Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 30 Desember 2020

Sudahlah… Demokrasi Dan HAM Memang Bukan Untuk Kita!


demokrasi omong kosong

Kembali pengusung demokrasi dan HAM menampakkan standar ganda yang nyata terhadap umat Islam. Pertama, perbedaan sikap Barat terhadap bom Ankara, Lahore dan Brussel. Termasuk sikap menyakitkan Barat yang mendukung penuh zionis Israel yang secara sistematis hampir setiap hari membunuh umat Islam. Kita pun jangan lupa, bagaimana Barat melakukan pembiaran terhadap Bashar Assad yang bertindak brutal dalam konflik Suriah yang telah menelan 400 ribu jiwa manusia. Barat pun secara terbuka mendukung rezim kudeta Jenderal Sisi di Mesir yang nyata-nyata telah bersikap represif terhadap lawan politiknya.

Kedua, sikap standar ganda pendukung demokrasi yang peraih nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi. Sosok pejuang demokrasi yang dikenal penyabar, berjuang dengan damai ini, kehilangan kesabarannya usai diwawancara presenter BBC Today, Mishal Husain. Sambil menggerutu, dia mengeluh tidak diberitahu akan diwawancara seorang Muslim.

Sikap diamnya selama ini terhadap nasib menyedihkan umat Islam minoritas Rohingya pun dipertanyakan berbagai pihak. Padahal di depan matanya, sangat jelas, lebih dari 140 ribu Muslim Rohingya hidup sengsara di kamp-kamp pengungsi. Belum lagi yang dibunuh, rumahnya dibakar, dan yang tenggelam di lautan ganas dalam pelarian menjadi pengungsi.

Sudah berulang-ulang kita mengingatkan tentang standar ganda ini. Dan tidak ada perubahan yang nyata. Ini artinya apa, standar ganda, sikap hipokrit adalah bagian yang integral dalam sistem demokrasi.

Menjadikan kekuasaan dan uang (modal) sebagai panglima, inilah yang membuat sistem demokrasi dalam praktiknya penuh dengan standar ganda. Sebab, dalam pandangan politik kapitalisme Barat, yang terpenting adalah berkuasa untuk mempertahankan dan memperluas pemilikan modal. Karena itu, sudahlah! Jangan berharap pada sistem demokrasi. Sistem ini memang dirancang untuk keuntungan para perancang, yaitu negara-negara imperialis seperti Amerika, Inggris, dan sekutu-sekutunya. Sistem ini tidak bisa diharapkan akan melindungi umat Islam secara menyeluruh. Kalaupun ada manfaatnya sangatlah sedikit dibanding dengan bahaya utamanya, yaitu menjadikan kedaulatan di tangan manusia bukan di tangan Allah SWT.

Sudahlah, berhenti berharap (bahwa) lewat sistem demokrasi, umat Islam akan berkuasa untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh. Kalau sekadar parsial (sebagian) atau kulit-kulitnya, memang memungkinkan. Tapi kalau lewat demokrasi kita berharap bisa menegakkan khilafah, ini utopis dan omong kosong. Pasalnya sistem demokrasi tidak akan membiarkan unsur apapun yang bisa menghancurkan sistemnya sendiri.

Tidakkah kita bisa mengambil pelajaran dari Aljazair, Mesir, Turki, maupun Tunisia? Di Tunisia, lewat sistem demokrasi pula aspirasi umat Islam dikebiri, [jadi] sebatas tidak bertentangan dengan nilai-nilai sekuler. Di Mesir, meskipun sudah menunjukkan kesediaan menerima jalan demokrasi, tapi Barat tetap saja tidak percaya dan meragukan kelompok-kelompok Islam yang menang secara demokratis. Mereka lebih percaya militer akan menjadi pengawal setia terhadap sistem sekuler di Mesir yang bisa mencegah tegaknya syariah Islam. Sementara Turki, hanya menjadi pemain regional yang dikontrol oleh Barat untuk kepentingan-kepentingan politik Barat di kawasan Timur Tengah dan dunia Islam.

Kita harus dengan tegas bersikap: campakkan sistem demokrasi dan kembalilah ke jalan sejati, yakni Islam. Jangan serukan lagi umat untuk menerima sistem kufur demokrasi dengan alasan 'daripada' yang nyatanya hanya omong kosong. Ajaklah umat dengan tegas ke arah sistem Islam yang jelas: syariah Islam dan khilafah. Umat harus kita sadarkan untuk menolak sekeras-kerasnya dan melemparkan sejauh-jauhnya sistem demokrasi busuk ke tong sampah peradaban. Jangan pernah didaur ulang!

Mari kita berjuang seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Perjuangan yang dengan tegas menjadikan Islam sebagai dasar dan tujuan. Perjuangan yang bertumpu pada dua hal penting yang menjadi kunci perubahan. Pertama, terdapatnya kesadaran dari umat IsIam untuk menuntut penerapan Islam secara totalitas. Kedua, terdapatnya dukungan dari ahlul quwwah, mereka yang memiliki kekuasaan yang riil, yang dengan dasar keimanan dan keikhlasan mereka semata-semata demi Islam, memberikan kekuasan mereka untuk menerapkan syariah Islam secara totalitas. Dua perkara inilah yang harus secara serius kita kerjakan yang bisa mengantarkan kita kepada kembalinya khilafah.

Kesadaran umat yang akan membangun opini umum, akan menggerakkan umat untuk menuntut perubahan yaitu tegaknya khilafah. Mereka bukan hanya menuntut tapi juga siap berkorban apapun untuk kemuliaan Islam. Ini diperkuat dengan dukungan ahlul quwwah seperti militer. Kalau ini tercapai siapa yang bisa menolak perubahan menuju khilafah. Umat yang sadar sudah menuntut dan ahlul quwwah yang ikhlas sudah mendukung.

Walhasil, hanya dengan khilafah, Islam rahmatan lil 'aIamin bisa kita wujudkan. Sebab Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, bisa diwujudkan ketika syariah Islam secara totalitas (menyeluruh) diterapkan. Dan semua itu membutuhkan khilafah sebagai institusi politik. Dengan khilafah, kemuliaan agama bisa ditegakkan, nyawa umat manusia akan terjaga, kehormatan umat Islam akan dilindungi, harta dan keturunan umat manusia akan terlindungi. Allahu akbar! []farid wadjdi

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 171


Rabu, 23 Desember 2020

Bicara Upaya Kriminalisasi Ulama Dan Ormas Islam



Zaman Abu Jahal Berulang?

Tahukah Anda apa yang diucapkan oleh Abu Jahal terhadap dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menyampaikan Islam di Mekah? Dalam kitab Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam disebutkan kata-kata Abu Jahal: “Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad seperti kalian lihat tidak mau berhenti dari mencela agama kita, melecehkan nenek moyang kita, membodoh-bodohkan mimpi-mimpi kita, dan menghina tuhan-tuhan kita.”

Hal serupa diungkapkan oleh tokoh-tokoh Quraisy dalam sebuah pertemuan yang diikuti oleh Abdullah bin Amir. Mereka berkata: “Ia [Muhammad] membodoh-bodohkan mimpi-mimpi kita, menghina nenek moyang kita, mencaci agama kita, memecah-belah persatuan kita, dan mencela tuhan-tuhan kita.”

Coba bandingkan dengan tudingan orang yang anti Islam terhadap ulama dan umat Islam: bahwa umat Islam telah menistakan agama mereka, memecah-belah persatuan bangsa, menghina tuhan mereka.

Abu Jahal dan para tokoh Quraisy berkumpul di Daar an-Nadwah. Mereka bermusyawarah untuk mencari jalan bagaimana menghentikan dakwah Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu, akhirnya disepakati jalan untuk menghentikan dakwah Nabi SAW. Caranya adalah dengan mengumpulkan pemuda tangguh dari setiap kabilah dan membekalinya dengan senjata, kemudian mendatangi rumah Muhammad SAW untuk menghabisinya.

Lho kok mirip juga dengan aksi mengumpulkan preman sekarang? []emje

Modus ala Moerdani Lahir Kembali?

Di awal Orde Baru, umat Islam mengalami tekanan yang luar biasa. Padahal sebelumnya, umat Islam ini punya jasa besar dalam ikut memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI).

Rupanya kekuatan Islam ini tak diperbolehkan untuk terus-menerus berkembang menjadi sebuah arus besar yang dianggap bisa 'merongrong' wibawa Orde Baru saat itu. Melalui tangan Ali Moertopo dan kemudian dilanjutkan oleh LB Moerdani, berbagai skenario dilakukan untuk melemahkan kekuatan Islam saat itu.

Almarhum Husein Umar, generasi Masyumi, pernah menyebut LB Moerdani-lah yang menjadikan umat Islam berhadap-hadapan dengan militer dan pemerintah. Di mata pemerintah dan militer waktu itu, umat Islam digolongkan sebagai ancaman. Umat Islam dianggap sebagai ekstrim kanan. Di masa itu pula, banyak aktivis Islam ditangkap dan diculik tanpa dasar hukum.

Pada tahun 1983-1985, Moerdani menggalakkan kebijakan bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila. Peristiwa menarik sesudahnya, yaitu kasus “lembaran putih”. “Lembaran putih" merupakan surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandatangani oleh sejumlah tokoh Islam. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Moerdani untuk menangkap para penceramah yang dianggap garis keras seperti AM Fatwa, Abdul Qadir Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardie, dan lain-lain.

Akankah kriminalisasi ulama saat ini merupakan pengulangan modus LB Moerdani dalam bentuk baru? Anda bisa nilai sendiri.

Mereka Bicara

Habib Novel Bamukmin, Sekjen Front Pembela Islam:

Ideologi Anti Ulama

Ya kita melihat kriminalisasi ulama ini sedang digalakkan oleh sekelompok, termasuk oleh partai-partai juga, yang tidak suka dengan statement ulama, selalu diserang oleh mereka. Seperti perkataan salah satu ketua umum partai berlogo banteng yang menyebut ulama itu peramal masa depan. Itu kan penghinaan.

Lebih dari itu penyerangan terhadap ulama ini dilakukan secara sistematis, mulai dari Ormas preman. Dari sisi hukum yang mereka cari celah-celah kesalahan ulama. Setiap ada indikasi yang bisa menjebloskan ulama secara hukum, mereka kerjakan. Mereka membidik ulama dengan berbagai cara. Bahkan ceramah ulama untuk memantapkan akidah umat Islam sendiri dipermasalahkan oleh mereka. Selalu dibenturkan, ulama dengan Pancasila, umat Islam dengan Pancasila, ulama, dan lambang negara.

Tapi kriminalisasi ulama ini, terbukti mengada-ngada karena tidak ada bukti yang kuat, tapi mereka terus mencari kesalahan ulama. Saya katakan pergerakan kriminalisasi ini adalah sebuah pembentukan ideologi yang anti ulama, dan agama. Mereka ingin pisahkan ulama dengan umatnya. Mereka ingin pisahkan agama dengan umatnya. Itulah cara-cara yang mirip komunis.

Orang besar bergerak di balik semua ini, merekalah yang memberikan isyarat untuk membenci ulama dan agama Islam. Adu-domba ini sama seperti polanya LB Moerdani, tapi bentuk berbeda pola, untuk membantai dengan memanfaatkan aparatur negara.[]

Ricky Fattamazaya, Ketua Umum Gema Pembebasan

Pertarungan Ideologi Semakin Jelas

Mereka melihat ada ancaman di sana. Suara tokoh-tokoh Islam sangat didengar sekarang oleh umat sehingga hal itu bisa menggangu kepentingan mereka dan tuan-tuannya. Gerakan Islamlah satu-satunya yang dapat mengalahkan gerakan-gerakan yang datang dari kepentingan personal maupun ideologi lainnya. Dan gerakan Islam yang benar-benar ikhlas ketika berjuang, dan dari dulu sampai kiamat dengan membawa ideologi Islam senantiasa menjadi momok menakutkan bagi ideologi kapitalis-demokrasi dan sosialis-komunis.

Ada indikasi kuat bahwa rezim yang berkuasa hari ini dibantu oleh aparat-aparat negara. Dan ini semua untuk mengamankan kepentingan tuannya yakni asing dan aseng.

Fase ini, pertarungan ideologi semakin jelas tampak di depan mata. Ideologi Kapitalis-Demokrasi dijaga oleh hamba-hambanya, tidak mau kepentingannya terganggu. Di sisi lain, Ideologi Sosialis-Komunisme semakin berani tampak dipermukaan dibawa oleh budak-budaknya, intinya adalah semua sedang bermain hari ini.

Rakyat harus sadar semua ini terjadi karena rezim khianat dan sistem kufur kapitalis-demokrasi yang diterapkan, saatnya rakyat bangkit ke arah kemuliaan yakni berjuang bersama-sama menyerukan terapkan syariah dan tegakkan khilafah karena dengan itu segala problem yang ada dapat terjawab dan kita hidup mulia.

Singkatnya seruan kita hari ini adalah revolusi Islam.[]

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 190
---

Minggu, 20 Desember 2020

Cara Islami Melindungi Pekerja


 

UU Cipta Kerja mendapatkan penolakan publik karena merugikan public, terutama pekerja. Padahal salah satu alasan Pemerintah membuat UU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan luas, berbagai elemen masyarakat, terutama kalangan pekerja, menolak keras UU tersebut. Pasalnya, antara lain, UU tersebut dianggap mengurangi hak-hak pekerja yang selama ini mereka dapatkan, seperti pengurangan jatah libur panjang, pemangkasan jumlah pesangon, dan peluang perpanjangan tenaga kerja kontrak dalam jangka waktu yang tidak dibatasi, sehingga hak-hak mereka lebih sedikit daripada tenaga kerja tetap. Ada pula pasal-pasal yang memberikan peluang pemilik perusahaan merekrut tenaga kerja asing secara lebih mudah. Selain itu, pasal-pasal yang mempermudah masuknya barang impor pangan dan hortikultura akan mengancam nasib pekerja di sektor pertanian karena akan menekan harga pertanian yang saat ini sudah sangat rendah.

 

Penyebab munculnya UU tersebut berasal dari kekesalan para pemilik modal yang mendapat dukungan dari Bank Dunia. Mereka melihat bahwa tenaga kerja di Indonesia rendah produktivitas, tetapi selalu menuntut kenaikan upah. Sebagian pemodal bahkan menebar ancaman untuk melakukan relokasi investasi ke negara-negara lain yang menawarkan upah rendah, seperti Vietnam.

 

Oleh sebab itu, Pemerintah -yang haus investasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi- kemudian membuat berbagai regulasi agar pekerja tidak mengganggu iklim investasi. Pemerintah menggandeng pengusaha untuk menyusun rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mempermudah investasi, termasuk di dalamnya mengurangi hak-hak tenaga kerja.

 

Padahal, jika dicermati, rata-rata upah pekerja di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Nilai upah pekerja Indonesia US$114-US$288 jauh lebih rendah dibandingkan Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Cina, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Upah di Vietnam adalah US$181. Apalagi kenaikan upah pekerja selama ini hanya merupakan langkah untuk menyesuaikan dengan kenaikan biaya hidup yang terus meningkat, seperti tarif listrik dan harga-harga sembako. Karena itu upah riil pekerja di Indonesia secara statistik stagnan sepanjang tahun, meskipun secara nominal upah mereka meningkat. Artinya, dari tahun ke tahun, daya beli pekerja tidak meningkat, sehingga mereka memiliki kemampuan yang terbatas untuk menabung lebih banyak untuk, misalnya, membiayai sekolah anak-anak mereka atau untuk membeli rumah tinggal.

 

Persoalan ketenagakerjaan sejak kapitalisme muncul pertama kali dan berkembang di Eropa telah terjadi. Pada masa itu, pekerja diupah dengan sangat rendah. Padahal mereka dieksploitasi sedemikian rupa. Banyak dari mereka yang hidup kesulitan. Gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

 

Fenomena tersebut kemudian menginspirasi Karl Marx merumuskan ideologi komunisme untuk membela hak-hak pekerja. Teori Nilai Lebih (surplus value) merupakan salah satu teori Karl Max yang menjelaskan mengapa para pemodal semakin kaya, sementara pekerja tetap melarat. Menurut dia, upah pekerja hanya mencerminkan sebagian kecil dari harga produksi barang yang diproduksi oleh buruh. Pekerja mengambil sisanya setelah membayar faktor produksi, seperti sewa tanah, mesin dan pekerja itu sendiri. Untuk membendung perkembangan Sosialisme-Komunisme, para ekonom yang beraliran Kapitalisme mendorong konsep upah minimum. Pekerja dibayar berdasarkan biaya paling rendah dari kebutuhan hidup seorang buruh. Dengan demikian mereka tidak akan jatuh pada kemiskinan absolut.

 

Meskipun pada kenyataannya tidak demikian, sebab kadangkala seorang pekerja harus menanggung beberapa anggota keluarga yang tidak memiliki penghasilan sehingga pendapatan perkapita mereka menjadi sangat kecil. Celakanya lagi, para pekerja diwajibkan untuk membayar iuran jaminan sosial, yaitu uang kesehatan, pensiun kecelakaan dan kematian, yang dipotong dari gaji mereka. Uang tersebut kemudian diinvestasikan oleh Pemerintah melalui pada produk-produk keuangan ribawi, seperti deposito perbankan, obligasi dan saham di pasar modal. Kadangkala Pemerintah ikut memberikan konstribusi, meskipun nilainya relatif kecil dibandingkan dengan total dana yang dikumpulkan para pekerja.

 

Perlindungan Pekerja dalam Islam

 

Penetapan upah dalam sistem Islam didasarkan pada nilai manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, baik upah itu mencukupi kebutuhannya ataupun tidak. Dengan demikian upah pekerja antar sektor dan antar profesi akan berbeda-beda dan relatif berbeda. Upah tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pihak pekerja dan pemberi kerja. Mereka dapat merujuk pada pendapat ahli ketenagakerjaan mengenai jumlah yang sesuai dengan harga pasar tenaga kerja.

 

Namun, penetapan upah tidak boleh didasarkan pada harga barang dan jasa, yang dalam jangka pendek dapat berubah-ubah akibat perubahan keseimbangan supply and demand komoditas tersebut. Jika hal itu terjadi maka akan mengakibatkan upah naik-turun sewaktu-sewaktu. Jika harga turun, pendapatan pekerja akan turun, yang bisa jadi lebih rendah daripada manfaat yang dia berikan. Sebaliknya, ketika harga naik, upah pekerja menjadi semakin besar, sehingga akan cenderung merugikan pemberi kerja.

 

Sebaliknya, upah pekerja juga tidak dapat didasarkan pada nilai kebutuhan dasar pekerja, atau yang dikenal dengan istilah upah minimum, baik provinsi, kabupaten/kota, dan sektoral. Alasannya, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan tanggung jawab negara atas rakyatnya dan bukan tanggung jawab pengusaha. Hal ini merupakan bentuk kezaliman. Sebab, bisa jadi manfaat yang diberikan oleh seorang pekerja lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya sehingga upah yang berdasarkan jumlah kebutuhan hidup tersebut akan merugikan pemberi kerja. Sebaliknya, jika manfaat yang diberikan pekerja jauh lebih besar daripada kebutuhan hidup dasarnya, maka akan cenderung merugikan pekerja.

 

Oleh karena itu, penetapan upah menurut pada ahli fikih di dalam Islam didasarkan pada manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, baik manfaat itu lebih besar daripada kebutuhan hidup atau lebih rendah daripada kebutuhan hidup pekerja tersebut.

 

Di sisi lain, berdasarkan aturan Islam, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat -pangan, sandang, perumahan- merupakan tanggung jawab negara. Artinya, kebutuhan tersebut harus dapat dinikmati oleh setiap individu rakyat di dalam Negara Islam, baik melalui usahanya sendiri, bantuan ahli warisnya, ataupun santunan dari negara jika dirinya dan ahli warisnya tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

 

Negara wajib menyediakan kebutuhan dasar lainnya, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang suku, agama, ras, dan wilayah tinggal mereka.

 

Kemudian, upah -yang didasarkan pada manfaat yang diberikan oleh pekerja tersebut- disepakati antara pekerja dan pemberi kerja dalam waktu tertentu. Kedua belah pihak dapat melakukan negosiasi perubahan upah tersebut untuk diterapkan pada kontrak baru berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, kenaikan upah tahunan bagi pekerja yang berlaku di dalam sistem Kapitalisme tidak ditemui di dalam Islam. Jika terjadi perselisihan mengenai jumlah upah mereka, misalnya, karena keduanya tidak menyebutkan upah tertentu atau jumlah yang disebutkan tidak jelas, maka upah yang diberikan kepada pekerja adalah upah yang sepadan (ajrul mitsl), mengikuti upah pekerja lain yang memberikan manfaat yang sama dengan pekerja tersebut, yang ditetapkan oleh para ahli. Upah ini wajib dibayarkan oleh pemberi kerja.

 

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, "Ada tiga golongan pada Hari Kiamat nanti yang akan menjadi musuh-Ku Siapa yang menjadi musuh-Ku, Aku akan memusuhi dia. Pertama, seorang yang berjanji setia kepada-Ku, namun mengkhianatinya. Kedua, seorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya. Ketiga, seorang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu setelah pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberi dia upahnya.” (HR al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah).

 

Di dalam Islam juga tidak dikenal istilah hak mogok. Sebabnya, akad ijarah antara pekerja dan pemberi kerja kedua-duanya harus dipenuhi. Jika pekerja tidak memenuhi pekerjaannya maka ia tidak berhak mendapatkan kompensasi. Sebaliknya, jika pemberi kerja melakukan pengurangan hak atas pekerja maka negaralah yang berkewajiban memberikan sanksi kepada dirinya.

 

Berkaitan dengan tunjangan sosial, termasuk uang pensiun, uang kecelakaan, dan asuransi kesehatan, pada dasarnya merupakan tambal sulam pada sistem kapitalisme agar kezaliman yang diciptakan sedikit berkurang. Apalagi sumber uang tersebut berasal dari iuran para pekerja dan pemberi kerja. Hanya sedikit bantuan dari APBN.

 

Seperti disinggung di atas, yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan primer rakyat adalah negara dan bukan pemberi kerja. Demikian pula jaminan kesehatan bagi para pekerja dan keluarga mereka. Negara juga wajib menjamin nafkah bagi penduduk yang telah pensiun atau penduduk yang tidak mampu bekerja.

 

Di dalam masyarakat Islam, negara juga berkewajiban untuk membantu rakyatnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Di dalam sebuah hadis, Nabi saw. pernah memberikan uang dua dirham untuk dibelikan kapak kepada seorang yang meminta pekerjaan kepada beliau dan memerintahkan dia untuk mencari kayu dengan kapak tersebut. Di dalam hadis lain disebutkan: “Imam/Khalifah adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim).

 

Termasuk dalam tanggung jawab ini adalah memberikan pekerjaan kepada rakyat yang laki-laki yang mampu bekerja. Dengan jaminan pendidikan yang gratis hingga level perguruan tinggi, rakyat di dalam Negara Islam berkesempatan besar mendapatkan meningkatkan kualitas mereka sehingga dapat membantu mereka mengusahakan pekerjaan yang lebih baik.

 

Kebijakan pemerintah di dalam negara Islam akan menghindari liberalisasi investasi dan perdagangan yang memberikan madharat bagi negara dan rakyat, termasuk pada pekerja. Karena itu, liberalisasi impor pangan yang akan merugikan petani domestik dan mengancam kedaulatan pangan negara, saat kebutuhan pangan bergantung pada pangan yang diimpor dari negara-negara kafir, merupakan aktivitas yang masuk dalam kategori berbahaya yang tidak boleh dilakukan oleh negara Islam. Kebijakan Pemerintah yang mendorong peningkatan investasi asing juga masuk kategori ini. Pasalnya, investasi asing di negara-negara Muslim saat ini telah menyebabkan pihak asing, antara lain, dapat menjarah dan menguasai kekayaan negara-negara Muslim, mengakses informasi penting dan strategis mereka, menjadikan mereka semakin bergantung pada utang yang ribawi, mencegah mereka melakukan revolusi industri, dan memperkuat kekuatan negara-negara kafir yang menjadi musuh umat Islam.

 

Berdasarkan kaidah: wasilah yang mengantarkan pada keharaman diharamkan, maka penanaman modal asing seperti di atas menjadi haram sebab menjadi jalan bagi orang-orang kafir menguasai kaum Muslim dan menyebabkan bahaya bagi mereka. Namun, jika terdapat investasi yang tidak bertentangan dengan syariah Islam dan hal-hal yang mengantarkan pada keharaman, seperti disebutkan di atas, maka posisi investasi tersebut sama dengan pinjaman yang tidak menimbulkan dharar (Muhammad ‘Ilan, “Siyasah Tamwil al-Masya’ri’,” Majallah Al-Waie, No.135, 1998).

 

Dengan demikian, kebijakan investasi dan perdagangan di dalam Islam akan mendukung terciptanya lapangan pekerjaan yang luas dan mendorong peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan koridor syariah Islam.

 

Inilah beberapa pandangan Islam mengenai ketenagakerjaan. Dengan penerapan syariah Islam -melalui institusi Khilafah Islam- maka persoalan-persoalan ketenagakerjaan yang menyeruak di dalam sistem kapitalisme saat ini, ataupun yang pernah terjadi pada sistem sosialisme-komunisme, tidak akan terjadi di negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia. Dengan menerapkan syariah Islam, maka pihak pekerja dan pengusaha akan sama-sama mendapatkan keuntungan, dan secara luas akan memberikan keberkahan pada seluruh aspek kehidupan individu, masyarakat dan negara.

 

WalLahu a'lam bi ash-shawwab. [Muis]

 

Sumber: Media Politik dan Dakwah al-Wa'ie, edisi Desember 2020

Minggu, 13 Desember 2020

Hukum Allah SWT Cegah Tindakan Represif



Penguasa ini ada kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan kelompoknya karena memang itu terasa nikmat bagi mereka. Oleh karena itu, mereka akan membungkam dan menghadang setiap kelompok yang dianggap akan membahayakan kekuasaan mereka. Bahkan mengubah hukum agar kezalimannya dianggap legal. Lantas bagaimana agar pemerintah tak lagi bertindak represif? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Rokhmat S Labib. Berikut petikannya.

Apakah Anda melihat pemerintah semakin represif akhir-akhir ini?

Tampak sekali pemerintah semakin represif. Lebih dari itu, rezim ini juga semakin menunjukkan anti kepada Islam

Indikasinya?

Jadi begini, ketika penguasa ini melakukan kezaliman kepada rakyat, tentu saja akan mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan. Perlawanan yang paling mudah adalah lewat kata-kata. Tetapi kalau kita lihat penguasa ini sedemikian takutnya dengan kata-kata. Lalu penguasa bertindak represif agar rakyat tidak lagi berani bersuara. Dan berkali-kali penguasa memblokir belasan situs Islam, baik jelang Aksi Bela Islam II maupun III dan terbaru pada awal Januari lalu.

Memang tidak semua situs dakwah Islam diblokir, tetapi yang diblokir, umumnya situs dakwah Islam. Apakah Islam itu sedemikian membahayakan? Dan pada saat yang sama situs pornografi bertebaran banyak sekali tidak diblokir. Dan sampai sekarang, situs-situs yang menghina Islam, melecehkan Nabi Muhammad SAW tetap dibiarkan. Sebelumnya juga beredar atribut-atribut komunis, tidak ada tindakan tegas.

Humas Kominfo menyatakan alasan pemblokiran di antaranya adalah adanya ujaran kebencian dan pelanggaran terhadap suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)...

Tapi pemerintah tidak pernah menielaskan itu semua.

Pemerintah juga tidak pernah menunjukkan mana yang dimaksud? Apakah seluruh isinya, atau hanya sebagian konten saja yang mengandung SARA. Banyak situs yang menista Islam tetapi sejauh ini pemerintah tidak terlihat mengambil tindakan.

Pidato politik ketua umum partai penguasa sekarang, Megawati, juga menunjukkan betapa besar kebenciannya kepada Islam. Bagaimana mereka menyebut umat Islam yang meyakini agamanya disebut sebagai “para pemimpin ideologi tertutup yang kerap meramal kehidupan setelah dunia fana, padahal mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya!” Ini kan amatlah serius. Dia bukan hanya tidak percaya, tetapi juga melecehkan ajaran Islam dan para pemeluknya tentang keyakinan akan adanya pembalasan di akhirat.

Apa yang harus dilakukan oleh umat untuk menghadapi pemerintahan yang semakin represif?

Pertama, umat itu harus sadar bahwa menyampaikan kebenaran itu merupakan sebuah kewajiban. Yang namanya kewajiban harus ditunaikan. Jadi meskipun pemerintahan sangat represif kita harus tetap melakukan amar makruf nahi munkar. Artinya, semua kemungkaran, kemaksiatan, kezaliman yang dilakukan oleh penguasa itu harus kita tolak, seraya menyampaikan kebeharan. Rasulullah SAW bersabda, ”Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud).

Tapi resikonya bisa diciduk…

Jadi umat harus sadar, bahwa Allah SWT akan memberikan pahala yang terbaik kepada mereka yang menyampaikan kebenaran kepada penguasa. Dan tentu kalau Rasulullah SAW memberikan status demikian, ada resiko yang besar memang. Akan tetapi jangan khawatir, Rasulullah SAW menyebut orang-orang yang gugur karena menyampaikan dakwah kepada penguasa fasik sebagai sayyid al-syuhada, penghulu syuhada. Rasulullah SAW bersabda: ”Penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR. al-Hakim).

Jadi umat harus sadar sesadar-sadamya, ini merupakan kewajiban dan tidak boleh berhenti meskipun dihalangi oleh siapapun.

Kedua, umat juga harus sadar, sesadar-sadarnya, inilah fakta demokrasi. Dalam demokrasi, orang boleh menyampaikan apa saja. Ini adalah negara demokrasi, orang bebas untuk berbicara. Berbicara untuk merendahkan dan menghinakan Islam. Tetapi begitu menyampaikan Islam, yang muncul adalah kalimat-kalimat tudingan: Islam radikal, lslam garis keras, bahkan dituduh teroris. Para aktivisnya pun dihukum.

Ini semua terjadi karena hukum diserahkan kepada manusia.

Mengapa begitu?

Penguasa itu ada kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Oleh karena itu mereka berupaya sekuat mungkin untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaan mereka. Mereka juga akan melakukan berbagai upaya untuk menghalangi orang lain yang dapat membahayakan kekuasaan mereka. Termasuk melakukan tindakan represif.

Kadang-kadang, tindakan itu bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sementera mereka berteriak: hukum sebagai panglima. Lalu bagaimana caranya agar mereka tidak melanggar undang-undang? Caranya mudah, mereka tinggal membuat undang-undang yang melegalkan tindakan mereka. Maka jadilah, tindakan represif itu sesuai undang-undang.

Oleh karena itu, selama hukum itu diserahkan kepada penguasa untuk membuatnya, maka mereka akan membuat berbagai macam UU dan peraturan yang mendukung, melegitimasi, dan melegalisasi tindakan represif mereka.

Maka, siapapun yang tidak menginginkan penguasa yang represif, hukum itu tidak diserahkan kepada penguasa. Tidak pula kepada rakyat seperti dalam demokrasi karena sesungguhnya itu hanya slogan yang menipu karena faktanya rakyat tak lebih sebagai stempel semata. Maka hukum yang adil hanya dari Dzat yang Maha Adil. itu Allah SWT. Itulah syariah dengan tuntunannya yang kaffah.

Ketika yang diterapkan hukum Allah Swt., maka penguasa tidak bisa bertindak seenaknya sendiri. Mereka tidak diberi otoritas membuat hukum yang menguntungkan mereka atau melegalkan tindakan salah mereka. Ketika mereka melanggar hukum, mereka juga diperlakukan secara sama dengan yang lainnya di hadapan hukum. Realitas ini tidak akan terjadi dalam sistem kerajaan atau demokrasi. Itu hanya dalam khilafah lslamiyyah.

Namun dalam upaya mengganti sistem ini pastilah akan berhadapan dengan rezim represif...

Ya, itu risiko perjuangan. Namun kita tidak boleh mundur dalam berjuang. Sebab, tegaknya syariah dan khilafah wajib dalam keadaan apapun. Kita juga harus yakin bahwa Allah Swt. akan memberikan pertolongan kepada hamba-hamba-Nya yang memperjuangkan agamanya.

Kita juga harus ingat bahwa sekuat apapun rezim zalim itu menggenggam kekuasaan, maka mereka tidak akan mencegah ketika Allah Swt. mencabutnya. Al-Qur’an mencontohkan bagaimana rezim-rezim represif itu pada akhirnya jatuh dengan hina. Mereka dihancurkan sedemikian rupa oleh Allah SWT. Ada Fir'aun, ada Namruz, ada Abrahah, dan semua rezim-rezim represif itu berakhir dengan hina. Ini harus menjadi peringatan bagi para penguasa. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189
---


Senin, 07 Desember 2020

Ulama Bicara Khilafah Dan Aksi Bela Islam



Mereka Bicara
Aksi Bela Islam III - 212

Habib Khalilullah, Pimpinan Majelis Dzikir Imdadul Hadadi, Jakarta Timur

Perlu Penyadaran Pemikiran

Jadi, kaitannya dengan aksi kumpulnya jutaan umat dalam acara 212 merupakan skenario Allah yang diberikan kepada umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, untuk bersatu dalam perjuangan. Selama ini umat Islam sudah terpecah-belah karena tidak mempunyai pendirian perjuangannya. Dengan mengingatkan surat Al-Maidah maka umat Islam diharapkan bisa punya tujuan dalam perjuangannya.

Allah telah membukakan hati umat Islam yang saat ini tanpa dia sadari orang-orang kafir sudah merusak kitab Al-Qur’an dengan sistem, baik itu kapitalis maupun demokrasi.

Masyarakat akan sadar bahwa bukan hanya Al-Maidah yang dirusak, ternyata Al-Qur’an juga yang dirusak.

Kita mengakui bahwa aksi 212 adalah aksi yang luar biasa, tapi itu baru sekadar penyadaran terhadap perasaan, bukan dengan pemikiran. Oleh karena itu, kita wajib menyadarkan kaum Muslimin dengan perasaan dan pemikiran agar kebangkitan Islam yang hakiki bisa terlaksanakan. Itulah satu-satunya untuk mengembalikan kemuliaan Islam dengan khilafah Islam.

Jadi kekuatan di balik kisah-kisah yang nyata, membuktikan bahwa dengan landasan akidah, dengan perasaan yang sudah dicabik-cabik menimbulkan semangat jihad dan kekuatan yang sangat besar, baik itu melalui apa yang ia mampu berikan, makanya ada yang rela berjalan jauh ratusan kilometer demi memperjuangkan agama dan akidahnya. []

KH Shoffar Mawardi, Pimpinan Pesantren Daarul Muwahid, Jakarta Barat

Harus Lebih Aktif Dan Istiqamah

Berhimpun dan bersatunya umat Islam dalam Aksi Damai Bela Islam III 212 menunjukkan bahwa umat Islam bisa bersatu tanpa terhalang oleh berbagai perbedaan hal furu’iyyah. Faktor yang bisa menyatukan umat Islam adalah persamaan rasa. Rasa cinta kepada Allah SWT, Rasulullah SAW, Al-Qur’an dan sebagainya. Rasa inilah yang menyatukan sikap umat Islam terhadap oknum penistaan Al-Qur’an sehingga kita bersatu dalam kepemimpinan ulama untuk menunjukkan sikap dan menyampaikan tuntutan agar oknum bersangkutan dihukum yang setimpal.

Dan yang menjadi penggerak persatuan jutaan umat ini hakikatnya adalah Allah SWT. Manusia walau membelanjakan harta sepenuh bumi sekalipun tidak akan mampu menghimpun dan menyatukan hati jutaan manusia seperti itu. “Dan Allah yang menghimpun di antara hati mereka (manusia). Kalau belanjakan harta yang ada di bumi, engkau tidak akan mampu menghimpun di antara hati mereka” (TQS. Al-Anfaal: 63)

Setelah Aksi 212, umat Islam khususnya ulama dan para pengemban dakwah harus lebih aktif dan istiqamah lagi dalam dakwah dan membangun umat agar semakin memiliki syu’ur Islami atau perasaan Islami, selain pemikiran yang Islami sehingga terbentuk syakhsiyah Islamiyah. Bila semakin banyak umat yang telah memiliki kepribadian Islam maka semakin banyak umat yang akan bersatu dan siap menyambut seruan perjuangan Islam yang disampaikan oleh ulama. Bila baru beberapa juta umat saja yang tersentuh dan bangkit semangat juangnya untuk Islam begitu mengguncang negeri dan dunia, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya bila yang telah bangkit dan siap berjuang untuk Islam sampai 200 juta umat Islam? Dengan cara damai pun, insya Allah kita bisa melakukan perubahan kondisi negeri dan dunia ke arah yang lebih baik dan diridhai Allah.

Seruan Aksi Bela Islam 212 yang pada awalnya banyak pihak yang ingin menggagalkannya justru memunculkan banyak keajaiban, seperti aksi ribuan jalan kaki kyai dan santri Ciamis ke Jakarta dan melimpahnya jamuan makanan dari kaum Muslimin/Muslimat. Ini semua menunjukkan bila kaum Muslimin telah tersentuh semangat juangnya untuk membela agamanya, maka kita siap untuk berkorban apa saja saja untuknya dan tidak ada kekuatan makhluk yang akan bisa menghalanginya.

Oleh karena itu, kita harus terus menyentuh kesadaran umat terlebih ulama dan ahlul quwwah tentang wajibnya memahami dan menerapkan syariah dan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta perjuangan penegakannya. Bila dengan pertolongan Allah, umat, ulama dan ahlul quwwah telah berhimpun dan bersatu dalam perjuangan penegakan syariah dan khilafah, maka siapa yang akan bisa menghalangi langkahnya. []

Rokhmat S Labib, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia

Tak Boleh Berhenti Pada Masalah Ahok

Umat Islam bisa bersatu, padahal selama ini diisukan bahwa umat Islam terpecah-belah, karena perbedaan. Tapi pada faktanya, di aksi damai kemarin umat Islam yang berbeda madzhab, kelompok dan organisasi bisa bersatu sebagai gerakan bersama.

Bahwa persatuan itu didasarkan akidah, kalau bukan akidah tidak mungkin bisa menyatukan umat Islam, bahwa Al-Qur’an adalah kitab Allah yang tidak boleh dinistakan.

Dan akidah itu yang membuat orang tidak rela bahwa Al-Qur’an dinistakan oleh orang lain. Pada saat yang sama memang ada perintah di dalam Al-Qur’an untuk mengukum penghinanya.

Oleh karena itu, ke depan untuk umat Islam bersatu, akidah inilah yang harus menjadi landasan, kalau yang lain niscaya akan terpecah-belah.

Umat Islam itu kalau serius dalam menolong agama Allah, maka Allah akan memberikan kemudahan, dan pertolongan, seperti acara kemarin itu luar biasa hambatan dari penguasa seperti apa.

Umat Islam harus tetap kokoh, tidak mudah ditundukkan. Agar kuat persatuannya akidah itu harus menjadi pegangan.

Dan umat Islam ini marah ketika ada ayat Al-Qur’an yang dilecehkan, mestinya umat Islam juga marah ketika seluruh Al-Qur’an dilecehkan. Ketika menjadikan ayat suci lebih rendah daripada ayat konstitusi itu berarti peleceahan terhadap Al-Qur’an.

Maka dari itu umat Islam jangan berhenti saat kasus Ahok selesai, akan tetapi terus berjuang hingga seluruh hukum Al-Qur’an diterapkan. []m fatih sholahuddin

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 187
---

Rabu, 02 Desember 2020

Membangun Kembali Negara Sistem Islam



Judul Buku: Menegakkan Kembali Negara Khilafah: Suatu Kewajiban Terbesar dalam Islam
Judul Asli: Tanbîh al-Ghâfilîn wa I’lâm al-Hâ’irîn bi Anna Iqâmah al Khilâfah min A’zhami Wajîbât Hâdzâ ad-Dîn
Penulis: Abû ‘Abdul Fattâh ‘Alî Belhâj (Tokoh FIS Aljazair)
Penerjemah: Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Penerbit: Pustaka Thariqul Izzah, April 2001

Menlu Inggris, Curzon pernah menyatakan di depan parlemen Inggris pasca “membubarkan” Khilafah Islam di Turki, “Sesungguhnya kita telah menghancurkan Turki sehingga Turki tidak akan dapat bangun lagi setelah itu... Sebab, kita telah menghancurkan kekuatannya yang terwujud dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah.”

Boleh jadi kebencian dan dendam yang mengkarat di benak Barat telah terpuaskan ketika Turki —sebagai benteng terakhir Khilafah Islam— porak-poranda dan berganti menjadi negara yang menerapkan sekularisme. Bagi Barat, runtuhnya Khilafah Islam di Turki tentu saja merupakan kemenangan yang gemilang, karena selama itu, mereka nyaris tak bisa berkutik di bawah bayang-bayang kekuatan Khilafah Islam.
Sementara itu, Turki sebagai pusat pemerintahan Islam, sejak saat itu, sudah tamat riwayatnya di tangan Musthafa Kemal yang didukung penuh oleh Inggris. Yang tersisa di sana hanyalah kenangan manis saat Khilafah menjadi kekuatan tak tertandingi di dunia. Bahkan, armada tempur lautnya disebut-disebut sebagai kekuatan paling tangguh dan memiliki peralatan militer canggih di zamannya.

Kini, semuanya tinggallah kenangan yang tercetak di lembaran buku-buku sejarah atau yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh siyâsah. Namun demikian, bukan berarti hal itu tidak bisa dibangun kembali. Meski, tentu saja perjuangan tersebut membutuhkan keseriusan dan totalitas, serta rasa optimis yang mendalam dalam diri kaum Muslim. Yang penting, upaya kita saat ini adalah bagaimana membangun kembali “reruntuhan” yang sempat mencerahkan peradaban umat manusia ini. Meski perlu disadari, tak mudah untuk bisa membangun kembali “ruins” yang telah tercerai-berai itu.

Mengumpulkan “serpihan” Daulah yang sudah hancur itu jelas membutuhkan usaha yang keras; bukan saja karena kaum Muslim secara fisik nyaris tak bisa disatukan, tetapi pikiran dan perasaannya pun ternyata telah lebih dulu “bercerai” dengan Islam. Akibatnya, hal ini makin menambah beban pekerjaan bagi para pegiat kebangkitan Islam.

Daulah Khilafah saat ini ibarat sebuah rumah yang telah hancur berpuluh-puluh tahun, mungkin bekasnya pun nyaris rata dengan tanah, sementara penghuninya memilih tinggal di tempat lain. Sangat boleh jadi, penghuninya pun sudah benar-benar melupakannya. Menyedihkan memang. Itu sebabnya, ketika ada upaya untuk meyakinkan para penghuninya agar kembali membangun rumah tersebut, sepertinya tak mudah, karena mereka mungkin sudah merasa betah tinggal di tempat lain yang menurutnya lebih nyaman dan menjanjikan segalanya. Yang paling menyakitkan lagi, mereka tidak mengenalnya, sehingga tidak merasa ada kewajiban untuk kembali membangunnya.

Syaikh ‘Ali Belhaj, pendiri dan pimpinan gerakan FIS (Front Islamic Salvation/Front Islamique du Salut) berupaya mengingatkan kembali akan pentingnya sebuah negara bagi kaum Muslim.
Berbeda dengan kebanyakan buku yang membahas pemerintahan Islam, buku karya ulama besar Aljazair ini lebih menekankan pada kewajiban membangun kembali Khilafah Islamiyah. Uniknya lagi, bila dibandingkan dengan karya sejenis, buku ini lebih ‘ringan’ dalam kajiannya, tetapi tidak mengurangi bobot pesan yang disampaikan penulisnya. Oleh karena itu, bagi para pembaca awam sekalipun, bisa langsung ‘nyetel’ membaca buku ini.
Dalam buku ini, dicantumkan pula pendapat-pendapat para ulama salaf dan muta’akhirin tentang kewajiban yang berkaitan dengan pentingnya sistem pemerintahan Islam ini untuk diwujudkan kembali.
Di antaranya adalah pendapat Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkâm ash-Shultâniyah; Abu Ya’la al-Farra’ dalam Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah; Ibn Taymiyah dalam As-Siyâsah asy-Syar’iyah dan Majmû’ al-Fatâwâ juz 28; Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah; Ibn Hazm dalam Al-Fashl fî al-Milal wal Ahwa’ wa an-Nihal; Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, Al-Haytsami dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah; Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim juz 12; Imam al-Haramayn dalam kitabnya Ghiyâts al-Umam; Dr. Dhiya’uddin ar-Rais dalam kitabnya Al-Islâm wa al-Khilâfah; ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq dalam kitabnya Asy-Syûrâ; Abu Ya’la dalam Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah.

‘Seabrek’ rujukan dari para ulama salaf dan muta’akhirin tersebut menunjukkan betapa masalah pemerintahan Islam ini sangat penting. Sayangnya, karena kaum Muslim sudah terlanjur ‘kerasan’ hidup di bawah sistem kapitalisme, mereka tidak segera menyadarinya. Sebagian di antara mereka malah merasa ketakutan bila Islam diterapkan kembali sebagai akidah dan syariat. Inilah bukti bahwa perasaan dan pemikiran umat telah berpisah dari Islam.
Hal ini memang tak lepas dari peran Barat dalam mem-brainwashing kaum Muslim. Proses “cuci otak” itu sendiri berlangsung amat lama, bahkan ketika Khilafah Islamiyah masih berdiri di Turki. Celakanya, meski Khilafah masih berdiri, secara kedaulatan ia mulai keropos. Hal ini dibuktikan dengan lemahnya kontrol yang dilakukan penguasa pusat hingga ikut melempangkan jalan bagi Barat dalam memprovokasi wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk keluar dari Khilafah Islamiyah. Ambil contoh, Albania sempat termakan provokasi untuk “bercerai” dengan Khilafah Islam di Turki.

Saat itu, Barat menyatakan bahwa Turki adalah penjajah rakyat Albania, sehingga tidak ada jalan lain lagi kecuali melawan mereka dan melepaskan diri dari kekuasaan Turki Utsmani. Upaya ini ternyata berhasil. Itu baru satu kasus. Sisanya, kaum Muslim ‘dikavling-kavling’ dalam wilayah-wilayah kecil melalui metode penjajahan. Bersamaan dengan itu, dihembuskanlah ide nasionalisme yang mampu menciptakan dinding tebal batas antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Itu terjadi sampai saat ini.

Oleh karena itu, tidak aneh bila upaya membangun kembali Khilafah Islam ini seperti membentur tembok yang tebal. Selain karena wilayah Daulah Khilafah yang amat besar itu sudah ‘dikerdilkan’, perasaan dan pemikiran umat pun sudah tak bisa menerima dengan mudah tentang Islam. Akibatnya, setiap ide kebangkitan Islam yang disampaikan kepada mereka nyaris memantul sempurna; tak ada yang bisa diserap.

Itu karena bercokolnya tsaqafah asing yang sudah menginternalisasi dalam diri umat, bahkan tercermin dalam gaya hidup keseharian mereka. Itu sebabnya, meski menyandang label Muslim, syakhsiyah (kepribadian)-nya bukan ‘cita rasa’ Islam. Kiblat ketika shalat adalah Ka’bah, tetapi dalam urusan gaya hidup dan metode menyelesaikan berbagai problem kehidupan bisa saja berkiblat ke Amerika atau Eropa. Ini semakin membuktikan bahwa sekularisme ternyata ampuh dalam menciptakan dinding pemisah antara agama dengan (kehidupan) politik.

Pentingnya memenuhi kewajiban membangun kembali Daulah Khilafah ini ditegaskan dengan amat kuat oleh Syaikh Ali Belhaj. Beliau menegaskan bahwa hal itu merupakan cita-cita yang harus diraih. Meski untuk meraih kemuliaan itu tak sedikit jalan terjal yang menyulitkan. Akan tetapi, dengan tekad dan upaya yang serius, total, dan optimis dalam berdakwah, bukan tak mungkin Daulah Khilafah ini terwujud kembali dalam waktu dekat.

Sebagai perwujudan keseriusan Ali Belhaj dalam memperjuangkan Islam, buku ini adalah buah pikirannya untuk membawa umat ke gerbang kemuliaan. Dengan dalil-dalil yang shahih dan rajih yang berkaitan dengan pentingnya kembali diwujudkan Khilafah ini, seharusnya buku ini memberikan pencerahan berpikir kepada umat, untuk kemudian berjuang bersama menegakkannya kembali.

Supaya umat menyadari kewajiban membangun kembali Khilafah ini, setidaknya harus ditempuh langkah-langkah real sebagai berikut: Pertama, umat harus membina diri dengan Islam sehingga Islam akan mampu menjadi ideologinya, pandangan hidupnya, dan tampak bagaimana ideologi itu diterapkan. Hal itu akan membantu umat mendorong keyakinannya untuk mewujudkan Islam sebagai sebuah kekuatan.

Kedua, setelah tumbuh kesadaran Islam yang benar dan kokoh sebagai sebuah ideologi, akan muncul dorongan untuk memperjuangkannya. Namun demikian, perlu disadari bahwa perjuangan meraih cita-cita yang besar ini tidak mungkin dilakukan oleh individu-individu, tetapi harus berjamaah.

Ketiga, berinteraksi terus-menerus di tengah-tengah masyarakat untuk mendidik umat agar mereka bangkit dengan ideologi Islam. Alasannya, kebangkitan selalu dimulai dari pemahaman yang benar. Contoh, penerapan hukum dan peraturan tidak akan berhasil membuat masyarakat mematuhinya, bila tidak ada kesadaran dalam diri mereka.
Keempat, penerapan seluruh hukum Islam oleh Negara Islam (Daulah Khilafah Islam).

Melihat fakta demikian, tampaknya buku ini bisa membantu kita untuk meyakinkan kaum Muslim tentang penting dan wajibnya mendirikan Khilafah Islam. Perlu disadari, mendirikan Khilafah ini bukan kewajiban kelompok dakwah tertentu, tetapi kewajiban seluruh kaum Muslim. Semuanya telah nyata, tinggal bagaimana kita berjuang dan membangun kembali “reruntuhan” itu. Ataukah kita akan tetap bertahan tinggal dalam “rumah” yang tidak mampu menata kehidupannya?

Bacaan: Jurnal Politik Dan Dakwah al-Wa'ie Muharam 1422H No.08 Tahun I, 1-30 April 2001

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam