Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Dan
bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan
bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya.” (TQS. al-Furqan [25]: 58)
Di antara
perkara penting yang harus dimiliki manusia adalah sikap tawakkal kepada Allah
SWT. Sikap ini lahir dari keyakinan bahwa Allah SWT menjadi tempat bersandar
manusia dalam segala urusan. Di samping itu, manusia juga mensucikan dan memuji
Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan tak terhingga kepada
manusia. Inilah di antara yang dikandung dalam ayat ini.
Diperintahkan
Bertawakal
Allah SWT berflrman: Wa tawakkal 'alaa al-Hayyi al-ladzii laa yamuutu (dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup [Kekal]
Yang tidak mati). Huruf wawu dalam ayat ini adalah wawu al-'athf
menyambungkan kalimat dengan kalimat sesudahnya. Karena khithaab atau seruan ayat sebelumnya ditujukan kepada
Rasulullah ﷺ, maka demikian pula khithaab ayat
ini, masih ditujukan kepada beliau.
Setelah
dalam ayat sebelumnya diberitakan bahwa orang-orang kafir menjadi penolong
dalam menyakiti beliau, maka Allah SWT memerintahkan beliau untuk tidak meminta
upah dari mereka sama sekali dan memerintahkan beliau untuk bertawakal
kepada-Nya dalam menolak semua mudharat dan menarik semua manfaat. Demikian
penjelasan Fakhruddin al-Razi.
Dalam ayat
ini digunakan fi'l al-amr (kata
perintah): tawakkal (bertawakallah).
Menurut al-Khazin dalam tafsirnya ketika menerangkan QS Ali Imran [3]: 122, al-tawakkul (tawakal) merupakan bentuk tafa’ul dari kata wakala amrahu ilaa ghayrihi (mewakilkan urusannya kepada pihak
lain), ketika dia mempercayakan kepada pihak lain itu dalam memenuhi dan
melaksanakan urusan tersebut.
Imam
al-Qurthubi juga mengatakan bahwa secara bahasa al-tawakkul
adalah menampakkan kelemahan dan mempercayakan kepada pihak yang lain.
Disebutkan: Waakala Fulaan apabila dia
meletakkan urusannya dan memasrahkan kepada pihak lain. Masih menurut
al-Qurthubi, bertawakkal kepada Allah berarti percaya kepada Allah SWT dan
meyakini bahwa keputusan-Nya pasti berlaku. Tak jauh berbeda, al-Syaukani juga
berkata, "Tawakal adalah bergantungnya hamba kepada Allah SWT dalam segara
urusan."
Abdurrahman
al-Sa'di berkata, ”Tawakal adalah percayanya hati terhadap Allah SWT dalam
menarik manfaat dan menolak mudarat disertai dengan kepercayaan kepada Allah.
Sesuai dengan kadar keimanannya, demikian pula kadar tawakalnya."
Bertolak
dari semua penjelasan itu, tampak jelas bahwa tawakal berkaitan dengan masalah
akidah. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah
yang dijadikan sebagai tempat bersandar oleh setiap Muslim ketika mencari
manfaat dan menolak mudharat. Orang yang mengingkari perkara ini berarti
dia kafir. Tawakal juga merupakan aktivitas hati. Sehingga jika ada seseorang
yang mengucapkannya namun tidak meyakini dengan hatinya, maka ia tidak
dimasukkan sebagai orang yang bertawakal.
Dalam ayat
ini disebutkan: 'alaa al-Hayy al-ladzii Laa
yamuutu (kepada Allah Yang Hidup [Kekal] Yang tidak mati).
Dikhususkannya sifat hidup di sini untuk mengisyaratkan bahwa yang hidup adalah
pihak yang dapat dipasrahi berbagai kemaslahatan. Tidak ada kehidupan abadi
kecuali bagi Allah SWT. Sehingga, tidak bisa menggantungkan kepada makhluk yang
kehidupannya terputus. Sebab, jika dia mati, hilanglah orang yang bergantung
kepadanya. Demikian diterangkan al-Syaukani.
Menurut
Ibnu Katsir, perintah dalam ayat ini seperti halnya firman Allah SWT: “(Dia-lah) Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai wakiil[an]
(pelindung)” (TQS. al-Muzzammil [73]: 9). Juga dalam QS. Hud [11]: 123
dan al-Mulk [67]: 29.
Patut dicatat, ketika seseorang bertawakal kepada Allah SWT bukan
berarti meninggalkan yang secara sunnatullah menjadi sebab-sebabnya. Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Yang dimaksud dengan tawakal kepada Allah
SWT adalah meyakini apa yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT: ”Dan tidak ada suatu binatang melata
pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” (TQS. Hud [11]: 6). Dan bukanlah yang dimaksud
dengan tawakal itu adalah meninggalkan sebab dan mempercayakan kepada apa yang
akan datang dari makhluk. Sebab, hal itu terkadang justru menyeret kepada
sesuatu yang berlawanan dengan tawakal. Imam Ahmad pernah ditanya tentang
seseorang yang duduk-duduk saja di rumahnya atau di masjid seraya berkata,
"Aku tidak mengerjakan sesuatu hingga rezeki datang kepadaku." Beliau
berkata, "Orang-orang itu bodoh terhadap ilmu. Sungguh Nabi ﷺ
bersabda: “Sesungguhnya
Allah menjadikan rezekiku di bawah bayang-bayang tombak.”
Nabi juga
mencontohkan dalam kehidupannya. Untuk mendapatkan rezeki-Nya, beliau juga
bekerja. Demikian juga ketika berdakwah, berperang, dan berjuang. Beliau
merencanakan, menyiapkan, dan mengerjakan dengan serius segala wasilah yang
dapat mengantarkan kepada keberhasilan dan kemenangan.
Diperintahkan
Bertasbih dan Bertahmid
Kemudian
Allah SWT berfirman: Wa sabbih bihamdihi
(dan bertasbihlah dengan memuji-Nya). Menurut al-Qurthubi, yang dimaksudkan
dengan al-tasbiih adalah al-tanziih (menyucikan). Sehingga perintah: wa sabbih bihamdihi berarti, ”Sucikanlah Allah
SWT dari semua yang disifatkan oleh orang-orang musyrik."
Dijelaskan
al-Alusi, ”Menyucikan-Nya dengan disertai pujian terhadap-Nya dengan
sifat-sifat-Nya yang sempurna untuk meminta tambahan nikmat dengan mensyukuri
kenikmatan sebelumnya.”
Kemudian
ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wa kafaa
bihi bidzunuub ‘ibaadihi Khabiir[an] (dan cukuplah Dia Maha Mengetahui
dosa-dosa hamba-hamba-Nya). Menurut al-Syaukani, berarti hasbuka (cukuplah engkau). Kalimat ini
dimaksudkan untuk mubaalaghah
(melebihkan), seperti halnya kalimat: kafaa
bilLaah Rabban (cukuplah bagimu Allah sebagai Tuhanmu).
Sedangkan
pengertian al-Khabiir adalah yang
mengawasi dan mengetahui segala urusan, sehingga tidak ada satupun yang
tersembunyi bagi-Nya. Menurut al-Alusi, makna kata al-khibrah adalah mengetahui perkara yang tersembunyi.
Barangsiapa yang mengetahui perkara yang tersembunyi, tentu lebih mengetahui
perkara yang tampak. Ibnu Katsir berkata, "Karena ilmu-Nya yang sempurna,
tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan tidak ada yang samar bagi-Nya walaupun
hanya seberat biji dzarrah.”
Diterangkan
Fakhruddin al-Razi, ayat ini memberikan pengertian bahwa kamu tidak membutuhkan
selain-Nya. Sebab, Dia mengetahui keadaan mereka dan mampu menghadapi mereka,
sehingga merupakan ancaman keras. Seolah-olah dikatakan, "Jika kalian
mengerjakan perbuatan yang melanggar perintah-Ku, cukuplah bagi kalian ilmu-Nya
dalam memberikan balasan dan hukuman yang layak kepada kalian.”
Bahwa penggalan akhir ayat ini konteksnya adalah ancaman keras bagi
orang-orang kafir juga dikemukakan al-Alusi. Di samping menurutnya, untuk
menghibur hati Rasulullah ﷺ. Makna ayat ini adalah Dia mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya, lantaran tidak ada sedikitpun yang tersembunyi bagi-Nya.
Kemudian Dia membalas mereka atas semua perbuatan tersebut. Dan bukanlah
menjadi tanggung jawabmu (Rasulullah ﷺ) jika mereka beriman atau kafir.
Demikianlah. Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk bertawakal kepada-Nya, bergantung dan
menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Beliau juga diperintahkan untuk menyucikan-Nya dari segala sifat lemah dan
memuji-Nya atas semua nikmat tersebut.
Beliau tak
perlu takut dan risau terhadap ulah kaum kafir. Sekalipun mereka mengerahkan
segala daya-upaya dan menjadi pembantu setan dalam memusuhi beliau, akan
berakhir dengan kegagalan. Sebaliknya, akibat kejahatan itu akan kembali kepada
mereka. Mereka akan mendapatkan siksa dan azab atas kejahatan mereka. Patut
diingat, perintah kepada Rasul dalam ayat ini juga berlaku bagi umatnya. Semoga
kita diberikan kekuatan untuk mengerjakannya. WalLaah
a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Rasulullah ﷺ dan umatnya diperintahkan untuk bertawakal,
bertasbih, dan bertahmid kepada Allah SWT.
2. Tawakal
berkaitan dengan masalah akidah sehingga orang yang mengingkari perkara ini
menyebabkan pelakunya jatuh kepada kekufuran.
3. Tawakal
merupakan kegiatan hati sehingga jika hatinya tidak meyakininya tidak
dikategorikan sebagai tawakal.
4. Tawakal
kepada Allah tidak berarti meninggalkan hukum kausalitas ketika beramal.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 161