Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 25 November 2015

Beribadah Kepada Allah Dan Tunduk Pada Syariah-Nya




“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. [13] Ar Ra'd: 37)

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya.” (QS. [13] Ar Ra'd: 41)
Ibnu Katsir: “Ibnu Abbas berkata, “Apakah mereka tidak melihat, bahwa Kami membukakan bagi Muhammad Saw. daerah demi daerah.” Ibnu Katsir: “… yaitu dengan kemenangan Islam atas kemusyrikan, daerah demi daerah …, Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 13, hal. 515)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya.” (QS. Saba’ [34]: 28)
Terkait dengan firman Allah ini, Ar-Razi berkata, “Kaffa[tan], artinya bahwa risalah itu untuk semua, yakni umum untuk semua manusia, sehingga mereka dilarang keluar dari ketundukan terhadap risalah itu.” (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, XXV/207)
Rasulullah Saw. juga bersabda:
بُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَ أَسْوَدَ
“Aku diutus untuk semuanya, yang berkulit merah maupun hitam.” (HR. Muslim)
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. [7] Al-A’raf: 96)
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa penafsiran yang lebih tepat adalah sebagaimana pendapat Ibn Abbas, yaitu bahwa jin dan manusia diciptakan Allah tiada lain untuk beribadah kepada Allah dan tunduk pada perintah-Nya.
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”(QS. An-Nahl: 116)
Menurut al-Syaukani, ayat ini berarti: Janganlah kalian mengharamkan atau menghalalkan sesuatu melalui ucapan lisan-lisan kalian tanpa hujjah. Al-Zamakhsyari menafsirkannya dengan pernyataan: Janganlah kamu mengharamkan dan menghalalkan hanya dengan perkataan yang ucapkan lisan-lisan dan mulut-mulut kalian—bukan karena ada hujjah dan alasan yang jelas—akan tetapi hanya sekadar ucapan dan klaim yang kosong.
Menurut Ibnu Katsir, termasuk dalam tindakan yang dilarang ayat ini adalah semua bid’ah yang diada-adakan yang tidak memiliki sandaran Syar’i, menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan hanya berdasarkan pendapat dan selera mereka semata.
 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا{
“Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 3)
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad Saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya (An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm. 69). Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian. (An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm. 69)

“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar.” (QS. [10] Yunus: 15)
]قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي[
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata …” (QS. Yusuf [12]: 108)
Imam al-Qurthubi menjelaskan: “Katakanlah, wahai Muhammad, “Inilah jalanku, sunnahku dan manhajku.” Ibn Zaid menyatakan, ar-Rabi’ berkata, “Dakwahku.” Muqatil berkata, “Agamaku.” Semua ini, menurut al-Qurthubi, maknanya satu, yaitu apa yang menjadi jalan hidupku dan aku serukan untuk menggapai Surga. Adapun makna ‘ala bashirah adalah dengan keyakinan dan dalam kebenaran. (Al-allamah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t., IX/272)
Imam as-Syaukani menyatakan bahwa makna, ‘ala bashirah adalah dengan hujjah yang jelas (hujjah wadhihah). Kata bashirah mempunyai konotasi pengetahuan yang bisa membedakan antara yang haq dan batil. (Al-allamah Muhammad bin ‘Ali as-Syaukani, Tafsir Al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, III/57)

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. an-Nur [24]: 51-52)

Dinyatakan ath-Thabari, frasa idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih ditafsirkan dengan idzâ du‘û ilâ hukm Allâh wa ilâ hukm Rasûlih (jika mereka dipanggil pada hukum Allah dan pada hukum Rasul-Nya). (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 9 [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992], 341)

an yaqûlû sami’nâ wa atha’nâ (Mereka mengucapkan, “Kami mendengar dan kami patuh”) menurut Muqatil dan Ibnu ‘Abbas, frasa tersebut bermakna, “Kami mendengar ucapan Nabi Saw. dan mentaati perintahnya,”—meskipun dalam perkara yang tidak mereka sukai dan membahayakan mereka. (Al-Wahidi, an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994], 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 46)

Tidak ada yang mendapatkan keberuntungan (al-falâh) kecuali orang yang berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, menaati Allah dan Rasul-Nya. (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 3, 382)
Waman yuthi’illâh wa Rasûlahu (Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Artinya, mereka taat pada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, menerima hukum-hukum-Nya, baik menguntungkan maupun merugikan mereka. (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9, 341)
Al-Jazairi menjelaskan bahwa takut kepada Allah Swt. adalah takut yang disertai pengetahuan, lalu meninggalkan larangan dan menahan diri dari apa yang disenangi. (Al- Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 3, 382)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam