Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 18 September 2011

PERSEPSI SALAH Mengenai Hadits Ahad YANG HARUS DILURUSKAN

PERSEPSI SALAH Mengenai Hadits Ahad YANG HARUS DILURUSKAN


PERSEPSI SALAH YANG HARUS DILURUSKAN

Rasulullah Saw. mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam –baik masalah ‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja

Apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di wilayah-wilayah Islam, baik untuk mengajarkan masalah ‘aqidah maupun hukum syara’, menunjukkan bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah?

Untuk menjawab pertanyaan ini,  perlu dibedakan terlebih dahulu antara itsbat khabar (penetapan berita),  khabar (berita), dengan tabligh khabar (menyampaikan berita), syahadah (kesaksian).

 Itsbat adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu benar-benar qath’iy (pasti) berasal dari sumber asal berita, ataukah tidak pasti. Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer.” Yang dimaksudkan itsbat khabar, adalah apakah khabar yang dibawa oleh Nu’man bin Basyir benar-benar pasti (qath’iy) khabar dari Rasulullah Saw., atau tidak pasti? Bila berita itu bisa dibuktikan benar-benar berasal dari Rasulullah Saw., maka dari sisi itsbat berita tersebut adalah qath’iy berasal dari Rasulullah Saw..    Contoh lain adalah al-Quran al-Karim. Apakah al-Quran yang dibukukan dalam mushhaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari Rasulullah Saw., ataukah tidak pasti? Jika ia bisa dibuktikan memang benar-benar berasal dari Rasulullah Saw., maka al-Quran tersebut adalah pasti berasal dari Rasulullah Saw.. Inilah yang disebut dengan itsbat.’

Khabar adalah, berita, informasi yang dibawa oleh seseorang.  Khabar bisa meliputi masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’. Pada hadits di atas, yang disebut khabar adalah matan hadits itu sendiri, yakni, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer”.

Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh saksi di hadapan qadliy di dalam majelis peradilan. Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Kesaksian dianggap batal bila tidak memenuhi nishab kesaksian. Misalnya, kesaksian dalam masalah perzinaan nishabnya adalah empat orang. Jika kurang dari empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak.   Dalam ru’yatul hilal, saksi cukup satu orang saja. Untuk masalah mu’amalah disyaratkan dua orang saksi.

Ini berbeda dengan masalah tabligh. Tabligh tidak disyaratkan jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk men-tabligh-kan Islam, baik menyangkut masalah ‘aqidah maupun hukum syara’.

Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang lain. Misalnya, ada informasi tentang kecelakaan lalu lintas.  Kemudian anda menyampaikan informasi ini kepada orang lain yang jauh dari lokasi kecelakaan dan tidak melihat secara langsung peristiwa kecelakaan tersebut. Aktivitas menyampaikan informasi kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar. Misalnya, Ali ra. menyampaikan surat al-Taubah kepada penduduk Yaman. Apa yang dilakukan oleh ‘Ali ra. tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar.

Tabligh berbeda dengan itsbat khabar. Tablig adalah menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang disampaikan, dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana kesaksian). Tabligh akan terjadi hingga akhir masa.   Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah mutawatir atau tidak sudah selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama, kedua, dan ketiga (masa shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).

Memang benar, Rasulullah Saw. telah mengutus seorang shahabat atau beberapa orang shahabat untuk menyampaikan Islam kepada sekelompok masyarakat, dan raja-raja. Rasulullah Saw. juga pernah mengutus ‘Ali ra. untuk membacakan surat Taubah kepada sekelompok masyarakat. Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangatlah banyak.

Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam masalah tabligh. Baik tabligh yang berhubungan dengan ‘aqidah maupun hukum. Akan tetapi, riwayat-riwayat semacam ini tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak boleh dikatakan bahwa penerimaan terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.  Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.

Dalilnya adalah sebagai berikut;

Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar meyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar meyakinkan (qath’iy), muballigh harus meyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak meyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu.  Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum.  Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran.  Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.

Dalilnya adalah, para shahabat ra. terbiasa melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima.   Shahabat ‘Umar ra. pernah menolak tabligh khabar dari Hafshah ra..   Demikian juga para shahabat yang lain.

Para ‘ulama hadits juga telah mengamalkan hal ini. Sebagian ‘ulama hadits menolak riwayat yang oleh ‘ulama hadits lainnya dianggap sebagai hadits yang shahih. Riwayat yang dishahihkan oleh sebagian ‘ulama belum tentu dishahihkan oleh ‘ulama yang lain.

Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain. Contohnya adalah, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, Kaum mukmin itu saling menanggung darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Tirmidziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.”  ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”

Contoh lain adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad, al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, kami tengah berlayar di lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat sedikit. Jika kami berwudlu’ dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh berwudlu’ dengan air laut? Rasulullah Saw. menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya halal.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya. Ibnu ‘Abdi al-Barr dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits ini. Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan masyhur, dan diriwayatkan oleh para ‘ulama dalam kitab-kitab mereka. Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya  juga tsiqat (terpercaya).  Imam Syafi’iy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang yang tidak saya ketahui.”

Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa Nashiruddin al-Albani telah menolak (melemahkan) hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits.

Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [telah dibuktikan bahwa ia adalah riwayat ahad], dianggap kekufuran, betapa para ‘ulama sekaliber Imam Syafi’iy, Abu Daud, Tirmidziy, serta ‘ulama-‘ulama lain telah kafir seluruhnya. Atau apakah anda akan menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani telah kafir karena menolak khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, serta Imam-imam ahli Hadits lainnya? Alasannya, karena ia telah menolak tabligh khabar ahad dari perawi-perawi yang lain. Apakah anda berani mengkafirkan ‘ulama-‘ulama besar tersebut, hanya karena mereka menolak riwayat-riwayat ahad!

Ini membuktikan bahwa penolakan terhadap tabligh khabar tidak berujung kepada kekafiran. Akan tetapi menolak tabligh Islam, yang khabarnya telah dibuktikan kepastiannya [itsbat-nya qath’iy], misalnya al-Quran, dan Kenabian Mohammad Saw., serta hadits-hadits mutawatir, bisa menjatuhkan seseorang dalam kekafiran!! Orang yang menolak al-Quran yang telah nyata-nyata dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan, maka dirinya telah keluar dari Islam tanpa ada khilaf. Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan (berdasarkan proses itsbat (penetapan)) sebagai berita yang meyakinkan (qath’iy) berasal dari Rasulullah Saw., maka menolak berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran. Jumhur ‘ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir saja yang menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat. Berita ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan (keraguan).

Sedangkan masalah mengambil hadits ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah itu adalah masalah lain. Karena ‘aqidah harus didasarkan kepada sesuatu yang meyakinkan, maka dalil-dalil yang membangun ‘aqidah pun harus qath’iy dan meyakinkan. Bila ‘aqidah harus meyakinkan dan tidak boleh meragukan, maka dalil yang bisa membangunnya haruslah dalil yang bersifat meyakinkan. Iman semacam ini tidak mungkin diwujudkan dengan dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah seperti halnya hadits ahad.

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah = Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf

    Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, pembahasan semacam ini –hadits ahad menghasilkan keyakinan atau tidak—termasuk dalam pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah fiqhiyyah.  Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang dibuat setelah periode ‘ulama salaf. Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu ini, hanya dengan alasan karena tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf?

    Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung ‘aqidah salaf dan hal-hal yang mereka pegangi. Jika yang dimaksudkan generasi salaf adalah sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya”, maka tidak secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah dan sesat. Jika anda konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf, dan hukum yang digali salaf, sedangkan yang lain tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena tidak dikatakan ulama salaf-, lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas pertama kali oleh Imam Syafi’iy. Bukankah beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan landasan ilmu ushul fiqh pertama kali, melalui bukunya al-Risalah? Selain itu, bukankah beliau hidup setelah masa tiga masa itu. Bahkan beliau tidak termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in. Apakah anda akan mengatakan bahwa yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah dibicarakan oleh ulama salaf? Kalau merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan, sedangkan yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab Shahih Bukhari dan Muslim?  Bukankah keduanya dibukukan setelah periode salaf? Apakah anda menyatakan bahwa Imam Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?

    Oleh karena itu, pertanyaannya bukan apakah telah dibicarakan oleh ulama salaf atau belum, sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak. Yang terpenting adalah apakah sebuah pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas? Tidak perlu kita nyatakan siapa yang menggali hukum tersebut. Pendapat shahabat saja bukan dalil bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat mereka salah. Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak.  Sebab, ulama salaf tidaklah ma’shum.

    Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah harus dilakukan hingga akhir jaman. Padahal, ada peristiwa-peristiwa maupun kejadian-kejadian yang tidak dijumpai di generasi salaf. Namun, kita tetap harus menggali hukum berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah ‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad

    Ini adalah kesimpulan premature yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya mengenai ushul fiqh.

    Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa digunakan hujjah dalam perkara syari’at (amal).  Sedangkan dalam perkara ‘aqidah, yang membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di dalamnya. Sebab, iman mensyaratkan harus diyakini seratus persen tanpa ada syubhat ataupun kesamaran. Sedangkan hadits ahad masih mengandung syubhat dan kesamaran. Walhasil, jika iman mengharuskan adanya keyakinan, maka keimanan (‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits ahad.

    Lalu mereka mengeluarkan sebuah statement,” Kalau anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti mengerjakannya? Bukankah ini berarti bahwa apa yang anda kerjakan tidak didasarkan pada keyakinan atau iman?  Padahal, bukankah kita diperintah untuk mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman?

    Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita. Kita tidak boleh mengerjakan perbuatan bukan karena motivasi iman. Namun, masalah ini (perbuatan yang harus berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan berhujjah dengan dalil ahad dalam masalah ‘aqidah. Dalam masalah amal (perbuatan) Allah Swt. dan juga rasul-Nya tidak mensyaratkan harus dibangun berdasarkan dalil yang meyakinkan. Untuk perkara amal, Allah dan Rasul-Nya mencukupkan kepada kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan (dilalah-nya dan tsubutnya (hadits ahad).  Syara’ tidak mensyaratkan bahwa untuk mengerjakan sebuah amal harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Ini menunjukkan, tatkala kami beramal menggunakan hadits ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah membolehkan kita untuk beramal dengan dalil-dalil dzan; misalnya hadits ahad. Namun, Allah melarang kita untuk menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk membangun pokok ‘aqidah.

    Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak berarti bahwa, kami mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi iman.

    Perhatikan juga contoh berikut ini. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat tentang bersuci. Sebagian ulama –madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan secara hakiki. Artinya, jika orang yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka batal wudlu’nya.   Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata menyentuh di situ bermakna “bersetubuh”. Walhasil, seseorang tidak batal wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya.  Tentunya, bagi orang yang memegang pendapat pertama menyandarkan perbuatannya dengan dalil yang dilalah-nya dzanniy.  Dengan kata lain ia berbuat dengan bersandar kepada prasangka kuatnya (dzan) dan tidak didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan landasan keimanan.

    Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan yang didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan.   Yang benar adalah, kami meyakini bahwa, tatkala kami mengerjakan perbuatan yang disandarkan pada hadits ahad, itu memang karena diperintahkan Allah. Sebab, Allah tidak mensyaratkan bahwa dalil yang membangun perbuatan  harus dalil yang menghasilkan keyakinan.

Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi Saw. bersabda:

"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau daripada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka" (HR. Muttafaq ‘Alaih).

    Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak menyandarkan pada dalil (bukti) yang meyakinkan.  Sebab, kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak meyakinkan. Bahkan beliau menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan tetapi, beliau tetap menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan). Beliau menjatuhkan sanksi bukan karena dalil (bukti) yang meyakinkan.  Padahal, penjatuhan vonis termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus disandarkan dengan dalil yang qath’iy.

Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak meyakinkan? Apakah anda akan menyimpulkan bahwa Rasulullah Saw. mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada keimanannya?

    Walhasil, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad.  Sebab, mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang adil. Akan tetapi, ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran telah melarang kita mengambil dalil-dalil dzan dalam perkara ‘aqidah. Sedangkan dalam perkara hukum hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah.

Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan yang jelas dan gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Pendapat ini merupakan pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti. Siapa saja yang menolak perkara ini sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri. Semoga Allah menyadarkan orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu.

Wahai kaum muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah ini. Sebab, ‘aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita. ‘Aqidah bersih yang sanggup memurnikan dan mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak dengan hujjah yang kuat dan meyakinkan.

Di sisi yang lain, menegakkan syari’at Allah dengan tertegaknya Khilafah Islamiyyah merupakan refleksi tauhid uluhiyyah yang paling tinggi. Mengabaikan perkara ini akan menjatuhkan siapapun ke lembah dosa dan kehinaan. Mengapa kita tidak segera terhimpun dan bersatu untuk menegakkan kembali Khilafah yang agung ini, agar syari’at Allah bisa diterapkan secara kaamil dan syamil; dan agar tauhid uluhiyyah kita tidak terkotori? Mengapa kita tidak menyibukkan diri untuk urusan ini? Sementara itu kita malah asyik masyuk dengan masalah ikhtilaf yang sampai hari kiamat tidak akan pernah selesai?

Dari Buku: MELURUSKAN AQIDAH KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin Ramadlan

PERSEPSI SALAH Mengenai Hadits Ahad YANG HARUS DILURUSKAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam