Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 30 April 2021

Fungsi Qur’an Tafsir Mengenai Fungsi Al-Qur’an




NUZULUL QUR'AN

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dengan yang bathil)..” [al-Baqarah:185]

Frasa awal ayat ini menjelaskan bahwa, al-Quran al-Karim telah diturunkan Allah Swt. di bulan Ramadhan pada Lailatul Qadar. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas.

     Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” [al-Dukhaan [44]:3]

     “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan (lailatul qadar].” [al-Qadr [97]:1]

Ali Al-Shabuniy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “lail mubaarakah” (malam yang diberkahi) adalah malam yang sangat agung dan mulia, yaitu Lailatul Qadar di bulan yang penuh berkah (bulan Ramadhan) [Ali Al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz III, hal.170.].

Ibnu Jaziy menyatakan, ”…al-Quran telah diturunkan pada Lailatul Qadar [ibid, hal. 170].”

Imam Qurthubiy berkata, …”Lailatul Qadar disebut sebagai malam yang penuh keberkahan, sebab, pada malam itu Allah Swt. menurunkan kepada hamba-Nya al-Quran al-Karim yang di dalamnya berisi keberkahan, kebaikan dan pahala..” [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 16, hal.126.]

Imam Ibnu Katsir menyatakan, ”Allah Swt. telah memuliakan bulan Ramadhan di antara bulan-bulan yang lain. Ini bisa dimengerti karena bulan Ramadhan telah dipilih Allah Swt. untuk menurunkan al-Qur'an al-Adzim. [Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Ibnu Katsiir: al-Baqarah [2]: 185]]

Dalam riwayat-riwayat dituturkan  bahwa Ramadhan adalah bulan di mana Allah Swt. menurunkan kitab-kitabNya kepada para Nabi.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu al-Asqa’ bahwa Rasulullah Saw. berkata, “Shuhuf Ibraahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Sedangkan Taurat diturunkan pada malam keenam bulan Ramadhan; Injil diturunkan pada malam ketiga belas, dan al-Qur'an diturunkan pada malam keempat belas bulan Ramadhan.” [HR. Imam Ahmad]

     Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah disebutkan, ”Sesungguhnya Zabur diturunkan pada malam kedua belas di bulan Ramadhan. Sedangkan Injil diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan.” [HR. Ibnu Mardawaih]

     Yang dimaksud dengan al-Quran di sini adalah al-Quran yang diturunkan secara lengkap dari Lauh Mahfudz ke langit dunia (Baitul ‘Izzah). Setelah  itu, al-Qur'an diturunkan dari langit bumi kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur. [Lihat Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, dan Tafsir Jalalain.]

Al-Hafidz Suyuthi mengatakan, “Berkaitan dengan firman Allah Swt. surat al-Baqarah : 185 dan al-Dukhaan :4, ada tiga pendapat berbeda mengenai cara diturunkannya al-Quran dari Lauh al-Mahfudz. Pendapat pertama –dan ini adalah pendapat yang paling shahih— menyatakan bahwa al-Quran diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia secara lengkap. Peristiwa ini terjadi pada malam Lailatul Qadar (bulan Ramadhan). Setelah itu, al-Quran diturunkan dari langit dunia kepada umat manusia secara berangsur-angsur selama 20 tahun, 23 tahun, atau 25 tahun sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. setelah beliau diutus oleh Allah Swt…..” [al-Hafidz al-Suyuthi, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal 39.  Al-Hafidz al-Suyuthi mengetengahkan hadits-hadits yang mendukung pendapat ini, yakni hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Baihaqiy, al-Nasaaiy dan lain-lain dari jalur Manshuur, dari Sa’id bin Jabir, dari Ibnu ‘Abbas.  Dalam tafsir Jalalain disebutkan bahwa, al-Quran telah diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia (baitul ‘Izzah) pada Lailatul Qadar di bulan Ramadlan.]

      Ayat ini juga menjelaskan fungsi al-Quran sebagai hudaan li al-naas (petunjuk bagi manusia), bayyinaat min al-huda (penjelas), dan al-furqan (pemisah atau pembeda).

     Imam Qurthubiy mengatakan, “Tafsir dari firman Allah Swt., “hudaan li al-naas wa bayyinaat min al-hudaa wa al-furqaan” adalah sebagai berikut. “Hudaa” dibaca nashab karena ia berkedudukan sebagai haal dari al-Quraan. Susunan kalimat semacam ini bermakna, ”haadiyan lahum” [petunjuk kepada mereka]. Sedangkan “wa bayyinaat” berkedudukan sebagai “‘athaf ‘alaih”. Arti ‘al-hudaa” sendiri adalah “al-irsyaad wa al-bayaan” [petunjuk dan penjelasan]. Maknanya adalah, al-Quran dengan keseluruhannya, baik ayat-ayat muhkaam, mutasyaabihaat, nasikh dan mansukh jika dikaji dan diteliti secara mendalam akan menghasilkan hukum halal dan haram, nasehat-nasehat serta hukum-hukum yang penuh hikmah”.   Adapun “al-furqaan” bermakna “maa farraqa bain al-haq wa al-baathil[semua hal yang bisa memisahkan antara yang haq dengan yang bathil]. [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, surat al-baqarah:185.]

     Imam Thabariy menjelaskan bahwa ‘hudan li al-naas”  bermakna “rasyaadan li al-naas ilaa sabiil al-haq wa qashd al-manhaj” [petunjuk kepada umat manusia menuju jalan kebenaran dan metode yang lurus]. Adapun makna dari “bayyinaat min al-hudaa” adalah “waadlihaat min al-hudaa” [petunjuk-petunjuk yang sangat jelas]; artinya bagian dari petunjuk yang menjelaskan tentang hudud Allah, faraaidhNya, serta halal dan haramNya. Sedangkan al-furqan berarti “al-fashl bain al-haq wa al-baathil” [pemisah antara kebenaran dan kebathilan]. Makna ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan dari al-Suddiy,

Maksud dari firman Allah Swt., “wa bayyinaat min al-hudaa wa al-furqaan” adalah “bayyinaat min al-halaal wa al-haraam” [penjelasan yang menjelaskan halal dan haram]. [Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, surat al-Baqarah : 185.]

Al-Hafidz al-Suyuthi dalam tafsir Jalalain menjelaskan bahwa “al-hudaa” bermakna “petunjuk yang dapat menghindarkan seseorang dari kesesatan”. Sedangkan “bayyinaat min al-hudaa” bermakna, “ayat-ayat yang sangat jelas serta hukum-hukum yang menunjukkan seseorang kepada jalan yang benar’. Al-Furqaan sendiri bermakna “pemisah antara kebenaran dan kebathilan”. [Al-Hafidz al-Suyuthiy, Tafsir Jalalain, surat al-baqarah:185.]

Menukil pendapat Ibnu ‘Abbas, Fairuz Abadiy menyatakan,”Yang dimaksud dengan firman Allah Swt. “hudaan li al-naas” adalah al-Quran itu berfungsi memberi petunjuk kepada manusia dari kesesatan. Sedangkan frasawa bayyinaat min al-hudaabermakna perkara-perkara agama yang sangat jelas dan tidak samar.”  Adapun frasa “al-furqan” berarti halal dan haram, hukum-hukum dan hudud, serta semua hal yang menghindarkan seseorang dari syubhat (kesamaran).” [Fairuz Abadiy, Tanwiir al-Maqbaas min Tafsiir Ibn ‘Abbas’, hal.20]

     Ayat di atas telah menggambarkan betapa Allah Swt. telah memulyakan dan mengagungkan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan yang lain. Sebab, di bulan itu Allah Swt. menurunkan al-Quran yang berisikan petunjuk, penjelasan serta pemisah antara yang haq dan bathil. Tidak hanya itu saja, al-Quran adalah sumber segala sumber hukum bagi kaum muslim yang tidak boleh diingkari dan diacuhkan. Dalam masalah ini Imam Ibnu Taimiyyah berkata:

Barangsiapa tidak mau membaca al-Quran berarti ia mengacuhkannya dan barangsiapa membaca al-Quran namun tidak menghayati maknanya, maka berarti ia juga mengacuhkannya. Barangsiapa yang membaca al-Quran dan telah menghayati maknanya akan tetapi ia tidak mau mengamalkan isinya, maka ia pun berarti mengacuhkannya”.

Selanjutnya Imam Ibnu Taimiyyah menyitir sebuah ayat:

     Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku! Sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini suatu yang diacuhkan.” [al-Furqan:30]
[Ali Al-Shabuniy, al-Tibyaan fi ‘Uluum al-Quran]

Bunga Rampai Pemikiran Islam

Rabu, 21 April 2021

Pendapat Rajih Tentang Penetapan Awal Akhir Ramadhan





PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM

Menepis Beberapa Keraguan

    Ketika kita mendengar informasi ru’yat, tidak jarang di antara kaum muslim menolak berita tersebut dengan alasan: secara astronomi bulan tidak mungkin wujud atau muncul di daerah tersebut. Atas dasar itu, mereka menyatakan bahwa hasil ru’yat semacam itu  wajib ditolak oleh kaum muslim. Sebab, secara astronomi bulan belum mungkin terlihat atau wujud di daerah tersebut.

    Pendapat semacam ini harus ditolak, bahkan telah bertentangan dengan nash-nash syara’.

Pertama, metode syar’iy untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat (observasi mata secara langsung), bukan hisab. Di sisi lain, syara’ telah menetapkan bahwa kesaksian dalam masalah ru’yatul hilal cukup dilakukan oleh seorang yang adil. Ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut ini;

“Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ada seorang Arab mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata: ‘Aku telah melihat bulan (hilal), yakni bulan Ramadhan’. Kemudian Rasulullah Saw. bertanya: ‘Apakah engkau telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘’Benar’. Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Benar’. Rasulullah Saw. bersabda: ‘Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan azan, dan beritahukanlah agar mereka (kaum Muslim) puasa besok.”

Untuk itu, penetapan awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan  kesaksian seorang saksi yang adil. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun di atas dzan (keraguan) [Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah, 1986, (terj), hal.48, PT.al-Ma’arif, Bandung]. Sebab, Rasulullah Saw. telah bersabda kepada para saksi:

"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah". [Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit]

Berdasarkan hadits-hadits di atas kita bisa menyimpulkan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan bukti-bukti syar’iy. Allah S wt. tidak memerintahkan kita untuk mengawali dan mengakhiri Ramadhan dengan bukti-bukti astronomis. Untuk itu, hasil pantauan bulan yang didasarkan pada hisab tidak boleh dijadikan sebagai bukti untuk memberikan kesaksian. Sebab, ahli hisab tidak menyandarkan kesaksiannya pada sesuatu yang bersifat pasti, atau melakukan observasi secara langsung (melihat). Untuk itu, mereka tidak boleh memberikan kesaksiannya tentang rukyatul hilal. Hanya orang yang menyaksikan secara langsung saja yang boleh memberikan kesaksiannya. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.,

Jika kalian melihatnya  seperti melihat matahari, maka bersaksilah, jika tidak tinggalkanlah.”

Pada dasarnya ahli hisab tidak menyaksikan bulan secara langsung. Ia hanya menyandarkan pada perhitungan-perhitungan yang bersifat dzanniyyah. Sebab, meskipun mereka mengklaim perhitungan hisabnya memiliki akurasi yang tinggi, akan tetapi tetap saja tidak menyakinkan (absolut). Lebih-lebih lagi ilmu hisab tidak bisa memprediksi cuaca yang ada di daerah itu.  Untuk itu, ia tidak bisa memastikan bahwa bulan bisa terlihat atau tidak, bila dikaitkan dengan cuaca.

Kesaksian orang yang melihat hilal tidak bisa digugurkan oleh perhitungan ahli hisab. Kesaksian seseorang akan gugur, jika syarat-syarat kesaksian tidak terpenuhi. Misalnya, yang bersaksi tidak adil dan terkenal ketidakjujurannya. Dalam kondisi semacam ini, kesaksiannya bisa gugur.

Walhasil, kesaksian rukyat yang dibawa oleh seorang yang adil tidak bisa digugurkan dengan perhitungan ahli hisab.

Kedua, Rasulullah S aw. sendiri tidak meminta kita untuk memastikan apakah bulan sudah wujud atau tidak pada saat itu –berdasarkan perhitungan astronomi. Rasulullah Saw. hanya memerintahkan kaum muslim untuk rukyatul hilal (memantau bulan). Rasulullah Saw. bersabda:

"Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari". (HR. An-Nasa’i)

    Hadits ini dengan sangat jelas memberikan pengertian, bahwa walaupun bulan sudah wujud –memenuhi parameter-parameter astronomi-, akan tetapi jika terhalang mendung, maka kita harus menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Seandainya hisab bisa dijadikan bayyinah (bukti), tentunya faktor mendung yang menghalangi tidak lagi relevan. Sebab, sesungguhnya bulan sudah wujud dan mungkin untuk dilihat pada saat itu –berdasarkan prinsip astronomi. Akan tetapi karena bulan tersebut terhalang mendung, maka puasa tetap tidak boleh dilakukan.

Ini menunjukkan bahwa, sekiranya perhitungan astronomi sudah menetapkan bahwa bulan telah wujud dan mungkin dilihat di suatu daerah, tidak secara otomatis, saat itu juga kaum muslim harus sudah memulai melakukan ibadah puasa. Sebab, bisa saja daerah tersebut tertutup mendung tebal yang menghalangi proses rukyat. Meskipun secara astronomi bulan sudah terlihat, namun tidak secara otomatis kaum muslim harus memulai bulan Ramadhan pada hari itu juga. Sebab, bisa jadi penglihatannya terhalang oleh mendung. Ketika di daerah itu terhalang mendung, maka kaum muslim tetap harus menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari. (Kaum Muslim harus berusaha melakukan ru'yat di daerah-daerah lain yang memungkinkan sehingga bisa dipastikan dan bisa serentak seluruh dunia mengawali maupun mengakhiri Ramadhan)

    Ini semakin menguatkan, bahwa hisab tidak bisa membatalkan rukyat. Rukyat hanya akan gugur, jika kesaksiannya dilakukan oleh orang-orang yang tidak adil.

KHATIMAH

    Pendapat yang rajih dan lebih dekat kepada al-Qur'an dan Sunnah mengenai penetapan awal dan akhir Romadhon adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh kaum muslimin di dunia (mathla’ universal).

    Namun demikian, perbedaan pendapat ini tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas, sebelum ada pihak yang berfungsi sebagai badan itsbat bagi seluruh kaum muslimin. Badan itsbat itulah yang akan berfungsi sebagai penengah perbedaan pendapat di kalangan kaum muslim. Badan yang berhak menetapkan masalah ini adalah pemimpin seluruh kaum muslim. Atas dasar itu, adanya pemimpin seluruh kaum muslimin yang berfungsi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara mereka menjadi sangat mendesak. Bahkan institusi inilah yang dapat menyatukan seluruh kaum muslimin, dan meniadakan perselisihan di antara umat Islam [dalam urusan publik].

    Bila kita melihat sejarah umat Islam, kita akan berkesimpulan bahwa institusi Islamiy yang bisa menuntaskan perbedaan yang terjadi di antara kaum muslimin adalah Khilafah Islamiyyah. Kaedah ushul menyatakan, “Perintah Imam (pemimpin) menghilangkan khilafiyah (pertentangan)”. Wallahu ‘Alam bi al-Shawab

Bacaan: Bunga Rampai Pemikiran Islam

Senin, 19 April 2021

Penetapan Awal Akhir Ramadhan yang Tepat





PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM

HISAB DAN RU’YAT

    Puasa Ramadhan termasuk aktivitas ibadah yang metode  atau tatacaranya telah ditetapkan oleh Allah Swt. Dengan kata lain ia adalah ibadah yang bersifat tauqifiy (ditentukan apa adanya oleh Allah). Manusia tidak boleh menetapkan sendiri metode maupun tata cara untuk beribadah kepada Allah; termasuk di dalamnya menentukan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal. Untuk itu, syara’ telah menentukan cara menetapkan awal dan akhir Ramadhan.

Lalu, metode dan tata cara mana yang paling dekat dengan kebenaran al-Quran dan Sunnah dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan? Hisab atau ru’yat? Mathla’ universal, atau mathla’ lokal?

    Bila kita meneliti argumentasi hisab dan ru’yat, kita akan berkesimpulan, bahwa ru’yat adalah pendapat yang paling rajih.

Pertama, penganut hisab membangun argumentasi mereka dengan keumuman ayat-ayat al-Qur'an, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.” (QS 10:5). Masih banyak lagi ayat yang mempunyai pengertian senada.

Ayat ini dan ayat-ayat yang senada pengertiannya, tidak menunjukkan sama sekali perintah untuk memulai puasa Ramadhan dengan hisab. Ayat itu hanya berhubungan dengan kegunaan diciptakannya matahari, bulan, dan manzilah-manzilahnya (kedudukan), yakni untuk mengetahui bilangan tahun, dan waktu. Namun penganut hisab menyatakan bahwa puasa Ramadhan bisa ditetapkan dengan memperhatikan perjalanan bulan berdasar mafhum ayat ini. Mereka menyatakan bahwa, diciptakannya matahari dan bulan agar kita mengetahui bilangan tahun dan bulan. Atas dasar itu, kita juga bisa menentukan kapan mulai masuk bulan Ramadhan dengan cara perhitungan (hisab).

Pendapat ini lemah karena, pertama, ayat ini umum dan berlaku kaidah ‘umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Pada kasus penentuan awal Ramadhan, ada nash sharih yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan harus berdasarkan ru’yat bukan dengan hisab. Riwayat ini merupakan pentakhshish keumuman ayat-ayat di atas. Rasulullah Saw. bersabda,

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari Muslim).

"Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah." (HR. Muslim).

Atas dasar itu, keumuman surat 10:5 dikususkan oleh hadits riwayat Bukhari dan Muslim tersebut. Padahal, kaedah ushul fiqh menyatakan, “wajib membawa umum menuju khusus bila ditemukan dalil yang lebih khusus”. Untuk itu mengamalkan dalil yang lebih khusus adalah kewajiban dan lebih utama.

Kedua, penganut hisab menetapkan keabsahan hisab bersandar kepada mafhum surat 10:5. Padahal ada nash sharih yang menjelaskan tentang ru’yat. Dalam kondisi seperti ini – mafhum bertemu dengan nash sharih -, menurut ‘ulama ushul, mafhum harus dikalahkan bila ada nash sharih yang menentangnya. Walhasil, mafhum bolehnya hisab yang diambil dari surat 10:5 harus ditinggalkan dan harus mengikuti hadits sharih riwayat Bukhari dan Muslim di atas.

    Kedua, penganut hisab juga menyandarkan pendapatnya pada hadits riwayat Imam Bukhari, “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” Berdasar hadits ini mereka menyatakan bahwa ‘illat (sebab tasyri’) dilakukan ru’yat adalah karena saat itu kaum muslimin tidak mengetahui ilmu hisab. Jika mereka telah mengetahui hisab tentunya hisab diperbolehkan untuk mengganti ru’yat. Pendapat inipun sebenarnya sangat lemah.

Pertama, hadits ini berbentuk akhbariyyah, yakni hanya menceritakan kondisi kaum muslimin pada saat itu. Ditinjau dari arah manapun, ummi bukanlah ‘illah (sebab tasyri’) ru’yat. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa bila mereka tidak ummi lagi, mereka boleh menetapkan Ramadhan dengan hisab. Atas dasar itu, hadits ini tidak menunjukkan perintah kepada kaum muslimin untuk melakukan hisab, akan tetapi hanya pemberitahuan mengenai kondisi kaum muslim pada saat itu.

Kedua,  kebolehan hisab yang digali dari hadits ini didasarkan pada mafhum hadits ini. Padahal mafhum bila bertentangan dengan nash yang sharih, “Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah." (HR. Muslim), maka mafhum harus dikalahkan. Mafhum kebolehan hisab tentu akan bertentangan dengan makna sharih yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang berbicara tentang rukyat.

    Ketiga, penganut hisab juga menyandarkan pendapat mereka dengan hadits riwayat Imam Muslim,"Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah." (HR. Muslim),

Mereka menyatakan bahwa “perkirakanlah” di sini artinya hitunglah, yakni bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab. Pendapat ini pun juga lemah. Sebab, untuk menafsirkan kata “perkirakanlah”, maka kita harus melihat konteks hadits tersebut secara utuh, dan membandingkan dengan nash-nash hadits lainnya. Jika kita perhatikan nash-nash hadits lain dapat disimpulkan bahwa “faqduruulahu” (perkirakan), artinya adalah “sempurnakanlah bilangan bulannya.” Sebagaimana riwayat menyebutkan, "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari Muslim).

"Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari". (HR. An Nasa’i) .

Lebih jelas lagi bila kita membaca hadits riwayat Muslim,

“Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbuka puasalah karena melihat bulan, jika mendung, maka perkirakanlah (faqdurulah) (bulan Sya’ban) 30 hari.”

Dengan demikian, penafsiran yang tepat terhadap kata faqdurulahu adalah sempurnakan (faakmiluu) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, dan bukan menunjukkan bolehnya hisab. Dengan kata lain, jika kalian telah merukyat dan terhalang mendung maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Selain itu, seandainya makna “faqdurulah” adalah hisab, tentunya Rasulullah Saw. tidak akan menyatakan kalimat, ”Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi ada mendung atau tidak.

    Keempat, penganut hisab juga menyatakan bahwa kata liru’yatihi” (melihatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata “ra’a”, dapat diartikan berpikir. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra’a, bisa diartikan dengan memikirkan, atau bisa diartikan bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab. Pendapat ini juga lemah. Bila kita perhatikan keseluruhan nash hadits sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab.

"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari Muslim).

"Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari". (HR. An Nasa’i).

Pada hadits itu juga ada kata, jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”.  Lafadz ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru’yat dalam nash tersebut berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. Sebab bila lafadz ra’a diartikan dengan hisab, maka apakah mendung (awan) bisa mengganggu perhitungan? Penafsiran itu juga akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw., “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” (HR. Bukhari). Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah Saw. tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir “liru’yatihi” adalah menghitung (bukan melihat dengan mata telanjang)? sedangkan Rasulullah Saw. tidak (bisa) melakukan hisab? Bukankah hadits di atas juga ucapan Rasul, dan terjadi pada masa Rasulullah? Dengan hak apa kita menafsirkan ucapan Rasulullah (ra’a) dengan hisab?

Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam