Judul Buku: Menegakkan
Kembali Negara Khilafah: Suatu Kewajiban Terbesar dalam Islam
Judul Asli: Tanbîh al-Ghâfilîn wa I’lâm al-Hâ’irîn bi Anna Iqâmah
al Khilâfah min A’zhami Wajîbât Hâdzâ ad-Dîn
Penulis: Abû ‘Abdul
Fattâh ‘Alî Belhâj (Tokoh FIS Aljazair)
Penerjemah: Muhammad
Shiddiq Al-Jawi
Penerbit: Pustaka
Thariqul Izzah, April 2001
Menlu Inggris, Curzon
pernah menyatakan di depan parlemen Inggris pasca “membubarkan” Khilafah Islam
di Turki, “Sesungguhnya kita telah menghancurkan Turki sehingga Turki tidak
akan dapat bangun lagi setelah itu... Sebab, kita telah menghancurkan kekuatannya
yang terwujud dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah.”
Boleh jadi kebencian
dan dendam yang mengkarat di benak Barat telah terpuaskan ketika Turki —sebagai
benteng terakhir Khilafah Islam— porak-poranda dan berganti menjadi negara yang
menerapkan sekularisme. Bagi Barat, runtuhnya Khilafah Islam di Turki tentu
saja merupakan kemenangan yang gemilang, karena selama itu, mereka nyaris tak
bisa berkutik di bawah bayang-bayang kekuatan Khilafah Islam.
Sementara itu, Turki
sebagai pusat pemerintahan Islam, sejak saat itu, sudah tamat riwayatnya di
tangan Musthafa Kemal yang didukung penuh oleh Inggris. Yang tersisa di sana
hanyalah kenangan manis saat Khilafah menjadi kekuatan tak tertandingi di
dunia. Bahkan, armada tempur lautnya disebut-disebut sebagai kekuatan paling
tangguh dan memiliki peralatan militer canggih di zamannya.
Kini, semuanya
tinggallah kenangan yang tercetak di lembaran buku-buku sejarah atau yang
tertulis dalam kitab-kitab fiqh siyâsah. Namun demikian, bukan berarti hal itu
tidak bisa dibangun kembali. Meski, tentu saja perjuangan tersebut membutuhkan
keseriusan dan totalitas, serta rasa optimis yang mendalam dalam diri kaum
Muslim. Yang penting, upaya kita saat ini adalah bagaimana membangun kembali
“reruntuhan” yang sempat mencerahkan peradaban umat manusia ini. Meski perlu
disadari, tak mudah untuk bisa membangun kembali “ruins”
yang telah tercerai-berai itu.
Mengumpulkan
“serpihan” Daulah yang sudah hancur itu jelas membutuhkan usaha yang keras;
bukan saja karena kaum Muslim secara fisik nyaris tak bisa disatukan, tetapi
pikiran dan perasaannya pun ternyata telah lebih dulu “bercerai” dengan Islam.
Akibatnya, hal ini makin menambah beban pekerjaan bagi para pegiat kebangkitan
Islam.
Daulah Khilafah saat
ini ibarat sebuah rumah yang telah hancur berpuluh-puluh tahun, mungkin
bekasnya pun nyaris rata dengan tanah, sementara penghuninya memilih tinggal di
tempat lain. Sangat boleh jadi, penghuninya pun sudah benar-benar melupakannya.
Menyedihkan memang. Itu sebabnya, ketika ada upaya untuk meyakinkan para
penghuninya agar kembali membangun rumah tersebut, sepertinya tak mudah, karena
mereka mungkin sudah merasa betah tinggal di tempat lain yang menurutnya lebih
nyaman dan menjanjikan segalanya. Yang paling menyakitkan lagi, mereka tidak
mengenalnya, sehingga tidak merasa ada kewajiban untuk kembali membangunnya.
Syaikh ‘Ali Belhaj,
pendiri dan pimpinan gerakan FIS (Front Islamic
Salvation/Front Islamique du Salut)
berupaya mengingatkan kembali akan pentingnya sebuah negara bagi kaum Muslim.
Berbeda dengan
kebanyakan buku yang membahas pemerintahan Islam, buku karya ulama besar
Aljazair ini lebih menekankan pada kewajiban membangun kembali Khilafah
Islamiyah. Uniknya lagi, bila dibandingkan dengan karya sejenis, buku ini lebih
‘ringan’ dalam kajiannya, tetapi tidak mengurangi bobot pesan yang disampaikan
penulisnya. Oleh karena itu, bagi para pembaca awam sekalipun, bisa langsung
‘nyetel’ membaca buku ini.
Dalam buku ini,
dicantumkan pula pendapat-pendapat para ulama salaf dan muta’akhirin tentang kewajiban yang berkaitan dengan pentingnya
sistem pemerintahan Islam ini untuk diwujudkan kembali.
Di antaranya adalah
pendapat Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkâm
ash-Shultâniyah; Abu Ya’la al-Farra’ dalam Al-Ahkâm
ash-Shulthâniyah; Ibn Taymiyah dalam As-Siyâsah
asy-Syar’iyah dan Majmû’ al-Fatâwâ
juz 28; Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah;
Ibn Hazm dalam Al-Fashl fî al-Milal wal Ahwa’
wa an-Nihal; Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, Al-Haytsami dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah; Imam an-Nawawi dalam
Syarh Muslim juz 12; Imam al-Haramayn
dalam kitabnya Ghiyâts al-Umam; Dr.
Dhiya’uddin ar-Rais dalam kitabnya Al-Islâm wa
al-Khilâfah; ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq dalam kitabnya Asy-Syûrâ; Abu Ya’la dalam Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah.
‘Seabrek’ rujukan dari
para ulama salaf dan muta’akhirin tersebut menunjukkan betapa masalah
pemerintahan Islam ini sangat penting. Sayangnya, karena kaum Muslim sudah
terlanjur ‘kerasan’ hidup di bawah sistem kapitalisme, mereka tidak segera
menyadarinya. Sebagian di antara mereka malah merasa ketakutan bila Islam
diterapkan kembali sebagai akidah dan syariat. Inilah bukti bahwa perasaan dan
pemikiran umat telah berpisah dari Islam.
Hal ini memang tak
lepas dari peran Barat dalam mem-brainwashing
kaum Muslim. Proses “cuci otak” itu sendiri berlangsung amat lama, bahkan
ketika Khilafah Islamiyah masih berdiri di Turki. Celakanya, meski Khilafah
masih berdiri, secara kedaulatan ia mulai keropos. Hal ini dibuktikan dengan
lemahnya kontrol yang dilakukan penguasa pusat hingga ikut melempangkan jalan
bagi Barat dalam memprovokasi wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan
untuk keluar dari Khilafah Islamiyah. Ambil contoh, Albania sempat termakan
provokasi untuk “bercerai” dengan Khilafah Islam di Turki.
Saat itu, Barat
menyatakan bahwa Turki adalah penjajah rakyat Albania, sehingga tidak ada jalan
lain lagi kecuali melawan mereka dan melepaskan diri dari kekuasaan Turki
Utsmani. Upaya ini ternyata berhasil. Itu baru satu kasus. Sisanya, kaum Muslim
‘dikavling-kavling’ dalam wilayah-wilayah kecil melalui metode penjajahan.
Bersamaan dengan itu, dihembuskanlah ide nasionalisme yang mampu menciptakan
dinding tebal batas antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Itu
terjadi sampai saat ini.
Oleh karena itu, tidak
aneh bila upaya membangun kembali Khilafah Islam ini seperti membentur tembok
yang tebal. Selain karena wilayah Daulah Khilafah yang amat besar itu sudah
‘dikerdilkan’, perasaan dan pemikiran umat pun sudah tak bisa menerima dengan
mudah tentang Islam. Akibatnya, setiap ide kebangkitan Islam yang disampaikan
kepada mereka nyaris memantul sempurna; tak ada yang bisa diserap.
Itu karena bercokolnya
tsaqafah asing yang sudah menginternalisasi dalam diri umat, bahkan tercermin
dalam gaya hidup keseharian mereka. Itu sebabnya, meski menyandang label
Muslim, syakhsiyah (kepribadian)-nya bukan ‘cita rasa’ Islam. Kiblat ketika
shalat adalah Ka’bah, tetapi dalam urusan gaya hidup dan metode menyelesaikan
berbagai problem kehidupan bisa saja berkiblat ke Amerika atau Eropa. Ini
semakin membuktikan bahwa sekularisme ternyata ampuh dalam menciptakan dinding
pemisah antara agama dengan (kehidupan) politik.
Pentingnya memenuhi kewajiban
membangun kembali Daulah Khilafah ini ditegaskan dengan amat kuat oleh Syaikh
Ali Belhaj. Beliau menegaskan bahwa hal itu merupakan cita-cita yang
harus diraih. Meski untuk meraih kemuliaan itu tak sedikit jalan terjal yang
menyulitkan. Akan tetapi, dengan tekad dan upaya yang serius, total, dan
optimis dalam berdakwah, bukan tak mungkin Daulah Khilafah ini terwujud kembali
dalam waktu dekat.
Sebagai perwujudan
keseriusan Ali Belhaj dalam memperjuangkan Islam, buku ini adalah buah
pikirannya untuk membawa umat ke gerbang kemuliaan. Dengan dalil-dalil yang shahih dan rajih
yang berkaitan dengan pentingnya kembali diwujudkan Khilafah ini, seharusnya
buku ini memberikan pencerahan berpikir kepada umat, untuk kemudian berjuang
bersama menegakkannya kembali.
Supaya umat menyadari
kewajiban membangun kembali Khilafah ini, setidaknya harus ditempuh
langkah-langkah real sebagai berikut: Pertama,
umat harus membina diri dengan Islam sehingga Islam akan mampu menjadi
ideologinya, pandangan hidupnya, dan tampak bagaimana ideologi itu diterapkan.
Hal itu akan membantu umat mendorong keyakinannya untuk mewujudkan Islam
sebagai sebuah kekuatan.
Kedua,
setelah tumbuh kesadaran Islam yang benar dan kokoh sebagai sebuah ideologi,
akan muncul dorongan untuk memperjuangkannya. Namun demikian, perlu disadari
bahwa perjuangan meraih cita-cita yang besar ini tidak mungkin dilakukan oleh
individu-individu, tetapi harus berjamaah.
Ketiga,
berinteraksi terus-menerus di tengah-tengah masyarakat untuk mendidik umat agar
mereka bangkit dengan ideologi Islam. Alasannya, kebangkitan selalu dimulai
dari pemahaman yang benar. Contoh, penerapan hukum dan peraturan tidak akan
berhasil membuat masyarakat mematuhinya, bila tidak ada kesadaran dalam diri
mereka.
Keempat,
penerapan seluruh hukum Islam oleh Negara Islam (Daulah Khilafah Islam).
Melihat fakta
demikian, tampaknya buku ini bisa membantu kita untuk meyakinkan kaum Muslim
tentang penting dan wajibnya mendirikan Khilafah Islam. Perlu disadari,
mendirikan Khilafah ini bukan kewajiban kelompok dakwah tertentu, tetapi
kewajiban seluruh kaum Muslim. Semuanya telah nyata, tinggal bagaimana kita
berjuang dan membangun kembali “reruntuhan” itu. Ataukah kita akan tetap
bertahan tinggal dalam “rumah” yang tidak mampu menata kehidupannya?
Bacaan: Jurnal Politik
Dan Dakwah al-Wa'ie Muharam 1422H No.08 Tahun I, 1-30 April 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar