Melawan Dan
“Memperkosa” Syariah
Islam Nusantara,
seperti apa? Apakah seperti Islamnya Presiden Jokowi? Atau ala Islamnya JK?
Gagasan itu masih belum begitu jelas. Tapi, baunya sudah tercium. Yakni Islam
yang mau menerima ide-ide Barat, yang kompromi dengan ide-ide kufur. Sama
persis dengan gagasan liberalisasi agama sebelumnya.
Ide Islam Nusantara
bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam Islam
tidak dikenal dikotomi keIslaman berdasarkan geografis dan budaya lokal. Juga
tidak pernah terjadi asimilasi atau naturalisasi ajaran Islam dengan budaya setempat.
Ketika Islam masuk ke wilayah Syam atau Persia, bukan Islam yang melebur pada
budaya lokal, tapi justru masyarakat lokal yang melebur ke dalam ajaran Islam
dan meninggalkan budaya mereka.
Islam juga bukan
budaya Arab seperti yang dituduhkan Komaruddin Hidayat, misalnya. Justru ketika
Islam datang maka berbagai peradaban Arab di masa jahiliyah dikecam oleh Islam
dan diganti dengan syariah Islam.
Munculnya ide Islam
Nusantara datang dari kegagalan para tokohnya dalam melihat ajaran Islam. Para
pendukungnya sering menyalahkan Islam 'Timur Tengah' kemudian memuji-muji Islam
di tanah air. Konflik antar mazhab Sunni-Syiah adalah salah satu tema yang sering
dijadikan alasan dinaikkannya gagasan Islam Nusantara.
Mereka seperti menutup
mata bahwa perilaku Muslim di Nusantara juga bermasalah. Berbagai ajaran sesat
seperti Lia Eden, Ahmadiyah, LDII masih bercokol. Indonesia juga masih masuk
negara dengan peringkat korupsi tertinggi di dunia. Sekarang lndonesia juga
menjadi kawasan peredaran narkoba internasional, dan termasuk pengakses
pornografi terbanyak di dunia. Di Nusantara eskalasi kekerasan dan pelecehan
seksual terhadap wanita dan anak-anak justru terjadi.
Jadi, sesungguhnya ide
Islam Nusantara itu absurd, asing, dan
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
“Memperkosa”
Syariah
Sepintas gagasan Islam
Nusantara terkesan indah, karena mengadopsi kearifan lokal. Seolah ada angin
segar bagi masyarakat Indonesia bahwa aspirasi budaya dan tradisi masyarakat
lokal tidak akan hilang dengan berpegang pada ajaran Islam.
Publik pun digiring
untuk menerima secara taken for granted
gagasan tersebut dengan cara dimunculkan berbagai opini negatif tentang praktek
Islam di kawasan Timur Tengah. Media massa Barat gencar menayangkan konflik
Arab Saudi-Yaman atau tindakan represif oleh ISIS, yang kemudian ditayangkan
masif juga oleh berbagai media massa sekuler yang mendukung arus liberalisasi
ajaran Islam. Hal ini menjadi pemikat bagi masyarakat awam untuk menelan ide
Islam Nusantara secara mudah.
Padahal Islam
Nusantara setali tiga uang dengan yang ditawarkan Islam liberal. Sama-sama
melakukan rekonstruksi atau tepatnya destruksi (merusak) terhadap ajaran Islam.
Hanya saja, dalam gagasan Islam Nusantara dibuat seolah masuk akal dan sah
secara syar'i karena menggabungkan berbagai istilah ushul fikih seperti urf dengan budaya lokal.
Selain akan merusak
ajaran Islam, gagasan Islam Nusantara juga akan menyeret umat Islam ke dalam
penyesatan politik dan ekonomi sehingga akhirnya menerima neoliberalisme dan
neoimperialisme.
Oleh karena itu ada
sejumlah bahaya besar di balik gagasan Islam Nusantara, hal ini harus disadari
oleh umat. Di antaranya sebagai berikut.
Pertama, gagasan Islam Nusantara akan
mereduksi bahkan mengubah sebagian besar ajaran Islam. Dengan dalih
naturalisasi ajaran Islam, atau menghilangkan karakter 'Islam Arab' maka
sejumlah ajaran Islam akan dihilangkan, seperti kerudung dan jilbab, maka
pakaian Muslimah yang telah jelas pensyariatannya dalam Al-Qur’an akan
dihilangkan atau diganti. Belum lagi hukum pidana seperti jilid, rajam, qishash
dianggap tidak sesuai dengan budaya lokal seperti penjara, denda, dll.
Padahal Islam bukanlah
agama yang terpengaruh dengan budaya Arab, justru Islam datang untuk mengubah
peradaban manusia dan menciptakan peradaban baru; peradaban Islam. Sebagai
contoh Islam tidak menolerir budaya minum khamr meskipun itu dahulu sudah menjadi
budaya orang Arab, juga membunuh bayi perempuan.
Oleh karena itu
gagasan Islam Nusantara bila direalisasikan hanya akan “memperkosa” ajaran
Islam yang telah jelas petunjuknya dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Di sisi lain,
ajaran Islam Nusantara malah mendewakan budaya lokal untuk menggantikan syariah
Islam.
Kedua, ajaran Islam Nusantara akan mengarah
kepada sekulerisasi agama Islam. Dengan dalih menerima kearifan lokal, maka
ajaran Islam yang membahas persoalan muamalah, sosial, politik dan
pemerintahan, akan disingkirkan atau dimodifikasi agar sesuai dengan budaya
lokal.
Ujungnya ajaran Islam
akan dikebiri menjadi sebatas urusan ibadah dan pernikahan an sich. Selanjutnya persoalan muamalah,
sosial dan politik dikangkangi oleh demokrasi, liberalisasi, dan KUHP pidana
buatan asing. Menurut mereka ajaran demokrasi dan liberalisme lebih
mengakomodasi kepentingan budaya lokal.
Ironis, para tokoh ini
begitu serius menempatkan Islam sebagai ancaman, tapi justru tidak merasa
berdosa mempraktekkan ajaran kaum kafir seperti demokrasi, liberalisme, dll.
Ketiga, ajaran Islam akan menjauhkan kekuatan
bahasa Arab dari ajaran Islam. Para penyokong Islam Nusantara selalu memvonis
bahwa Islam harus dipisahkan dari budaya Arab, termasuk penggunaan bahasa Arab.
Benar, Islam bukanlah produk budaya Arab, akan tetapi bahasa Arab tidak bisa
dipisahkan dari ajaran Islam. Allah SWT telah memilih bahasa Arab sebagai
bahasa Al-Qur’an. Tanpa penguasaan bahasa Arab, maka tidak mungkin umat Islam
dapat memahami Al-Qur’an, as-Sunnah dan melakukan ijtihad.
Apa yang digagas oleh
kalangan Islam Nusantara hanyalah meniru apa yang telah dilakukan Mustafa Kamal
at-Taturk saat ia meruntuhkan kekhilafahan. Ia tetap mempertahankan Islam tapi
merusaknya dengan menghilangkan kekuatan bahasa Arab dan memaksakan budaya
lokal sebagai bagian dari ajaran Islam. Hasilnya? Di Turki tidak sedikit Muslim
yang absen mengerjakan shalat lima waktu, biasa minum khamr, dan Muslimahnya
tidak sedikit yang tak lagi mau mengenakan busana Islami.
Keempat, ajaran ini menciptakan polarisasi
atau pengkutuban Islam di tengah umat, yang berujung pada perpecahan dan
konflik. Di satu sisi ada kelompok Islam Nusantara dan Islam moderat, di sisi
lain ada kelompok yang mereka namakan kalangan radikal.
Strategi ini termasuk
salah satu yang direkomendasikan oleh Ariel Cohen kepada AS dalam menghadapi
gerakan Islam yang mengusung syariah dan khilafah. Cohen pernah mempublikasikan
hasil risetnya itu -yang dibiayai oleh The Heritage Foundation- dengan judul ‘Hizb ut Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests
in Central Asia' (lihat: www. heritage.org). Menurut Cohen, salah satu
cara melawan kelompok Islam radikal adalah dengan cara membenturkan kelompok
tersebut dengan kelompok Islam moderat.
Kelima, Islam Nusantara sudah jelas diarahkan
untuk membendung arus kencang perjuangan menegakkan syariah dan khilafah.
Dengan alasan mempertahankan budaya lokal, membendung budaya
transnasional/asing, mereka berusaha sekuat tenaga untuk melawan perintah Allah
dan Rasul-Nya.
Keblinger memang,
ajaran yang datang dari wahyu Allah dianggap musuh, tapi ajaran yang datang
dari otak kotor manusia seperti neoliberalisme dan neoimperialisme justru
dibela mati-matian atau didiamkan. Mau jadi apa negeri ini?
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 154
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar