Kemudian
muncul perang tsaqafah (peradaban dan
kebudayaan) yang dilancarkan Barat terhadap negara kaum muslimin. Barat membawa
hadharah yang bertentangan dengan hadharah Islam. Barat memberi gambaran
(khayalan) pada kaum muslimin bahwa kebudayaan yang dibawa berasal dari kaum
muslimin, lalu mendatangkan sistem-sistem yang bertentangan dengan sistem
Islam.
Barat juga
memberi gambaran pada kaum muslimin bahwa sistem-sistem yang dibawanya sesuai
dengan hukum-hukum Islam, lalu memberi mereka undang-undang yang bertentangan
dengan hukum-hukum syara', kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa
undang-undang itu tidak bertentangan dengan Islam.
Demikian itu
membawa pengaruh besar terhadap kaum muslimin, dan akibat lebih lanjut
menyebabkan kebudayaan Barat menguasai dan mendominasi kaum muslimin. Kaum
muslimin mulai memandang kehidupan dengan berlandaskan asas manfaat. Kemudian
mereka mengambil sebagian sistem Barat untuk diterapkan dalam Khilafah
'Utsmani, lalu menyimpangkan tentang riba dan membuka bank-bank.
Langkah-langkah
ini mengantarkan mereka pada kesembronoan mengambil undang-undang Barat, dan
akibatnya, mereka menelantarkan batasan-batasan hukum syara' dan sebagai
gantinya mengambil undang-undang pidana Barat.
Langkah ini merupakan bencana terbesar yang menimpa Negara Khilafah Islam dan
menjauhkannya dari penerapan hukum dengan asas Islam, meski negara Khilafah
telah menggunakan fatwa-fatwa (yang keliru) yang membolehkan
perbuatan-perbuatan ini.
Jauhnya
penerapan hukum Islam ini menyebabkan gelora iman
dalam tubuh negara Khilafah melemah, dan otomatis menjadikan negara Khilafah
berjalan di luar cahaya petunjuk, yang pada gilirannya negara Khilafah melemah
dan layu.
Ini kaitannya
dengan sisi memperlemah pemahaman
Islam. Sedangkan sisi penerapannya, ada beberapa faktor yang saling
kait-mengait yang menjadikan penerapan Islam rusak. Di antara faktor-faktor itu
adalah partai-partai politik. Kebanyakan partai-partai politik pasca Khulafa
Rasyidin memandang bahwa hanya pendapat partainyalah yang harus dilaksanakan.
Partai-partai ini sering mengambil tindakan-tindakan represif (secara militer)
sebagai jalan untuk mengantarkan tujuannya pada penguasaan pemerintahan yang
selanjutnya dipakai untuk sarana penerapan pendapatnya. Hampir tidak ada partai
yang memposisikan umat sebagai jalan untuk penerapan pendapatnya.
Akibatnya,
muncul Partai Kelompok 'Abbasi dan mereka menguasai Persi dan Iraq, kemudian
menjadikannya titik sentral gerakan. Mereka kemudian bergerak hingga menguasai
negara Khilafah dan menjadikan pemerintahan berada di tangan bani Hasyim.
Kemudian
muncul Partai Kaum Fathimiyin. Mereka berhasil menguasai Mesir dan mendirikan
negara bathil di sana untuk dijadikan titik sentral gerakan partai. Dari Mesir,
mereka bergerak untuk menguasai Negara Khilafah Islam agar pemerintahan berdiri
di atas pondasi pemikiran-pemikiran aliran Ismailiyah (paham yang dianut bani
Fathimiyyin) yang menentang syara'. Di awal perkembangannya, mereka berhasil
melancarkan pukulan yang mampu menghentikan jihad penaklukan-penaklukan dan
menyebabkan negara Khilafah disibukkan dengan urusan-urusan dalam negeri
(kestabilan). Namun, pada perkembangan berikutnya (tahapan kedua), mereka mampu
menciptakan pertarungan antara dua negara (Daulah Khilafah 'Abbasi berpusat di
Bagdad dan Daulah batil Fathimiyah berpusat di Mesir) yang menjadikan kaum
muslimin hidup dalam dua negara dalam waktu yang sama, padahal kaum muslimin
tidak boleh memiliki lebih dari satu negara.
Pergulatan
sekte-sekte berpartai (juga berpasukan) ini akhirnya juga berpengaruh dalam
memperlemah Negara Khilafah Islam. Dampak berikutnya, jihad penaklukan dan
pengembangan dakwah menjadi terhenti.
Adapun pihak
yang menyebabkan partai-partai politik mengambil cara ini (tindakan-tindakan
represif dan militeris) adalah para khalifah bani Amawi. Mereka dalam
mendelegasikan jabatan kekhilafahan memakai cara keliru yaitu pemberian amanat
(semacam pengangkatan putra mahkota). Seorang calon khalifah diberi amanat atau
wasiat untuk melanjutkan kekhilafahan sebelumnya (biasanya khalifah sebelumnya
masih ada hubungan nasab dengan calon khalifah), kemudian dia dibaiat.
Cara ini cenderung tidak mengangan-angankan penantian baiat dan untuk
mengantarkan pada pemerintahan kurang berpegangan pada proses akad baiat umat.
Mu'awiyah
mengamanatkan kekhilafahan pada putranya, Yazid, lalu sumpah baiat diberikan
kepadanya. Kemudian setiap khalifah sesudahnya mengikuti jejaknya. Setiap
khalifah mengamanatkan kekhalifahan kepada calon khalifah berikutnya, kemudian
manusia membaiatnya. Hal ini menggiring kaum muslimin untuk membaiat orang yang
telah diamanati kekhilafahan. Sangat sedikit atau jarang mereka membaiat orang
lain (yang tidak diamanati oleh khalifah sebelumnya). Cara ini dipakai oleh
partai-partai politik untuk memperoleh kekuatan sebagai jalan yang mengantarkan
pada penguasaan pemerintahan.
Pengangkatan
khalifah dengan cara keliru putra mahkota semacam ini hasil-hasilnya tidak baik
sebagaimana dijelaskan di muka (seperti dalam kasus-kasus pengangkatan khalifah
sesudah periode Khulafau Rasyidin).
Abubakar jelas
meminta pendapat kaum muslimin tentang orang yang akan menjadi khalifah
sesudahnya. Dari musyawarah para calon khalifah, akhirnya yang paling menonjol
hanya terbatas pada Ali dan Umar, kemudian amanat diberikan kepada Umar.
Akan tetapi,
para khalifah sesudah merusak penerapan cara ini. Amanat kekhilafahan yang
seharusnya ditentukan umum, mereka wariskan pada anak-anak, saudara-saudara,
atau keluarga mereka sendiri. Kadang-kadang pengamanatan diberikan kepada lebih
dari satu calon. Buruknya penerapan ini sudah tentu menyebabkan kaum muslimin
kesulitan memberikan baiat kepada orang yang dikehendaki, dan itu menyebabkan
Negara Khilafah Islam melemah.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar