Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Katakanlah:
"Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah
itu, melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (dengan
menginfakkan sebagian hartanya di jalan-Nya).” (TQS. al-Furqan [25]: 57)
Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah ﷺ diberikan tugas
menyampaikan risalah kepada manusia. Dalam melaksanakan tugasnya, beliau tidak
meminta upah kepada manusia. Beliau hanya mengharapkan pahala dan ridha Allah
SWT, Dzat yang mengutusnya. Kalaupun ada yang diharapkan dari harta yang
dikeluarkan oleh orang-orng yang didakwahi adalah untuk diinfakkan di jalan
Allah SWT dan untuk kebaikan lainnya. Inilah di antara yang dapat dipahami dari
ayat ini.
Tidak Meminta
Upah
Allah SWT berfirman: Qul maa as‘alukum 'alayhi min ajr[in] (katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam
menyampaikan risalah itu). Dalam ayat sebelumnya ditegaskan kepada Rasulullah ﷺ
bahwa beliau diutus untuk menjadi: mubasysyir[an] wa nadziir[an], pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Khithab atau seruan dalam ayat ini masih belum berubah.
Sehingga perintah: Qul (katakanlah) juga ditujukan kepada Rasulullah ﷺ.
Beliau diperintahkan untuk menyampaikan perkataan kepada orang-orang yang
didakwahi. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, "Katakanlah kepada orang-orang
yang Aku utus kamu kepada mereka."
Terhadap
mereka, beliau diperintahkan menyampaikan perkataan: Maa as‘alukum 'alayhi min ajr[in] (aku tidak meminta upah
sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu). Dhamiir al-ghaaib (kata ganti pihak ketiga) pada kata 'alayhi (atasnya) merujuk kepada perbuatan
yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni tugas beliau sebagai pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan. Dikatakan al-Alusi, "Yakni, atas
penyampaian risalah yang dibawa; atau atas perkara yang telah disebutkan
sebelumnya, berupa al-tabsyiir wa al-indzaar (penyampaian
berita gembira dan peringatan).
Sedangkan
yang dimaksud dengan ajr[in] di sini
adalah upah dari kalian. Demikian menurut Syihabuddin al-Alusi. Huruf min di depan kata tersebut, yakni min ajr[in], menurut Imam al-Qurthubi, berguna
li al-ta'kid (untuk menegaskan).
Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah ﷺ
dalam menyampaikan risalah kepada umatnya, sama sekali tidak meminta upah dari
mereka sedikitpun. Demikianlah penjelasan para mufassir. Tentang ayat ini, Ibnu
Katsir berkata, "(Aku tidak meminta dari kalian) atas penyampaian dan
peringatan tersebut berupa upah yang aku minta dari harta kalian. Sesungguhnya
aku mengerjakan ini untuk mencari ridha Allah.“
Tak jauh
berbeda al-Thabari, memaknai perkataan tersebut dengan ungkapan, "Wahai
kaumku, aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas apa yang aku bawa
dari Tuhanku, sehingga kalian berkata, "Sesungguhnya Muhammad menginginkan
harta kita dari dakwahnya, maka kami tidak akan mengikutinya dan memberikan
kepadanya sedikitpun dari harta kami."
Bahwa Nabi ﷺ tidak meminta upah dari umat atas dakwah yang beliau
lakukan juga disebutkan dalam beberapa ayat lain, seperti firman Allah SWT: “Katakanlah: ”Aku tidak meminta upah
kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)"
(TQS. al-An'am [6]: 90). Juga firman-Nya: “Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah
sedikitpun kepadamu atas dakwahku” (TQS.
Shad [38]: 86).
Yang beliau
harapkan dari dakwah yang disampaikan adalah upah dari Allah SWT: “Katakanlah: ”Upah apapun yang aku minta kepadamu,
maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu" (TQS. Saba' [34]: 47).
Patut dicatat, tidak meminta upah dari umatnya atas dakwah yang
dilakukan bukan hanya pada diri Rasulullah ﷺ, namun juga
merupakan sikap para utusan Allah SWT lainnya. Yang mereka harapkan adalah ajr[un] (pahala) dari Allah SWT semata. Kepada kaumnya, Nabi
Nuh as. berkata, sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: “Dan aku sekali-kali tidak minta
upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan
semesta alam” (TQS. al-Syu'ara [26]:
109). Pernyataan yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Nabi Hud (lihat:
QS. al-Syu'ara [26]: 127), Nabi Shalih as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 145),
Nabi Luth as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 164), dan Nabi Syu'aib as. (lihat:
QS. al-Syu'ara [26]: 180).
Infak Di Jalan
Allah
Kemudian
dilanjutkan dengan firman-Nya: illaa man syaa‘a
an attakhidzu ilaa Rabbihi sabiil[an] (melainkan orang-orang yang mau
mengambil jalan kepada Tuhannya (dengan menginfakkan sebagian hartanya di
jalan-Nya). Menurut Fakhruddin al-Razi, penggalan ayat ini mengandung tiga
kemungkinan makna yang saling berdekatan.
Pertama,
beliau tidak meminta mereka atas penyampaian dan dakwahnya upah kecuali mereka
menginginkan untuk mendekatkan diri (kepada Allah SWT) dengan infak di jalan
jihad dan lainnya. Maka, mereka pun menjadikannya sebagai jalan mendapatkan
rahmat Tuhan mereka dan memperoleh pahala-Nya.
Kedua,
maknanya: "Aku tidak meminta kalian atas upah untuk diriku, namun aku
meminta kamu agar mencari pahala untuk diri kalian sendiri dengan menjadikan
jalan kepada Tuhan kalian.” Ini adalah pendapat al-Qadhi.
Ketiga,
kalimat illaa man syaa‘a (kecuali orang
yang menginginkan), yang dimaksud dengannya adalah fi'la man syaa‘a (perbuatan orang yang menghendaki). Ini adalah
pendapat penulis kitab al-Kasysyaaf.
Dari ketiga
pendapat, tampaknya pendapat pertama lebih banyak dipilih oleh para mufassir.
Al-Qurthubi, misalnya, berkata, "Akan tetapi orang yang menginginkan (an yattahidza ilaa Rabbihi sabiil[an],
mengambil jalan kepada Tuhannya) dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan
Allah, maka berinfaklah."
Ibnu Jarir
al-Thabari juga berkata, "Akan tetapi, siapa saja di antara kalian yang
mau mengambil jalan kepada Tuhannya dengan menginfakkan sebagian hartanya di
jalan-Nya dan pada perkara yang dapat mendekatkan kepada-Nya, berupa sedekah,
infak dalam jihad memerangi musuh-Nya, dan berbagai jalan kebaikan lainnya.”
Dengan demikian, dalam dakwahnya Rasulullah ﷺ
tidak mengharapkan upah dan imbalan dari manusia. Yang beliau harapkan adalah
pahala dan ridha dari Allah SWT. Jika mereka menginfakkan harta mereka,
sesungguhnya itu adalah infak di jalan Allah SWT. Infak itu dilakukan sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengharapkan pahala dan
ridha-Nya.
Itulah dakwah yang dilakukan Rasulullah ﷺ. Beliau tidak
mengharapkan imbalan materi dari umatnya. Balasan yang diharapkan dari dakwah
yang beliau lakukan adalah ganjaran dari Allah SWT, Dzat Pemilik alam semesta.
Sikap ini pula yang sepatutnya diteladani oleh umatnya dalam mendakwahkan
agama-Nya. Ganjaran dan pahala dari Allah SWT ini memang seharusnya dicari dan
dikejar. Dengan berbekal banyak pahala, dapat melempangkan jalan bagi pelakunya
masuk ke dalam Surga-Nya. Apa yang lebih besar dan lebih menarik dari itu?
Berkaitan
dengan harta, kalaupun umatnya diminta untuk menginfakkan harta mereka, maka
itu bukan untuk beliau. Itu adalah infak di jalan jihad dan kebajikan lainnya.
Tatkala infak itu dijadikan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT dan mendapatkan ridha-Nya, maka sesungguhnya akan kembali kepada pelakunya.
Sebab, Allah SWT akan membalas harta yang diinfakkan itu berlipat ganda.
Sungguh beruntung manusia yang mengerjakan dengan ikhlas dan semangat. Semoga
kita termasuk di dalamnya. WalLaah a'lam bi
al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Dalam mendakwahkan risalahnya, Rasulullah ﷺ
tidak mengharapkan imbalan materi dari umatnya. Beliau mengerjakan semata
ikhlas karena Allah dan semata mengharapkan ganjaran dan ridha-Nya.
2.
Menginfakkan sebagian harta dijadikan sebagai jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan memperoleh ridha-Nya.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar