Kebijakan Ekonomi China
Di 2016 China meneruskan upayanya untuk pindah dari model ekonomi upah rendah, mengekspor secara agresif menjadi model pertumbuhan berdasar konsumsi dalam negeri. Namun problem ekonomi yang mulai di tahun 2015 telah berlanjut ke 2016 dan China ditengarai hidup dalam utang yang berpotensi menjadi krisis.
Sepanjang 2016 perekonomian Cina diliputi tanda-tanda problem serius. Krisis pasar modal di 2015 memaksa pemerintah turun tangan dengan segudang uang untuk perusahaan-perusahaan demi meringankan mereka. Pemerintah pusat China selama ini memang selalu terlibat langsung mengendalikan perekonomian, dan keterlibatannya sekarang melahirkan masalah bukannya solusi.
Jejak Pertumbuhan Ekonomi
Sejak era terbuka 1979, Cina menerapkan strategi upah murah dan ekspor agresif untuk menghasilkan kekayaan, menciptakan lapangan kerja, dan membangun negara. Untuk mencapai ini, Cina menggunakan beberapa alat:
- China mengadakan Zona Ekonomi Khusus di berbagai propinsi pelabuhan untuk menarik investasi asing di bidang manufaktur barang kualitas rendah dengan menawarkan tanah, tenaga kerja murah dan bermacam insentif pajak dan lainnya. Ini kemudian memberi Cina tabungan mata uang asing dan penghasilan pajak untuk membangun dalam negerinya.
- China membuat nilai mata uangnya tetap rendah, sehingga barang ekspornya lebih murah dari yang lain. Hal ini menjaga pabrik-pabrik China bekerja dan mayoritas warga Cina punya pekerjaan. Ini juga berarti menangani masalah gejolak sosial yang telah lama mewabahi Cina.
- Pemerintah China menggunakan sistem perbankan nasional untuk memuluskan tujuan partai Komunis. Tabungan negara yang besar dialirkan melalui bank-bank kepada perusahaan-perusahaan dengan kredit tersubsidi. Perusahaan yang ingin dapat kredit harus padat karyawan, sehingga menjaga kohesi sosial.
- 159 Perusahaan Milik Negara (PMN) besar menjadi penyuplai bahan-bahan baku utama semacam peralatan, industri berat, dan energi untuk swasta. Investasi agresif ke luar, didorong oleh banyak uang dari PMN dan bank-bank negara memungkinkan Cina meluaskan bisnisnya ke dunia untuk ekspansi pasar, jasa dan impor bahan baku.
Perubahan Kebijakan Ekonomi Cina
Krisis keuangan global di 2008 membuat parah sektor ekspor China. Krisis itu mengakhiri tiga dekade kemakmuran ekspor yang berhasil dicapai pemerintah Cina melalui bertahun-tahun penekanan upah dan pemberian subsidi besar. Karena krisis itu, GDP China sektor ekspor anjlok, dari hampir 40% di 2007 menjadi di bawah 24% sekarang. Untuk mencegah keruntuhan ekonomi (yang sering dialami Cina dalam 4000 tahun sejarahnya) Beijing menjaga perekonomian melalui investasi negara yang massif dalam sektor perumahan dan pembangunan infrastruktur dalam negeri.
Ekonomi China bergantung pada investasi aset tetap seperti pembangunan jalan, jalur kereta, dan komplek apartemen. Selama 10 tahun terakhir, karena ekspor murah jadi anjlok dan konsumsi dalam negeri terus menurun, investasi aset tetap ini menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan dan lapangan kerja di Cina, dan menjadi pondasi stabilitas. Dana untuk investasi besar itu harus diadakan, dan selama bertahun-tahun China menggunakan banyak cara. Dari memotong suku bunga dan dana simpanan wajib perbankan hingga mendorong pasar modal dan pembelanjaan. Mayoritas investasi Beijing didanai dari utang. Utang mayoritas dari bank-bank milik negara: di 2015, utang dari bank mencapai 141% dari GDP. Surat utang beredar mencapai 63% dari GDP. China menggunakan kendalinya atas sektor perbankan untuk menetapkan suku bunga dan menentukan ke mana utang mengalir dan seberapa cepat. Sebagian besar uang dialirkan ke berbagai perusahaan milik negara.
Semua utang ini, terutama yang di sektor perumahan, telah menciptakan gelembung yang sekarang telah jadi masalah utang yang lebih parah. Pemerintah memompa kredit ke sektor perumahan dengan harapan bisa menambal penurunan di sektor ekspor. Hingga muncul fenomena kota-kota "hantu." Kantor berita resmi Cina Xinhua menunjukkan bahwa pembangunan kota di China sudah lepas kendali, tiap ibukota propinsi berencana membangun rata-rata 4,6 distrik kota; dan kota-kota daerah berencana membangun rata-rata 1,5 distrik baru. Area-area urban baru ini akan berdaya tampung 3,4 milyar orang padahal permintaan sesungguhnya populasi China tidak sampai 1,4 milyar.
Apa yang dilakukan Cina dalam menangani krisis ekonomi setelah krisis ekonomi global di 2008 adalah dengan terus memproduksi dan membangun lebih banyak daripada yang dia butuhkan dalam sektor konstruksi. Dalam prosesnya, dia telah mengakumulasi utang jelek terbesar dalam sejarah. Para peneliti di Badan perencanaan negara China mengatakan di 2016 bahwa Cina telah "menyia-nyiakan" $6,8 trilyun investasi. Kelebihan kapasitas sangatlah besar di banyak sektor hingga akan membutuhkan bertahun-tahun untuk diserap oleh permintaan yang alami. Ketika pertumbuhan utang-swasta melampaui pertumbuhan GDP, maka kelebihannya itu adalah utang bermasalah. Cina saat ini diperkirakan punya $1,75 trilyun hingga $3,5 trilyun utang bermasalah - di mana total dana dalam sistem perbankan China hanya $1,5 triliun.
Pada 8 September 2016, The Wenzhou Credit Trust, salah satu dari banyak perusahaan penjamin di Cina, jatuh bangkrut. Perusahaan itu menghentikan semua pemberian pinjaman baru dan menunda pencairan dan pembayaran riba atas sertifikat-sertifikat utangnya. Dalam seminggu, perusahaan penjamin utang lainnya jatuh bangkrut, dan seminggu berikutnya 7 lainnya bangkrut. Para pemegang sertifikat yang marah berdemo di Wenzhou dan Chongqing namun lalu dibubarkan polisi. Dalam sebulan, lebih dari 50 perusahaan penjamin bangkrut. Protes-protes meningkat dan menyebar di seantero negara. Dalam kepanikan itu, kredit perumahan anjlok, semakin menambah tekanan pada harga perumahan dan mencederai perekonomian lokal. Bursa saham Shanghai dan Shenzhen jatuh. Harga besi, baja, batubara, tembaga, aluminium, dan komoditas lain -termasuk minyak- turut menurun. Pemerintah Cina mengintervensi, menyuntikkan dana ke para pemberi utang itu dan meyakinkan konsumen bahwa negara menalangi perusahaan-perusahaan itu. Langkah ini menenangkan pasar modal, tapi harga-harga komoditas terus merosot dan renminbi jatuh, devaluasi pun menghantui. Mencapai musim dingin, dampaknya telah meremukkan berbagai pasar dan perusahaan di Asia dan Australia; dan pasar-pasar Eropa dan AS melambat. The Bank for International Settlements memperingatkan di September 2016 beban utang China terlalu berat dan masih terus cepat bertambah (China warned to rein in growing mountain of debt or risk triggering another global financial crisis, abcnet.au, 27 September 2016, http://www.abc.net.au/news/2016-09-26/china-warned-to-rein-in-debt/7878426?section=businoess).
Bacaan: Adnan Khan, Strategic Estimate 2017, Khilafah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar