Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 28 Mei 2020

Tujuan Diutusnya Rasulullah SAW - TAFSIR al-Fath: 8-9



“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-(agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (TQS. al-Fath [48]: 8-9)

Ayat sebelumnya menerangkan tentang balasan bagi orang-orang munafik dan musyrik. Bahwa mereka akan ditimpa keburukan, mendapatkan murka dan laknat Allah SWT, dan disediakan Neraka Jahannam. Itu semua sebagai balasan atas kejahatan yang mereka lakukan. Kejahatan mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah persangkaan buruk terhadap Allah SWT. Lalu ditegaskan bahwa tentara langit dan bumi itu merupakan milik Allah SWT.

Ayat ini kemudian menerangkan tentang tugas yang diemban Rasulullah kepada manusia. Kemudian dilanjutkan dengan kewajiban manusia yang menjadi sasaran dakwah beliau.

Tugas Rasulullah

Allah SWT berfirman: Innaa arsalnaaka syaahid[an] wa mubasysyir[an] wa nadziir[an] (sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan). Khithaab atau seruan ayat ini ditujukan kepada Nabi  . Menurut al-Alusi dan beberapa mufassir lainnya, khithaab ini juga berlaku untuk umatnya.

Disebutkan ayat ini, ada tiga tugas yang dipikulkan kepada Rasulullah sebagai utusan-Nya kepada manusia.

Pertama, syaahid[an] (saksi). Menurut para mufassir, yang dimaksud dengan saksi di sini adalah saksi atas perbuatan-perbuatan umat beliau. Di antara yang menafsirkan demikian adalah al-Thabari, al-Khazin, dan lain-lain. Diterangkan al-Zamakhsyari dah al-Alusi, tugas Rasulullah menjadi saksi atas umatnya didasarkan pada firman Allah SWT: “Agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (TQS. al-Baqarah [2]: 143).

Menurut al-Syaukani, tugas Rasulullah sebagai saksi atas umatnya adalah dengan menyampaikan risalah kepada mereka. Ada pula yang menafsirkannya menjadi saksi atas keesaan Allah SWT. Menurut Fakhruddin al-Razi, penafsiran tersebut sebagaimana firman-Nya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu.” (TQS. Ali Imran [3]: 18).

Kedua, mubasysyir[an]. Kata mubasysyir merupakan bentuk al-faa'il dari kata basysyara yang berarti memberikan kabar yang menggembirakan. Kabar gembira itu disampaikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Diterangkan al-Khazin, beliau menjadi pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan taat kepada beliau dengan pahala. Ibnu Jarir al-Thabari juga menuturkan, Rasulullah menjadi pemberi berita gembira kepada mereka dengan Surga apabila mereka mau menerima agama yang lurus yang didakwahkan Rasulullah kepada mereka.

Dan ketiga, nadziir[an]. Kata ini berarti mundzir. Yakni, bentuk faa'il dari kata al-indzaar. Jika al-tabsyiir berarti informasi yang menggembirakan, maka al-indzaar adalah informasi yang menakutkan. Dengan demikian, Rasulullah juga menjadi pemberi peringatan. Peringatan tersebut disampaikan kepada orang-orang yang ingkar dan bermaksiat kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Dikatakan Ibnu Jarir, beliau menjadi pemberi peringatan kepada mereka dengan azab jika mereka berpaling dari agama dari Allah SWT yang dibawa beliau.

Selain dalam ayat ini, semua tugas Nabi  ini juga disebutkan dalam QS. al-Ahzab [33]: 45.

Kewajiban Manusia

Kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan: Litu‘minuu biLlaah wa Rasuulihi (supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya). Al-Dhamiir al-mukhaathab (kata ganti orang kedua, yang diajak bicara) dalam ayat ini menunjuk kepada manusia yang menjadi sasaran dakwah Rasulullah . Bahwa diutusnya Rasulullah sebagai saksi, penyampai kabar gembira, dan pemberi peringatan itu adalah agar manusia beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Selain beriman, juga melakukan beberapa perbuatan yang menjadi konsekuensinya. Disebutkan: watu'azziruuhu (menguatkan [agama]Nya). Diterangkan al-Alusi, ini berarti tanshuruuhu (menolongnya). Menurut al-Khazin, al-ta'zir adalah menolong disertai dengan sikap ta'zhim (penghormatan). Sehingga, mufassir tersebut pun memaknai watu'azziruuhu sebagai memperkuat dan menolongnya.

Qatadah, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, juga menafsirkannya tanshuruunahu wa tamna'uu minhu (menolong dan membantunya). Di antaranya adalah kata al-ta'zir yang digunakan untuk menunjuk hukuman, yang berarti al-maani‘ (pencegah). Sedangkan Ibnu Abbas -dalam riwayat lainnya- dan Ikrimah menafsirkannya dengan berperang bersamanya.

Kemudian disebutkan: wa tuwaqqiruuhu (membesarkan-Nya). Menurut Ibnu Katsir, al-tawqiir berarti al-ihtiraam wa al-ijlaal wa al-i'zhaam (menghormati, memuliakan, dan mengagungkan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menafsirkannya tu’zhzhimuuhu (mengagungkannya).

Lalu dilanjutkan: Wa tusabbihuuhu bukrat[an] wa ashiil[an] (dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang). Kata al-tasbiih berarti al-tanziih (menyucikan) dari segala kekurangan. Bisa pula dari al-subhah yang berarti shalat.

Kata bukrah berarti pagi hari, sedangkan ashiil berarti sore hari. Menurut Fakhruddin al-Razi penggunaan dua kata tersebut bisa menunjukkan kontinyuitas. Bisa juga itu merupakan perintah yang berbeda dengan apa dilakukan oleh orang-orang musyrik. Sebab, dulu orang-orang musyrik itu berkumpul untuk menyembah patung-patung di Ka'bah pada pagi hari dan sore hari, maka mereka pun diperintahkan untuk bertasbih pada waktu-waktu yang dahulu mereka mengerjakan perbuatan keji dan kemungkaran.

Mengenai dhamiir al-ghaaib pada kata tusabbihuuhu (bertasbih kepada-Nya), tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahwa kembalinya kepada Allah SWT. Akan tetapi pada dua kata sebelumnya, yakni: watu'azziruuhu wa tuwaqqiruuhu terdapat perbedaan pendapat. Menurut sebagian, dua al-dhamiir al-ghaaib itu kembali kepada Rasulullah . Sehingga maknanya, kamu mau menolong dan memuliakan Rasulullah . Di antara yang memilih pendapat ini adalah Imam al-Qurthubi, al-Dhahhak, dan lain-lain.

Menurut pendapat sebagian yang lain, dua kata itu kembali kepada Allah SWT. Sehingga memberikan makna: dan menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Di antara yang memilih pendapat ini adalah Fakhruddin al-Razi.

Abu Bakar al-Jazairi menggabungkan kedua penafsiran tersebut. Menurutnya, watu’azziruuhu wa tuwaqqiruuhu, yakni menolong dan mengagungkannya, untuk Allah SWT dan Rasulullah .

Demikianlah. Rasulullah diutus menjadi saksi tentang keesaan Allah SWT. Juga menjadi saksi atas manusia, bahwa beliau telah menyampaikan risalah kepada mereka. Wa-Llaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Rasulullah diutus kepada manusia untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan.

2. Dengan penyampaian dakwah oleh Rasulullah, diharapkan manusia beriman, menolong, dan mengagungkan Allah SWT dan rasul-Nya, dan mensucikan-Nya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194

Senin, 18 Mei 2020

Antara Bersedekah dan Menjual Dengan Harga Murah



Oleh: Annas I. Wibowo, SE

Seseorang boleh melepaskan suatu hak (at-tanâzul ‘an al-haq) yang dimiliki atas orang lain. Pelepasan hak adalah tindakan seseorang meninggalkan hak yang telah ditetapkan syariah baginya, yang hak itu boleh dia tinggalkan atau dia ambil. (Hâzim Ismâîl Jâdullah, at-Tanâzul ‘an al-Haq wa al-Rujû’ ‘anhu wa Atsaruhu fi al-Furû’ al-Fiqhiyyah, hal.27)

Misal, syara’ membolehkan wanita melepaskan hak maharnya atau nafkahnya atas suaminya, sehingga dia rela mendapatkan mahar atau nafkah yang sedikit. (Muhammad Ya’qûb Muhammad ad-Dahlawî, Huqûq al-Mar’ah al-Zaujiyyah wa at-Tanâzul ‘anha, hal.77)

Syara’ membolehkan seorang pemberi utang (kreditur) membebaskan utang debiturnya, baik sebagian maupun seluruh utangnya (lihat: QS. al-Baqarah: 280).

Syara’ juga membolehkan apa yang disebut takhâruj dalam masalah waris, yaitu tindakan seorang ahli waris untuk tidak mengambil hak warisnya.

Syara’ juga membolehkan keluarga korban dalam kasus pembunuhan tak sengaja (qatl al-khatha’), untuk tidak mengambil diyat (tebusan) yang seharusnya dibayar pembunuh kepada keluarga korban, sebagaimana ditetapkan syariat Islam. (lihat: QS. an-Nisa’: 92)

Penting digarisbawahi bahwa seseorang memiliki hak atas orang lain adalah karena kejadian ataupun akad yang dilakukan dengan orang lain itu memang berimplikasi hak atas orang lain menurut syariat Islam.

Dari contoh yang disebutkan, akad nikah yang dilakukan menurut syariat memang berimplikasi adanya hak mahar bagi perempuan yang dinikahi. Kemudian boleh jika si perempuan melepaskan hak mahar yang dia miliki atas orang yang menikahinya.

Akad nikah yang dilakukan menurut syariat memang berimplikasi adanya hak nafkah bagi perempuan yang dinikahi. Kemudian boleh jika si perempuan melepaskan sebagian atau seluruh hak nafkah di suatu kurun waktu tertentu yang dia miliki atas orang yang menikahinya. Jadi boleh seorang perempuan melepaskan hak nafkahnya atas suaminya selama sebulan, misalnya.

Dilakukannya akad utang-puitang memang berimplikasi seorang kreditur memiliki hak atas sejumlah harta yang dia utangkan kepada debitur. Setelah akad itu, kemudian bisa dikatakan bahwa seorang (kreditur) memiliki hak atas orang lain (debitur). Maka kemudian boleh jika kreditur membebaskan haknya, yaitu piutang atas debiturnya, baik sebagian maupun seluruh utangnya.

Seorang ahli waris memiliki hak atas harta warisan jika ada kerabatnya yang meninggal sesuai ketentuan syariat Islam. Sehingga di posisi ini, dia pada asalnya memang memiliki hak atas warisan, yang kemudian boleh dia ambil atau dia lepaskan.

Keluarga korban dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja memang pada asalnya memiliki hak untuk mendapatkan diyat dari pihak pembunuh. Terjadinya pembunuhan tidak disengaja itu berimplikasi dimilikinya hak keluarga korban atas pihak pembunuh berupa diyat. Boleh jika kemudian keluarga korban memaafkan, merelakan hak diyatnya atas pihak pembunuh.

Dalam akad jual-beli, seorang penjual memiliki hak atas seorang pembeli berupa harga barangnya. Pembeli berhak mendapatkan barang ketika telah terjadi akad jual-beli. Jika sejak awal calon pembeli tidak setuju membayar harga yang diminta si penjual maka akad jual-beli tidak terjadi.

Hak si penjual atas si pembeli itu juga ketika dilakukan akad jual-beli kredit. Tidak disebut sebagai pihak penjual dan pihak pembeli jika tidak pernah terjadi akad jual-beli.

Akad jual-beli berarti harus ada barang jelas yang dijual dan harga barang yang jelas yang disepakati di awal, baik berupa uang atau manfaat yang lain.

Jika si penjual menjual secara kredit kepada pembeli maka penjual itu dalam kurun waktu piutangnya boleh tiba-tiba menggugurkan sebagian piutang yang menjadi haknya atas pembeli. Dalam hal ini berarti si penjual bersedekah kepada si pembeli -yaitu berupa digugurkannya sebagian piutang- sejumlah tertentu dari total harga barang yang jelas sebagaimana telah disepakati dalam akad jual-beli kredit di awal.

Dua orang boleh melakukan tawar-menawar untuk berjual-beli sebelum disepakati suatu akad jual-beli. Tawar-menawar atau nego sebelum ditentukan akad jual-beli biasanya di seputar berapa harga barang yang akan disepakati. Pihak penjual boleh setuju berakad dengan suatu harga apakah itu rendah ataupun tinggi.

Seorang pedagang boleh memberi diskon atau potongan harga sejumlah tertentu dari harga barang yang jelas. Sehingga pembeli memiliki hak atas diskon itu ketika dilakukan akad jual-beli yang jelas menyebutkan adanya diskon dari harga barang yang jelas.

Juga, seorang pedagang boleh sengaja menjual barang dagangannya dengan harga murah sebagai bentuk bersedekah kepada pembeli yaitu sebesar selisih antara harga yang dia tetapkan murah dan harga pasaran. Harga murah itu harus jelas disepakati oleh pihak penjual dan pembeli dalam akad jual-beli. Jika si calon pembeli menawar dengan suatu harga lalu si penjual tidak sepakat dengan harga itu maka akad jual-beli belum terjadi. Si pedagang boleh menolak harga yang diminta oleh calon pembeli atau menerima.

Seseorang tidak disebut memiliki hak atas orang lain jika memang tidak ada akad atau kejadian yang berimplikasi dimilikinya hak atas orang lain menurut syariat. Contohnya, seseorang yang memiliki sejumlah makanan ingin bersedekah makanan itu kepada orang lain maka tidak bisa dikatakan bahwa orang yang ingin memberi makanan itu memiliki hak atas orang yang akan diberi makanan.

Selama suatu barang dijual-belikan dengan suatu harga –baik dengan harga pasaran ataupun harga murah- maka itu terjadi dengan akad jual-beli, bukan akad yang lain.

WalLaahu a'lam bi al-shawaab.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 265

Kamis, 14 Mei 2020

Nabi SAW Menerapkan Syariat Islam Atas Warga Kafir



Rasulullah SAW Kepala Negara Islam menerapkan Syariat Islam dalam urusan publik atas semua warga negara termasuk warga yang kafir.


Dari Al-Bara bin Azib ia berkata, "Seorang yahudi yang wajahnya menghitam (karena dilumuri arang) dan telah dicambuk dibawa melewati Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau lantas memanggil mereka seraya bertanya: "Beginikah kalian mendapati hukum bagi pezina?" Mereka menjawab, "Benar." Beliau lalu memanggil seorang laki-laki dari ulama mereka, beliau bersabda: "Kami bersumpah kepada Allah atas kamu, Dzat yang menurunkan Taurat kepada Musa. Apakah begini kalian mendapati hukuman bagi pezina dalam kitab kalian?" Laki-laki itu berkata, "Demi Allah, tidak. Sekiranya engkau tidak bersumpah kepada Allah aku tidak akan mengabarimu. Kami mendapati hukum bagi pezina dalam kitab kami adalah dengan hukum rajam. Tetapi perzinaan itu justru banyak terjadi di kalangan orang-orang terhormat di antara kami, ketika kami mendapati mereka melakukannya, kami tidak memberlakukan hukuman rajam tersebut. Namun jika itu dilakukan oleh orang-orang rendahan di antara kami, maka kami melaksanakannya. Lalu kami berembuk untuk mencari hukuman yang bisa kami terapkan kepada pezina baik dari kalangan terhormat maupun kalangan rendahan di antara kami. Maka kami bersepakat dengan hukuman tahmim (mencoreng muka dengan arang) dan hukuman cambuk." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Ya Allah, sungguh aku adalah orang pertama yang menghidupkan kembali perintah-Mu (hukuman had) ketika mereka mematikannya (tidak melaksanakannya)." Beliau lalu memerintahkan agar pezina itu dirajam, akhirnya pezina itu pun dirajam...” (HR. Abu Dawud No.3858 - Kitab Hudud)

Dari Al-Barra bin Azib, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemu dengan seorang laki-laki Yahudi yang berwajah memar dan bekas cambukan di tubuhnya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memanggil mereka dan berkata, “Apakah ini yang kalian temukan dalam kitab suci kalian mengenai hukuman bagi pezina?" Mereka menjawab, "Ya." Lalu Rasulullah memanggil salah seorang ulama dari kalangan mereka dan berkata, "Aku menyerukan kepadamu atas nama Allah Yang telah menurunkan Taurat kepada Nabi Musa. Apakah demikian kalian menemukan hukuman untuk seorang pezina?" Ia menjawab, "Tidak" dan seandainya engkau tidak tidak bersumpah padaku, maka aku tidak akan memberitahukan hal ini kepadamu. Di dalam kitab kami, kami temukan bahwa hukuman bagi seorang pezina adalah hukum rajam, tetapi sangat banyak dari kalangan pembesar-pembesar kami yang terkena hukum rajam. Apabila kami menangkap seorang pembesar, maka kami biarkan dan apabila kami menangkap seorang dari kalangan bawah, maka kami melaksanakan hukum had tersebut kepadanya. Akhirnya kami berkumpul, dari kalangan bangsawan dan rakyat jelata untuk menyepakati bahwa hukuman atas pezina adalah dengan mencoreng wajahnya dengan arang dan hukuman dera sebagai ganti dari rajam. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya Allah, sungguh aku adalah orang yang pertama kali menghidupkan perintah-Mu, ketika mereka telah meniadakannya.” Lalu Beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar laki-laki tersebut dirajam.” (HR. Ibnu Majah No.2548 - Kitab Hudud)

Dari Anas berkata, "Seorang Yahudi membunuh seorang wanita Anshar untuk merebut perhiasannya. Yahudi itu lalu membuang budak wanita tersebut ke dalam sumur tua dan menghimpit kepalanya dengan batu. Yahudi itu akhirnya ditangkap dan dibawa ke hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Beliau lalu memerintahkan agar yahudi itu dirajam hingga mati, maka yahudi itu dirajam hingga mati." Abu Dawud berkata, "Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Ayyub seperti itu pula." (HR. Abu Dawud No.3925)

Dari Jabir bin Abdullah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah merajam seorang laki-laki dan perempuan yahudi yang berbuat zina." (HR. Abu Dawud No.3863 - Kitab Hudud)

Dari Anas bin Malik, ada seorang yahudi meretakkan hamba sahaya dengan menjepit di antara dua batu. Si hamba sahaya ditanya; “sebutkan siapa yang membunuhmu, apakah fulan dan fulan,” hingga disebutlah nama seorang yahudi, dan si hamba sahaya mengiyakan dengan mengisyaratkan kepalanya. Si yahudi ditahan dan mengakui perbuatannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar si yahudi diseret kepadanya dan Beliau memecah kepalanya dengan batu. Sedang Hamam mengatakan dengan redaksi, “dengan dua batu.” (HR. Al-Bukhari No.6376)

Dari Anas berkata, "Seorang budak wanita ditemukan dalam keadaan kepalanya terhimpit antara dua batu, maka ditanyakan kepadanya, "Siapa yang melakukan ini kepadamu? Apakah si fulan yang melakukannya?" Hingga ketika nama seorang Yahudi disebut, dengan kepalanya ia menjawab, "Ya." Yahudi itu kemudian dijemput dan ia mengakuinya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar kepala yahudi itu juga dipecahkan dengan dihimpit antara dua batu." (HR. Abu Dawud No.3931)

Minggu, 10 Mei 2020

Tidak Mengharapkan Upah Dari Manusia - TAFSIR al-Furqan: 57



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan-Nya).” (TQS. al-Furqan [25]: 57)

Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah diberikan tugas menyampaikan risalah kepada manusia. Dalam melaksanakan tugasnya, beliau tidak meminta upah kepada manusia. Beliau hanya mengharapkan pahala dan ridha Allah SWT, Dzat yang mengutusnya. Kalaupun ada yang diharapkan dari harta yang dikeluarkan oleh orang-orng yang didakwahi adalah untuk diinfakkan di jalan Allah SWT dan untuk kebaikan lainnya. Inilah di antara yang dapat dipahami dari ayat ini.

Tidak Meminta Upah

Allah SWT berfirman: Qul maa as‘alukum 'alayhi min ajr[in] (katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu). Dalam ayat sebelumnya ditegaskan kepada Rasulullah bahwa beliau diutus untuk menjadi: mubasysyir[an] wa nadziir[an], pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Khithab atau seruan dalam ayat ini masih belum berubah. Sehingga perintah: Qul (katakanlah) juga ditujukan kepada Rasulullah . Beliau diperintahkan untuk menyampaikan perkataan kepada orang-orang yang didakwahi. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, "Katakanlah kepada orang-orang yang Aku utus kamu kepada mereka."

Terhadap mereka, beliau diperintahkan menyampaikan perkataan: Maa as‘alukum 'alayhi min ajr[in] (aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu). Dhamiir al-ghaaib (kata ganti pihak ketiga) pada kata 'alayhi (atasnya) merujuk kepada perbuatan yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni tugas beliau sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dikatakan al-Alusi, "Yakni, atas penyampaian risalah yang dibawa; atau atas perkara yang telah disebutkan sebelumnya, berupa al-tabsyiir wa al-indzaar (penyampaian berita gembira dan peringatan).

Sedangkan yang dimaksud dengan ajr[in] di sini adalah upah dari kalian. Demikian menurut Syihabuddin al-Alusi. Huruf min di depan kata tersebut, yakni min ajr[in], menurut Imam al-Qurthubi, berguna li al-ta'kid (untuk menegaskan).

Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah dalam menyampaikan risalah kepada umatnya, sama sekali tidak meminta upah dari mereka sedikitpun. Demikianlah penjelasan para mufassir. Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata, "(Aku tidak meminta dari kalian) atas penyampaian dan peringatan tersebut berupa upah yang aku minta dari harta kalian. Sesungguhnya aku mengerjakan ini untuk mencari ridha Allah.“

Tak jauh berbeda al-Thabari, memaknai perkataan tersebut dengan ungkapan, "Wahai kaumku, aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas apa yang aku bawa dari Tuhanku, sehingga kalian berkata, "Sesungguhnya Muhammad menginginkan harta kita dari dakwahnya, maka kami tidak akan mengikutinya dan memberikan kepadanya sedikitpun dari harta kami."

Bahwa Nabi tidak meminta upah dari umat atas dakwah yang beliau lakukan juga disebutkan dalam beberapa ayat lain, seperti firman Allah SWT: “Katakanlah: ”Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)" (TQS. al-An'am [6]: 90). Juga firman-Nya: “Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku” (TQS. Shad [38]: 86).

Yang beliau harapkan dari dakwah yang disampaikan adalah upah dari Allah SWT: “Katakanlah: ”Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu" (TQS. Saba' [34]: 47).

Patut dicatat, tidak meminta upah dari umatnya atas dakwah yang dilakukan bukan hanya pada diri Rasulullah , namun juga merupakan sikap para utusan Allah SWT lainnya. Yang mereka harapkan adalah ajr[un] (pahala) dari Allah SWT semata. Kepada kaumnya, Nabi Nuh as. berkata, sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam” (TQS. al-Syu'ara [26]: 109). Pernyataan yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Nabi Hud (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 127), Nabi Shalih as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 145), Nabi Luth as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 164), dan Nabi Syu'aib as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 180).

Infak Di Jalan Allah

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: illaa man syaa‘a an attakhidzu ilaa Rabbihi sabiil[an] (melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan-Nya). Menurut Fakhruddin al-Razi, penggalan ayat ini mengandung tiga kemungkinan makna yang saling berdekatan.

Pertama, beliau tidak meminta mereka atas penyampaian dan dakwahnya upah kecuali mereka menginginkan untuk mendekatkan diri (kepada Allah SWT) dengan infak di jalan jihad dan lainnya. Maka, mereka pun menjadikannya sebagai jalan mendapatkan rahmat Tuhan mereka dan memperoleh pahala-Nya.

Kedua, maknanya: "Aku tidak meminta kalian atas upah untuk diriku, namun aku meminta kamu agar mencari pahala untuk diri kalian sendiri dengan menjadikan jalan kepada Tuhan kalian.” Ini adalah pendapat al-Qadhi.

Ketiga, kalimat illaa man syaa‘a (kecuali orang yang menginginkan), yang dimaksud dengannya adalah fi'la man syaa‘a (perbuatan orang yang menghendaki). Ini adalah pendapat penulis kitab al-Kasysyaaf.

Dari ketiga pendapat, tampaknya pendapat pertama lebih banyak dipilih oleh para mufassir. Al-Qurthubi, misalnya, berkata, "Akan tetapi orang yang menginginkan (an yattahidza ilaa Rabbihi sabiil[an], mengambil jalan kepada Tuhannya) dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah, maka berinfaklah."

Ibnu Jarir al-Thabari juga berkata, "Akan tetapi, siapa saja di antara kalian yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan-Nya dan pada perkara yang dapat mendekatkan kepada-Nya, berupa sedekah, infak dalam jihad memerangi musuh-Nya, dan berbagai jalan kebaikan lainnya.”

Dengan demikian, dalam dakwahnya Rasulullah tidak mengharapkan upah dan imbalan dari manusia. Yang beliau harapkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT. Jika mereka menginfakkan harta mereka, sesungguhnya itu adalah infak di jalan Allah SWT. Infak itu dilakukan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengharapkan pahala dan ridha-Nya.

Itulah dakwah yang dilakukan Rasulullah . Beliau tidak mengharapkan imbalan materi dari umatnya. Balasan yang diharapkan dari dakwah yang beliau lakukan adalah ganjaran dari Allah SWT, Dzat Pemilik alam semesta. Sikap ini pula yang sepatutnya diteladani oleh umatnya dalam mendakwahkan agama-Nya. Ganjaran dan pahala dari Allah SWT ini memang seharusnya dicari dan dikejar. Dengan berbekal banyak pahala, dapat melempangkan jalan bagi pelakunya masuk ke dalam Surga-Nya. Apa yang lebih besar dan lebih menarik dari itu?

Berkaitan dengan harta, kalaupun umatnya diminta untuk menginfakkan harta mereka, maka itu bukan untuk beliau. Itu adalah infak di jalan jihad dan kebajikan lainnya. Tatkala infak itu dijadikan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapatkan ridha-Nya, maka sesungguhnya akan kembali kepada pelakunya. Sebab, Allah SWT akan membalas harta yang diinfakkan itu berlipat ganda. Sungguh beruntung manusia yang mengerjakan dengan ikhlas dan semangat. Semoga kita termasuk di dalamnya. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Dalam mendakwahkan risalahnya, Rasulullah tidak mengharapkan imbalan materi dari umatnya. Beliau mengerjakan semata ikhlas karena Allah dan semata mengharapkan ganjaran dan ridha-Nya.

2. Menginfakkan sebagian harta dijadikan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperoleh ridha-Nya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 160

Kamis, 07 Mei 2020

Menyingkap Watak Asli Orang Munafik - TAFSIR al-Fath: 15



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: "Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu;" mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya;” mereka akan mengatakan: "Sebenarnya kamu dengki kepada kami." Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (TQS. al-Fath [48]: 15)

Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang sikap orang-orang Arab Badui yang tidak mau menerima ajakan Rasulullah untuk berperang. Juga diterangkan tentang alasan yang mereka ucapkan dusta. Diungkap pula alasan sesungguhnya yang melatari sikap mereka itu.

Maunya Ada Ghanimah

Allah SWT berfirman: Sayaquulu al-mukhalafuuna idza [i]nthalaqtum ilaa maghaanima lita‘khudzuuhaa dzaruunaa nattabi'kum (orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: "Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu").

Kata al-mukhalafuuna (orang-orang yang tertinggal) menunjuk kepada orang-orang Arab Badui yang diberitakan dalam ayat sebelumnya. Mereka disebut al-mukhalafuuna (orang-orang yang tertinggal) Iantaran tidak mau mengikuti ajakan Rasulullah untuk keluar ke Hudaibiyah. Demikian penjelasan al-Zamakhsyari dan Ibnu Katsir. Penolakan mereka sebenarnya karena mereka menyangka Rasulullah dan sahabatnya akan kalah di medan pertempuran dan tidak akan bisa kembali lagi ke Madinah.

Tapi perkiraan mereka meleset. Rasulullah bisa kembali ke Madinah dengan selamat. Peperangan memang urung terjadi. Rasulullah dan pemimpin Makkah menyepakati Perjanjian Hudaibiyah yang berisi perjanjian damai selama 10 tahun.

Di tengah perjalanan pulang dari Hudaibiyah ini turunlah ayat surat al-Fath yang di dalamnya terdapat janji Allah SWT kepada Rasulullah untuk memberikan kemenangan kepada beliau.

Tak lama setelah peristiwa itu, Rasulullah melakukan penaklukan Yahudi di Khaibar, benteng terakhir yang kuat milik kaum Yahudi di Jazirah Arab. Tempat itu juga dijadikan sebagai benteng perlindungan bagi Yahudi Bani Nadzir dan Bani Quraizhah setelah sebelumnya mereka terusir dari Madinah. Oleh karena itu, maksud dari frasa: idza [i]nthalaqtum ilaa maghaanima lita‘khudzuuhaa (apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan) adalah jika kamu berangkat perang ke Khaibar. Sebagaimana diterangkan para mufassir, yang dimaksud dengan maghaanim (harta ghanimah atau rampasan perang) di sini adalah ghanimah Perang Khaibar.

Diberitakan ayat ini, orang-orang Badui meminta agar diizinkan untuk ikut. Disebutkan, Dzaruunaa nattabi'kum (biarkan kami, niscaya kami akan mengikuti kamu). Yang dimaksud dengan mengikuti kamu adalah mengikuti kamu untuk berperang bersama kamu. Yakni, ikut perang ke Khaibar. Dikatakan Ibnu Jarir al-Thabari, "Biarkanlah kami untuk mengikuti kamu ke Khaibar, sehingga kami bersama kalian memerangi penduduknya." Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh al-Syaukani.

Menurut Ibnu Katsir, larangan tersebut merupakan hukuman terhadap mereka karena sebelumnya mereka menolak ajakan Rasulullah untuk memerangi musuh.

Kemudian disebutkan: Yuriiduuna an yubaddiluu kalaamaLlaah (mereka hendak mengubah janji Allah). Menurut Mujahid, Qatadah, dan Jubair, yang dimaksud dengannya adalah janji (Allah SWT) yang dijanjikan kepada ahl al-Hudaibiyah (orang-orang yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah). Bahwa Allah SWT telah menjanjikan bahwa ghanimah Perang Khaibar itu dikhususkan untuk orang-orang yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah.

Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Maksudnya, mereka ingin mengubah janji Allah SWT kepada orang-orang yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah; lantaran Allah SWT telah menjadikan harta ghanimah untuk mereka dan telah menjanjikan harta itu untuk mereka sebagai ganti harta ghanimah penduduk Makkah ketika mereka pulang karena ada perdamaian dan sama sekali tidak mendapatkan harta benda dari mereka."

Permintaan Mereka Ditolak

Terhadap permintaan mereka, Allah SWT berfirman: Qul lan tattabi’uunaa (katakanlah: ”Kamu sekali-kali tidak [boleh] mengikuti kami). Rasulullah diperintahkan untuk menolak permintaan mereka. Frasa: Lan tattabi'uunaa ini merupakan nafiy (kalimat berita yang menegasikan). Akan tetapi, mengandung makna nahy (larangan). Yakni, “Jangan mengikuti kami!" demikian dikatakan al-Syaukani dan al-Baidhawi. Menurut al-Alusi, ini berguna li al-mubaalaghah (untuk melebihkan).

Kemudian ditegaskan lagi: Kadzaalikum qaalaLlaah min qabl (demikian Allah telah menetapkan sebelumnya). Penolakan terhadap permintaan agar mereka diperbolehkan ikut perang di Khaibar itu juga merupakan ketentuan Allah SWT yang telah ditetapkan sebelumnya. Al-Syaukani berkata, "Yakni, sebelum kepulangan kami dari Hudaibiyah. Bahwa ghanimah Khaibar khusus untuk orang-orang yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah. Tidak ada bagian untuk orang-orang selain mereka.”

Ibnu Jarir al-Thabari juga berkata, ”Demikianlah yang difirmankan Allah SWT kepada kami sebelum kami pulang, bahwa ghanimah itu adalah khusus untuk orang-orang yang ikut bersama kami pada peristiwa Hudaibiyyah. Sedangkan kamu tidak termasuk orang yang ikut. Maka, kalian tidak boleh ikut bersama kami ke Khaibar karena ghanimah itu bukan untuk selain mereka.” Demikian dikatakan al-Thabari.

Watak Asli Mereka

Kemudian Allah SWT dalam firman-Nya: Fasayaquuna bal tahsuduunanaa (mereka akan mengatakan: ”Sebenarnya kamu dengki kepada kami"). Ayat ini memberitakan tentang jawaban mereka setelah permintaan mereka untuk ikut perang Khaibar ditolak. Mereka tidak menerima keputusan tersebut. Sebaliknya, mereka justru menyampaikan prasangka buruk terhadap umat Islam. Mereka menganggap bahwa penolakan tersebut disebabkan karena umat Islam memiliki sikap hasad (iri dengki) kepada mereka, "Kalian dengki kepada kami untuk ikut mendapatkan bagian dalam ghanimah.” Demikian penjelasan al-Baidhawi dan al-Alusi.

Kemudian Allah SWT berfirman: Bal kaanuu laa yafqahuuna illaa qaliil[an] (bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali). Artinya, mereka tidak mengetahui kecuali urusan dunia. Ada juga yang mengatakan, ”Mereka tidak mengetahui urusan agama kecuali sedikit, yakni meninggalkan perang.” Demikian dikatakan al-Qurthubi.

Demikianlah. Orang-orang Arab Badui itu sebelumnya menolak ajakan Rasulullah untuk berperang pada peristiwa Hudaibiyah. Mereka beralasan karena disibukkan oleh urusan harta dan keluarga. Akan tetapi pada perang Khaibar mereka justru meminta untuk diikutkan. Motivasi yang mendorong mereka untuk ikut jelas bukan karena ingin mendapatkan ridha Allah. Mereka hanya ingin mendapatkan bagian ghanimah. Maka ketika permintaan mereka ditolak, watak asli mereka muncul. Mereka tidak menerima keputusan itu. Sebaliknya, mereka bahkan menuduh Rasulullah dan orang-orang Mukmin dengki terhadap mereka. Sikap mereka itu jelas menunjukkan penolakan terhadap ketetapan Allah SWT sekaligus kebodohan mereka. Kebodohan itu tercermin pada orientasi hidup mereka yang hanya sebatas dunia sehingga tidak memperhatikan urusan agama dan akhirat. Semoga kita dijauhkan darinya. WaLlaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang-orang munafik Badui meminta diperbolehkan ikut perang ketika perang itu menjanjikan kemenangan dan ghanimah.

2. Permintaan mereka ditolak sebagai hukuman atas penolakan mereka sebelumnya.

3. Watak asli mereka semakin terungkap setelah permintaan mereka ditolak.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 200


Orang-orang Badui itu berprasangka buruk kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan menolak perintah, itu menunjukkan bahwa mereka adalah munafik (lihat: QS. al-Fath [48]: 6), mereka adalah kaum yang binasa (QS. al-Fath [48]: 12), dan kafir (QS. al-Fath [48]: 13). Mereka akan diadzab jika tidak bertaubat (QS. al-Fath [48]: 16).

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam