanah dan bangunan sangat
strategis. (lihat: KH. Hafidz Abdurrahman, Kebijakan Khilafah Terhadap
Kepemilikan Properti oleh Orang Asing)
Dilihat
dari aspek pengelolaan, infrastruktur BOT dikelola oleh swasta
sepenuhnya atau bekerjasama dengan pemerintah. Jika swasta mengelola dengan
ber-syirkah dengan pemerintah maka hukumnya tidak boleh sebagaimana
telah dijelaskan. Infrastruktur milik umum wajib dikelola oleh negara sehingga
tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta.
Infrastruktur
yang boleh dimiliki individu maka boleh dikelola swasta. Misalnya, Daulah
berkewajiban mengeksploitasi barang tambang sebagai harta milik umum terutama
yang berada di dalam perut bumi untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Upaya
pengeluaran ini dapat saja langsung dikuasai Daulah dengan menggunakan industri
dan alat-alat yang dimilikinya atau dapat juga mempekerjakan swasta yang
menerima upah dari Daulah atas upayanya tersebut, atas manfaat yang
ditimbulkannya, atau atas jasa alat milik swasta yang digunakan. Dalam hal ini
swasta mengelola teknis menambang dan peralatannya, bukan mengelola tambangnya.
Negara sebagai pengelola tambang adalah pihak yang bertanggung jawab atas
tambang itu mewakili kaum Muslimin.
Seandainya
negara mempekerjakan tenaga ahli asing, yaitu dari negara Kafir Harbi Hukman maka harus diperhatikan bahwa masa
tinggal di negara Khilafah hanya boleh dalam jangka waktu di bawah satu tahun.
Hal ini karena seorang harbi dibolehkan tinggal di Darul Islam tanpa ditarik
jizyah, padahal jizyah dipungut satu tahun sekali. Artinya, maksimal harbi
boleh tinggal tanpa jizyah selama satu tahun. Jika dia tinggal lebih dari satu
tahun, dia diberi pilihan: akan tinggal secara tetap dan membayar jizyah atau
keluar dari Darul Islam. Jika dia membayar jizyah, berarti dia menjadi ahl
adz-dzimmah atau warga negara Khilafah.
Namun
demikian, kesepakatan BOT tetap tidak boleh dibuat, baik antara pemerintah dan
swasta dalam negeri maupun antar sesama swasta dalam negeri. Akad kerjasama
dengan skema BOT dapat dipandang
sebagai kesepakatan syirkah. Contoh: pemerintah menjadi sekutu modal
saja yang menyediakan lahan -yang sifatnya boleh dimiliki individu- sementara swasta
menjadi sekutu tenaga sekaligus sekutu modal yang harus membangun rest area
dengan spesifikasi yang telah disepakati. Masa syirkah berakhir setelah 15
tahun. Selama masa syirkah, pemerintah setuju untuk tidak mendapat bagi hasil
apapun dan tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun. Namun, di akhir masa
syirkah swasta harus memberikan bangunan beserta lahan kepada pemerintah.
BOT menyalahi ketentuan syirkah dalam Islam. Kedua
pihak seharusnya bersepakat atas nisbah (persentase) tertentu dari laba yang
diperoleh. Dan jika ada kerugian maka kerugian harta itu ditanggung pemodal. Tidak
boleh ditentukan laba yang sudah dijamin, yang dalam hal ini berupa
infrastruktur yang harus diberikan kepada pemerintah.
Jika skema BOT dibuat dengan pendekatan sebagai akad sewa
lahan sekaligus ijarah atas tenaga maka ini haram. Contohnya: pemerintah menyediakan lahan -yang
sifatnya boleh dimiliki individu- untuk digunakan oleh swasta membangun rest
area dengan harga sewa yang harus dibayar setelah 15 tahun yaitu berupa
bangunan rest area dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pemerintah
juga mensyaratkan perusahaan swasta itu untuk mengelola rest area yang
sudah jadi dan pendapatan dari pengelolaannya itu dimiliki sepenuhnya oleh
swasta. Selain itu, pemerintah juga mensyaratkan rest area itu harus
terus buka dan beroperasi selama 24 jam, tidak boleh libur, tidak boleh ditutup
bisnisnya itu, dan tidak boleh pula bisnisnya disewakan, atau dijual kepada
swasta yang lain. Berarti dalam hal ini pemerintah mempekerjakan swasta untuk
mengelola rest area. Jadi akad ini merupakan multiakad yang dilarang
oleh syariat Islam.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra.:
نَهَى
عَنْ
صَفْقَتَيْنِ
فِي صَفْقَةٍ
واَحِدَةٍ
“Rasulullah Saw. melarang dua akad dalam satu transaksi.”
(HR. Ahmad, hadits shahih)
Di
samping itu, akad ijarah-nya pun tidak sesuai syariat, yaitu upah bagi
swasta tidak jelas bahkan swasta harus mengusahakan pendapatannya sendiri dari
mengelola rest area itu.
Nabi SAW
bersabda: "Siapa yang mengontrak seorang ajiir maka hendaknya dia
memberitahukan upahnya." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya,
dari Abu Hurairah dan Abu Said)
كُلُّ
شَرْطٍ
لَيْسَ فِي
كِتَابِ
اللَّهِ فَهُوَ
بَاطِلٌ
وَإِنْ كَانَ
مِائَةَ
شَرْطٍ
“Setiap
syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah bathil, meskipun ada
seratus syarat.” (HR. Bukhari,
Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban)
Maka yang
boleh adalah akad sewa saja atau akad ijarah atas tenaga saja. Misal,
pemerintah menyewakan lahan miliknya selama 15 tahun kepada swasta dengan harga
yang harus dibayar di akhir masa sewa berupa bangunan rest area di atas
lahan itu dengan spesifikasi yang disepakati, tanpa syarat dalam hal
pengelolaan atas rest area-nya. Maka ini bukan kerjasama BOT.
Contoh ijarah
yang boleh: pemerintah dengan dananya mempekerjakan swasta untuk membangun dan
mengelola rest area dengan upah yang jelas selama masa kontrak ijarah.
Lahan, bangunan, dan uang dalam pengelolaan rest area itu –termasuk
keuntungannya- adalah milik pemerintah. Maka ini juga bukan BOT. Meski upahnya
jelas tapi jika skema kerjasamanya tetap BOT maka tetap terlarang.
WalLaah
a'lam bi al-shawaab.
Referensi:
Asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu
ar-Rasytah, Jawab-Soal Tentang Hukum Akad Murabahah
https://alwaie.id/iqtishadiyah/cara-islam-membiayai-pembangunan-infrastruktur/
KH. Hafidz Abdurrahman, Kebijakan Khilafah Terhadap Kepemilikan Properti
oleh Orang Asing, Tabloid Mediaumat Edisi 186
KH. Shiddiq al-Jawi, Kafir Harbi, Musta’min,
dan Ahlul Dzimmah, mediaumat.news
Syaikh Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan
Negara Khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhom
al-Iqtishadi fil Islam, Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar