Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 29 Desember 2021

Investasi Dan Pengelolaan Modal Asing di Negara Islam Tidak Dibolehkan

 


Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 165 Rancangan UUD Islami

 

Pasal 165

 

Investasi dan pengelolaan modal asing di seluruh negara tidak dibolehkan, termasuk larangan memberikan hak istimewa kepada pihak asing.

 

Dua kata “investasi” dan “pembangunan,” istilah menurut Barat yang artinya investasi adalah bahwa uang itu sendiri menghasilkan keuntungan, yaitu dengan menghasilkan bunga; serta istilah pembangunan dari dana asing berarti menggunakan dana asing dalam industri, pertanian atau perdagangan, dalam rangka menghasilkan keuntungan.

 

Dari pemahaman ini, semua investasi ribawi dilarang, sebab itu bunga dan bunga dilarang (haram). Meskipun nash mengenai investasi luar negeri dijelaskan dengan syariah larangan terlibat riba dengan orang harbi, namun sebagaimana juga orang dzimmi dan seorang Muslim -tanpa ada perbedaan di antara mereka- karena keumuman firman-Nya SWT:

 

 ((وَحَرَّمَ الرِّبَا))

 

Dan [Allah] telah mengharamkan riba” (QS al-Baqarah [2]: 275)

 

Dan tidak ada nash yang mengkhususkannya maka itu tetap umum. Tidak dapat dikatakan bahwa riwayat,

 

«لاَ رِبًا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَهْلُ الْحَرْبِ فِي دَارِ الْحَرْبِ»

 

Tidak ada riba antara kaum Muslimin dan ahlul harbi di darul harbi,” mengkhususkannya karena riwayat itu lemah (dhaif) sebab itu mursal dari Makhul. Imam Syafi’i berkata di al-Umm bahwa riwayat itu tidak terkonfirmasi dan bukan hujjah, dan Ibnu Muflih bahwa riwayat itu majhul – jadi tidak bisa jadi dalil kebolehan riba, tidak pula itu mengkhususkan atau membatasi ayat di atas, maka ayat itu tetap umum. Oleh karena itu, investasi asing dilarang sebagaimana investasi ribawi dari rakyat (Muslim dan dzimmi) sebab itu riba sehingga dilarang.

 

Larangan pembangunan melalui dana asing itu karena menghantarkan kepada keharaman sesuai dengan kaidah: “Sarana (wasilah) yang menghantarkan pada keharaman, haram pula,” dan dugaan kuat (dzann) saja cukup untuk terlarangnya sarana itu, apalagi kalau pembangunan dari asing pasti menghasilkan keharaman. Itu ditetapkan dengan pemahaman atas fakta berdasarkan informasi yang valid bahwa penggunaan dana asing untuk pembangunan dalam negeri adalah metode perluasan pengaruh kaum kafir atas negeri, dan itu adalah haram.

 

Konsesi [asing] juga merupakan istilah Barat yang punya dua makna. Pertama, bahwa negara asing tertentu diberi hak-hak khusus dengan pertimbangan bahwa itu menjadi kewajiban Negara Islam untuk memberikannya, seperti konsesi yang Negara Islam berikan di abad 19 ketika kondisinya lemah; dan seperti konsesi yang dulu dimiliki Inggris dan Perancis di Mesir, semacam, orang asing diberlakukan hukum menurut hukum yang berlaku di negara asal mereka, bukannya hukum Islam; dan contoh bahwa Negara tidak punya kekuasaan atas orang asing.

 

Konsesi-konsesi itu, dengan pengertian ini, dilarang karena dua alasan; pertama: merampas kedaulatan dari Negara Islam, dan memberi negara-negara kafir kekuasaan atas wilayah-wilayah Islam, sesuatu yang secara pasti dilarang (haram qath’an); kedua: mencegah syariat Islam diterapkan atas non-Muslim di Negara Islam dan malah menggunakan hukum kufur, yang juga secara pasti terlarang. Oleh sebab itu, konsesi dalam arti yang telah disebutkan itu dilarang.

 

Untuk makna kedua dari konsesi, yaitu memberi izin untuk melakukan perbuatan yang mubah, dan siapa saja yang tidak mendapat izin dilarang melakukannya. Ini semua terlarang, baik diterapkan atas orang asing atau tidak, karena apapun yang mubah itu mubah bagi semua orang, maka membatasinya pada individu tertentu sementara melarangnya dari orang lain, berarti melarang sesuatu yang mubah atas masyarakat. Memang benar bahwa Negara bisa mengatur hal-hal mubah menurut cara-cara yang dapat menjadi kemaslahatannya seoptimal mungkin; namun menjadi tidak benar jika pengaturan itu mencegah siapapun dari suatu yang mubah.

 

Dengan demikian, konsesi menurut makna ini juga dilarang bagi orang asing dan bukan orang asing, dan disebutkan larangan memberi konsesi kepada asing sebab itu menghantarkan pada bahaya, karena memberinya kendali atas negeri, sebagaimana dalam kasus konsesi-konsesi minyak. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-economic-system/1034-dstr-ni-iqtsd-165

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Senin, 27 Desember 2021

Negara Islam Mencetak Mata Uang Khusus yang Independen Tidak Terikat Mata Uang Asing Manapun

 


Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 166 Rancangan UUD Islami

 

Pasal 166

 

Negara mencetak mata uang khusus yang independen, dan tidak boleh terikat dengan mata uang asing manapun.

 

Dalil bagian pertama dari pasal ini adalah dalil bahwa Imam punya wewenang untuk mengurus urusan-urusan rakyat. Sabda Nabi saw.:

 

«الإِمَامُ رَاعٍ»

 

Imam adalah pengurus rakyat (HR Al-Bukhari, dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

 

Dan mengatur perkara-perkara mubah termasuk dalam pengaturan urusan-urusan rakyat. Mencetak mata uang khusus untuk Negara adalah perkara mubah, jadi boleh Negara melakukannya, begitu pula boleh tidak melakukannya. Nabi saw. tidak menciptakan mata uang tertentu dengan karakteristik tertentu, maka di masa Beliau saw. Negara tidak punya mata uang emas dan perak sendiri, dan kondisi itu terus berlangsung selama masa Beliau dan masa Khulafaur Rasyidin sesudah Beliau, dan selama awal periode Khilafah Umayyah hingga masanya Abdul Malik bin Marwan yang memutuskan untuk menciptakan mata uang khusus dari emas dan perak, sehingga semua mata uang emas dan perak yang ada sebelumnya diubah menjadi mata uang cetakan khusus Negara Khilafah dengan berat yang sama tanpa perbedaan. Dia mencetak Dirham dari perak dan Dinar dari emas, dan sejak masa itu Dinar dan Dirham Islami dicetak, yang sebelumnya tidak dikenal. Jadi, menerbitkan mata uang dibolehkan, bukan wajib atas Negara, kecuali dalam rangka menjaga perekonomian negeri dari kegoncangan dan menjaganya dari para musuh membutuhkan dikeluarkannya mata uang emas dan perak sendiri, maka menerbitkan mata uang sendiri adalah wajib. Ini sesuai kaidah, “Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib adanya.”

 

Untuk bagian kedua dari pasal ini, dalil pelarangannya adalah bahwa mengikatkan mata uang Negara dengan mata uang asing akan membuat Negara mengikuti negara kufur sesuai mata uang mereka ke mana nilainya tertaut, sebagaimana skenario yang terjadi ketika Irak dahulu menautkan mata uangnya ke Sterling. Dan terlebih lagi, Negara akan berada di bawah belas kasihan negara kufur dalam hal keuangan. Kedua hal ini terlarang, dan kaidah syari’ah menyatakan bahwa, “Sarana (wasilah) yang menghantarkan pada keharaman, haram pula,” sehingga menautkan mata uang Negara Islam ke suatu negara kufur adalah terlarang. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-economic-system/1033-dstr-ni-iqtsd-166

 

Download BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Kamis, 23 Desember 2021

Mata Uang Negara Terdiri Dari Emas dan Perak

 


Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 167 Rancangan UUD Islami

 

Pasal 167

 

Mata uang Negara terdiri dari emas dan perak, baik cetakan maupun lantakan. Negara tidak dibolehkan memiliki mata uang selain itu. Negara dibolehkan mencetak mata uang dalam bentuk lain, sebagai pengganti emas dan perak dengan ketentuan terdapat dalam kas negara cadangan emas dan perak yang senilai. Negara dapat mengeluarkan mata uang dari tembaga, perunggu ataupun uang kertas dan sebagainya, yang dicetak atas nama Negara sebagai mata uang Negara yang memiliki nilai yang sama dengan emas dan perak.

 

 

Ketika Islam menetapkan hukum-hukum jual-beli dan sewa, tidak ditentukan apa yang harus ditukarkan dengan barang dan jasa atau manfaat. Manusia dibiarkan saling menukarkan apapun sesuai keridhaan mereka atas transaksi itu, sehingga hukumnya boleh menikahi perempuan dengan mengajarinya menjahit, dan membeli mobil dengan kompensasi bekerja di pabrik selama sebulan, dan boleh bekerja pada seseorang untuk sejumlah gula tertentu. Syari’ah menyerahkan soal pertukaran terbuka bagi manusia sehingga mereka bisa mendasarkan transaksi itu dengan apapun yang mereka inginkan, terbukti dari keumuman dalil-dalil perdagangan dan ijarah (sewa) seperti:

 

 ((وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْع))

 

Dan Allah telah menghalalkan jual-beli (QS al-Baqarah [2]: 275) – untuk apapun dan dengan apapun.

 

Dan riwayat:

 

«أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ»

 

Berilah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah)

 

Dengan kata lain, pegawai harus mendapatkan upahnya ketika telah menyelesaikan pekerjaannya, apapun bentuk upahnya.

 

Selain itu, hukum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang melarangnya, dan tidak ada dalil yang melarang penggunaan apapun untuk transaksi. Oleh karenanya, boleh menjalankan transaksi-transaksi syar’i dengan benda-benda itu, baik membeli atau menjual, memberikannya sebagai hadiah atau mentransaksikannya, dengan pengecualian apa-apa yang dilarang oleh nash untuk ditransaksikan. Berdasarkan hal ini, mentransaksikan barang untuk uang, dan uang untuk barang dibolehkan tanpa pembatasan, kecuali transaksi uang untuk uang, karena hal itu punya aturan-aturan khusus sehingga diatur dengan aturan-aturan itu. Begitu pula, mentransaksikan tenaga untuk uang, dan uang untuk tenaga, dibolehkan tanpa pembatasan kecuali barang atau jasa itu disebutkan terlarang dalam nash. Demikian juga, mempertukarkan barang untuk uang bentuk tertentu, dan juga mempertukarkan jasa atau tenaga untuk uang sejumlah unit tertentu, dibolehkan tanpa pembatasan, apapun unit uang itu.

 

Jadi, tanpa memandang apakah unit uang itu tidak di-backing (dijamin) apapun, seperti uang fiat; atau di-backing sejumlah emas tertentu, seperti uang kertas substitusi; atau unit uang itu di-backing emas dan perak sepenuhnya sesuai nilainya seperti uang representatif/ substitusi penuh, semua itu dinilai boleh digunakan bertransaksi. Dengan demikian, sah mentransaksikan barang atau jasa untuk sejumlah unit uang apapun dan Muslim dibolehkan menjual untuk mata uang apapun dan membeli dengan mata uang apapun dan menyewa dengan mata uang apapun dan disewa untuk mata uang apapun.

 

Meskipun begitu, Negara memiliki kepentingan untuk mengadopsi unit uang tertentu, sehingga Negara bisa menerapkan syari’at dalam hal keuangan, terkait harta kekayaan semacam hukum zakat, pertukaran (sharf), bunga (riba) dan lain-lain; dan hukum-hukum terkait individu yang memiliki harta seperti hukum diyat, nishab pencurian, dan sebagainya, maka Negara tidaklah bebas memilih suatu unit moneter tertentu untuk digunakan, akan tetapi dibatasi untuk menggunakan jenis uang spesifik, bukan lainnya. Syari’ah menentukan unit moneternya, dari jenis tertentu yang disebutkan nash, yaitu emas dan perak. Jadi, jika Negara menerbitkan sebuah mata uang, dibatasi hanya uang emas dan perak dan bukan lainnya. Syari’ah tidak membebaskan Negara untuk mengeluarkan uang apapun yang diinginkan, dari jenis apapun yang dikehendaki, akan tetapi dengan unit moneter spesifik; yaitu emas dan perak saja.

 

Dalil untuk hal ini adalah bahwa Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang tetap, dan tanpa ada perubahan. Jadi, ketika diyat ditentukan, itu ditentukan dalam jumlah emas tertentu; dan ketika memotong tangan pencuri diwajibkan, nishab pencuriannya ditentukan dalam emas. Rasul saw. bersabda dalam surat Beliau kepada penduduk Yaman:

 

«وَأَنَّ فِي النَّفْسِ المُؤْمِنَةِ مِاْئَةٍ مِنَ الإِبِلِ، وَعَلَى أَهْلِ الْوَرَقِ أَلْفُ دِينَارٍ»

 

Dan bahwa dalam satu jiwa mukmin seratus ekor onta dan atas pemilik dinar sebesar seribu dinar (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, dari ‘Amru bin Hazm, dari surat Rasulullah saw. kepada penduduk Yaman).

 

Dan dalam riwayat an-Nasa’i dari surat Rasulullah saw. kepada penduduk Yaman: “Dan terhadap pemilik emas (diyatnya) sebesar seribu dinar.” Dalam hadits ini, kata ahli adz-dzahabi menggantikan ahli al-wariqi.

 

Dan Beliau saw. bersabda:

 

«لا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا»

 

Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam (pencurian) seperempat dinar atau lebih” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

 

Penentuan untuk hukum-hukum tertentu dengan dinar, dirham dan mitsqal, menjadikan dinar dengan berat emasnya, dan dirham dengan berat peraknya sebagai satuan/unit moneter yang kepadanya distandarisasi nilai sesuatu dan tenaga. Maka satuan moneter ini adalah mata uang, dan itu merupakan basis mata uang. Jadi keberadaan syara’ yang telah mengaitkan hukum-hukum syara’ dengan emas dan perak secara nash (teks) ketika hukum-hukum ini berkaitan dengan mata uang, merupakan dalil bahwa mata uang itu tidak lain adalah emas dan perak dan bukan yang lainnya.

 

Dan juga bahwa Allah SWT ketika mewajibkan zakat uang, Allah SWT mewajibkannya dalam emas dan perak, bukan lainnya. Dan Allah SWT menetapkan untuknya nishab berupa emas dan perak. Maka patokan zakat uang dengan emas dan perak menentukan bahwa mata uang adalah emas dan perak. Dan juga, hukum-hukum sharf yang datang dalam transaksi mata uang saja, tidak lain datang dengan emas dan perak saja. Dan semua transaksi finansial yang dinyatakan di dalam Islam tidak lain datang atas emas dan perak. Sharf adalah jual-beli mata uang dengan mata uang, baik jual-beli mata uang dengan mata uang lainnya atau jual-beli mata uang dengan mata uang yang sama. Dengan ungkapan lainnya, sharf adalah jual-beli uang dengan uang. Jadi penentuan syara’ untuk sharf, yang merupakan transaksi moneter semata, dengan emas dan perak saja tanpa lainnya, merupakan dalil yang gamblang bahwa mata uang wajib berupa emas dan perak, bukan yang lain. Rasulullah saw. bersabda:

 

«وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْتُمْ»

 

Juallah emas dengan perak dan perak dengan emas sesuka kalian…” (HR al-Bukhari, dari Abu Bakrah).

 

Imam Muslim telah mengeluarkan semisalnya dari jalur Ubadah bin ash-Shamit. Rasulullah saw. bersabda:

 

«الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِباً إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ»

 

Emas dengan dinar riba kecuali serah terima kontan” (Muttafaq ‘alayh, dari Umar).

 

Lebih dari itu, Rasul saw. telah menentukan emas dan perak sebagai mata uang dan Beliau menjadikan keduanya saja sebagai standar moneter yang menjadi pengukur nilai barang dan jasa. Dan transaksi pun berlangsung berdasarkan keduanya. Rasul saw. menjadikan standar untuk mata uang ini adalah al-awqiyah, dirhâm, dâniq, al-qîrâth, al-mitsqâl dan dînâr. Semua ini dikenal dan terkenal pada zaman Nabi saw. dan digunakan masyarakat untuk bertransaksi. Dan sudah terbukti bahwa Rasul saw. menyetujuinya. Semua jual-beli dan pernikahan terjadi dengan emas dan perak, sebagaimana terbukti di dalam hadits-hadits shahih. Jadi, Rasul saw. menjadikan mata uang emas dan perak, dan kenyataan syara’ telah mengaitkan sebagian hukum syara’ dengan emas dan perak saja dan menjadikan zakat uang terbatas dengan keduanya, dan membatasi sharf dan transaksi keuangan dengan keduanya. Semua fakta itu merupakan dalil yang jelas bahwa mata uang Islam tidak lain adalah emas dan perak, bukan yang lainnya.

 

Perlu dicapai kejelasan mengenai fakta bahwa syara’ menentukan mata uang yang diterbitkan oleh Negara adalah unit moneter dari emas dan perak, bukanlah berarti bahwa Negara membatasi transaksi antar orang di wilayahnya harus dengan mata uang ini, melainkan hukum-hukum syara’ tertentu yang oleh syari’ah telah ditentukan unit-unit mata uang yang digunakan tidak bisa dijalankan kecuali sesuai dengan mata uang itu. Sementara, untuk transaksi umumnya, tetap dibolehkan sebagaimana ditunjukkan oleh syari’at. Tidak boleh Negara membatasinya dengan mata uangnya atau yang lainnya, karena pembatasan ini sama dengan melarang sesuatu yang mubah. Akan tetapi, jika Negara menilai bahwa membolehkan mata uang lain di wilayah kekuasaannya akan dapat merusak mata uangnya, keuangan atau perekonomiannya, dengan kata lain, akan dapat menghantarkan pada bahaya, maka boleh mencegahnya, sesuai dengan kaidah: “Sarana (wasilah) yang menghantarkan pada keharaman, hukumnya haram pula.” Demikian juga, jika Negara menilai bahwa mata uang tertentu dapat menghantarkan kepada bahaya, maka Negara dapat melarang khusus mata uang itu saja, sesuai kaidah: Sesuatu yang mubah, jika bagian dari bagian-bagiannya menyebabkan bahaya (dharar), maka bagian itu saja yang haram, sementara sesuatu itu tetap mubah.” Hal ini juga berlaku dalam hal mengekspor mata uang Negara, mengimpor dan mengekspor mata uang asing, sebagaimana berlaku atas transaksi di dalam Negara. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-economic-system/1032-dstr-ni-iqtsd-167

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Rabu, 22 Desember 2021

Penukaran Mata Uang Negara Islam dengan Mata Uang Asing Dibolehkan

 


Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 168 Rancangan UUD Islami

 

Pasal 168

 

Penukaran mata uang negara dengan mata uang asing dibolehkan seperti halnya penukaran antara berbagai jenis mata uang negara. Dibolehkan adanya selisih nilai tukar dari dua jenis mata uang yang berbeda dengan syarat transaksinya harus tunai dan tidak boleh ditangguhkan. Dibolehkan adanya perubahan nilai tukar tanpa ada batasan tertentu jika dua jenis mata uang itu berbeda. Setiap individu rakyat bebas membeli mata uang yang diinginkan, baik di dalam ataupun di luar negeri tanpa diperlukan izin.

 

Dalilnya adalah sabda Nabi saw.:

 

«وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْتُمْ»

 

Juallah emas dengan perak dan perak dengan emas sesuka kalian” (HR al-Bukhari, dari Abu Bakrah).

 

Dari Malik bin Aus Al-Hadatsan, dia mengatakan: "Aku pernah mencari-cari sambil bertanya: “Siapa yang mau menukar dirham-dirham [dengan emasku]?” Kemudian Thalhah bin Ubaidillah –dia sedang berada di dekat Umar bin Khaththab– berkata: “Tunjukkan emasmu kepada kami, lalu bawalah kepada kami. Ketika pelayan kami datang, kami akan memberimu uang [perak].” Lalu Umar bin al-Khaththab berkata: “Tidak. Demi Allah, engkau harus memberikan uangnya kepadanya, atau engkau kembalikan emasnya kepadanya. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda:

 

«الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ»

 

"(Pertukaran) uang perak dengan emas adalah riba, kecuali begini dan begini (serah terima kontan secara langsung di tempat)...” (HR Muslim)

 

Diriwayatkan bahwa Zaid bin Arqam dan Al-Bara` bin Azib dua orang yang saling berserikat. Kemudian mereka berdua membeli perak baik secara kontan maupun nasi`ah (pembayarannya ditangguhkan hingga waktu tertentu). Ketika hal itu sampai kepada Nabi saw., maka beliau memerintahkan keduanya:

 

«أَنَّ مَا كَانَ بِنَقْدٍ فَأَجِيزُوهُ، وَمَا كَانَ بِنَسِيئَةٍ فَرُدُّوهُ»

 

Bahwa yang dibayar secara kontan, maka boleh, sedangkan yang secara nasi`ah (ditangguhkan), kembalikanlah.” (HR Ahmad, dari Abu Minhal)

 

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Abu Muslim yang berkata: “Aku bertanya kepada Abu Minhal tentang ash-sharf (pertukaran uang) dari tangan ke tangan (kontan). Dia berkata: “Aku dan serikatku membeli sesuatu secara kontan dan juga nasi’ah (kredit).” Al-Bara’ bin Azib lewat di hadapan kami dan kami menanyakan kepadanya. Dia menjawab: “Aku dan serikatku Zaid bin al-Arqam melakukan hal yang sama dan pergi kepada Nabi dan menanyakanya. Beliau bersabda:

 

«أَنَّ مَا كَانَ بِنَقْدٍ فَأَجِيزُوهُ، وَمَا كَانَ بِنَسِيئَةٍ فَرُدُّوهُ»

 

Yang dibayar secara kontan, maka boleh, sedangkan yang secara nasi`ah (ditangguhkan), kembalikanlah.”

 

Berarti mereka adalah para pedagang mata uang.

 

Riwayat-riwayat tersebut adalah dalil bagi kebolehan pertukaran mata uang, dan ini bisa terjadi dalam transaksi domestik dan transaksi asing. Mata uang emas dapat ditukar dengan perak dan sebaliknya. Begitu pula mata uang asing dapat ditukar dengan uang lokal, baik itu dilakukan di dalam negeri ataupun di luar negeri, dan ketika dua mata uang yang berbeda dipertukarkan terdapat perbedaan di antara keduanya yang disebut nilai tukar/ kurs. Kurs dipandang sebagai proporsi antara berat emas murni di dalam mata uang suatu negara dan berat emas murni di dalam mata uang negara lain. Oleh sebab itu, kurs akan berubah menurut perubahan dalam proporsi ini dan menurut perubahan harga emas di negara-negara.

 

Hukum pertukaran antara perak dan emas berlaku untuk uang kertas kontemporer sebab ‘illat-nya –yaitu uang (sebagai alat tukar) dan nilai– ada di dalamnya, karena hukum negara yang mengikat transaksi moneter dengannya. Riwayat-riwayat mengenai kurs itu berkaitan dengan emas dan perak cetakan sebagai isim jenis, yang tidak ada mafhum yang diturunkan darinya dan tidak pula ada analogi (qiyas) untuknya. Dan begitu pula riwayat-riwayat mengenai koin Dinar dan Dirham. ‘Illat uang dapat diturunkan dari dalil-dalil tersebut karena kegunaannya sebagai harga-harga dan upah, sehingga analogi (qiyas) dapat dibuat darinya.

 

Jadi, dalam riwayat Malik bin Aus yang disebutkan sebelumnya, dia biasa menukar Dirham, dan Dirham adalah kata yang dipahami sebagai uang. Dengan demikian, apapun yang berlaku dalam hal kebolehan dan larangan pertukaran antara emas dan perak berlaku pula dalam pertukaran antar mata uang fiat yang adanya uang fiat itu berasal dari hukum negara-negara kontemporer. Pertukaran antar satu jenis mata uang harus dilakukan di tempat dan dalam jumlah yang sama, sementara pertukaran antar dua jenis mata uang berbeda harus dilakukan di tempat, tetapi harga antara keduanya diserahkan kepada kesepakatan penjual dan pembeli.

 

Hukum syari’ah atas nilai tukar/ kurs adalah boleh, dan tidak dibatasi oleh apapun, sebab pertukaran mata uang dibolehkan, maka harga pertukaran (nilai tukar) dibolehkan. Sehingga, siapapun bisa membeli suatu mata uang yang dia inginkan menurut harga yang dia maui, dan semua itu tercakup dalam kemubahan pertukaran. Inilah dalil pasal ini tentang kebolehan pertukaran mata uang, dan kebolehan harganya untuk berfluktuasi. []

 

Daftar Bacaan:

An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-economic-system/1031-dstr-ni-iqtsd-168

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam