Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam
Rabu, 30 Desember 2020
Sudahlah… Demokrasi Dan HAM Memang Bukan Untuk Kita!
Rabu, 23 Desember 2020
Bicara Upaya Kriminalisasi Ulama Dan Ormas Islam
Minggu, 20 Desember 2020
Cara Islami Melindungi Pekerja
UU Cipta Kerja mendapatkan penolakan publik karena merugikan public, terutama pekerja. Padahal salah satu alasan Pemerintah membuat UU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan luas, berbagai elemen masyarakat, terutama kalangan pekerja, menolak keras UU tersebut. Pasalnya, antara lain, UU tersebut dianggap mengurangi hak-hak pekerja yang selama ini mereka dapatkan, seperti pengurangan jatah libur panjang, pemangkasan jumlah pesangon, dan peluang perpanjangan tenaga kerja kontrak dalam jangka waktu yang tidak dibatasi, sehingga hak-hak mereka lebih sedikit daripada tenaga kerja tetap. Ada pula pasal-pasal yang memberikan peluang pemilik perusahaan merekrut tenaga kerja asing secara lebih mudah. Selain itu, pasal-pasal yang mempermudah masuknya barang impor pangan dan hortikultura akan mengancam nasib pekerja di sektor pertanian karena akan menekan harga pertanian yang saat ini sudah sangat rendah.
Penyebab munculnya UU tersebut berasal dari kekesalan para pemilik modal yang mendapat dukungan dari Bank Dunia. Mereka melihat bahwa tenaga kerja di Indonesia rendah produktivitas, tetapi selalu menuntut kenaikan upah. Sebagian pemodal bahkan menebar ancaman untuk melakukan relokasi investasi ke negara-negara lain yang menawarkan upah rendah, seperti Vietnam.
Oleh sebab itu, Pemerintah -yang haus investasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi- kemudian membuat berbagai regulasi agar pekerja tidak mengganggu iklim investasi. Pemerintah menggandeng pengusaha untuk menyusun rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mempermudah investasi, termasuk di dalamnya mengurangi hak-hak tenaga kerja.
Padahal, jika dicermati, rata-rata upah pekerja di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Nilai upah pekerja Indonesia US$114-US$288 jauh lebih rendah dibandingkan Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Cina, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Upah di Vietnam adalah US$181. Apalagi kenaikan upah pekerja selama ini hanya merupakan langkah untuk menyesuaikan dengan kenaikan biaya hidup yang terus meningkat, seperti tarif listrik dan harga-harga sembako. Karena itu upah riil pekerja di Indonesia secara statistik stagnan sepanjang tahun, meskipun secara nominal upah mereka meningkat. Artinya, dari tahun ke tahun, daya beli pekerja tidak meningkat, sehingga mereka memiliki kemampuan yang terbatas untuk menabung lebih banyak untuk, misalnya, membiayai sekolah anak-anak mereka atau untuk membeli rumah tinggal.
Persoalan ketenagakerjaan sejak kapitalisme muncul pertama kali dan berkembang di Eropa telah terjadi. Pada masa itu, pekerja diupah dengan sangat rendah. Padahal mereka dieksploitasi sedemikian rupa. Banyak dari mereka yang hidup kesulitan. Gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Fenomena tersebut kemudian menginspirasi Karl Marx merumuskan ideologi komunisme untuk membela hak-hak pekerja. Teori Nilai Lebih (surplus value) merupakan salah satu teori Karl Max yang menjelaskan mengapa para pemodal semakin kaya, sementara pekerja tetap melarat. Menurut dia, upah pekerja hanya mencerminkan sebagian kecil dari harga produksi barang yang diproduksi oleh buruh. Pekerja mengambil sisanya setelah membayar faktor produksi, seperti sewa tanah, mesin dan pekerja itu sendiri. Untuk membendung perkembangan Sosialisme-Komunisme, para ekonom yang beraliran Kapitalisme mendorong konsep upah minimum. Pekerja dibayar berdasarkan biaya paling rendah dari kebutuhan hidup seorang buruh. Dengan demikian mereka tidak akan jatuh pada kemiskinan absolut.
Meskipun pada kenyataannya tidak demikian, sebab kadangkala seorang pekerja harus menanggung beberapa anggota keluarga yang tidak memiliki penghasilan sehingga pendapatan perkapita mereka menjadi sangat kecil. Celakanya lagi, para pekerja diwajibkan untuk membayar iuran jaminan sosial, yaitu uang kesehatan, pensiun kecelakaan dan kematian, yang dipotong dari gaji mereka. Uang tersebut kemudian diinvestasikan oleh Pemerintah melalui pada produk-produk keuangan ribawi, seperti deposito perbankan, obligasi dan saham di pasar modal. Kadangkala Pemerintah ikut memberikan konstribusi, meskipun nilainya relatif kecil dibandingkan dengan total dana yang dikumpulkan para pekerja.
Perlindungan Pekerja dalam Islam
Penetapan upah dalam sistem Islam didasarkan pada nilai manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, baik upah itu mencukupi kebutuhannya ataupun tidak. Dengan demikian upah pekerja antar sektor dan antar profesi akan berbeda-beda dan relatif berbeda. Upah tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pihak pekerja dan pemberi kerja. Mereka dapat merujuk pada pendapat ahli ketenagakerjaan mengenai jumlah yang sesuai dengan harga pasar tenaga kerja.
Namun, penetapan upah tidak boleh didasarkan pada harga barang dan jasa, yang dalam jangka pendek dapat berubah-ubah akibat perubahan keseimbangan supply and demand komoditas tersebut. Jika hal itu terjadi maka akan mengakibatkan upah naik-turun sewaktu-sewaktu. Jika harga turun, pendapatan pekerja akan turun, yang bisa jadi lebih rendah daripada manfaat yang dia berikan. Sebaliknya, ketika harga naik, upah pekerja menjadi semakin besar, sehingga akan cenderung merugikan pemberi kerja.
Sebaliknya, upah pekerja juga tidak dapat didasarkan pada nilai kebutuhan dasar pekerja, atau yang dikenal dengan istilah upah minimum, baik provinsi, kabupaten/kota, dan sektoral. Alasannya, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan tanggung jawab negara atas rakyatnya dan bukan tanggung jawab pengusaha. Hal ini merupakan bentuk kezaliman. Sebab, bisa jadi manfaat yang diberikan oleh seorang pekerja lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya sehingga upah yang berdasarkan jumlah kebutuhan hidup tersebut akan merugikan pemberi kerja. Sebaliknya, jika manfaat yang diberikan pekerja jauh lebih besar daripada kebutuhan hidup dasarnya, maka akan cenderung merugikan pekerja.
Oleh karena itu, penetapan upah menurut pada ahli fikih di dalam Islam didasarkan pada manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, baik manfaat itu lebih besar daripada kebutuhan hidup atau lebih rendah daripada kebutuhan hidup pekerja tersebut.
Di sisi lain, berdasarkan aturan Islam, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat -pangan, sandang, perumahan- merupakan tanggung jawab negara. Artinya, kebutuhan tersebut harus dapat dinikmati oleh setiap individu rakyat di dalam Negara Islam, baik melalui usahanya sendiri, bantuan ahli warisnya, ataupun santunan dari negara jika dirinya dan ahli warisnya tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Negara wajib menyediakan kebutuhan dasar lainnya, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang suku, agama, ras, dan wilayah tinggal mereka.
Kemudian, upah -yang didasarkan pada manfaat yang diberikan oleh pekerja tersebut- disepakati antara pekerja dan pemberi kerja dalam waktu tertentu. Kedua belah pihak dapat melakukan negosiasi perubahan upah tersebut untuk diterapkan pada kontrak baru berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, kenaikan upah tahunan bagi pekerja yang berlaku di dalam sistem Kapitalisme tidak ditemui di dalam Islam. Jika terjadi perselisihan mengenai jumlah upah mereka, misalnya, karena keduanya tidak menyebutkan upah tertentu atau jumlah yang disebutkan tidak jelas, maka upah yang diberikan kepada pekerja adalah upah yang sepadan (ajrul mitsl), mengikuti upah pekerja lain yang memberikan manfaat yang sama dengan pekerja tersebut, yang ditetapkan oleh para ahli. Upah ini wajib dibayarkan oleh pemberi kerja.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, "Ada tiga golongan pada Hari Kiamat nanti yang akan menjadi musuh-Ku Siapa yang menjadi musuh-Ku, Aku akan memusuhi dia. Pertama, seorang yang berjanji setia kepada-Ku, namun mengkhianatinya. Kedua, seorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya. Ketiga, seorang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu setelah pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberi dia upahnya.” (HR al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Di dalam Islam juga tidak dikenal istilah hak mogok. Sebabnya, akad ijarah antara pekerja dan pemberi kerja kedua-duanya harus dipenuhi. Jika pekerja tidak memenuhi pekerjaannya maka ia tidak berhak mendapatkan kompensasi. Sebaliknya, jika pemberi kerja melakukan pengurangan hak atas pekerja maka negaralah yang berkewajiban memberikan sanksi kepada dirinya.
Berkaitan dengan tunjangan sosial, termasuk uang pensiun, uang kecelakaan, dan asuransi kesehatan, pada dasarnya merupakan tambal sulam pada sistem kapitalisme agar kezaliman yang diciptakan sedikit berkurang. Apalagi sumber uang tersebut berasal dari iuran para pekerja dan pemberi kerja. Hanya sedikit bantuan dari APBN.
Seperti disinggung di atas, yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan primer rakyat adalah negara dan bukan pemberi kerja. Demikian pula jaminan kesehatan bagi para pekerja dan keluarga mereka. Negara juga wajib menjamin nafkah bagi penduduk yang telah pensiun atau penduduk yang tidak mampu bekerja.
Di dalam masyarakat Islam, negara juga berkewajiban untuk membantu rakyatnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Di dalam sebuah hadis, Nabi saw. pernah memberikan uang dua dirham untuk dibelikan kapak kepada seorang yang meminta pekerjaan kepada beliau dan memerintahkan dia untuk mencari kayu dengan kapak tersebut. Di dalam hadis lain disebutkan: “Imam/Khalifah adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim).
Termasuk dalam tanggung jawab ini adalah memberikan pekerjaan kepada rakyat yang laki-laki yang mampu bekerja. Dengan jaminan pendidikan yang gratis hingga level perguruan tinggi, rakyat di dalam Negara Islam berkesempatan besar mendapatkan meningkatkan kualitas mereka sehingga dapat membantu mereka mengusahakan pekerjaan yang lebih baik.
Kebijakan pemerintah di dalam negara Islam akan menghindari liberalisasi investasi dan perdagangan yang memberikan madharat bagi negara dan rakyat, termasuk pada pekerja. Karena itu, liberalisasi impor pangan yang akan merugikan petani domestik dan mengancam kedaulatan pangan negara, saat kebutuhan pangan bergantung pada pangan yang diimpor dari negara-negara kafir, merupakan aktivitas yang masuk dalam kategori berbahaya yang tidak boleh dilakukan oleh negara Islam. Kebijakan Pemerintah yang mendorong peningkatan investasi asing juga masuk kategori ini. Pasalnya, investasi asing di negara-negara Muslim saat ini telah menyebabkan pihak asing, antara lain, dapat menjarah dan menguasai kekayaan negara-negara Muslim, mengakses informasi penting dan strategis mereka, menjadikan mereka semakin bergantung pada utang yang ribawi, mencegah mereka melakukan revolusi industri, dan memperkuat kekuatan negara-negara kafir yang menjadi musuh umat Islam.
Berdasarkan kaidah: wasilah yang mengantarkan pada keharaman diharamkan, maka penanaman modal asing seperti di atas menjadi haram sebab menjadi jalan bagi orang-orang kafir menguasai kaum Muslim dan menyebabkan bahaya bagi mereka. Namun, jika terdapat investasi yang tidak bertentangan dengan syariah Islam dan hal-hal yang mengantarkan pada keharaman, seperti disebutkan di atas, maka posisi investasi tersebut sama dengan pinjaman yang tidak menimbulkan dharar (Muhammad ‘Ilan, “Siyasah Tamwil al-Masya’ri’,” Majallah Al-Waie, No.135, 1998).
Dengan demikian, kebijakan investasi dan perdagangan di dalam Islam akan mendukung terciptanya lapangan pekerjaan yang luas dan mendorong peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan koridor syariah Islam.
Inilah beberapa pandangan Islam mengenai ketenagakerjaan. Dengan penerapan syariah Islam -melalui institusi Khilafah Islam- maka persoalan-persoalan ketenagakerjaan yang menyeruak di dalam sistem kapitalisme saat ini, ataupun yang pernah terjadi pada sistem sosialisme-komunisme, tidak akan terjadi di negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia. Dengan menerapkan syariah Islam, maka pihak pekerja dan pengusaha akan sama-sama mendapatkan keuntungan, dan secara luas akan memberikan keberkahan pada seluruh aspek kehidupan individu, masyarakat dan negara.
WalLahu a'lam bi ash-shawwab. [Muis]
Sumber: Media Politik dan Dakwah al-Wa'ie, edisi Desember 2020
Minggu, 13 Desember 2020
Hukum Allah SWT Cegah Tindakan Represif
Senin, 07 Desember 2020
Ulama Bicara Khilafah Dan Aksi Bela Islam
Rabu, 02 Desember 2020
Membangun Kembali Negara Sistem Islam
Minggu, 13 September 2020
Ancaman bagi Penyembah Berhala Demokrasi
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Saat hari perhitungan kelak, Allah SWT akan menghadirkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai saksi bahwa risalah Islam telah disampaikan. Kesaksian Rasulullah SAW, akan menjadi sebab diazabnya orang kafir dan ahli maksiat.
Mereka tidak akan dapat berdalih belum ada Rasul yang diutus, belum sampai wahyu pada mereka, belum sampai dakwah terhadap mereka. Saat mereka ingkar, mengelak melakukan kekufuran dan maksiat berdalih tidak tahu atau belum diturunkan wahyu, didatangkanlah Rasulullah SAW sebagai saksi.
Rasulullah SAW akan ditanyai oleh Allah SWT, apakah telah menyampaikan risalah berupa wahyu dari Allah SWT kepada seluruh umat manusia? Rasulullah pun bersaksi, bahwa beliau telah menyampaikannya. Lantas, orang kafir dan ahli maksiat dilemparkan ke dalam api neraka.
Melalui tulisan ini, saya juga bersaksi bahwa saya telah menyampaikan bahaya demokrasi. Bahwasanya hakekat demokrasi telah mengambil kedaulatan hukum Allah SWT dan memberlakukan kedaulatan hukum rakyat.
Saya telah menyampaikan, bahwa demokrasi telah menghalalkan apa yang Allah SWT haramkan. Sebaliknya, demokrasi juga mengharamkan apa yang Allah SWT halalkan.
Bahkan demokrasi menghalangi kewajiban yang telah Allah SWT berlakukan terhadap segenap umat Islam. Yakni demokrasi telah menghalangi penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan daulah khilafah.
Jadi, ketika kelak di yaumul hisab, di hari perhitungan Allah SWT mempersoalkan kenapa Anda masih ittiba' dalam demokrasi, ikut menghalalkan apa yang dihalalkan demokrasi, ikut mengharamkan apa yang diharamkan demokrasi, lantas Allah SWT murka, maafkan saya. Saya akan bersaksi di hadapan Allah SWT bahwa saya telah berdakwah menyampaikan bahaya ittiba' pada 'berhala' demokrasi.
Anda tak akan memiliki hujjah, di hadapan Allah SWT, karena telah mengikuti jalan demokrasi, jalannya Montesque, bukan jalannya Nabi SAW. Anda tak akan dapat udzur atau menyalahkan saya karena saya diam tidak mengingatkan Anda. Ketahuilah! Saya telah menyampaikannya.
Karena itu sebelum datang hari tak ada amal, sebelum datang hari perhitungan amal, segera tinggalkan demokrasi. Masih ada waktu, untuk 'taubatan nasuha' meninggalkan berhala demokrasi.
Selanjutnya, Istiqomahlah dalam dakwah. Syariat Islam hanya bisa tegak dengan dakwah, bukan dengan demokrasi. Syariat Islam akan mampu ditegakkan secara kaffah, hanya dengan daulah khilafah.
Saya tak ingin Anda kelak menyesal karena masih mempertahankan demokrasi, terlibat di dalamnya, melegitimasi keberadaannya, dan mengambil 'manfaat' untuk menyambung hidup melalui sistem politik demokrasi. Ketahuilah sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang bertaubat dan meninggalkan maksiat, hanya karena mengharap ridlo' dan ampunan-Nya. []
Kamis, 06 Agustus 2020
Arti Penting Hijrah - Muhasabah Tahun Baru Hijriyah
Padahal, Kekhilafahan Islam, sejak Khulafa’ ar-Rasyidin (yakni sejak meninggalnya Rasulullah Saw.) hingga Kekhilafahan Turki Utsmani yang terakhir merupakan kelanjutan dari Negara Islam yang pembentukannya dirintis oleh Rasulullah Saw. untuk pertama kalinya sekitar 14 abad yang lalu, yakni pasca hijrah Nabi Saw.
Nabi Saw. beserta para sahabat selama belasan tahun telah menguras tenaga, pikiran, strategi, dan taktik; bahkan sering mengorbankan harta dan mempertaruhkan jiwa dalam upaya membangun Negara Islam. Upaya tersebut terus dilakukan dengan memperkuat bangunan Negara, melebarkan kekuasaannya ke seluruh penjuru dunia, dan mempertahankannya dari serangan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Negara Khilafah Islamiyah juga selama berabad-abad menjadi institusi yang paling efektif menjalankan dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia sekaligus menghancurkan berbagai penghalang fisik/militer dari pihak musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Yang paling mutakhir, selain krisis ekonomi yang semakin akut, umat Islam didera oleh tekanan yang bertubi-tubi dari pihak Barat dan Timur imperialis, khususnya Amerika dan China, di balik apa yang disebut sebagai “Perang Melawan Terorisme”.
Berbagai krisis tersebut sebetulnya bermuara pada krisis institusi negara, yakni tidak adanya Negara Islam selama 96 tahun.
Di bidang pendidikan negeri-negeri Islam dipaksa menyelenggarakan pendidikan sekular yang kemudian mencetak generasi-generasi umat yang bukan saja jauh dari akar Islam, tetapi malah membenci Islam. Mereka menjadi generasi yang kerasukan ide-idenya iblis dan para setan penjajah -menjadi liberal alias liar- dibandingkan dengan meyakini ide-ide yang berasal dari Islam.