Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Yang
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka
tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui.” (TQS. al-Furqan
[25]: 59)
Langit dan
bumi beserta seluruh isinya tidak ada dengan sendirinya. Semuanya ada karena
ada Dzat yang menciptakannya. Penciptanya tak lain adalah Allah SWT. Oleh
karena itu, hanya kepada-Nya manusia bertawakal. Yakni, menyerahkan semua
urusannya. Selain itu, juga bertahmid dan bertasbih kepada-Nya.
Pencipta
Langit, Bumi, dan Semua Isinya
Allah SWT berfirman: al-Ladzii khalaqa al-samaawaat wa al-ardh wamaa baynahuma fii sittati
ayyaam (yang menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa). Dalam ayat sebelumnya
Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk bertawakal, bertahmid, dan
bertasbih kepada-Nya. Perintah tersebut juga berlaku kepada umat-Nya.
Diterangkan oleh Fakhruddin al-Razi, bahwa Allah SWT telah memerintahkan
Rasulullah ﷺ untuk bertawakkal kepada-Nya dengan menggambarkan
beberapa sifat-Nya. Pertama, bahwa Dia Hayy[un] layamuutu
(Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati). Ini disebutkan dalam ayat sebelumnya,
yakni firman Allah SWT: Watawakkal
'alaa al-Hayy al-ladzii laa yamuutu
(bertawakallah kepada Allah Yang Hidup [Kekal] yang tidak mati).
Kedua,
bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap semua berita. Ini juga disebutkan dalam ayat
sebelumnya, yakni firman Allah SWT: Wakafaa
bidzunuubi 'ibaadihi Khabiir[an] (dan cukuplah Dia Maha Mengetahui
dosa-dosa hamba-hamba-Nya).
Dan ketiga,
bahwa Dia Maha Kuasa atas segala yang ada. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat
ini: al-Ladzii khalaqa al-samaawaat wa al-ardh
(yang menciptakan langit dan bumi). Ketika Allah SWT adalah Pencipta langit dan
bumi beserta semua isinya, maka menetapkan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala
jenis manfaat, mencegah berbagai madharat, dan sesungguhnya semua kenikmatan
adalah berasal dari-Nya. Konsekuensinya, tidak boleh bertawakal kecuali
kepada-Nya.
Firman
Allah SWT: Fii sittati ayyaam (dalam
enam masa) memberikan keterangan tentang masa penciptaan langit dan bumi
berserta isinya. Kata al-ayyaam
merupakan bentuk jamak dari kata al-yawm.
Dalam perhitungan manusia, kata yawm
menunjuk kepada periode waktu dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Dalam seminggu, ada tujuh hari. Akan tetapi, di sisi Allah SWT, al-yawm setara dengan seribu tahun menurut
perhitungan manusia (lihat: QS. al-Hajj [22]: 47, al-Sajdah [32]: 5). Bahkan
dalam ayat lainnya, satu hari setara dengan lima puluh ribu tahun (lihat: QS.
al-Ma'arij [70]: 4). Oleh karena itu, hanya Allah SWT yang mengetahui waktu
sesungguhnya sittati ayyaam (enam hari)
yang dimaksudkan ayat ini.
Patut
dicatat, Allah SWT Maha Kuasa untuk menciptakan semua itu dalam sekejap. Ini
ditegaskan dalam beberapa ayat, seperti TQS. al-Baqarah [2]: 117. Juga dalam
QS. Ali Imran [3]: 47, al-Nahl [16]: 40, Maryam [19]: 35, Yasin [36]: 82,
Ghafir [40]: 68, dan lain-lain.
Lalu
mengapa dalam menciptakan langit dan bumi beserta isinya dalam enam hari?
Jawabannya: itu dikembalikan kepada masyiiatulLaah
(kehendak Allah SWT). Menurut Fakhruddin al-Razi, penetapan jumlah tersebut
sebagaimana penjaga neraka Saqar yang berjumlah sembilan belas, malaikat
pemikul al-Arsy yang berjumlah delapan, dalam satu tahun ada dua belas bulan,
jumlah langit ada tujuh lapis, demikian pula bumi. Juga jumlah shalat, ukuran
nishab dalam zakat, ukuran hudud dan kaffarat. Mengakui bahwa semua yang
difirmankan Allah SWT adalah benar, itu adalah agama, dan tidak melakukan
pembahasan tentang semua itu adalah wajib. Dalilnya adalah QS. al-Muddatstsir
[74]: 31.
Kemudian
Allah SWT berfirman: Tsumma [i]stawaa 'alaa
al-'arsy al-Rahmaan (kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, [Dialah]
Yang Maha Pemurah). Menurut al-Qurthubi, al-istiwaa'
menurut orang Arab bermakna al-‘uluw wa
al-istiqraar (tinggi dan menetap). Sedangkan al-‘arsy merupakan lafzh musytarak, kata yang digunakan untuk
menunjuk lebih dari satu. Di antara maknanya, sebagaimana dikatakan al-Jauhari
adalah syariial-malik (singgasana raja).
Mengenai
makna Allah SWT [i]stawaa 'alaa al-'arsy,
ada banyak penjelasan para ulama. Bahkan menurut al-Qurthubi, terdapat empat
belas pendapat tentang ini. Patut dicatat, perkara tersebut merupakan perkara
ghaib yang tidak dapat dindera oleh akal manusia. Oleh karena itu, kita harus
bersikap tawqifiyyah terhadapnya.
Artinya, sebatas memahami dari perkara yang diberitakan, tanpa menambah atau
menguranginya, disertai dengan al-tanziih,
yakni menyucikan-Nya dari segala kekurangan. Di samping itu, juga wajib
menjauhkan dari tasybiih (menyerupakan)
Allah SWT dengan semua makhluk-Nya. Sebab, ditegaskan dalam QS. al-Syura [42]:
11. Juga tidak menganggap Allah SWT membutuhkan makhuk-Nya. Sebab, Dia al-Ghaniyy (Maha Kaya, tidak butuh yang lain).
Imam Malik,
sebagaimana dikutip al-Qurthubi dalam tafsirnya, berkata, ”al-istiwaa‘ ma'luum -ya'nii fii al-lughah- wa al-kayf
majhuul wa al-su‘aa 'an hadzaa bid'ah (bersemayamnya Allah SWT itu
diketahui berdasarkan pemahaman bahasa, bagaimana realitasnya tidak diketahui,
dan menanyakan perkara tersebut adalah bid'ah).” Pendapat yang sama juga
dikatakan oleh Ummu Salamah ra.
Bertanya kepada
Yang Mengetahui
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Fas ‘al bihi Khabiir[an] (maka tanyakanlah tentangnya kepada yang lebih
mengetahui). Menurut al-Samarqandi, khithaab ayat ini
ditujukan kepada Nabi ﷺ, dan yang dimaksud adalah umatnya. Sedangkan dhamiir al-ghaaib pada kata bihi kembali kepada al-Rahmaan. Menurut al-Syaukani, al-Alusi, dan al-Baidhawi,
kembali kepada perkara yang telah disebutkan, seperti penciptaan langit dan
bumi, al-istiwaa’ dan lain-lain.
Kata Khabiir[an] berkedudukan sebagai al-maf'uul bih (obyeknya). Yang dimaksud
dengannya adalah Allah SWT. Demikian menurut al-Alusi dan al-Baidhawi.
Dikatakan al-Jazairi, pengertian ayat ini adalah: ”Wahai Muhammad, bertanyalah
tentang al-Rahman kepada Dzat Yang Maha Mengetahui terhadap ciptaan-Nya. Sebab,
Dia adalah Pencipta dan Maha Mengetahui tentang segala sesuatu. Dialah
satu-satunya Yang Maha Mengetahui tentang keagungan 'Arsy-Nya, luasnya
kerajaan-Nya, kesempurnaan Dirinya; tidak ada ilaah
kecuali Dia, dan tidak ada rabba selain
Dia.”
Diterangkan Ibnu Katsir, pengertian ayat ini adalah: Bertanyalah
tentang-Nya kepada orang yang mengetahui dan mengerti tentang-Nya, lalu
ikutilah dan teladanilah. Dan sungguh telah diketahui bahwa tidak satupun orang
yang lebih mengetahui dan mengerti tentang Allah melebihi hamba dan rasul-Nya
Muhammad ﷺ di dunia dan akhirat; tidak ada yang diucapkan
olehnya berdasarkan kemauan hawa nafsunya; yang diucapkan semata-mata dari
wahyu yang diwahyukan. Sehingga, semua yang dikatakan adalah kebenaran; dan
semua yang dikabarkan adalah benar. Dialah al-Imam yang menghakimi; yang ketika
manusia berselisih tentang sesuatu, maka wajib mengembalikan perselisihan itu
kepadanya. Apa saja yang jika sesuai dengan perkataan dan perbuatannya adalah
benar; dan sebaliknya, apa saja yang jika menyelisihinya, maka tertolaklah
perbuatan dan perkataannya, siapapun dia. Kemudian, mufassir tersebut menyitir
beberapa ayat yang mendasari penjelasannya, yakni firman Allah SWT: “Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya)” (TQS. al-Nisa' [4]:
59). Juga firman-Nya dalam QS al-Syura [42]: 10) dan al-An'am [6]: 115).
Demikianlah.
Kepada Dzat Pencipta langit dan bumi beserta isinya manusia harus bertawakal.
Sebab, Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. WalLaah a’lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Langit,
bumi dan semua isinya diciptakan Allah SWT dalam enam masa.
2. Allah
SWT ber-istiwaa 'alaa al-’arsy.
3. Bagi Nabi ﷺ hanya bertanya tentang al-Rahman, penciptaan langit
dan bumi, istiwaa, dan lain-lain kepada Allah SWT; sedangkan bagi
umatnya bertanya kepada Nabi ﷺ.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar