“Sesungguhnya
Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan-(agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi
dan petang.” (TQS. al-Fath [48]: 8-9)
Ayat
sebelumnya menerangkan tentang balasan bagi orang-orang munafik dan musyrik.
Bahwa mereka akan ditimpa keburukan, mendapatkan murka dan laknat Allah SWT,
dan disediakan Neraka Jahannam. Itu semua sebagai balasan atas kejahatan yang
mereka lakukan. Kejahatan mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah
persangkaan buruk terhadap Allah SWT. Lalu ditegaskan bahwa tentara langit dan
bumi itu merupakan milik Allah SWT.
Ayat ini kemudian menerangkan tentang tugas yang diemban Rasulullah ﷺ
kepada manusia. Kemudian dilanjutkan dengan kewajiban manusia yang menjadi
sasaran dakwah beliau.
Tugas Rasulullah
ﷺ
Allah SWT berfirman: Innaa arsalnaaka syaahid[an] wa mubasysyir[an] wa nadziir[an] (sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi,
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan). Khithaab atau
seruan ayat ini ditujukan kepada Nabi ﷺ. Menurut al-Alusi dan beberapa mufassir lainnya, khithaab ini juga berlaku untuk umatnya.
Disebutkan ayat ini, ada tiga tugas yang dipikulkan kepada Rasulullah ﷺ
sebagai utusan-Nya kepada manusia.
Pertama, syaahid[an] (saksi). Menurut para mufassir, yang dimaksud dengan
saksi di sini adalah saksi atas perbuatan-perbuatan umat beliau. Di antara yang
menafsirkan demikian adalah al-Thabari, al-Khazin, dan lain-lain. Diterangkan
al-Zamakhsyari dah al-Alusi, tugas Rasulullah ﷺ menjadi saksi atas
umatnya didasarkan pada firman Allah SWT: “Agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (TQS. al-Baqarah [2]: 143).
Menurut al-Syaukani, tugas Rasulullah ﷺ sebagai saksi atas
umatnya adalah dengan menyampaikan risalah kepada mereka. Ada pula yang
menafsirkannya menjadi saksi atas keesaan Allah SWT. Menurut Fakhruddin
al-Razi, penafsiran tersebut sebagaimana firman-Nya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu.”
(TQS. Ali Imran [3]: 18).
Kedua, mubasysyir[an]. Kata mubasysyir merupakan
bentuk al-faa'il dari kata basysyara yang
berarti memberikan kabar yang menggembirakan. Kabar gembira itu disampaikan
kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Diterangkan al-Khazin,
beliau menjadi pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan taat
kepada beliau dengan pahala. Ibnu Jarir al-Thabari juga menuturkan, Rasulullah ﷺ
menjadi pemberi berita gembira kepada mereka dengan Surga apabila mereka mau
menerima agama yang lurus yang didakwahkan Rasulullah ﷺ
kepada mereka.
Dan ketiga, nadziir[an]. Kata ini berarti mundzir. Yakni, bentuk faa'il dari kata al-indzaar. Jika al-tabsyiir berarti
informasi yang menggembirakan, maka al-indzaar adalah
informasi yang menakutkan. Dengan demikian, Rasulullah ﷺ
juga menjadi pemberi peringatan. Peringatan tersebut disampaikan kepada
orang-orang yang ingkar dan bermaksiat kepada Allah SWT dan rasul-Nya.
Dikatakan Ibnu Jarir, beliau menjadi pemberi peringatan kepada mereka dengan
azab jika mereka berpaling dari agama dari Allah SWT yang dibawa beliau.
Kewajiban
Manusia
Kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan: Litu‘minuu biLlaah wa Rasuulihi (supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya). Al-Dhamiir
al-mukhaathab (kata ganti orang kedua,
yang diajak bicara) dalam ayat ini menunjuk kepada manusia yang menjadi sasaran
dakwah Rasulullah ﷺ. Bahwa diutusnya Rasulullah ﷺ
sebagai saksi, penyampai kabar gembira, dan pemberi peringatan itu adalah agar
manusia beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.
Selain
beriman, juga melakukan beberapa perbuatan yang menjadi konsekuensinya.
Disebutkan: watu'azziruuhu (menguatkan [agama]Nya). Diterangkan al-Alusi,
ini berarti tanshuruuhu (menolongnya).
Menurut al-Khazin, al-ta'zir adalah
menolong disertai dengan sikap ta'zhim
(penghormatan). Sehingga, mufassir tersebut pun memaknai watu'azziruuhu sebagai memperkuat dan
menolongnya.
Qatadah,
sebagaimana dikutip al-Qurthubi, juga menafsirkannya tanshuruunahu wa tamna'uu minhu (menolong dan membantunya). Di
antaranya adalah kata al-ta'zir yang
digunakan untuk menunjuk hukuman, yang berarti al-maani‘
(pencegah). Sedangkan Ibnu Abbas -dalam riwayat lainnya- dan Ikrimah
menafsirkannya dengan berperang bersamanya.
Kemudian
disebutkan: wa tuwaqqiruuhu
(membesarkan-Nya). Menurut Ibnu Katsir, al-tawqiir
berarti al-ihtiraam wa al-ijlaal wa al-i'zhaam
(menghormati, memuliakan, dan mengagungkan). Al-Baidhawi dan al-Alusi
menafsirkannya tu’zhzhimuuhu (mengagungkannya).
Lalu
dilanjutkan: Wa tusabbihuuhu bukrat[an] wa
ashiil[an] (dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang). Kata al-tasbiih berarti al-tanziih (menyucikan) dari segala kekurangan. Bisa pula dari al-subhah yang berarti shalat.
Kata bukrah berarti pagi hari, sedangkan ashiil berarti sore hari. Menurut Fakhruddin
al-Razi penggunaan dua kata tersebut bisa menunjukkan kontinyuitas. Bisa juga
itu merupakan perintah yang berbeda dengan apa dilakukan oleh orang-orang
musyrik. Sebab, dulu orang-orang musyrik itu berkumpul untuk menyembah
patung-patung di Ka'bah pada pagi hari dan sore hari, maka mereka pun
diperintahkan untuk bertasbih pada waktu-waktu yang dahulu mereka mengerjakan
perbuatan keji dan kemungkaran.
Mengenai dhamiir
al-ghaaib pada kata tusabbihuuhu (bertasbih kepada-Nya), tidak ada perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Bahwa kembalinya kepada Allah SWT. Akan tetapi pada dua kata
sebelumnya, yakni: watu'azziruuhu
wa tuwaqqiruuhu terdapat perbedaan
pendapat. Menurut sebagian, dua al-dhamiir al-ghaaib
itu kembali kepada Rasulullah ﷺ. Sehingga maknanya, kamu mau menolong dan memuliakan
Rasulullah ﷺ. Di antara yang memilih pendapat ini adalah Imam
al-Qurthubi, al-Dhahhak, dan lain-lain.
Menurut
pendapat sebagian yang lain, dua kata itu kembali kepada Allah SWT. Sehingga
memberikan makna: dan menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih
kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Di antara yang memilih pendapat ini adalah
Fakhruddin al-Razi.
Abu Bakar al-Jazairi menggabungkan kedua penafsiran tersebut.
Menurutnya, watu’azziruuhu
wa tuwaqqiruuhu, yakni menolong dan
mengagungkannya, untuk Allah SWT dan Rasulullah ﷺ.
Demikianlah. Rasulullah ﷺ diutus menjadi saksi tentang keesaan Allah SWT. Juga
menjadi saksi atas manusia, bahwa beliau telah menyampaikan risalah kepada
mereka. Wa-Llaah a'lam
bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Rasulullah ﷺ diutus kepada manusia untuk menjadi saksi, pembawa
kabar gembira, dan pemberi peringatan.
2. Dengan
penyampaian dakwah oleh Rasulullah, diharapkan manusia beriman, menolong, dan
mengagungkan Allah SWT dan rasul-Nya, dan mensucikan-Nya.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 194