Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 29 November 2021

Pengajaran Hal-Hal Yang Dibutuhkan Manusia Dalam Kehidupannya Merupakan Kewajiban Negara Yang Harus Terpenuhi Bagi Setiap Individu

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 178 Rancangan Undang-Undang Dasar Islami

 

Pasal 178

 

Pengajaran hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya merupakan kewajiban Negara yang harus terpenuhi bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menyediakannya untuk seluruh warga dengan cuma-cuma. Dan kesempatan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dibuka seluas mungkin dengan fasilitas sebaik mungkin.

 

Dalilnya adalah bahwa pengajaran kepada tiap-tiap orang apa-apa yang mereka perlukan dalam praktik kehidupan adalah bagian dari kepentingan dan pelayanan pokok, sebab itu meraih maslahat dan menolak bahaya. Dengan begitu, wajib bagi Negara untuk menyediakannya menurut tuntutan kehidupan yang ada, dan menurut jumlah generasi muda yang membutuhkan pengajarannya. Pendidikan massal tingkat dasar dan menengah telah menjadi kebutuhan pokok sesuai dengan tuntutan realitas kehidupan masa ini, dan bukan lagi sekadar pelengkap. Maka pendidikan dasar dan menengah untuk tiap individu mengenai apa-apa yang dibutuhkan untuk terjun ke dalam arus kehidupan adalah kewajiban atas Negara, juga tetap termasuk kepentingan mendasar.

 

Oleh karena itu, wajib atas Negara untuk menyediakan dengan cukup sekolah dasar dan menengah untuk semua mata pelajaran yang Negara tetapkan dan juga pengajaran apa yang dibutuhkan untuk ambil bagian dalam urusan-urusan kehidupan, secara gratis. Rasul saw. menetapkan terhadap orang-orang kafir tawanan perang untuk menebus diri mereka dengan masing-masing mengajari sepuluh anak Muslim, dan tebusan itu merupakan ghanimah yang pembelanjaannya ditentukan oleh Khalifah untuk berbagai kepentingan kaum Muslimin, dan itulah dalil bahwa pembelanjaan Negara untuk pendidikan adalah tanpa memungut biaya.

 

Pendidikan tinggi juga termasuk kepentingan rakyat, sehingga apapun darinya yang menjadi kebutuhan asasi (dharuriyat) seperti kedokteran, harus disediakan oleh Negara. Begitu pula pendidikan dasar dan menengah, sebab itu meraih kemaslahatan dan menolak bahaya (dharar) dan termasuk perkara-perkara yang diwajibkan syara’ atas Negara. Sementara apapun yang bukan perkara asasi, seperti pelajaran sastra, maka Negara harus menyediakannya jika keuangannya memungkinkan.

 

Pengajaran tingkat dasar dan menengah, beserta apapun yang esensial bagi Umat dalam hal pendidikan tingkat lanjut, dinilai sebagai bagian dari kepentingan yang wajib dibiayai oleh Baitul Mal, tanpa menarik imbalan. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-education-policy/1159-dstr-sys-talm-185

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Sabtu, 27 November 2021

Negara Menyediakan Perpustakaan, Laboratorium Dan Sarana Ilmu Pengetahuan Lainnya, Di Samping Gedung-Gedung Sekolah, Universitas


 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 179 Rancangan Undang-Undang Dasar Islami

 

Pasal 179

 

Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung-gedung sekolah, universitas untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, penemuan-penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahidin dan para penemu.

 

Dalil pasal ini adalah sabda Nabi saw.:

 

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

 

Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR Al-Bukhari, dari Abdullah bin Umar)

 

Dan kaidah:

 

مَالاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

 

“Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu wajib.”

 

Berbagai perpustakaan, laboratorium dan semua sarana pengembangan ilmu pengetahuan adalah bagian dari urusan-urusan Umat yang harus diatur oleh Imam, dan jika dia tidak memenuhinya maka dia dimintai pertanggungjawaban. Jika aktivitas ijtihad dalam fiqih dan aktivitas penciptaan penemuan baru, yang dibutuhkan untuk persiapan militer, tidak dapat dipenuhi tanpa sarana-sarana pengembangan ilmu pengetahuan itu, maka menyediakan sarana-sarana itu menjadi kewajiban atas Khalifah sesuai dengan kaidah: “Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu wajib.” Sementara sarana yang sekadar membantu mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan memudahkan ijtihad dan penemuan, maka itu bagian dari pengaturan urusan-urusan yang sifatnya meraih kemaslahatan; dengan demikian, itu tidak wajib, sehingga jika keuangan Negara memungkinkan, Negara membangunnya, dan jika tidak, tidak membangunnya. Maka dari itu semua, penyediaan perpustakaan, laboratorium dan sarana-sarana lainnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk dari apa-apa yang harus disediakan oleh Imam, dengan kata lain, harus disediakan oleh Negara. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-education-policy/1160-dstr-sys-talm-186

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Kamis, 25 November 2021

Tidak Dibolehkan Ada Hak Cipta Dalam Mengarang Buku-Buku Pendidikan Untuk Semua Tingkatan


Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 180 Rancangan Undang-Undang Dasar Islami

 

Pasal 180

 

Tidak dibolehkan ada hak milik dalam mengarang buku-buku pendidikan untuk semua tingkatan. Tidak dibolehkan seseorang -baik pengarang maupun bukan- memiliki hak cetak dan terbit, selama sebuah buku telah dicetak dan diterbitkan. Jika masih berbentuk pemikiran yang dimiliki seseorang dan belum dicetak atau beredar, maka ia boleh mengambil imbalan karena memberikan jasa pada masyarakat, seperti halnya mendapatkan gaji dalam mengajar.

 

 

Dalil untuknya adalah kebolehan mengambil upah dari mengajar dan kebolehan ilmu pengetahuan. Kebolehan mengambil upah/gaji untuk pendidikan, ditetapkan berdasarkan sabda Rasul saw.:

 

«إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ»

 

Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah (mengajarkan) Al-Qur’an.” (HR Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas)

 

Oleh sebab itu, upah juga bisa diambil untuk pengajaran apapun yang lain. Selain itu, kebolehannya ditetapkan berdasarkan fakta bahwa Rasul saw. membolehkan para tawanan perang Badar untuk menebus diri mereka dengan masing-masing mengajari sepuluh anak Muslim, artinya, tebusan itu merupakan upah untuk pendidikan. Menyusun atau membuat karya tulis adalah menulis pengetahuan, atau dengan kata lain, memberi pengetahuan melalui tulisan sebagaimana memberikannya secara lisan. Ilmu pengetahuan dapat diberikan kepada orang lain baik secara verbal maupaun dalam bentuk tertulis dan atas keduanya dibolehkan diambil upahnya. Namun, jika seorang pengajar membagi suatu pengetahuan secara verbal atau melalui tulisan, pengetahuan yang didapat oleh orang yang mempelajarinya menjadi dimilikinya, sehingga dia berhak untuk kemudian membagikan pengetahuan itu kepada siapapun baik secara lisan maupun melalui tulisan. Para tawanan dari Perang Badar tidak punya hak atas anak-anak yang belajar baca-tulis dari mereka selain upahnya. Dan mereka yang belajar dari para tawanan itu bisa mengajarkan baca-tulis kepada orang lain dengan upah tanpa izin dari para tawanan yang telah mengajari, dan para pengajar itu tidak punya hak apapun.

 

Argumen lainnya, yaitu ilmu pengetahuan, dari sisi bahwa itu mubah, dan arti bahwa itu mubah adalah dibolehkan siapapun mengambilnya, dan dibolehkan siapapun yang mengajarkannya mengambil upah, bukan hanya si pengajar awalnya. Jadi dari sini, dipandang bahwa pengetahuan dimiliki oleh siapapun yang mengetahuinya, bukan hanya dimiliki khusus oleh orang yang mengajarkannya, dan dimiliki oleh orang yang mengetahuinya selama pengetahuan itu ada padanya, sehingga dia bisa mengambil upah dari mengajarkannya, atau mengajarkannya kepada orang lain secara gratis. Dengan begitu, jika muncul darinya melalui pengajarannya kepada individu atau kelompok, atau pembicaraan tentangnya di publik, atau penyebarannya kepada orang-orang melalui cara apapun, pengetahuan itu menjadi dibolehkan bagi semua orang, sesuai dalil-dalil yang secara umum membolehkan pengetahuan, dan itu dibolehkan bagi siapapun yang mengambilnya secara individual maupun sebagai bagian dari kelompok, untuk memberikannya kepada siapapun yang mereka dikehendaki tanpa perlu ada izin dari orang yang mengajarkannya di awal, tanpa mempertimbangkan apakah dia setuju itu diajarkan kembali atau tidak.

 

Inilah dalil bahwa tidak ada pemilik hak eksklusif untuk publikasi karena faktanya itu ilmu pengetahuan, selama itu ada padanya maka dia berhak menarik upah untuknya, dan jika dia membagikan pengetahuan itu kepada orang secara lisan maupun tulisan, dengan cara apapun, itu menjadi dibolehkan bagi semua orang, dan tiap-tiap orang itu dibolehkan untuk mengajarkannya kepada orang lain dan untuk menarik upah untuk pengajaran. Jadi, membatasi hak mempublikasi secara khusus kepada si penulis adalah mengharamkan yang halal; yaitu mengharamkan pengetahuan dengan melarangnya diambil kecuali dengan izin, dan mengharamkan pengambilan upah untuknya dengan melarang pengajarannya untuk upah kecuali dengan izin. Maka dari itu, tidak boleh siapapun memiliki hak (eksklusif) pencetakan dan penerbitan. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-education-policy/1161-dstr-sys-talm-187

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Rabu, 24 November 2021

Politik Adalah Pemeliharaan Urusan Umat di Dalam Maupun Luar Negeri oleh Negara Bersama Umat

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 181 Rancangan Undang-Undang Dasar Islami

 

POLITIK LUAR NEGERI

 

Pasal 181

 

Politik adalah pemeliharaan urusan umat di dalam maupun luar negeri, dan dilakukan oleh Negara bersama umat. Negara melaksanakan pengaturan secara praktis, sedangkan umat mengoreksi Negara dalam pelaksanaannya.

 

Pasal ini adalah definisi politik dan itu merupakan definisi umum yang dipahami setiap orang sebab definisi itu mengkarakterisasi realitas politik sebagaimana fakta sesungguhnya. Jadi itu serupa dengan definisi akal, definisi kebenaran, definisi kekuasaan dan definisi-definisi lain yang punya fakta tunggal bagi semua orang tanpa perbedaan, sebab itu adalah realitas yang terjangkau dan disadari, sehingga itu hanya berbeda dalam hukum-hukumnya. Selain itu, pengertian politik secara bahasa (saasa, yasuusu, siyaasat[an]) adalah memelihara urusan-urusan; disebutkan di dalam kamus al-Muhith:

وَسُسْتُ الرَّعِيَّةَ سِيَاسَةً أَمَرْتُهَا وَنَهَيتُهَا

“Aku mengurus rakyat siyaasat[an] – artinya aku memerintah mereka dan melarang mereka,” dan inilah pemeliharaan urusan-urusan melalui perintah-perintah dan larangan-larangan. Di samping itu, terdapat riwayat-riwayat terkait tindakan-tindakan penguasa, meminta tanggung jawab penguasa dan memperhatikan urusan-urusan kaum Muslimin, dan definisi politik diturunkan dari itu semua. Sabda Nabi saw. dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, berikut ini dengan redaksi riwayat al-Bukhari, dari Ma’qil bin Yasar:

 

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحِهِ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ»

 

Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan kepadanya untuk memimpin rakyatnya (tanggungannya), kemudian dia tidak menunaikannya dengan penuh nasihat, niscaya dia tidak akan mencium harumnya surga.”

 

Dan sabdanya saw.:

 

«مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌ لَهُمْ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَّنَّةَ»

 

Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum Muslimin kemudian mati dalam keadaan menipu mereka, maka Allah akan mengharamkan baginya surga.”

 

Dan sabdanya saw.:

 

«سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لا مَا صَلَّوْا»

 

Nanti akan ada para pemimpin. Lalu kalian mengakui kemakrufan mereka dan mengingkari kemungkaran mereka. Siapa saja yang mengakui kemakrufan mereka akan terbebas dan siapa saja yang mengingkari kemungkaran mereka akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran mereka akan celaka).” Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi saja mereka?” Nabi menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.” (HR Muslim, dari Ummu Salamah)

 

Kata shalat dalam hadits ini merupakan kinâyah (kiasan) dari aktivitas memerintah atau memutuskan perkara dengan (hukum-hukum) Islam.

 

Dan sabdanya saw.:

 

«وَمَنْ أَصْبَحَ وَهَمُّهُ غَيْرُ اللهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ»

 

Siapa yang bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah sedikitpun, dan barangsiapa tidak memperhatikan (urusan) kaum Muslimin, maka ia tidak termasuk golongan kaum Muslimin.” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Ibnu Mas’ud)

 

Dan diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdullah yang berkata:

 

«بَايَعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى: إِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ»

 

"Aku telah membai'at Rasulullah saw. untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan setia, menasihati kepada setiap Muslim." (HR Bukhari dan Muslim)

 

Dan diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdullah yang berkata:

 

«أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: أُبَايِعُكَ عَلَى الإِسْلامِ، فَشَرَطَ عَلَيَّ: وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ»

 

"Aku pergi kepada Nabi saw. dan mengatakan, “Aku berbai’at kepadamu atas Islam.” Lalu Beliau memberi persyaratan kepadaku untuk saling memberi nasihat kepada setiap Muslim." (HR al-Bukhari)

 

Definisi politik ditarik dari semua riwayat tersebut, baik terkait penguasa dan dijalankannya kekuasaan, ataupun terkait Umat dan dimintanya tanggung jawab penguasa, maupun terkait hubungan antar sesama kaum Muslimin yang saling memperhatikan urusan-urusan mereka dan saling menasihati, yaitu adalah memelihara urusan-urusan Umat, dan oleh karenanya definisi politik, yang disebutkan pasal ini, adalah definisi syar’i ditarik dari dalil-dalil syara’. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-foreign-policy/1189-dstr-sys-khrj-en-181

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Senin, 22 November 2021

Hubungan Dengan Negara Asing Hanya Dilakukan Oleh Negara

 


Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 182 Rancangan Undang-Undang Dasar Islami

 

Pasal 182

 

Setiap individu, partai politik, perkumpulan, jamaah (organisasi) tidak dibenarkan secara mutlak menjalin hubungan dengan negara asing manapun. Hubungan dengan negara asing hanya dilakukan oleh Negara. Hanya Negara yang memiliki hak mengatur urusan Umat secara praktis. Umat dan kelompok-kelompok masyarakat wajib mengoreksi Negara terhadap pelaksanaan hubungan luar negeri.

 

Dalilnya adalah sabda Nabi saw.:

 

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

 

Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR Al-Bukhari, dari Abdullah bin Umar)

 

Dan syara’ memberikan praktik pelaksanaan pemerintahan yang mengikat atas urusan-urusan rakyat kepada penguasa semata, dan tidak dibolehkan bagi rakyat untuk menjalankan tindakan-tindakan penguasa, dan tidak dibolehkan bagi siapapun Muslim untuk menjalankan tindakan-tindakan penguasa kecuali mereka diangkat untuk menjalankannya menurut syara’, baik melalui bai’at dari rakyat jika dia menjabat Khalifah, atau pengangkatan dari Khalifah, ataupun dari salah seorang wakil Khalifah atau gubernur yang telah diberi wewenang melakukan pengangkatan. Siapapun yang tidak diangkat melalui bai’at, dan tidak diangkat oleh Khalifah, tidak boleh menjalankan apapun dari praktik pemerintahan atas urusan-urusan Umat, di dalam negeri maupun di luar negeri.

 

Krusial untuk diperhatikan bahwa hukum ini djelaskan dari segi dalilnya, dan dari segi fakta yang padanya diterapkan dalilnya. Dalam hal dalilnya, wewenang kekuasaan telah diberikan oleh syara’ kepada penguasa semata, dan pemerintahan atas rakyat diserahkan kepada penguasa semata; Rasul saw. bersabda:

 

«مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

 

“Siapa saja yang tidak menyukai (tidak menyetujui) sesuatu dari amirnya hendaknya bersabar terhadapnya. Sebab, tidaklah seseorang memisahkan diri dari Pemerintah sejengkal saja kemudian mati, kecuali matinya (seperti) mati Jahiliah.” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Abbas)

 

Sehingga, memberontak terhadapnya berarti memberontak terhadap kekuasaan, dan oleh sebab itu, hanya penguasa itulah yang memiliki kewenangan kekuasaan. Rasul saw. bersabda:

 

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ»

 

Dulu Bani Israil diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah.” (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah)

 

Dan artinya adalah bahwa kaum Muslimin diperintah oleh para Khalifah, dan oleh karenanya, yang memerintah kaum Muslimin telah ditentukan. Pemahaman atas hal ini adalah bahwa selain Amir tidaklah berwenang kekuasaan dan bahwa selain Khalifah tidak memerintah. Inilah dalil bahwa pemerintahan atas urusan-urusan kaum Muslimin hanyalah di tangan penguasa semata dan tidak bagi siapapun selainnya.

 

Selain itu, perbuatan Rasul saw. menunjukkan bahwa Beliau saw. adalah pemegang kekuasaan, dan menjalankan pemerintahan atas rakyat dengan kekuasaan itu dalam kapasitas sebagai Kepala Negara. Dan Beliau saw. seorang yang mengangkat siapapun yang menjalankan tindakan-tindakan penguasa atau tindakan-tindakan memerintah rakyat. Jadi, Beliau saw. mengangkat orang yang akan menggantikannya sebagai Amir pengganti di Madinah sementara Beliau saw. pergi berperang, dan Beliau saw. mengangkat para gubernur, hakim, pemungut harta, dan siapapun pejabat yang menjalankan kemaslahatan seperti mengatur pengairan, memperkirakan jumlah buah panenan (untuk pemungutan harta), dan sebagainya. Ini semua bukti bahwa wewenang kekuasaan dan pemerintahan dibatasi hanya untuk penguasa, dengan kata lain, untuk Khalifah dan siapapun yang Khalifah angkat.

 

Kekuasaan adalah pemerintahan atas urusan-urusan rakyat yang bersifat mengikat atas mereka. Dan memerintah atas rakyat diriwayatkan dalam sabda Rasul saw., “...diurus oleh...,” yaitu pemerintahan atas rakyat yang sifatnya mengikat atas mereka. Sehingga, pemerintahan atas urusan-urusan rakyat adalah pemerintahan yang mengikat; dengan kata lain, pelaksanaan tanggung jawab penguasa terbatas untuk penguasa, maka sama sekali haram bagi siapapun selainnya untuk menjalankan tanggung jawab penguasa, sebab syara’ memberikan wewenang kekuasaan dan pemeliharaan urusan-urusan rakyat kepada Khalifah dan siapapun yang diangkat olehnya.

 

Jadi, apabila siapapun selain Imam ataupun mereka yang diangkat olehnya, menjalankan tindakan-tindakan pemerintah dan penguasa, dan memerintah rakyat, maka perbuatan mereka menyalahi syara’ dan dinilai bathil, dan setiap perbuatan bathil adalah haram. Tidak halal bagi siapapun selain Khalifah dan orang yang dia angkat, yaitu selain penguasa, untuk menjalankan tindakan pemerintahan dan kekuasaan. Konsekuensinya, dia sesungguhnya tidaklah memerintah rakyat yang sifatnya mengikat, dia sesungguhnya bukan penguasa, karena tidak sah menurut syara’.

 

Sementara dari segi fakta yang dihukumi, apa yang terjadi di beberapa negeri Muslim saat ini berupa pelaksanaan pemerintahan sebagian urusan-urusan secara mengikat oleh sekelompok rezim secara kolektif adalah dari pemahaman pemerintahan demokrasi. Pemerintahan demokrasi terdiri dari berbagai institusi, yang tertinggi adalah kabinet pemerintah, dengan kata lain, pemerintah, tapi juga ada pihak-pihak lain yang menjalankan pemerintahan sebagian urusan secara mengikat, dengan kata lain, menjalankan kekuasaan di sebagian bidang tertentu. Sebagai contoh, terdapat serikat-serikat profesi, sehingga serikat para ahli hukum menjalankan pemerintahan atas urusan-urusan para ahli hukum dalam kapasitas profesi mereka, dan itu mengikat mereka, sehingga mereka punya wewenang kekuasaan atas mereka dalam perkara-perkara tertentu, seperti, memberi mereka hak untuk praktik hukum dan menyetujui dijatuhkannya suatu sanksi atas mereka, dan menetapkan dana pensiun untuk mereka, dan hal-hal lain yang merupakan tindakan-tindakan pemerintahan dan kekuasaan yang negara serahkan kepadanya terkait profesi hukum, dan keputusannya diterapkan sebagaimana keputusan kabinet tanpa ada perbedaan. Begitu juga dengan serikat dokter dan serikat lainnya. Ini realitas di dalam negeri yang harus dihukumi. Secara internasional, beberapa negara demokratis membolehkan partai oposisi untuk berhubungan dengan negara-negara lain, dan memberinya hak untuk mengadakan negosiasi dengan negara-negara itu sementara partai itu sedang tidak berkuasa, dan ada perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain mengenai perkara-perkara terkait hubungan kedua negara yang akan mereka terapkan ketika mereka nantinya berkuasa. Ini realitas yang harus dihukumi dalam hubungan-hubungan internasional.

 

Oleh karena itu, fakta bahwa beberapa institusi semacam serikat atau sindikasi menjalankan pemerintahan yang sifatnya mengikat atas beberapa perkara di dalam negeri, dan beberapa institusi semacam partai politik menjalankan beberapa hubungan internasional yang sifatnya mengikat, semua itu sama sekali tidak dibolehkan oleh Islam. Ini karena wewenang kekuasaan dan menjalankan pemerintahan atas rakyat telah diberikan kepada Khalifah atau Amir semata, ataupun kepada yang diangkat oleh Amir atau Khalifah, oleh sebab itu, haram bagi siapapun selainnya untuk menjalankan suatu perkara darinya, karena tindakan demikian bertentangan dengan syara’.

 

Di samping itu, menjalankan pemerintahan atas urusan-urusan rakyat secara mengikat adalah berdasarkan akad/kontrak (wilayah aqd) pemerintahan, yang harus disetujui oleh kedua pihak, baik antara Umat dan Khalifah [dengan akad bai’at], ataupun antara Khalifah atau Amir dan orang yang mereka angkat [dengan akad wakalah ataupun ijarah]. Siapapun yang menjalankan pemerintahan atas urusan-urusan rakyat tanpa akad, maka tindakannya itu bathil, dan setiap tindakan bathil adalah haram tanpa ada perbedaan. Atas dasar itu, haram bagi partai-partai politik dan individu-individu dari Umat memiliki hubungan apapun dengan negara asing di mana hubungan itu terkait dengan pengaturan suatu urusan dari urusan-urusan Umat secara mengikat, dan inilah dalil pasal ini. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-foreign-policy/1190-dstr-sys-khrj-en-182

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam