Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 30 Juni 2018

Konsisten Kepada Sunnah Nabi Dan Khulafaur Rasyidin



أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian hendaklah selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak habsyi, karena sungguh siapapun dari kalian yang hidup sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian harus berpegang kepada sunahku (jalan/ jejak langkahku) dan sunah (jalan/ jejak langkah) Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Tirmidzi)

Imam Ahmad berkata: haddatsanâ (telah menceritakan kepada kami) al-Walid bin Muslim (ia berkata) haddatsanâ Tsaur bin Yazid (ia berkata) haddatsanâ Khalid bin Ma'dan, ia berkata haddatsanâ Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr, keduanya berkata, ”kami mendatangi al-'Irbadh bin Sariyah… Lalu al-'Irbadh berkata: ”Suatu hari Rasulullah SAW mengimami kami shalat subuh. Lalu beliau menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata: "Wahai_Rasulullah ini –seakan- merupakan nasihat perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?" Beliau bersabda: "Aku wasiatkan kepada kalian…”

Makna Hadits

Rasul SAW berpesan: “Aku wasiatkan kepada kalian hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, di mana saja dan kapan saja.

“(Hendaklah kalian) mendengar dan menaati (pemimpin/ penguasa) sekalipun ia seorang budak habsyi.” Ini adalah perintah untuk mendengar dan menaati pemimpin atau penguasa. Seorang budak secara syar'i tidak sah menjadi pemimpin atau penguasa. Maka sabda Rasul "sekalipun ia seorang budak habsyi" merupakan penekanan atas wajibnya mendengar dan menaati pemimpin/ penguasa, sekalipun pemimpin/ penguasa itu dipandang memiliki kekurangan. Rasul SAW begitu menekankan wajibnya mendengar dan menaati pemimpin, tentu selama ia tidak memerintahkan kemaksiatan.

Beliau menjelaskan, ”karena sungguh siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.” Hal ini mengisyaratkan bahwa keberadaan pemimpin/ penguasa dan sikap mendengar dan menaati penguasa itu akan menghalangi terjadinya perselisihan dan perpecahan.

Kemudian beliau bersabda: ”Oleh karena itu kalian wajib berpegang kepada sunah (jalan/ jejak Iangkah)-ku dan sunah (jalan/ jejak langkah) Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” Sunah dalam hadits ini menggunakan makna bahasanya yaitu thariqah atau jalan/ jejak langkah. Dalam hadits ini, beliau SAW memerintahkan kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkahnya dan Khulafaur Rasyidin. Perintah ini juga mencakup khususnya masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah kepemimpinan.
Sehingga hadits ini merupakan perintah agar kaum Muslim mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yaitu sistem khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.

Bahkan mengangkat seorang khalifah melalui baiat, dan sistem khilafah itu, bahwa hal itu wajib, merupakan ijmak (kesepakatan) seluruh sahabat. Maka bagi siapa saja yang menyatakan diri menghidupkan dan mengikuti sunah Nabi SAW dan sunah khulafaur rasyidin, untuk melaksanakan perintah Nabi SAW dalam hadits di atas, maka di antaranya harus memegang teguh kewajiban pengangkatan seorang khalifah dan penegakan sistem khilafah.

Selanjutnya beliau memerintahkan: "dan jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan.” Menilik siyaqul kalam (alur pembicaraan) hadits ini, bid'ah yang dimaksud adalah bid'ah dalam masalah kepemimpinan, bukan bid'ah syar'i yaitu bid'ah dalam masalah ibadah. Karena jika dalam masalah ibadah tentu merujuknya hanya kepada Rasul SAW dan tidak kepada Khulafaur Rasyidin. Artinya, kata bid'ah dalam hadist ini tidak menggunakan makna syar'i, tetapi menggunakan makna bahasanya. Yaitu setiap hal yang diada-adakan yang belum ada contohnya.
Jadi selain sistem kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Rasul SAW dan ditempuh serta dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin, yakni selain sistem khilafah, merupakan sistem muhdatsah, sistem yang diada-adakan tanpa dasar syar'i.
Sistem dan aturan yang tidak memiliki dasar syar'i -selain sistem Khilafah- artinya tidak berdasarkan petunjuk wahyu. Yang tidak berdasarkan petunjuk wahyu merupakan kesesatan dan mengarah kepada kesesatan. Makanya, sistem selain khilafah haram sehingga harus dijauhi. WaLlâh a'lam bi ash-shawab.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 216

Minggu, 24 Juni 2018

Ancaman Atas Sikap Membenarkan Dan Mendukung Penguasa Zhalim Berbuat Zhalim




Ka’ab bin ‘Ujrah ra. berkata: “Rasulullah Saw. keluar kepada kami yang waktu itu ada sembilan orang, lalu beliau bersabda:

أَنَّهُ سَتَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ يَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Sesungguhnya akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan (mempercayai) mereka di dalam kebohongan mereka, dan membantu mereka atas kezhaliman mereka, maka ia bukan termasuk golonganku, dan aku pun bukan termasuk golongannya, dan ia tidak akan masuk menemaniku di Telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan (tidak mempercayai) mereka di dalam kebohongan mereka, dan tidak membantu mereka atas kezhaliman mereka, maka ia termasuk golonganku, dan aku termasuk golongannya, dan ia akan masuk ke Telaga bersamaku.” (HR. an-Nasa’i, al-Baihaqi, al-Hakim)

Imam an-Nasa’i menyebutkan hadits ini di dalam bab Dzikru al-Wa’îd li man a’âna amîran ‘alâ azh-zhulmi (mengingat ancaman untuk orang yang menolong pemimpin di atas kezhaliman).
Imam al-Baihaqi mengeluarkannya di Sunan al-Kubrâ.
Imam al-Hakim mengeluarkannya di al-Mustadrak ‘alâ Shahihayn.

Makna Hadits

Hadits ini menyatakan larangan untuk membenarkan kebohongan penguasa dan membantu kezhaliman mereka. Dan larangan tersebut sangat tegas yakni hukumnya haram.

Hadits ini tidak menyatakan karakter penguasa yang dimaksud secara lugas. Namun dari konteks kalimatnya dapat dipahami karakter penguasa itu yaitu berbohong dan zhalim.
As-Sindi di dalam Syarh Sunan an-Nasai menjelaskan bahwa kalimat ”shaddaqahum bikadzibihim” berasal dari at-tashdîq (pembenaran). Dan huruf "al-bâ'” dalam "bikadzibihim” maknanya ”". Yaitu bahwa mereka berbohong dalam ucapan. Dan orang yang membenarkan perkataan mereka, dan berkata kepada mereka ”Anda benar” untuk mendekatkan diri kepada mereka.”

Riwayat-riwayat lain hadits di atas yang semakna, menjelaskan secara gamblang karakter penguasa tersebut. Di antaranya:

Dalam riwayat Imam Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir dan Hudzaifah disebutkan: ”yakdzibûn wa yazhlimûn (berbohong dan zhalim).”

Dalam riwayat Imam ath-Thabarani di dalam Mu'jam al-Kabîr dari Abdan bin Ahmad, dari Muhammad bin Yahya al-Qathi'i, dari Muhammad bin Bakar al-Bursani, dari Hisyam bin Hassan, dari al-Hasan, dari Ka'ab bin 'Ujrah disebutkan: ”yu'thûna bi al-hikmah 'alâ manâbir, faidza nazalû ikhtalasta minhum, wa qulûbuhum antanu min al jîf (mereka memberikan hikmah di mimbar-mimbar, dan jika mereka turun (dari mimbar) engkau menyeleweng dari mereka, dan hati mereka lebih busuk dari bangkai).”

Di sisi lain, di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. menilai siapa saja yang tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, yakni tidak menghukumi dengan syariah Islam maka paling rendah statusnya adalah zhalim, lalu fasik, dan bahkan bisa kafir (QS. al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Maka, penguasa atau pemimpin yang tidak memutuskan hukum (berhukum) dengan syariah tidak diragukan lagi adalah zhalim.

Allah melarang kita cenderung kepada orang-orang yang zhalim (QS. Hûd [11]: 113) Jika cenderung saja dilarang, apalagi lebih dari itu.

Terhadap para penguasa atau pemimpin yang zhalim itu, berdasarkan hadits di atas kita dilarang melakukan dua hal.
Pertama, membenarkan kebohongan mereka (para penguasa zhalim). Yaitu menyatakan ucapan bohong mereka itu sebagai yang benar, tepat, bagus atau ungkapan senada lainnya. Pujian terhadap ucapan mereka atau kebijakan mereka atau aturan dan hukum yang mereka buat yang tidak bersumber dari Al-Qur’an atau as-Sunnah juga bisa dinilai sebagai bagian dari pembenaran terhadap kebohongan mereka.
Kedua, kita dilarang membantu mereka di dalam kezhaliman mereka itu. Bantuan atas kezaliman mereka itu bisa dalam bentuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang dengan itu kezhaliman mereka -termasuk aktivitas tidak menjalankan syariah- itu semakin kuat, tetap bertahan dan terus terjadi.
Bantuan itu bisa dalam bentuk bersekutu, bersama-sama atau bekerjasama dengan mereka dalam menjalankan kezhaliman mereka; aktifitas memperkuat, menjalankan atau memperindah kezhaliman mereka; menahan diri tidak mau mengungkap kezhaliman mereka, tidak mau menjelaskan kerusakan sistem, enggan menyingkap aktivitas dan jati diri mereka yang mengesampingkan bahkan membelakangi petunjuk wahyu; atau memuji-muji, membagus-baguskan kezhaliman mereka.
Apalagi jika mencarikan legalisasi bagi kezhaliman mereka dengan jalan menakwilkan nash (memelintir dalil).
Bahkan mendoakan para penguasa itu agar tetap dalam posisinya dan tetap menjalankan aktivitasnya itu juga bisa dinilai sebagai bagian dari bantuan itu.

Siapa yang melakukan itu maka tidak akan diakui sebagai golongannya Rasul Saw. Dan lebih dari itu siapa saja yang melakukan itu tidak akan merasakan kenikmatan Telaga Rasul Saw. di Akhirat. Na'udzu billâh min dzâlika.


Kamis, 21 Juni 2018

Khalifah Al-Muqtafi Liamrillah Khilafah Abbasiyyah



AL-MUQTAFI LIAMRILLAH, ABU ABDULLAH

Al-Muqtafi Liamrillah, Abu Abdullah bernama Muhammad bin al-Mustazhir Billah.

Dia dilahirkan pada 22 RabiulAwal tahun 489 H. Ibunya berasal dari Ethiopia. Dilantik sebagai khalifah tatkala saudaranya dicopot. Saat pelantikannya, dia berumur empat puluh tahun.
Sebab diberinya gelar Al-Muqtafi adalah karena dia melihat Rasulullah dalam mimpinya, enam hari sebelum menjadi khalifah. Dalam mimpi itu Rasulullah berkata: “Perkara ini (Khilafah) akan sampai di tanganmu, maka ikutlah jalan Allah (iqtafi liamrillah).”
Berdasarkan ucapan Rasulullah (dalam mimpinya) itulah dia digelari Al-Muqtafi Liamrillah.

Sultan Mahmud (seorang wali /gubernur) mengirim seseorang ke Baghdad setelah dia menunjukkan tindakan yang adil dan membangun Baghdad. Lalu dia mengambil semua apa yang ada di dalam istana khalifah dari binatang tunggangan, alat-alat rumah tangga yang terbuat dari emas, kemah-kemah dan lainnya. Dia tidak menyisakan apa-apa di kandang kuda milik khalifah kecuali empat kuda dan delapan keledai. Disebutkan bahwa sultan dan orang-orangnya membaiat mereka dengan syarat dia tidak boleh memiliki kuda dan semua sarana bepergian.

Kemudian pada tahun 531 H, sultan juga mengambil semua kekayaan khalifah dan tidak meninggalkan apapun untuknya kecuali satu tanah yang khusus untuk dirinya. Dia bahkan mengirim bawahannya untuk meminta kepada khalifah uang sebanyak seratus ribu dinar.

Al-Muqtafi berkata, “Kami tidak melihat tindakan yang lebih aneh dari tindakan kalian. Bukankah kau tahu bahwa [khalifah] al-Mustarsyid [dahulu] telah memberikan semua hartanya kepada kalian dan kalian lihat apa yang terjadi saat ini. Setelah itu [khalifah] ar-Rasyid berkuasa dan dia melakukan apa yang telah dia lakukan. Dia pergi dan mengambil semua apa yang tersisa. Tak ada yang tersisa kecuali alat-alat rumah tangga dan semuanya kau ambil. Kau juga mengambil semua pajak, kekayaan dan warisan, lalu dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak yang engkau minta? Yang tersisa kini adalah kami harus keluar dari rumah tempat kami berdiam dan kami serahkan itu pada kalian! Sebab saya telah berjanji kepada Allah untuk tidak mengambil sedikitpun dari milik orang lain dengan cara yang zhalim. ”

Akhirnya sultan tidak mengambil apapun dari istana, namun dia kembali mengambil pajak dan harta orang dengan cara yang kasar serta mengambil cukai dari para pedagang. Rakyat merasa sesak dadanya dengan apa yang dilakukannya.

Pada bulan Jumadal Ula, negeri-negeri yang menjadi kekuasaan khalifah dikembalikan lagi kepada khalifah.

Pada tahun ini bulan sabit tidak terlihat pada tanggal 30 Ramadhan maka penduduk Baghdad sama-sama berpuasa untuk hari ke 30. Tatkala matahari tenggelam dan seharusnya masuk tanggal satu Syawal, namun mereka tidak juga melihat bulan, padahal langit cerah dan tidak ada mendung yang menghalangi. Peristiwa semacam ini belum pernah tercatat dalam sejarah umat manusia.

Pada tahun 533 H, terjadi gempa bumi hebat di Janzah yang goncangannya terasa hingga wilayah yang jauhnya sepuluh farsakh. Banyak korban yang meninggal akibat gempa hebat tersebut. Janzah pun tenggelam dan yang tersisa selain air hitam.

Pada tahun ini pula para pejabat menguasai negeri itu, sedangkan sultan Mahmud pengaruhnya merosot tajam. Hingga dia tidak lagi memiliki kekuasaan riil. Yang tinggal hanyalah namanya semata. Hal serupa juga terjadi pada Sultan Sanjar. Kekuasaannya mulai goyah. Sungguh Maha Suci Allah yang menghinakan orang-orang yang congkak dan zhalim. Lemahnya dua orang ini menjadikan kekuasaan khalifah Al-Muqtafi kembali menguat, kehormatannya semakin menanjak dan wibawanya semakin menguat. Ini merupakan awal dari perbaikan Khilafah Bani Abbasiyah. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Pada tahun 541 H, Mas’ud (seorang gubernur yang lain) kembali datang ke Baghdad dan membangun kantor pajak. Tindakan tersebut membuat khalifah marah dan segera menangkap orang-orang yang membangun kantor dan para penarik pajak. Namun Mas’ud melakukan perlawanan dengan menangkap para pengawal khalifah. Khalifah marah besar dan segera menutup masjid Jami’ dan masjid-masjid lainnya selama tiga hari. Barulah pengawal khalifah dilepas dan khalifah pun melepaskan penarik pajak. Akhirnya situasi tenang kembali.

Pada tahun ini Ibnu al-‘Ibadi, seorang yang dikenal sebagai pemberi nasehat yang menyentuh, datang ke Baghdad dan mengadakan pengajian. Saat itulah sultan Mahmud menghadiri pengajiannya. Dia membahas tentang bea cukai yang dikenakan kepada manusia. Dia berkata, “Wahai sultan, kau memberikan uang kepada seorang pemusik dalam satu malam sama dengan uang yang kamu ambil dari manusia sekian lama. Maka anggaplah saya seorang pemusik dan berikan apa yang kamu berikan kepadanya untukku dan jadikan itu sebagai tanda rasa syukurmu kepada Allah atas nikmat yang telah Dia karuniakan padamu!”

Sultan Mahmud terpana dengan apa yang dinasihatkan oleh Ibnu al-'Ibadi itu. Dia kemudian mengumumkan tentang penghapusan bea cukai ke seluruh negeri. Kemudian tulisan-tulisan yang di dalamnya berisi tentang penghapusan bea cukai itu dibawa keliling kota, sedangkan di depannya ada gendang dan terompet bertalu-talu. Ini berlangsung hingga pemerintahan [khalifah] An-Nashir Lidinillah yang memerintahkan untuk mencopot tulisan-tulisan tentang penghapusan pajak itu. Dia berkata, “Kami tidak membutuhkan cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang asing!”

Pada tahun 543 H, orang-orang Eropa datang ke Damaskus. Saat itu juga datang Nuruddin Mahmud bin Zinki yang berkuasa di Halb dan saudaranya, Ghazi, yang berkuasa di Mushil. Kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran dan hancurlah orang-orang Eropa. Nuruddin terus memerangi orang-orang Eropa dan mengambil semua wilayah kaum muslimin yang sebelumnya pernah dikuasai oleh orang-orang Eropa.

Pada tahun 544 H, penguasa Mesir al-Hafizh Lidinillah meninggal dunia. Yang menggantikannya adalah anaknya yang bernama azh-Zhafir Ismail.

Pada tahun ini terjadi gempa hebat sehingga Baghdad dilanda banjir selama sepuluh kali, sedangkan sebuah gunung di Halwan retak.

Pada tahun 445 H, terjadi hujan di daerah di Yaman sehingga tanah berwarna merah dengan darah dan bekas-bekasnya tampak di pakaian manusia.

Pada tahun 547 H, sultan Mahmud meninggal dunia.

Ibnu Hubairah, salah seorang menteri Al-Muqtafi, berkata: “Tatkala orang-orang sultan Mas’ud melakukan tindakan yang semena-mena kepada Al-Muqtafi dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk menyatakan perang dengan terang-terangan, maka diambil keputusan untuk mendoakan Mas'ud selama sebulan sebagaimana Rasulullah mendoakan atas Ri’il dan Dzakwan selama sebulan penuh. Maka berdoalah Mas’ud dan khalifah berdo’a dengan cara tersembunyi. Keduanya berdoa di tempat masing-masing pada saat menjelang fajar. Doa itu dimulai pada tanggal 29 Jumadal Ula yang berlangsung setiap malam. Tatkala genap akhir bulan, Mas’ud meninggal di atas tempat tidurnya. Kejadian ini terjadi selama sebulan, tidak lebih dan tidak kurang.”

Para tentara sepakat untuk menjadikan Malik Syah sebagai sultan, namun yang melakukan semua urusan negara adalah Khashibak dan bahkan dia menangkap Malik Syah. Dia meminta saudaranya yang bernama Muhammad yang berada di Khurasan untuk datang menemuinya. Muhammad pun datang, lalu dia menyerahkan kesultanan (wilayah) itu padanya.

Pada saat itu khalifah memiliki wibawa dan kekuasaan. Perintah dan larangan yang dia lakukan bisa dilaksanakan. Dia menghentikan orang-orang yang dahulunya diangkat oleh sultan (gubernur) untuk menjadi pengajar di universitas An-Nizhamiyah. Telah sampai kabar kepadanya bahwa di wilayah Wasith ada kerusakan. Oleh sebab itulah dia berangkat dengan tentaranya menuju ke sana untuk memperbaiki kota tersebut. Lalu dia menuju ke Hullah dan Kufah kemudian kembali menuju Baghdad dengan kemenangan. Dia kemudian menghias Baghdad.

Pada tahun 548 H, al-’Izz melakukan pemberontakan terhadap Sultan Sanjar. Dia dan tentaranya berhasil menawan Sultan Sanjar. Al-’Izz berhasil menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan sultan Sanjar. Namun demikian, dia masih membiarkan doa-doa dalam khutbah disampaikan untuk sultan karena dia berada di tengah mereka hanya secara fisik tanpa makna. Dia menangisi dirinya sendiri. Sebab meskipun dia tetap dianggap sebagai sultan, namun gaji yang dia terima tak lebih dari bayaran seorang kusir delman.

Pada tahun 549 H, azh-Zhafir Billah al-‘Ubaidi, penguasa Mesir, mati terbunuh. Sebagai penggantinya dinobatkanlah anaknya yang bernama al-Faiz Isa yang saat itu masih anak-anak. Sehingga dengan demikian, melorotlah pamor kekuasaan di Mesir. (Adz-Dzahabi berkata mengenai kekuasaan Daulah al-‘Ubaidiyah di Mesir sebagai kekuasaan, “orang yang terbelakang (mutakhallif) dan bukan sebagai khalifah (mustakhlif).”)

Membaca kondisi yang baik ini, Al-Muqtafi segera mengirim surat pada Nuruddin Mahmud bin Zinki dan mengangkatnya sebagai penguasa Mesir. Dia memerintahkan untuk segera berangkat menuju Mesir. Pada saat itu Nuruddin sedang sibuk memerangi orang-orang Eropa. Nuruddin sendiri tidak pernah jemu-jemunya berperang melawan bangsa Eropa yang menguasai wilayah-wilayah kaum muslimin. Dia saat itu telah mampu menguasai wilayah Damaskus pada bulan Shafar. Dia juga telah berhasil menguasai beberapa benteng pertahanan di wilayah kekuasaan Romawi baik lewat peperangan maupun dengan jalan damai. Kekuasannya semakin hari semakin membesar dan namanya semakin harum.

Al-Muqtafi mengirim utusan kepadanya dan memberi wewenang penuh untuk menjadi penguasa di Mesir dan memintanya untuk segera berangkat ke sana. Al-Muqtafi memberi gelar Nuruddin bin Mahmud bin Zinki dengan al-Malik al-'Adil.
Kekuasaan Al-Muqtafi pun semakin kokoh dan semakin kuat. Dia selalu mampu memadamkan tindakan-tindakan pembangkangan. Dia berusaha menjadikan orang-orang yang berbeda dengannya bisa mendukungnya. Kekuasaanya semakin hari semakin menguat dan semakin kokoh hingga akhirnya dia meninggal pada malam Ahad tanggal 2 RabiulAwal tahun 555 H.

Adz-Dzahabi berkata, "Al-Muqtafi adalah seorang khalifah yang jempolan. Dia seorang sastrawan yang berwawasan luas, seorang pemberani, penyabar, berakhlak mulia, memiliki tingkat kepemimpinan yang sangat baik. Dia benar-benar memangku kekhilafahan dengan sebaik-baiknya. Jarang khalifah yang memiliki karakter dan akhlak seperti dirinya. Tak ada satupun dari urusan kecil yang terjadi di dalam negerinya kecuali dia mengetahuinya. Dia mendengarkan hadits dari pengajarnya, Abu al-Barakat Abu al-Farj bin as-Sini."

Ibnu as-Sam’ani berkata, “Juz bin ‘Arafah bersama saudaranya al-Mustarsyid mendengar hadits dari Abu Al-Qasim bin Bayan."

Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits dari Al-Muqtafi adalah Abu Manshur al-Jawaliqi, seorang pakar Nahwu, juga menterinya, Ibnu Hubairah dan yang lainnya.

Al-Muqtafi telah memperbaharui pintu Ka’bah lalu mengambil bongkahan batu yang ia jadikan sebagai nisan kuburannya. Dia dikenal sebagai sosok yang terpuji perilakunya, seorang yang mendapat penghargaan besar dari negara. Seorang yang menjadikan agama sebagai sandaran dan akal sebagai kebijakan. Dia adalah sosok yang memiliki nilai-nilai utama, luas pandangannya dan memiliki insting politik yang baik. Dia telah berhasil membangun puing-puing kekuasaan, dan membangun kembali wibawa Khilafah. Dia juga selalu terjun dalam peperangan dan terlibat langsung di medan perang. Pemerintahannya berlangsung lama.

Abu Thalib Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdus Sami, al-Hasyimi dalam kitabnya al-Manaqib fil-Abbasiyah berkata, "Masa pemerintahan Al-Muqtafi diwarnai oleh keadilan yang merata, penuh dengan amal kebaikan. Sebelum menjadi khalifah pun dia dikenal sebagai orang yang ahli ibadah. Pada awal-awal pemerintahannya dia selalu sibuk dengan agama, menuliskan ilmu dan membaca Al-Qur’an. Tidak ada seorangpun, walaupun dia dikenal sebagai sosok yang lembut dan penuh kasih, yang menyamainya dalam masalah keberanian dan kekokohan pendirian, kecuali al-Mu'tashim. Selain itu, dia juga dikenal sebagai sosok yang zuhud, wara’ dan ahli ibadah. Para tentaranya yang dia kirim ke manapun selalu memenangkan pertempuran."

Ibnul Jauzi berkata, "Sejak zaman pemerintahan Al-Muqtafi, Baghdad dan Irak kembali lagi ke pangkuan para khalifah. Dan tidak seorangpun pesaing yang menyaingi kekuasaan khalifah. Sebelumnya, sejak masa pemerintahan al-Muqtadir, kekuasaan berada di tangan raja-raja kecil -yang juga disebut dengan sultan, -pentj-. Khalifah di masa itu tak lebih hanya sebagai simbol yang tidak memiliki kekuasaan apapun. Di antara sultan yang memiliki pengaruh di masa pemerintahannya dan sangat membantu mengokohkan kekhilafahannya adalah Sultan Sanjar, penguasa di wilayah Khurasan dan Sultan Nuruddin Mahmud penguasa di Wilayah Syam. Khalifah Al-Muqtafi dikenal sebagi sosok yang sangat pemurah, sangat senang dengan ilmu hadits dan setia mendengarkan dari para ahlinya serta penuh perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan sangat memperhatikan para ulama dan ilmuwan."

Ibnu as-Sam’ani berkata, "Manshur al-Jawaliqi berkata kepada kami, telah berkata kepada kami Amirul Mukminin Al-Muqtafi Liamrillah, telah berkata kepada kami Abu al-Barakat Ahmad bin Abdul Wahhab, telah berkata kepada kami Abu Muhammad ash-Shairafi, berkata pada kami al-Mukhallish, berkata kepada kami Ismail al-Warraq, berkata kepada kami Hafsh bin 'Amr ar-Rabali, berkata kepada kami Abu Sahim, berkata kepada kami Abdul Aziz bin Shuhaib, dari Anas dia berkata Rasulullah bersabda,

Perkara ini akan terus mengalami kedahsyatan dan manusia akan selalu bertambah kikir, dan Hari Kiamat tidak akan menimpa kecuali kepada orang-orang yang paling jahat. ”

Tatkala al-Imam Abu Manshur al-Jawaliqi, seorang pakar Nahwu, datang menemui Al-Muqtafi untuk menjadi imam shalat, dia datang menemuinya dan tak ada yang dia katakan kecuali, “Salam dan kesejahteraan atas Amirul Mukminin!”
Pada saat itu seorang Kristen bernama Ibnu Tilmidz sedang berdiri. Dia berkata, “Bukan dengan cara seperti itu seharusnya engkau mengucapkan salam kepada Amirul Mukminin wahai syaikh!”
Namun Ibnu al-Jawaliqi sama sekali tidak menoleh kepada orang Kristen tersebut, bahkan dia berkata kepada Al-Muqtafi, “Wahai Amirul Mukminin, salam yang saya ucapkan tadi adalah salam yang sesuai dengan Sunnah Nabawiyah!” Lalu dia meriwayatkan sebuah hadits.

Kemudian dia melanjutkan, “Wahai Amirul Mukminin, jika ada seseorang yang bersumpah bahwa dirinya orang Kristen atau Yahudi, maka tidak akan tembus ke dalam hatinya secuil ilmu pun dengan cara yang benar, hingga dia tidak akan dikenai denda apapun akibat sumpahnya tersebut. Sebab Allah telah menutup hati mereka dan tutup yang Allah berikan itu tidak akan dibukakan kecuali dengan iman!”
Maka berkatalah Al-Muqtafi, “Kau benar, dan apa yang kau katakan itu sangat indah dan mengesankan!”
Apa yang dikatakan oleh Al-Muqtafi merupakan pukulan keras dan telak untuk Ibnu at-Tilmidz, walaupun diakui bahwa dia juga memiliki ilmu pengetahuan yang luas.

Tokoh-tokoh yang Meninggal di Masa Pemerintahannya

Di antara tokoh-tokoh yang meninggal di zamannya adalah: Ibnu al-Abrasy (seorang pakar Nahwu), Yunus bin Mughits, Jamal al-Islam bin Muslim asy-Syafiq, Abu al-Qasim al-Asfahani (pengarang kitab at-Targhib), Ibnu Barjan, al-Mazari (pengarang kitab al-Mu’allim bi Fawaid al-Muslim), Imam az-Zamakhsyari (pengarang tafsir al-Kasysyaf), ar-Rusyathi (penulis kitab al-Ansaab), al-Jawaliq (guru Al-Muqtafi), Ibnu ‘Athiyyah (pengarang tafsir yang sangat terkenal), Ibnu as-Sa’adat Ibnu asy-Syajari, aL-Qadhi ‘Iyadh, al-Imam Abu Bakar Ibnu al-’Arabi, Nashihuddin ar-Rajani (sang penyair kenamaan), al-Hafizh Abu al-Walid ad-Dabbagh, Abu al-As’ad Hibaturrahman al-Qusyairi, Ibnu Ghulam al-Faras (tokoh dalam bidang qiraat), ar-Rifa' (sang penyair), asy-Syahrastani (pengarang kitab perbandingan agama dan madzhab yang berjudul al-Milal wa an-Nihal), al-Qaisarani (seorang penyair kenamaan), Muhammad bin Yahya (salah seorang murid Imam al-Ghazali), Abu al-Fadhl bin Nashir al-Hafizh, Abu Bakar asy-Syahrazuri (seorang ahli qiraat), al-Wawa (sang penyair), Ibnu al-Khal (seorang tokoh madzhab Syafi’i) dan masih banyak lagi tokoh lain yang meninggal di zamannya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Imam as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’ (terjemahan)

Rabu, 13 Juni 2018

Meraih Kemenangan Dengan Pertolongan Allah SWT


(Materi Kultum Bakda Shalat Isya')

Tidak lama lagi kaum Muslimin akan merayakan hari raya Idul Fitri. Salah satu amalan sunnah pada hari raya adalah mengagungkan asma Allah, mengumandangkan takbir.
اللهُ أكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Maha Besar Allah, dan segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, dan Maha Suci Allah, di waktu pagi maupun petang." (Shahih Muslim: 943)

  لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ،

“Tiada tuhan selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan ikhlas, tunduk, patuh pada agama-Nya, meskipun orang-orang kafir membenci." (Shahih Muslim: 935)

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ

“Tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, yang selalu menepati janji-Nya, yang menolong hamba-Nya, dan menghancurkan kelompok musuh dengan ke-Esa-an-Nya.” (*)

لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ

(Atsar) Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu al-Mundzir dari Ali dan Abdullah bin Mas’ud ra.)

Kemenangan Islam selalu menjadi cita-cita kaum Muslimin sejak dahulu. Dan tentunya amalan-amalan di dalam Islam, bisa mengantarkan umat Islam untuk memenangkan jalan hidup Islam atas seluruh jalan hidup yang lain, sehingga mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Salah satu amalan yang utama adalah dakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Allah Swt. berfirman:


“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah…” (QS. ash-Shaff: 14)

Orang-orang yang beriman dan beramal shalih yang menolong agama Allah pasti akan mendapat keberhasilan, karena mereka mendapat pertolongan Allah Swt. Allah Swt. berfirman:


“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)


“…Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya...” (QS. al-Hajj: 40)


“…Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS. ar-Rum: 47)


“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. al-Insyirah: 6)

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Akhirat),” (QS. al-Mu’min [40]: 51)


“…Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah: 153)


“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatupun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. an-Nur [24]: 55)

Dan banyak lagi ayat-ayat yang lain.

Dengan begitu banyak janji pertolongan dari Allah Swt. maka wajar dan sudah semestinya bila kaum Muslimin bersikap optimis dalam mewujudkan kebangkitan Islam dan peradaban Islam, di mana Islam sungguh-sungguh diterapkan di dalam kehidupan.

Oleh: Annas I. Wibowo


(*) Mengenai redaksi takbir dalam dua hari raya, maka tidak ada redaksi tertentu yang didasarkan pada riwayat yang shahih atau hasan dari pernyataan Rasulullah Saw. Bagaimanapun juga perkara takbir ini diberi keleluasaan.
“…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu MENGAGUNGKAN ALLAH atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (TQS. al-Baqarah [2]: 185) 

Rabu, 06 Juni 2018

Contoh Sabar Berpegang Pada Syariat Islam Dari Allah SWT



(Materi Pengajian Jelang Buka Puasa)

Bulan Ramadhan, bulan puasa adalah kesempatan bagi kita untuk melatih kesabaran. Sabar dalam menjalankan syariat dari Allah Swt. sehingga kita bisa menjadi orang-orang yang bertaqwa. Seperti apa orang-orang yang bertakwa itu? Tentu kita tidak akan kesulitan menemukan contoh orang-orang yang bertakwa. Kita telah mempunyai teladan abadi, yaitu Rasulullah Saw. dan para sahabat beliau. Allah Swt. telah memuji para shahabat ra. di dalam al-Qur’an:



“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 100)

Mereka adalah orang-orang yang memegang prinsip “sami’naa wa atho’naa” “kami mendengar dan kami menaati” dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Berikut ini beberapa contoh teladan dari mereka yang disebutkan dalam hadits-hadits.

·                     Imam Bukhâri meriwayatkan hadits dari Abû Sarû’ah, beliau berkata (yang artinya):

“Suatu saat aku shalat Ashar di belakang Nabi Saw. di Madinah. Kemudian beliau Saw. membaca salam dan cepat-cepat berdiri, lalu melangkahi pundak orang-orang yang ada di masjid menuju ke sebagian kamar istrinya. Maka orang-orang pun merasa kaget dengan bergegasnya Nabi. Kemudian Nabi Saw. keluar dari kamar istrinya menuju mereka. Nabi melihat para sahabat sepertinya merasa keheran-heranan karena bergegasnya beliau. Kemudian beliau Saw. berkata, “Aku bergegas dari shalat karena aku ingat suatu lantakan emas (dari zakat) yang masih tersimpan di rumah kami. Aku tidak suka jika barang itu menahanku, maka aku memerintahkan (kepada istriku) untuk membagi-bagikannya.”

·                     Imam Bukhâri meriwayatkan dari Ibnu Abî Aufâ ra., beliau berkata:

“Kami ditimpa kelaparan pada beberapa malam saat perang Khaibar, dan  kami  menemukan  keledai  kampung,  kemudian  kami menyembelihnya. Maka ketika kuali telah mendidih, tiba-tiba berteriak juru bicara Rasulullah Saw., “Matikanlah kuali itu dan kalian jangan makan daging keledai jinak itu sedikitpun.” Abdullah berkata, “Kami pada saat itu mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan keledai jinak itu hanya karena belum dibagi lima (karena harta rampasan perang).” Tapi sahabat yang lain berkata, “Keledai  jinak itu diharamkan secara mutlak.” Kemudian aku bertanya kepada Sa'id bin Jubair, dan ia menjawab, “Keledai jinak itu diharamkan secara mutlak.”

·                     Imam Bukhâri meriwayatkan dari Anas bin Mâlik ra., beliau berkata:

“Suatu hari aku memberi minum kepada Abû Thalhah al-Anshary, Abû Ubaidah bin al-Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab dari Fadhij, yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang yang datang, ia berkata, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan.” Maka Abû Thalhah berkata, “Wahai Anas, berdirilah dan pecahkanlah kendi itu!” Anas berkata, “Maka aku pun berdiri mengambil tempat penumbuk biji-bijian milik kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya, hingga pecahlah kendi itu.”

·                     Imam Bukhâri meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. yang berkata:

“Semoga Allah merahmati kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya, “Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke dadanya.” (TQS. an-Nûr [24]: 31). Maka kaum wanita  itu merobek kain sarung mereka (untuk dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya.”

·                     Imam Abû Dawud telah mengeluarkan hadits dari Shafiyah binti Syaibah dari ‘Aisyah ra.:

“Sesungguhnya beliau Saw. menuturkan wanita Anshar, kemudian beliau memuji mereka, dan berkata tentang mereka dengan baik. Beliau Saw. berkata, “Ketika diturunkan surat an-Nûr: 31 (tentang kewajiban memakai kerudung hingga menutup dada), maka mereka mengambil kain sarungnya, kemudian merobeknya dan menjadikannya sebagai kain penutup kepala (kerudung).”

·                     Hadits riwayat Imam Ahmad dari Abû Râfi’ bin Khadîj, beliau berkata:

“Kami pada masa Nabi membajak tanah, kemudian menyewakannya dengan (mendapat bagi hasil) sepertiga atau seperempatnya dan makanan tertentu. Pada suatu hari datanglah kepada kami salah seorang pamanku, ia berkata, “Rasulullah Saw. telah melarang suatu perkara yang dulu telah memberikan manfaat (duniawi) bagi kita. Tapi taat kepada Allah dan Rasul-Nya jauh lebih bermanfaat bagi kita. Beliau telah melarang kita membajak tanah (pertanian) kemudian menyewakannya dengan imbalan sepertiga atau seperempat, dan makanan tertentu. Rasulullah Saw. memerintahkan pemilik tanah agar mengolahnya atau  menanaminya  sendiri.  Beliau tidak menyukai penyewaan tanah dan yang selain itu.”

·                     Di dalam  hadits yang  diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas disebutkan:

“Nabi Saw. berangkat bersama para sahabatnya hingga mendahului kaum Musyrik sampai ke sumur Badar. Setelah itu kaum Musyrik pun datang. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” Anas bin Malik berkata; maka berkatalah Umair bin al-Humam al-Anshary, “Wahai Rasulullah! Benarkah yang kau maksud itu surga yang luasnya seluas langit dan bumi?” Rasulullah Saw. menjawab, “Benar” Umair berkata, “ehm-ehm”. Rasulullah Saw. bertanya kepada Umair, “Wahai Umair, apa yang mendorongmu untuk berkata ehm-ehm?” Umair berkata, “Tidak ada apa-apa Ya Rasulullah, kecuali aku ingin menjadi penghuninya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya engkau termasuk penghuninya, Wahai Umair!” Anas bin Malik berkata, “Kemudian Umair bin al-Humam mengeluarkan beberapa kurma dari wadahnya dan ia pun memakannya. Kemudian berkata, “Jika aku hidup hingga aku memakan kurma-kurma ini sesungguhnya itu adalah kehidupan yang lama sekali.” Anas berkata, “Maka Umair pun melemparkan kurma yang dibawanya, kemudian maju untuk memerangi kaum Musyrik hingga terbunuh.”

Oleh: Annas I. Wibowo

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam