Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 30 Maret 2021

Pendidikan Agama Akan Dihilangkan?



Negeri ini dalam kondisi darurat masalah. Mulai dari korupsi, kedisiplinan rendah, tawuran antar pelajar sering terjadi, kriminalitas, narkoba, dan seabrek masalah lainnya. Kondisi parah itu akhirnya mendorong evaluasi terhadap pendidikan. Banyak pihak lantas mengusulkan perlunya ditanamkan pendidikan budi pekerti. Harapannya, akan terjadi perbaikan pada problem-problem yang terjadi.

Namun ada seruan nyeleneh dari salah seorang eksekutif Megawati Institute, Musdah Mulia. Melalui akun facebooknya, ia menyerukan untuk menghapus pendidikan agama di sekolah mencontoh Singapura dan Australia. Menurutnya Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong telah menegaskan bahwa pemerintah tak akan mengizinkan pelajaran agama masuk ke dalam sekolah.

"Sejak PM Lee Kuan Yew ditetapkan bahwa agama urusan pribadi, bukan urusan sekolah atau negara. Keputusan itu diambil karena Lee Kuan Yew melihat pengajaran agama justru menimbulkan perpecahan dan konflik, bukan perdamaian,” ungkap Musdah.

Ia menambahkan, sebaliknya dengan Indonesia yang menjadikan pendidikan agama menjadi pelajaran yang wajib di sekolah, tetapi malah tidak berdampak apapun dan seperti dengan yang diucapkan oleh Lee Kuan Yew bahwa pendidikan agama justru menimbulkan konflik.

"Bahkan, ada Kementerian Agama yang memiliki jutaan pegawai di bidang agama, puluhan ribu sekolah agama, ratusan ribu rumah ibadah, trilyunan rupiah untuk pembangunan bidang agama. Namun hasilnya? Indonesia masuk negara terkorup di dunia, bahkan korupsi pun marak di Kemenaterian Agama,” jelas Musdah.

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, semua orang di Indonesia yang beragama akan taat terhadap agamanya apabila tidak berhadapan dengan uang, kekuasaan dan proyek besar. Apabila sudah berhubungan, agama seperti tidak berarti lagi.

"Jadi, sebaiknya ya untuk pendidikan agama di Indonesia alangkah baiknya dihapus saja supaya bisa mencontoh negara yang sudah sukses, salah satu contohnya adalah Australia,” tutup Musdah.

Nah sebagai gantinya, sebagaimana sudah berlangsung dua tahun belakangan yakni dalam kurikulum 2013, adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini diharapkan mampu membentuk manusia indonesia yang bermoral berdasarkan nilai-nilai etika.

Hanya saja, nilai-nilai etika seperti apa yang dijadikan landasan, masih menuai kritik. Bagaimana pun karakter akan terbentuk berdasarkan prinsip hidup tertentu. Ketika agama dihilangkan dan tidak jadi basis karakter anak didik, dapat dipastikan akan lahir orang-orang berkarakter yang tidak agamis. Kalaupun beragama, mereka sekuler.

Sekuler

Ketua Lajnah Siyasiyah DPP  Yahya Abdurrahman menilai, menghilangkan agama dari pendidikan merupakan lontaran yang tidak akan muncul dari orang yang meyakini bahwa agama mengajarkan kebaikan. Sebaliknya, lontaran seperti itu hanyalah mencerminkan lontaran dengan dasar dan sudut pandang sekuler liberal. Keyakinan yang sejak awal menempatkan agama hanya pada ranah privat/pribadi, dan tidak boleh ikut campur sama sekali dalam ranah publik. Pandangan yang sejak awal memandang agama sebagai penyebab masalah dan kekacauan di ranah publik.

Ia menjelaskan, pandangan ini dulu lahir dilatarbelakangi oleh pemaksaan ajaran agama Nasrani untuk mengatur urusan publik kemasyarakatan. Padahal di dalam agama Nasrani tidak ada aturan dan tuntunan tentang pengaturan kehidupan publik yang bersumber dari wahyu. Karenanya, ketika dipaksakan turut campur dalam urusan publik maka yang lahir hanyalah aturan yang sebenarnya berasal dari para pendeta dan berkolaborasi dengan raja/penguasa yang mengatasnamakan sebagai aturan tuhan yang suci dan sakral. Wajar saja jika kemudian aturan yang sebenarnya tidak bersumber dari agama itu menimbulkan masalah dan konflik.

Menurutnya, masalah dan konflik itu sebenarnya bukan muncul dari agama melainkan muncul dari aturan buatan manusia yang mengatasnamakan agama dan dianggap suci dan sakral yang tidak boleh diutak-atik.

Aturan Nasrani ini coba disamakan dengan Islam. Padahal, itu berbeda sama sekali dengan Islam. Islam memiliki tuntutan dan aturan yang bersumber dari wahyu tentang pengaturan urusan publik, termasuk bagaimana memberantas korupsi dan membangun karakter masyarakat yang disiplin, bekerja keras, teratur, menghormati orang lain dan sebagainya.

Islam, jelasnya, bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan Allah SWT telah menegaskan bahwa Islam diturunkan untuk menjadi rahmatan lil alamin.

Rahmatan lil alamin itu akan datang ketika Islam itu diambil dan dijalankan seutuhnya. Itu artinya, ketika aturan Islam tentang pengaturan urusan publik, tentang pengaturan urusan kemasyarakatan, diambil dan dijalankan maka kerahmatan itu akan datang dan melingkupi kehidupan masyarakat. ”Jadi Allah menegaskan ketika Islam diambil dan dijalankan seutuhnya maka yang hadir bukanlah konflik melainkan kerahmatan.”

Menurut Yahya, sangat minimnya korupsi di Singapura atau negara lainnya, maka sebenarnya itu tidak ada hubungannya dengan penghilangan pendidikan agama dari sekolah. Dan masih maraknya korupsi di negeri ini tidak ada hubungannya dengan adanya pendidikan agama di sekolah. Minimnya korupsi itu sebenarnya lahir dari sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi dan penerapan sistem dan hukum itu. Sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di Singapura yang relatif lebih baik dari negeri ini, meski baik di Singapura maupun di negeri ini sistemnya sama-sama buatan manusia yang tentu saja mengandung kelemahan. Masih maraknya korupsi di negeri ini karena sistem dan hukum pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini masih buruk dan lemah. ”Bahkan secara keseluruhan sistem dan hukum di negeri ini masih buruk. Ditambah lagi penerapan hukum juga amburadul,” ungkapnya.

Adapun pendidikan agama di sekolah yang dikatakan belum berdampak, kata Yahya, itu karena pendidikan Islam di negeri ini masih dibingkai dengan akidah sekulerisme. Islam dipelajari hanya sebagai pengetahuan yang jauh dari implementasi. Dengan pengajaran Islam hanya sekedar sebagai pengetahuan, tidak menjadi keyakinan, wajar saja jika pengaruhnya minim bahkan pada sebagian orang tampak seolah tidak ada pengaruhnya. Namun itu bukan karena Islamnya yang buruk. Tetapi karena pengajaran Islam yang jauh dari penanaman keyakinan, sekadar sebagai pengetahuan, dan diajarkan bukan untuk diterapkan.

Hal yang sama juga berkaitan dengan karakter disiplin, kerja keras, menghormati orang lain dan sebagainya, maka jika hal itu belum tampak di masyarakat negeri ini, hal itu lebih karena sistem, hukum, penanaman pemahaman dan pembentukan budaya seperti itu belum berjalan sepenuhnya. “Penghilangan pendidikan agama dari sekolah tidak akan pernah serta merta menjadikan masyarakat berdisiplin tinggi, punya etos kerja, menghormati orang lain, tertib dan sebagainya,” katanya meyakinkan.

Emblem Seragam Beraneka Ragam

Sebuah sekolah di Makassar, Sulawesi Selatan, mewajibkan siswa-siswinya memasang emblem di bajunya bertuliskan: “Aku Benci Korupsi" dan, “Aku Benci Narkoba”. Padahal di baju mereka pun sudah ada kewajiban memasang emblem lain. Juga ada emblem nama di dada kanan. Di lengan atas ada nama sekolah. Di saku ada emblem OSlS. Maka bisa dibayangkan betapa ramainya pakaian seragam anak SMA itu.

Mungkin pihak sekolah berpikir dengan emblem antikorupsi dan antinarkoba, murid-muridnya akan meniauhi korupsi dan narkoba. Mungkinkah? Banyak pihak menyangsikan. Soalnya, karakter antikorupsi dan antinarkoba tak tergantung emblem. Terlalu sederhana itu masalahnya.

---
Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 155


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam