Semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin di
penghujung tahun 80-an, menurut Didin S. Damanhuri (Problem Utang dalam Situasi “Hegemoni Ekonomi Global, 2000),
praktis secara politik dunia memasuki periode Pax
Americana. Artinya, yakni semua negara, mau tidak mau, harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik
dan militer AS dan sekutu-sekutunya. Kenyataan ini membawa konsekuensi secara
ekonomi, yakni masuknya dunia secara monolitik ke dalam sistem perekonomian
global neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional
seperti WTO. Keadaan ini membawa pengaruh dan perubahan-perubahan yang sangat
dahsyat, di antaranya adalah di bidang finansial.
Pada awal tahun 1980, kalangan MNC, yang bermula berpangkalan di
AS dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan, memanfaatkan dana-dana
nganggur semisal yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun, asuransi, dan
sebagainya. Mereka juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valas
dalam pasar uang. Cara ini lantas menjalar ke negara-negara industri lainnya di
Eropa dan Jepang, kemudian ke negara-negara industri baru: Singapura, Hongkong
dan seterusnya, hingga menghinggapi semua negara dan menjalar ke semua level
perusahaan. Keadaan itu membuat terjadinya peningkatan arus moneter yang luar
biasa dahsyatnya tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa yang
setara.
Pakar manajemen dunia, Peter Drucker, menyebut gejala
ketidakseimbangan antara arus moneter serta arus barang dan jasa tersebut
sebagai “decoupling”. Apalagi, bersamaan
dengan itu, marak pula fenomena kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif
(terutama di dunia pasar modal, pasar valas, dan properti). Akibatnya, dunia
terjangkit penyakit ekonomi balon (bubble
economy); sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas
moneternya, tetapi tidak diimbangi oleh sektor real, bahkan sektor real itu
amat jauh ketinggalan. Sebagai perbandingan, dana yang berputar di sektor
non-real dalam satu tahun berjumlah sekitar 700 triliun dolar AS, sementara di
sektor real hanya sekitar 7 triliun dolar AS atau hanya seper-seratusnya. Hal
ini menunjukkan bahwa uang kini makin tidak lagi sekadar sebagai alat tukar,
tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan atau dispekulasikan.
Dengan itu, orang dapat meraup keuntungan miliaran dolar dalam waktu sekejap,
tetapi dalam sekejap lagi kemudian bisa rugi miliaran dolar juga.
Satu lagi fenomena dalam hegemoni ekonomi global adalah bahaya
jebakan utang atau debt trap. Dengan
utang yang kini berjumlah lebih dari 140 miliar dolar AS. Indonesia misalnya,
praktis menjadi negara pengutang terbesar di dunia. Bila sebelumnya utang
dianggap sebagai jalan keluar pintas untuk memburu target pertumbuhan, sejak
tahun 80-an, utang telah dipersepsikan sebagai bentuk baru kolonialisme dan
imperialisme.
Bukan hanya Indonesia, krisis utang terjadi di banyak negara
berkembang lainnya, dan itu sangat mempengaruhi dunia ekonomi. Di negara
berkembang saat ini, tidak ada faktor lain yang lebih besar pengaruhnya
terhadap perubahan ekonomi dan politik selain utang luar negeri. Lantas, apa
penyebab utama utang ini dalam arti yang luas? Apa pula pengaruhnya dalam
proses pembangunan sebuah negara?
Jebakan Mematikan
Menurut Rudolf H. Strahm (Kemiskinan Dunia Ketiga, 1999), sebab
utama utang negara-negara berkembang adalah politik negara-negara industri yang
menjual produk ekspornya dengan kredit yang diobral ke negara-negara tersebut.
Motto mereka adalah, “BeIi sekarang bayar belakangan.” Hanya dengan politik
ini, negara-negara industri bisa mengatasi krisis penjualan barang-barang
produk dunia industri mereka. Pada prinsipnya, negara maju hanya menjadikan
negara berkembang sebagai tempat sampah untuk membuang kelebihan industrinya.
Defisit neraca pembayaran ini, mau tidak mau, harus ditutup dengan pinjaman
luar negeri.
Sementara itu, bank-bank asing saling berlomba untuk memberikan
kredit dan pinjaman kepada negara-negara berkembang. Akibatnya, utang semakin
membengkak karena tagihan yang jatuh tempo, sementara jumlah bunga yang harus
dibayarkan telah melampaui kredit baru yang akan didapat.
Didik J. Rachbini (Risiko
Pembangunan yang dibimbing Utang, 1995) mengatakan bahwa utang luar
negeri yang tidak terkendali adalah beban yang berat bagi sistem ekonomi. Dalam
jangka panjang, utang luar negeri akan membahayakan pertumbuhan ekonomi itu
sendiri. Faktor-faktor seperti itulah yang sesungguhnya merupakan titik kritis
dari pengelolaan ekonomi secara makro, meskipun lembaga-lembaga internasional
seperti IMF dan World Bank selalu memprediksikan pertumbuhan ekonomi secara
optimis.
Pertumbuhan ekonomi
sangat ditentukan oleh seberapa besar pengeluaran pembangunan yang diputuskan
pemerintah setiap tahun. Pada sisi pengeluaran rutin, APBN NKRI dijebak oleh
pengembalian utang pokok dan bunganya.
Dari tahun ke tahun, upaya rezim adalah dengan peningkatan penerimaan pajak dan sektor migas, minerba. Akan tetapi, jumlah yang dikumpulkan dari keringat rakyat dan
eksploitasi sumber alam tidak cukup untuk membayar
cicilan utang pokok dan bunganya setiap tahun. Jadi, jika NKRI tidak mendapat
utang baru dari negara donor, praktis tidak dapat membangun, karena tidak
ada dana yang tersisa untuk pembangunan langsung. Semua dana yang diperoleh
habis digunakan untuk membayar cicilan utang dan bunganya.
Cicilan utang pokok dan bunganya cenderung meningkat dan cenderung
lebih besar daripada perolehan utang baru. Transfer negatif mulai terjadi sejak
tahun 1986/1987, karena utang yang diperoleh waktu itu sebesar 3,795 triliun
rupiah jauh lebih kecil daripada cicilan sebesar 5,059 triliun rupiah. Pada
tahun 1988, defisitnya meningkat karena utang yang didapat hanya sekitar 6,2
triliiun, sementara cicilan dan bunganya mencapai 8,2 triliun rupiah. Pada
tahun-tahun berikutnya, defisit itu makin membesar. Pada tahun 1993/1994, utang
yang didapat hanya 9,126 triliun, sementara cicilan dan bunga yang harus
dibayar sebesar 16,712 triliun rupiah.
Sementara itu, pada tahun 1990, terjadi aliran modal keluar (negative out-flow) sebesar 2 miliar dolar AS,
karena pinjaman yang didapat hanya sekitar 4,8 miliar dolar AS. Pada tahun
1991/1992, kewajiban membayar cicilan dan bunga utang luar negeri ini mencapai
9 miliar dolar AS, sementara utang baru yang didapat dari CGI hanya sekitar 4,9
miliar dolar AS. Andaikata utang yang didapat lebih besar dari utang yang harus
dibayar tetaplah sangat merugikan penduduk negeri ini.
Pola pembangunan yang dibimbing utang luar negeri
lebih banyak didikte negara-negara donor dan sebagian besar aliran uang
tersebut kembali ke negara asalnya. Untuk kasus ODA Jepang, menurut Prof.
Murai, sekitar 70 persen dari nilai total pinjaman kembali ke negara asalnya
melalui perusahaan-perusahaan yang menjadi pelaksana proyek pembangunan
tersebut. Melalui mekanisme pelaksanaan yang diatur, kontraktor dan segala
penyediaan kebutuhan pembangunan lewat jalur utang di negara peminjam
didominasi oleh negara donor.
Walhasil, negara berkembang harus membayar lebih banyak daripada
yang mereka dapatkan. Menurut Didik J. Rachbini, selama periode sembilan tahun, aliran dana dari negara donor ke negara pengutang sebesar 927 miliar
dolar AS. Akan tetapi, pada periode yang sama, negara-negara pengutang itu
mengalirkan balik 1.345 miliar dolar AS ke negara-negara pemberi utang.
Artinya, melalui mekanisme utang luar negeri ini, negara-negara Dunia Ketiga
kini malah justru memberi subsidi kepada negara maju.
IMF: Penolong atau Penyolong?
Negara-negara berkembang yang sedang dalam kesulitan, seperti
Indonesia, harus tunduk patuh pada kemauan IMF. Oleh karena itu, IMF tampak
seperti pencekik berdarah dingin. Tuntutan-tuntutan di bidang politik dan
ekonomi yang diajukan IMF biasanya berjalan seperti ini: menghapus subsidi
bahan pokok -Indonesia telah menghapus sebagian subsidi BBM yang membuat
harganya menaik- sehingga akan meningkatkan harga bahan pokok; mengurangi
pengeluaran sosial sehingga akan merugikan pusat kesehatan, sekolah, dan badan-badan
sosial; membolehkan laba ditarik ke luar negeri melalui kebijakan rezim devisa
bebas sehingga akan menguntungkan perusahaan multinasional.
Pil pahit dari IMF yang harus ditelan ini, secara sistematis akan
mengurangi daya beli kaum lemah masyarakat tersebut, karena negara yang
bersangkutan harus menghemat pengeluarannya guna membayar utang dan bunga.
Tindakan pengencangan ikat pinggang
tanpa pandang bulu ini selalu menimbulkan penolakan sosial. Tanpa campur tangan
aparat keamanan dan militer, keputusan politik tadi tidak akan bisa dijalankan.
Pendek kata, mekanisme utang ini hanya akan menyebabkan makin terinjaknya kaum
lemah hingga terdesak jauh di bawah garis kemiskinan. Oleh karenanya, proses
ini lebih pantas disebut sebagai pembangunan
yang salah arah.
Akibatnya, krisis utang membawa keruntuhan sistem ekonomi dan
kekacauan politik. Bunga dan cicilan yang harus dibayar memaksa rakyat negara
tersebut terus-menerus mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu,
kebijaksanaan ekonomi yang didikte oleh pihak luar pada dasarnya hanya akan
semakin menyengsarakan kalangan bawah bangsa tersebut.
Ironisnya lagi, orang yang menikmati keuntungan dari utang
ini biasanya hanyalah kalangan atas yang jumlahnya sangat sedikit. Sementara itu, beban berat
untuk melunasi utang dan membayar bunganya harus dipikul oleh rakyat secara
umum.
Oleh karena itu, tidak ada satu negarapun di bawah strategi Bank Dunia dan IMF yang menunjukkan prestasi baik dalam pembangunan ekonominya.
Kebanyakan negara-negara yang mengadopsi strategi dan berutang pada
lembaga-lembaga multilateral tersebut terjerembab ke dalam jebakan utang yang
membahayakan, demikian simpulan dari seminar ekonomi di Universitas Boston AS.
Sikap Menghadapi Utang
Apakah ada penyelesaian yang tepat untuk menanggulangi krisis
utang di negara-negara Dunia Ketiga? Benyamin Weiner, presiden perusahaan Probe
Internasional Stanford, menjawab, “Tidak ada." Jumlah utang, yang telah
mencapai lebih dari setengah triliun dolar AS pada pertengahan tahun 1980-an,
tidak akan pernah terbayar kembali, bahkan cenderung membengkak dari waktu ke
waktu. Sampai tahun 1990, akumulasi utang, negara-negara berkembang telah
mencapai lebih dari 900 miliar dolar AS.
Bahkan, Henry Kissinger juga merasa pesimis terhadap upaya-upaya
untuk menyelesaikan masalah krisis utang negara-negara berkembang, karena
setiap utang baru yang diperoleh harus dibayarkan kembali untuk pembayaran
cicilan plus bunga. Cara yang terakhir inilah yang disebut “gali lubang tutup
lubang”. Celakanya, lubang yang digali selalu lebih dalam dari tanah untuk
menutupnya. Akhirnya, lubang yang digali, kian hari kian dalam. Inilah cara
penyelesaian paling buruk dan memeras Dunia Ketiga. Kissinger mengatakan, “Kita
berada di dalam suatu periode yang rumit dari apa yang boleh Anda sebut sebagai
kapitalisasi bunga, yakni peminjaman uang baru yang kemudian kembali lagi dalam
bentuk bunga, yang selalu membuat utang selalu bertambah.”
Menghadapi problematika utang luar negeri, paling tidak, ada tiga
kelompok sikap umat:
Pertama, kelompok progresif radikal. Kelompok ini melihat bahwa
utang luar negeri sekarang bukan lagi sekadar sebagai instrumen ekonomi belaka,
tetapi lebih sebagai alat politik untuk melanggengkan dominasi ekonomi global,
khususnya terhadap Dunia ketiga yang kebanyakan merupakan negeri Muslim. Oleh
karena itu, mengharapkan ada penyelesaian rasional atas problematika utang tak
ubahnya seperti meminta kepada lawan untuk mengubah strategi di saat ia tahu
sedang di atas angin, itu hal yang mustahil. Oleh karena itu, harus ada
tindakan yang sangat berani untuk menolak sama sekali pembayaran bunga karena
bunga itu haram, menyetop pinjaman berikutnya, dan memaksakan penjadwalan
pembayaran utang-utang pokok.
Kedua, kelompok progresif-realistik. Kelompok ini menyadari
bahayanya jebakan utang, tetapi menganggap bahwa meninggalkannya sama sekali
adalah suatu yang tidak mungkin. Belum lagi memperhitungkan reaksi dari negara
maju yang mungkin saja melakukan sanksi ekonomi berupa embargo atau bahkan
tindakan militer kepada negara yang dinilainya tidak kooperatif.
Ketiga, kelompok kompromistik. Kelompok ini menilai bahwa masalah
ini adalah suatu kenyataan yang -sekalipun pahit- harus dihadapi, sambil terus
mencari formula penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. Akan tetapi,
mungkinkah, di saat dunia telah dirasuki oleh adagium might is right?
Bacaan: Majalah al-Wa’ie edisi 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar