Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: ”Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (TQS. al-Furqan
[25]: 32-33).
Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus. Akan tetapi diturunkan secara
berangsur-angsur. Yakni, mulai Nabi Muhammad ﷺ diutus hingga
menjelang beliau dipanggil ke haribaan-Nya. Sehingga, Al-Qur’an terus turun
selama 23 tahun.
Realitas
ini pun dijadikan objek pertanyaan oleh orang-orang kafir. Mengapa Al-Qur’an
tidak diturunkan sekaliqus saja. Maka, ayat ini pun menjawab pertanyaan mereka,
sekaligus menjelaskan hikmah yang terkandung di dalam turunnya Al-Qur’an secara
bertahap.
Tidak Sekaligus
Diturunkan
Allah SWT berfirman: Wa qaala al-ladziina kafaruu lawlaa nuzzila 'alayhi al-Qur'aan
jumlat[an] waahidat[an] (berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?"). Dalam ayat sebelumnya diberitakan pengaduan Nabi ﷺ
tentang kaumnya yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditelantarkan
dan ditinggalkan. Kemudian Nabi dihibur dengan ayat sesudahnya, bahwa realitas
demikian tidak hanya dialami oleh beliau saja. Seluruh nabi memiliki musuh dari
kalangan pelaku kejahatan.
Ayat ini
pun kemudian memberitakan tentang syubhat lain yang dilontarkan oleh orang
kafir terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur dan
tidak sekaligus dijadikan sasaran kritik oleh mereka.
Menurut Imam al-Qurthubi, ada perbedaan tentang siapa orang kafir yang
mengatakan kalimat yang diberitakan dalam ayat ini. Pertama, mereka adalah
orang-orang kafir Quraisy. Ibnu Abbas adalah di antara yang berpendapat
demikian. Kedua, mereka adalah orang-orang Yahudi. Ketika mereka mengetahui
Al-Qur’an secara terpisah-pisah, mereka pun berkata, ”Mengapa Al-Qur’an tidak
diturunkan kepadanya (Nabi Muhammad ﷺ) sekaligus saja, sebagaimana Taurat yang diturunkan
kepada Musa, Injil kepada Isa, dan Zabur kepada Daud.”
Dalam ayat
ini, Allah SWT mengabarkan banyaknya bantahan, pertanyaan mengada-ada, dan
perkataan tidak berguna dari orang-orang kafir, ketika mereka mengatakan: Lawlaa nuzzila 'alayhi al-Qur‘an jumlat[an]
waahidat[an]. Demikian dikatakan Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat
ini.
Mereka
mempersoalkan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi
berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Sehingga, pertanyaan yang mereka lontarkan
sesungguhnya bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar. Akan tetapi hanya
merupakan tasykik (untuk menimbulkan
keraguan) terhadap kebenaran Al-Qur’an. Ini semisal pernyataan dan pertanyaan
mereka yang telah disebutkan dalam beberapa ayat sebelumnya, seperti mengapa
rasul makan dan berjalan-jalan di pasar untuk mencari penghidupan, tidak diberikan
kebun yang luas sehingga dapat mencukupi kebutuhannya, tidak diturunkan bersama
rasul seorang malaikat, dan lain-lain.
Hikmah Turun
Bertahap
Terhadap
pertanyaan tersebut, Allah SWT menjawabnya dengan firman-Nya: Wakadzaalika linnutsabbita bihi fu'aadaka
(demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya). Kata kadzaalika, berarti Kami turunkan Al-Qur’an
secara terpisah-pisah. Demikian penjelasan Abdurrahman al-Sa'di dalam
tafsirnya.
Bahwa diturunkannya secara bertahap adalah untuk mengokohkan dan
memperteguh hati Rasulullah ﷺ. Menjelaskan ayat ini, al-Qurthubi berkata:
"Kami turunkan secara terpisah-pisah adalah untuk memperkuat hatimu
dengannya sehingga kamu dapat memahami dan menghafalnya. Sesungguhnya
kitab-kitab sebelumnya diturunkan kepada para nabi yang dapat membaca,
sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummi (tidak
dapat menulis dan membaca). Di samping itu, di dalam Al-Qur’an juga terdapat naasikh (ayat yang menghapus hukum sebelumnya) dan mansuukh (ayat yang hukumnya dihapus), serta jawaban terhadap
orang yang bertanya tentang sesuatu yang terjadi dalam waktu yang berbeda-beda.
Maka menurunkannya secara terpisah-pisah agar lebih mudah dihafal oleh
Rasulullah ﷺ dan lebih mudah diamalkan orang yang mengamalkannya.
Maka setiap kali turun wahyu yang baru, menambah kekuatan hati Nabi ﷺ.”
Demikian penjelasan al-Qurthubi dalam tafsirnya. Penjelasan senada juga
dikemukakan al-Khazin dan lain-lain.
Kemudian
Allah SWT berfirman: Warrattalnaahu tartiil[an]
(dan Kami membacakannya secara tartil [teratur dan benarl). Menurut Fakhruddin
al-Razi dalam tafsirnya, Mafaatiih al-Ghayb,
frasa tersebut bermakna: “Kami terangkannya dengan benar-benar terang.”
Dikatakan al-Jazairi, pengertian frasa tersebut adalah "Kami turunkan
sedikit demi sedikit, ayat demi ayat, surat demi surat, untuk memudahkan dalam
memahami dan menghafalnya."
Jawaban
Pertanyaan
Kemudian
dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Walaa
ya’tuunaka bi mitsl[in] (tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu [membawa] sesuatu yang ganjil). Menurut
Ibnu Katsir, sesuatu yang dibawa semisal pertanyaan tersebut adalah hujjah (alasan) dan syubhah (sesuatu yang meragukan). Dikatakan Ibnu Abbas,
sebagaimana dikutip Ibnu Katsir. Itu artinya, semua yang mereka lontarkan, baik
berupa alasan, pernyataan yang meragukan, pertanyaan yang mengada-ada, dan
sebagainya.
Terhadap
semua alasan dan pernyataan yang meragukan yang dilontarkan orang kafir itu,
dijawab oleh Allah SWT dengan jawaban yang benar dan penjelasan yang paling
baik. Ini ditegaskan dalam firman Allah SWT selanjutnya: illaa ji’naaka bi al-haqq wa ahsana tafsiir[an]
(melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya). Menurut Fakhruddin al-Razi, frasa ji’naaka
bi al-haqq bermakna: ”Kami turunkan Jibril dengan membawa Al-Qur’an
untuk membantah mereka.” Sedangkan frasa: wa
ahsana tafsiir[an] bermakna: "Sebaik-baik penjelasan untuk
membantah permusuhan mereka.” Dikatakan Ibnu Athiyah, ”Penjelasan yang paling
jelas dan terperinci.”
Dijelaskan
juga oleh Ibnu Katsir tentang makna ayat ini, ”Tidaklah mereka mengatakan suatu
perkataan yang menentang kebenaran, kecuali Kami jawab mereka dengan jawaban
yang benar pada perkara itu dan jawaban yang lebih jelas, lebih gamblang, dan
lebih terang daripada perkataan mereka.”
Kemudian Ibnu Katsir berkata, ”Di dalam ayat ini terdapat perhatian
besar untuk memuliakan Rasulullah ﷺ karena datangnya wahyu kepada beliau pagi dan sore,
siang dan malam, dan sedang berpergian maupun bermukim. Maka setiap kali
malaikat datang kepada beliau dengan membawa Al-Qur’an, seperti ketika malaikat
menurunkan kitab-kitab sebelumnya. Sehingga, ini merupakan kedudukan yang lebih
tinggi, lebih mulia, dan lebih agung dibandingkan dengan seluruh nabi lainnya.
Demikian pula, Al-Qur’an menjadi kitab paling mulia yang diturunkan Allah SWT;
dan Nabi Muhammad ﷺ juga nabi paling agung yang diutus Allah SWT.
Sungguh Allah SWT telah mengumpulkan pada Al-Qur’an dua sifat secara bersamaan.
Yakni, di Mala’
al-A’la Al-Qur’an diturunkan secara
sekaligus dari al-Lauh
al-Mahfudz ke Baitu al-'Izzah di langit dunia, kemudian setelah itu diturunkan ke
dunia secara berangsur-angsur sesuai dengan realitas dan kejadian.”
Demikianlah. Orang-orang kafir selalu mencari-cari celah untuk meragukan
kebenaran Rasulullah ﷺ dan Al-Qur’an. Diturunkannya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur tak luput dari kritik mereka. Namun, pernyataan mereka dijawab
dengan jelas oleh ayat ini. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur terdapat hikmah di
dalamnya, yakni untuk mengokohkan hati Nabi ﷺ.
3. Semua
pernyataan dan pertanyaan mengada-ada dari orang kafir diberikan jawabannya
oleh Allah SWT dengan jawaban yang benar dan terang.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar