Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Tampilkan postingan dengan label neoimperialisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neoimperialisme. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Juni 2017

Demokrasi Dan Penjajahan Politik



Demokrasi di Dunia Islam erat kaitannya dengan penjajahan politik. Pasalnya, demokrasi sering menjadi pintu masuk intervensi Barat imperialis terhadap Dunia Islam.

Fakta Penjajahan di Dunia Islam

Menggunakan istilah ‘penjajahan’ dalam konteks saat ini, untuk menunjukkan betapa besarnya hegemoni dan intervensi Amerika Serikat (AS) dan Barat atas Dunia Islam, sesungguhnya masih dikatakan tepat -meski masih banyak kalangan di masyarakat yang memandang penggunaan istilah tersebut terlampau ekstrim. Betapa tidak. Dunia Islam yang seharusnya saat ini mengambil peran untuk “mengatur dunia” sebagai representasi khayr al-ummah dan rahmatan lil ‘alamin dengan aturan Ilahi masih tidak dapat berbuat banyak. Kendali Barat atas sistem hidup Dunia Islam masih sangat kental dan sukar sekali ditinggalkan. Posisi Dunia Islam yang masih termarjinal dan kurang aktif dapat dibaca sebagai dampak penjajahan politik Barat.

Untuk menyamakan persepsi tentang penjajahan, tampaknya definisi yang disodorkan Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam Kitab Mafahim Siyasiyah masih memiliki relevansi yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa penjajahan adalah dominasi (intervensi) politik, militer, kebudayaan, dan ekonomi terhadap bangsa-bangsa yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi.

Intervensi politik atas Dunia Islam sulit untuk dikatakan tidak ada. Bahkan Barat menggunakan dua jenis pendekatan dalam melancarkan intervensinya itu. Sebut saja, yang pertama, adalah pendekatan hard power. Dengan pendekatan ini Barat menjadikan keunggulan teknologi militernya sebagai modal untuk menanamkan investasinya di Dunia Islam. Serangan militer AS yang segera atas Afganistan dan Irak, misalnya, menjadi posisi tawar yang tinggi untuk menggertak negeri-negeri Islam yang vokal dalam mengkritisi kebijakan luar negeri AS.

Pendekatan hard power inilah yang sebenarnya harus ditafsirkan oleh publik Muslim sebagai bentuk penjajahan meski pemerintahan AS mempropagandakan tindakannya tersebut sebagai war on terror, war against terrorism, atau pre-emptive strike (serangan mendahului). Apapun propaganda itu, semangat di balik pendekatan hard power sejatinya tetaplah penjajahan.

Pendekatan kedua, yaitu soft power, lebih ditujukan untuk mengubah persepsi Dunia Islam terhadap keyakinannya (baca: ideologi Islam). Clash of civilization yang diakibatkan oleh adanya perbedaan diametral dan asasi antara keyakinan Islam dan Barat, dicitrakan hanyalah sebagai mitos dan out of date. Apabila masih ada ulama yang menyebutkan Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara), maka ia dicitrakan Barat sebagai sosok yang konservatif, puritan, dan tidak layak untuk diikuti, atau -jika menggunakan istilah propaganda hitam- sebagai pengikut Osama bin Laden yang melancarkan teror dan konflik.

Pendekatan soft power tetap bermuara pada intervensi politik Barat atas persepsi Dunia Islam, dengan tujuan agar umat Islam pasrah menerima apa yang dikehendaki Barat atas mereka. Dengan kalimat lain, Barat memerlukan penerimaan Dunia Islam secara utuh atas upayanya menguasai sumber-sumber ekonomi dunia dan menancapkan Kapitalisme secara kukuh.

Realitas Penjajahan Politik Barat atas Dunia Islam

Kasus Afganistan dan Irak sesungguhnya dapat menjadi contoh yang baik untuk melihat bagaimana Barat menjajah daerah tersebut. Dua negara ini dulunya memiliki tipikal yang sama, yaitu diperintah oleh penguasa yang tidak disenangi Barat, mayoritas Muslim, kaya minyak, dan memiliki geopolitik yang cukup strategis di Timur Tengah. Kedua negara tersebut juga memiliki nasib akhir yang relatif sama: mereka digempur oleh invasi militer dengan alasan yang tidak pemah jelas dan tidak dapat dibuktikan. Pemerintah Taliban dituding telah melindungi Osama bin Laden dan kelompok Al-Qaida, sedangkan pemerintah Saddam Hussein dituduh menyembunyikan senjata pemusnah massal. Dua operasi militer atas negara-negara ini disimbolkan sebagai serangan mendahului (pre-emptive strike) melawan terorisme.

Drama dua invasi tersebut diakhiri dengan ending yang hampir sama, yaitu penggulingan pemerintahan yang lama dan penunjukkan pemerintahan baru, pembentukan majelis perwakilan, undang-undang dasar yang baru, serta persiapan Pemilu yang semuanya telah direkayasa sedemikian rupa. Pemerintahan baru tersebut tentu saja akan menginduk pada negara yang telah mengangkatnya. Ia tak lebih menjadi penguasa boneka yang siap melayani keinginan tuannya dan siap mengorbankan rakyatnya. Begitupun undang-undang dasar (konstitusi negara) yang akan dilegislasi oleh parlemen yang diangkat oleh penguasa tidak akan jauh beda. Mereka akan memproduksi konstitusi sekular sebagai alat untuk memaksakan sistem sekular ke tengah-tengah publik Islam.

Setiap ada upaya penolakan dari kelompok Islam, maka hal tersebut dicitrakan sebagai tindakan teror dan memicu konflik sosial. Di tengah-tengah situasi ini, penduduk sipillah yang menjadi korban, menyusul kacaunya aktivitas perekonomian dan instabilitas politik. Walhasil, kondisi ini dimanfaatkan Barat untuk lebih mencengkeramkan pengaruhnya dalam bentuk bantuan keamanan dan ekonomi. Sudah barang tentu, uluran tangan Barat ini diimbangi dengan pemberian konsesi berupa proyek eksplorasi minyak atau proyek pembangunan lainnya. Bahkan lebih dari itu, keberadaan pasukan AS juga difungsikan untuk melumpuhkan kekuatan Islam yang berupaya mendirikan Khilafah.

Dalam konteks Indonesia, intervensi asing dalam setiap separatisme cukup terasa. Sebagai contoh, pasca penandatanganan MoU Helsinski antara Pemerintah RI dan GAM yang dianggap banyak pengamat lebih menguntungkan kelompok separatis, pihak mediator Barat mengambil kendali. Kehadiran Aceh Monitoring ini diduga merupakan kepanjangan tangan dari pihak Barat yang ingin mengambil keuntungan dari perdamaian RI dan GAM. Dalam kasus separatisme lainnya, seperti RMS, keterlibatan asing cukup terlihat; dari mulai pengadaan persenjataan yang relatif canggih yang dimiliki RMS hingga kaburnya pemimpin RMS ke Washington DC. Bahkan disinyalir, menurut laporan intelijen TNI, jumlah intelijen asing yang melakukan spionase dan terlibat langsung dalam konflik cukup banyak. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat banyak sekali pulau-pulau kecil di gugusan kepulauan Maluku yang dapat dijadikan tempat persembunyian.

Strategi Aktif Barat

Membaca realitas penjajahan politik Barat atas Dunia Islam setidaknya kita dapat memahami bahwa Barat menjadikan beberapa isu digunakan untuk mengintervensi (baca: menjajah) Dunia Islam. Pertama: perang melawan terorisme. Kampanye ini telah memuluskan Barat, khususnya AS, menguasai berbagai negeri Islam dengan cara merusak pranata politiknya, menggulingkan penguasanya -yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Barat- sekaligus mengangkat penguasa boneka, serta mengklasifikasikan mana negeri yang pro terhadap Barat dan negeri yang kontra.

Selain itu, derivat dari kebijakan ini telah mengubah paradigma dunia terhadap Islam dan umatnya. Islam disebut sebagai agama teror dan Umatnya disebut teroris. Tidak hanya itu, kampanye ini berupaya cara pandang umat Islam terhadap aktivitas jihad, seiring dengan munculnya tudingan bahwa jihad adalah terorisme. Pemahaman salah inilah yang telah mengkooptasi benak sebagian umat Islam.

Kedua: isu demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kampanye Barat dengan menggunakan isu ini ditujukan untuk mengubah cara memahami konsep Islam. Islam yang seharusnya dipahami sebagai sebuah ideologi dan sistem hidup yang khas, dengan isu demokratisasi dan HAM, diubah menjadi sistem nilai (values) yang hanya menjadi spirit dalam aktivitas religi. Artinya, konsep Islam yang pada awalnya khas dan vis a vis dengan konsep Barat kemudian bisa dikompromikan.

Tentu saja penyesuaian ini memiliki maksud untuk membuang konsep Islam yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi dan HAM. Lalu dipromosikanlah di dunia Islam konsep Islam modern yang di dalamnya telah terjadi “penyesuaian” atas konsep Islam. Kelompok yang sejalan dengan Barat ini kemudian disebut Islam moderat, sedangkan yang berseberangan dengan kelompok ini disebut Islam garis keras. Menyikapi isu ini, Menlu Hassan Wirayuda menyebutkan bahwa Islam moderat adalah modal dasar bagi Indonesia dalam upaya memperbaiki hubungan internasional dengan negara-negara Barat.

Ketiga: politik pecah-belah dengan pendekatan stick and carrot. Modus ini digunakan untuk membelah-belah tubuh umat Islam. Terjadinya dikotomi antara Islam moderat dan Islam garis keras, betapapun sederhananya, tetap saja akan membingungkan umat Islam secara umum. Bahkan tidak hanya itu, isu ini jika disikapi secara emosional, dapat memancing pertikaian sesama umat Islam. Betapa besar energi yang harus terkuras untuk masalah ini, padahal pada saat yang sama, Barat telah mengeksploitasi kekayaan Dunia Islam dan mencengkeramkan Kapitalismenya.

Politik stick and carrot pun kemudian digunakan Barat untuk memukul kelompok Islam yang menentang agenda dan ideologinya pada satu sisi dan membiayai kelompok yang mengkampanyekan ide-ide kebebasan Barat -yang dibungkus dengan religiusitas- pada sisi lain. Konsekuensinya, jika kelompok moderat menang tentu saja penjajahan Barat atas Dunia Islam seakan-akan mendapatkan legitimasi dari kelompok Islam. Namun sebaliknya, jika kelompok moderat kalah, Barat harus berhadapan dengan umat Islam. Wallahu a’lam.

Bacaan: Buku Ilusi Negara Demokrasi
---

Minggu, 26 Maret 2017

Republik Sistem Negara Penyimpangan



manusia tidak akan terselamatkan dengan sistem bukan-Islam, tapi hanya dengan sistem keadilan dari Tuhan, yang diturunkan dari atas tujuh langit, dan diterapkan melalui Khilafah yang tegak di atas metode kenabian, seperti yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw. Inilah sesungguhnya yang harus diwujudkan melalui revolusi damai, dan inilah yang selama ini terus diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir. Dan kami berharap kepada Allah semoga impian itu segera terwujudkan dalam waktu dekat.

sistem republik adalah senjata beracun yang digunakan Barat untuk menikam Islam dan umat Islam. Maka saatnya umat mencampakkan sistem republik itu, dan kembali kepada syariat Allah. Tidak pantas seorang muslim yang mengaku mencintai Rasul Saw. justru memilih aturan hidup lain yang rusak,

Islam moderat dan sistem republik, adalah alat Barat untuk memecah-belah dan melegalkan penjajahan gaya baru. yang sejalan dan bisa mengakomodasi kepentingan penjajahan Barat disebut moderat, yang tidak maka mereka sebut radikal.

sistem republik telah melahirkan hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya, muncullah kebijakan elit politik yang lebih pro pemilik modal daripada pro rakyat. Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap merupakan penyakit kronis sistem republik.
Biaya kampanye dalam pemilihan presiden AS secara demokratis tahun 2008 lalu, misalnya, mencapai sekitar Rp 46,1 Triliun. Wajar jika para kandidatnya sangat mungkin dikendalikan oleh para kapitalis besar yang memiliki perusahaan multinasional. Banyak sumber yang mengungkap bahwa setiap kandidat presiden hingga parlemen di AS senantiasa menjadikan Wall Street sebagai sumber pendanaan kampanye mereka. Sejumlah pejabat pemerintah AS seperti Menteri Keuangan Robert Rubin pada era Bill Clinton dan Henry Paulson pada masa George W. Bush merupakan mantan CEO Goldman Sachs, perusahan raksasa Wall Street.
Kepala staf Menteri Keuangan (Timothy Geithner) juga dipimpin oleh mantan pelobi Goldmann Sachs Mark Patterson. Bahkan menurut laporan Washington Examiner, Goldman Sachs merupakan penyumbang terbesar kampanye Obama tahun 2008. Dalam buku Sold Out: How Wall Street & Washington Betrayed America, disebutkan daftar belanja kampanye dan lobi oleh lembaga-lembaga finansial (perbankan, asuransi, investasi, real estate). Untuk periode 1998-2008 dana kampanye sektor tersebut sebesar US$1,7 miliar dan dana lobi sebanyak US$ 3,4 miliar.

Sistem republik ternyata membajak suara rakyat untuk kepentingan segelintir elit (politisi dan kapitalis) yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan. Di negeri ini, misalnya, pernah ada usulan dana aspirasi Rp15 miliar, dana akal-akalan dengan alasan pembinaan daerah pemilihan yang akan menguras Rp8,4 triliun APBN. Ada pula rencana pembangunan gedung ‘miring’ DPR Rp1,8 triliun yang kemudian dihentikan karena diprotes rakyat. Pada saat yang sama, angka pertambahan orang miskin di Indonesia dalam 3 tahun terakhir melonjak tajam. Berdasarkan data ADB orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang (Detik.com, 26/10/2011).

Kegagalan sistem republik dalam mewujudkan sistem politik yang bersih dan sehat tampak pada mahalnya biaya Pemilu dan Pilkada. APBN 2008 mengalokasikan dana untuk keperluan penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 Triliun dan operasional KPU Rp 793,9 Miliar. Sepanjang tahun 2010 dilangsungkan sekitar 244 Pilkada dengan biaya kurang lebih Rp 4,2 Triliun. Hasilnya, selama 2010 tercatat 144 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka, kebanyakan kasus korupsi.
Karena itu, masuk akal jika kemudian parpol dikendalikan oleh mereka yang memiliki modal besar (para kapitalis). Tentu karena mereka pada umumnya menyumbang kepada parpol imbalannya berupa kebijakan yang menguntungkan bagi mereka saat parpol tersebut duduk di kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Dalam kondisi tersebut, tampaknya segala usaha pemberantasan korupsi kelas kakap akan menemui jalan buntu karena justru negaralah yang menjadi pelaku korupsi (korupsi negara), sedangkan biangnya adalah sistem republik.

Ternyata kebebasan yang dilahirkan dari rahim sistem republik menimbulkan problem maraknya kejahatan seksual. Hal ini hampir menyerupai apa yang sudah lazim terjadi di berbagai negara kampiun sistem republik kapitalis Barat semisal Inggris dan Amerika Serikat. Di sana bisa terjadi 78 kasus pelecehan seksual setiap jamnya, atau 683.280 kasus setiap tahun. Ini adalah fenomena mengerikan yang menyuguhkan potret masyarakat yang rusak dengan hancurnya moralitas, kemaksiatan merajalela dan tingkat kriminalitas yang tinggi akibat penerapan sistem republik.

Sebenarnya sistem republik menyimpan cacat bawaan, yaitu adanya kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan "rakyat", dengan asumsi suara rakyat adalah kebenaran, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Karena itu, ketika negara imperialis Barat mengarahkan agar sistem republik yang mempunyai cacat bawaan itu digunakan untuk melakukan perubahan masyarakat di wilayah Timur Tengah saat ini dan negeri-negeri Muslim lainnya, sudah pasti bakal mengalami kerusakan.
Perubahan hakiki tidak akan terjadi hanya dengan mengganti satu agen dan agen lainnya, bukan pula mengganti konsitusi sekular yang satu dengan konstitusi sekular yang lainnya, bahkan hanya dengan tambal sulam dengan syariah Islam yang digunakan sekadar sebagai kosmetik dan pewarna atau alat legitimasi saja. 
Perubahan yang sejati hanya akan terjadi ketika umat Islam bergerak dengan tuntunan yang telah diatur oleh syariah dalam satu pikiran, perasaan dan aturan yang sama dengan tegaknya Khilafah Islam serta pemimpinnya yang amanah. 
Perubahan sejati inilah yang akan membuat kaum Muslim dan kafir (dzimmi) aman dengan jaminan keamanan dan kesejahteraan Islam tanpa diskriminasi.
Dalam bidang ekonomi syariah Islam juga menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Barang tambang yang melimpah (emas, perak, minyak dll), air, hutan dan listrik merupakan milik umum yang digunakan untuk kepentingan rakyat; tidak boleh diberikan kepada swasta atau individu. Dengan cara seperti ini Khilafah akan mensejahterakan masyarakat, yang gagal diwujudkan oleh sistem republik.

barat kafir imperialis telah bermain-main dengan akal pikiran kaum Muslim dan membuat kaum Muslim melupakan misi mereka dan rahasia kekuatan mereka. Barat kafir imperialis terus berusaha sungguh-sungguh menguatkan cengkeraman politik dan kultural mereka atas negeri-negeri kaum Muslim setelah umat Islam bangun dan mulai mendongkel antek-antek barat di antara para pengkhianat dan diktator satu demi satu. Barat kafir imperialis terus saja mempromosikan negara mereka, negara sipil sistem republik, liberalisme dan sekulerismenya.
Bagaimana mungkin liberalisme, sistem republik dan sekulerisme bisa bertemu dengan akidah Islam dan syariah Islam?! Apakah kita merasa malu menuntut daulah Islamiyah yang telah ditunjukkan oleh syara’ sebagai daulah al-Khilafah dan diwajibkan untuk berjuang menegakkannya? Negara yang memiliki corak yang unik dan sistem yang tidak timur maupun barat, negara yang sejarah dan umat manusia tidak mengenal yang identik dengannya dalam hal peradaban dan ketinggian.
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu [Muhammad] hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (TQS an-Nisa’ [4]: 65)


Rabu, 01 Februari 2017

Sistem Republik Menyimpang

 

Sistem Republik Menyimpang



sistem republik itu hanya menjadi alat penguasa dan pengusaha untuk menguras kekayaan alam negeri ini. Jadilah Indonesia sebagai negara korporasi, sebagai buah perselingkuhan atara penguasa dan pengusaha.

Sistem republik dan Kapitalisme adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan, penduduk Indonesia adalah korban dari persekutuan Pengusaha dan Penguasa dalam bentuk negara korporasi dan negeri Indonesia dalam bahaya Negara Korporasi atau Indonesia Darurat Negara Korporasi,

Untuk menyelesaikan problematika umat, tidak bisa menggunakan aturan sistem republik yang berasal dari akal manusia yang terbatas. Hanya aturan dari Yang Menciptakan Manusia yakni Allah SWT yang dapat menyelesaikan segala permasalahan umat manusia. ISLAM SOLUSI FINAL. Tidak ada yang lain! Hukum yang benar adalah hukum yang berasal dari Allah SWT, Hukum yang salah adalah hukum yang berasal dari setan jin maupun setan manusia.
Maka kalau ada orang yang masih menyukseskan ajaran Setan (Sistem republik, Kapitalisme, beserta turunannya), maka dia termasuk tim suksesnya Setan.

Bangsa ini sudah berkali-kali mengadakan pemilu dan mengganti presidennya, tetapi sama sekali tidak menghasilkan perubahan. Jalan sistem republik memang tidak didesain untuk menghasilkan perubahan mendasar. Jalan sistem republik memang bisa menjadikan aktivis muslim menjadi penguasa tetapi tidak memberikan peluang untuk diterapkannya syariat Islam

Sistem republik tidak akan pernah rela jika ada aturan atau kebijakan yang itu bertentangan dengan kepentingan negara penjajah terkuat saat ini yaitu Amerika. Mesir, Aljazair, Palestina dan negeri Muslim lainnya adalah contohnya. Partai Islam yang menang di negara-negara tersebut dianggap oleh Amerika sebagai sesuatu yang akan membahayakan pengaruh mereka. Jadi bukan suatu hal yang mengejutkan jika pemimpin seperti Mursi akan dilengserkan oleh Amerika bagaimanapun caranya, termasuk melalui kekuatan militer.

Kenyataannya sistem republik telah membuat Indonesia tetap pada tataran kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Dengan kata lain, klaim bahwa sistem republik menjamin kesejahteraan perempuan, stabilitas masyarakat, keadilan ekonomi, hak-hak dasar manusia, serta berpihak kepada rakyat adalah terbukti gagal dan bohong besar belaka.

Sistem republik menjadi jalan sekularisasi dan liberalisasi Dunia Islam sekaligus menjauhkan dari syariah Islam (Indonesia, Tunisia, Irak, Mesir dll). Sistem republik juga memuluskan liberalisasi ekonomi sebagai alat penjajahan asing untuk merampok kekayaan alam negeri Islam, seperti pengalaman Indonesia.

sistem republik telah melahirkan sistem ekonomi kapitalisme yang rakus dan eksploitatif.
Tambang minyak yang banyak dikuasai asing menjadi salah bukti bahwa sistem republik telah melahirkan sistem kapitalisme yang hanya berpihak pada pemilik modal.

sistem republik bertentangan dengan akidah Islam karena sistem republik lahir dari akidah sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan. Akal manusia merupakan alat sekaligus sumber hukum. Inti sistem republik adalah menjadikan manusia sebagai Tuhan dalam membuat hukum, artinya suara rakyat suara tuhan. Padahal dalam Islam hak membuat hukum hanyalah milik Allah berdasarkan QS. Al An’aam: 57. maka “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, hak prerogatif Allah”

sistem republik bukanlah solusi tapi justru menjadi sumber masalah baru karena faktanya sangat nampak: korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak pernah selesai dengan sistem republik yang merupakan paket dari sistem kapitalisme

Sistem republik merupakan sistem rusak dan hanya menghasilkan kerusakan.
Sistem republik merampas hak Allah sebab kedaulatan tertinggi dalam Islam ada di tangan Allah bukan ditangan rakyat seperti dalam sistem republik.
Karenanya dari dasar ini saja sudah jelas kerusakannya. Sistem republik mencampurkan yang hak dan bathil,

sistem republik terbukti gagal dalam mensejahterakan rakyat, terbukti bahwa secara sistemik sistem republik melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang merugikan rakyat.

Allah memerintahkan kaum muslimin agar memutuskan perkara sesuai dengan apa yang diturunkan Allah yakni Al-Quran. Sebaliknya, Sistem republik memutuskan perkara berdasarkan suara terbanyak bukan berdasarkan Islam. Ini jelas bertentangan,

kesalahan fatal sistem republik adalah kewenangan manusia menggantikan peran Allah sebagai pembuat hukum, sehingga aturan kehidupan umat Islampun berjalan sesuai dengan aturan kufur ini. Padahal Allah sudah memerintahkan untuk masuk Islam secara kaffah seperti pada firman Allah dalam Surah Al-Baqoroh (183).

Sistem republik adalah sistem yang gagal (failed system). Gagal sedari konsep awalnya, gagal dalam proses penerapannya, dan gagal dalam mencapai tujuannya yang utopis. Tidak layak umat Islam sebagai khayru ummah menerapkan sistem republik

Dibutuhkan perubahan paradigma mendasar bahwa sistem republik cacat sejak lahir. Prakteknya juga menimbulkan kecacatan dan kerusakan. Jika sudah demikian maka sistem republik haruslah diganti dengan sistem politik yang manusiawi. Itulah gagasan politik Islam. Perbedaan mendasar Islam dan sistem republik terletak pada asas. Sistem republik berasas pada kedaulatan di tangan rakyat. Artinya rakyat berhak menentukan baik dan buruknya, serta mengatur hidupnya sendiri. Sementara Islam berdasar pada aqidah Islam. Artinya kedaulatan ada di tangan Allah. Dzat Yang Menciptakan Manusia dan Mengatur alam semesta. Baik dan buruk bersandar pada syariat Islam.

perubahan Indonesia lebih baik tidak dapat diraih dengan jalan sistem republik. Kekayaan alam yang dimilki oleh Indonesia sangat kontras dengan kondisi masyarakat yang semakin sekarat, serba kekurangan. Pergantian penguasa dalam pesta sistem republik, yang digelar dengan biaya triliunan rupiah terbukti tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Masyarakat sebenarnya sudah muak dengan segala kebobrokan akibat sistem republik. Mahalnya biaya pemilu membuat celah untuk terjadinya korupsi. Bagaimana tidak melakukan korupsi jika modal untuk menjadi caleg saja sekitar Rp 1,8 M sampai Rp 8 M, bahkan ada yang harus merogoh kocek sampai Rp 20 M. (liputan 6.com). Sedangkan gaji anggota legislatif saja selama 5 tahun menjabat masih kurang untuk menutupi modal yang dikeluarkan. Wajarlah jika tidak korupsi para caleg harus mencari jalan lain, bahkan sampai melakukan tindakan kriminal

Wajah sistem republik yang sebenarnya adalah penyerahan kedaulatan untuk membuat undang-undang ke tangan manusia. Maka ketika para penguasa negeri ini mengikuti pola pikir sistem republik dalam membuat UU dan kebijakan, maka sangat mudah bagi imperialis untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Di sisi lain, negara-negara imperialis ternyata sangat piawai membutakan mata penguasa republik dengan berbagai pujian dan meminta Indonesia untuk tetap berjalan on the track sesuai yang diinginkan kafir penjajah.

sistem republik adalah sistem yang zalim; sistem yang membuka pintu lebar-lebar hegemoni, dominasi bahkan penjajahan asing kafir dan penyebab utama terjadinya krisis multidimensional.
Yang lebih parah, sistem republik adalah sistem kufur yang diharamkan oleh syariah. Karena sistem republik adalah sistem yang menghalalkan yang diharamkan Allah serta mengharamkan yang dihalalkan Allah.

mekanisme pembuatan hukum dalam sistem republik itu bertentangan dengan syariah Islam, karena yang dipentingkan adalah suara terbanyak tidak peduli pakai dalil Islam atau tidak.

Maka yang wajib ditentang kaum Muslimin bukan sekadar hukum yang dikeluarkan sistem republik tetapi yang juga wajib ditentang adalah mekanisme dari sistem republik.


Senin, 02 Januari 2017

Republik Sistem Rusak




Negara republik saat ini tidak bisa menjadi sokoguru ketahanan keluarga, bahkan negara republik lebih kepada penghancur ketahanan keluarga. Yang bisa menjadi sokoguru ini hanya Khilafah.

Sistem republik-lah yang menghasilkan pemimpin-pemimpin yang menempatkan hukum manusia di atas konstitusi ilahi yakni al-Quran. Pemimpin yang mengecilkan rasa keadilan yang diharapkan umat atas penista Quran. Republik-lah yang memberi karpet merah naiknya pemimpin kafir. Pemimpin kafir ini memecah belah umat, seenaknya menista Quran dan menghina ulama.

sangat sulit bahkan mustahil menuntut keadilan hakiki dari sistem republik.

“Saya hadir di sini karena mendukung acara yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia. Harapannya, setelah RPA (Rapat Dan Pawai Akbar), masing-masing elemen umat bisa memaksimalkan potensi dalam berbagai kapasitasnya dalam perjuangan ini. Sehingga kelak Khilafah bisa segera tegak.” [Gatot Wahyu Nugroho, Dosen Universitas Muhammadiyah Sukabumi]

Dalam republik, UU dibuat oleh parlemen yang diklaim sebagai representasi dari rakyat. Anggota parlemen membutuhkan dana segar untuk biaya politik dan lain-lain. Akibatnya, mereka membuat UU yang pasal-pasalnya menguntungkan sponsornya. Nah, siapa sponsornya? Tentu mereka-mereka yang punya modal besar yang umumnya berafiliasi ke negara-negara asing penjajah. Terjadilah undang-undang liberal yang melempangkan jalan bagi neoimperialisme.

Demikian pula penyebab keterpilihan orang kafir sebagai pemimpin; karena undang-undang produk republik membolehkan itu.

Penistaan agama juga terus berulang karena UU yang tidak tegas terhadap pelakunya. Apalagi pelakunya memiliki kekuasaan seperti Ahok. Sudah didemonstrasi jutaan orang, dia tetap tidak ditahan.

Ini menunjukkan republik dan sistem liberalisme membuat semua masalah itu terus berulang dari tahun ke tahun.

“Rapat dan Pawai Akbar ini gemanya lebih besar ketimbang acara-acara sebelumnya. Luar biasa. Mudah-mudahan, selepas acara usai, para peserta yang hadir bisa benar-benar berjuang secara terorganisir agar Khilafah yang dicita-citakan ini bisa segera tegak.” [Chandra Purnairawan, Direktur Sharia Law Institute]

masalah yang terjadi di Indonesia karena penerapan republik dan liberalisme. Sistem tersebut telah menciptakan berbagai perundangan yang membuka pintu bagi masuknya imperialisme selain memberikan peluang bagi keterpilihan pemimpin yang membebek kafir penjajah.

Dalam republik, al-Quran bukan hanya diletakkan di bawah ayat konstitusi, namun sama sekali tidak dianggap. Buktinya, di manakah al-Quran berada dalam struktur undang-undang yang ada? Ini jelas merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap al-Quran.

slogan republik adalah “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” adalah omong-kosong. Faktanya, rakyat hanya dirangkul pada setiap musim Pemilu, tetapi mereka kemudian dinistakan saat kekuasaan sudah dalam genggaman. Penguasa terpilih malah lebih banyak berpihak kepada kaum kapitalis yang telah mendanai mereka selama Pemilu.

Fakta bahwa penguasa produk republik sering lebih memuliakan para konglomerat dan menistakan rakyat sesungguhnya tidak aneh. Situs berita al-jazeera.com pada bulan Februari 2015 menurunkan tulisan berupa hasil dua buah studi politik yang menunjukkan bahwa republik sebenarnya dimiliki dan dikendalikan orang kaya. Para senator di AS rata-rata lebih berpihak dan memperhatikan kepentingan para donor dibandingkan pemilih yang lain (http://america.aljazeera.com/opinions/2015/2/new-evidence-suggests-that-the-rich-own-our-democracy.html). Di Indonesia juga sama saja. Pada tahun 2008, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menegaskan parpol hanya dimiliki oleh pihak tertentu yaitu aristokrat, saudagar dan jawara.

“SubhanalLah! Saya bisa berkumpul dan hadir di acara Rapat dan Pawai Akbar ini. Saya sangat mendukung tegaknya Khilafah. Hanya dengan Khilafahlah isme-isme merusak yang kini menyerang umat Islam bisa dibendung. Mudah-mudahan Hizbut Tahrir selalu bisa menampilkan wajah Islam dan Khilafah ini ke tengah-tengah umat dengan wajah yang ihsan sehingga semakin banyak yang mendukung tegaknya Khilafah.” [M Harry Naldi, Ketua Umum Gerakan Pemuda ESQ 165]

Semoga umat makin sadar bahwa republik bukanlah sistem kehidupan yang sahih. Republik penuh dengan tipudaya, menyengsarakan umat, serta menistakan agama. Dalam republik, orang kafir dan zalim sekaligus penista Islam semacam Ahok justru bisa dicalonkan sebagai kepala daerah dan dielu-elukan oleh media massa hanya karena didukung oleh para konglomerat.

Semoga umat Islam pun makin sadar bahwa sistem republik tidak akan pernah memberikan keadilan sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah. Hanya dalam sistem Islam, keadilan yang hakiki dapat diwujudkan. Hanya dengan syariah Islam kehormatan Islam dapat dibela dan penista Islam dapat dihukum seadil-adilnya. Hukum produk republik terbukti hanya memperpanjang penderitaan umat dan penistaan Islam akan terjadi lagi berulang-ulang.

keluarnya uang dari para calon atau para cukong yang mendukung calon tertentu yang berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah (bagi capres/cawapres) tidaklah gratis. Prinsip untung-rugi berlaku di sini. Di sinilah celah bagi para cukong itu masuk untuk mengintervensi kekuasaan dan pemerintahan. Akibatnya, mudah diduga. Baik eksekutif maupun legislatif terpilih pada akhirnya mengeluarkan banyak UU, aturan dan kebijakan yang lebih mementingkan para cukong atau korporasinya yang telah menyokong mereka, ketimbang mementingkan rakyat kebanyakan. Alhasil, rezim republik pada akhirnya sering tunduk pada korporasi atau para cukong, ketimbang pada kehendak rakyat.

Penyebaran republik dan Islam Moderat ke Dunia Islam adalah salah satu strategi penting yang ditempuh Barat, khususnya untuk mengontrol perubahan di Timur Tengah agar jauh dari kebangkitan Islam. Jauh sebelum terjadi Arab Spring, strategi ini telah dirumuskan oleh berbagai lembaga think-tank AS. Pada 2007 Institut Amerika untuk Perdamaian (United States Institute of Peace-USIP) mengeluarkan hasil penelitian seputar “Islam Moderat” yang berjudul, “Integrasi Para Aktivis Islam dan Promosi republik: Sebuah Penilaian Awal.” Penelitian memutuskan bahwa pertempuran Amerika Serikat dengan arus kekerasan dan ekstremisme harus dilakukan dengan mendukung dan memperkuat proses demokratisasi di dunia Arab.

AS sebagai Negara adidaya yang paling heroik mengusung kapitalisme dengan berbagai sistem hidupnya seperti republik, liberalisme, pluralisme, ibarat kapal rapuh yang akan tenggelam. Pertanyaannya negeri ini melaju mengekor pada republik dari Barat ataukah kembali ke jalan Islam?

Kaum Muslim selama berabad-abad di bawah naungan khilafah tidak mengenal fenomena republik yang menghasilkan krisis yang akut, meskipun mereka ditimpa berbagai krisis, politik, ekonomi dan militer, namun mereka tetap terikat dengan hukum-hukum Allah, sehingga mereka dengan segera mampu memulihkan kembali keadaan. Dengan demikian, kekuatan akidah dan kejernihannya akan membuat mereka mampu memikul kesulitan dunia, bahkan menganggapnya kecil dibanding pahala di sisi Allah. Sehingga yang terlintas dalam pikirannya adalah ketakutan mengakhiri hidupnya dengan cara yang dimurkai Allah.

Tidak pantas sama sekali kita menerima Islam demokratis. Sesungguhnya keduanya, yakni antara Islam dan republik, memiliki landasan pemikiran yang sangat berbeda dan bertolak belakang. Republik menunjung prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyadah lis-sya’bi). Artinya, yang menentukan benar dan salah, atau halal dan haram, adalah manusia berdasar prinsip suara mayoritas. Sementara Islam menyerahkan kedaulatan kepada Allah SWT (as-siyadah lis-syar’i). Sumber hukum dalam Islam adalah Al Qur’an dan as Sunnah dan apa yang ditujuk oleh keduanya, bukanlah kehendak manusia, para penguasa, atau nafsu kelompok yang berkuasa.

“Bapak sih bahagia aja ikut RPA (Rapat Dan Pawai Akbar), walaupun usia bapak sudah 73 tahun, udah ke-2 kali ikut acara seperti ini. Ini kan perjuangan kita sebagai umat Islam untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Ini yang  kita usahakan dan serukan. Harapan bapak sih hanya ridha Allah saja. Semoga kita semua diberikan kemudahan dakwah oleh Allah SWT.” [H Muslih Armansyah, Pengusaha Percetakan dari Cileungsi]

“Ikut RPA (Rapat Dan Pawai Akbar) Jakarta karena kami ingin menyambung silaturahmi dengan saudara-saudara kami yang sama-sama berjuang, dalam penegakkan syariah dan Khilafah; juga ingin menunjukkan bahwa pejuang syariah dan Khilafah itu tidak sedikit; untuk menunjukkan bahwa menegakkan syariah dan khilafah ini wajib. Makanya, jauh-jauh 300 mahasiswa dari Jogjakarta datang, dengan mengorbankan segala sesuatunya untuk turut andil dalam perjuangan ini.” [Fersauki Suhartono, Ketua BEM Hamfara DIY]

“Acara RPA (Rapat Dan Pawai Akbar) ini membangkitkan semangat kita. Ternyata ada 100.000 lebih ini menunjukkan begitu banyaknya yang memperjuangkan syariah dan Khilafah. Sebelumnya juga acara serupa diadakan di 35 kota dan ini juga menunjukkan akan keyakinan kita tegaknya Khilafah ini.” [Rizky Fattamazaya, Ketua Umum Gema Pembebasan]

“Ikut RPA (Rapat Dan Pawai Akbar) karena saya setuju dengan tema yang dibawa RPA bahwa yang mengancam Indonesia sebenarnya adalah neoliberalisme dan neoimperalisme. Solusinya, ya sesuai yang dirapatkan tadi, yaitu menerapkan Islam dalam naungan Khilafah. Pasti saya mau berjuang bersama Hizbut Tahrir.” [Abdullah Muhammad Taqy Ar-Raihan, Ketua Forum Remaja Masjid Universitas Indonesia]

“Harapan saya, ini dapat membuat atmosfir Indonesia islami yang baldatun thayibatun warabbun ghafur. Banyak para ikhwan kita, para sahabat kita, yang memang sebenarnya agama Islam, tetapi karakternya non-Islami. Kehadiran Hizbut Tahrir ini berpengaruh bahwa sebenarnya yang benar itu syariah Islam yang diaplikasikan dalam Khilafah Islam.” [Ahmad Daryoko, Presiden DPP Konfederasi Serikat Nasional]

“Luar biasa, Subhanallah, Allahu Akbar! Itulah yang bisa saya ucapkan, tidak bisa dikatakan dengan kata-kata yang lain. Ini adalah bukti dukungan umat kepada Hizbut Tahrir. Begitu gegap gempita. Sungguh luar biasa. Ide brilian. Memang selama ini Indonesia sudah ganti banyak pemimpin. Namun, solusi yang ditawarkan tambal-sulam, tidak menuntaskan masalah. Masalah ini harus diselesaikan dengan Khilafah Islam. Itu menurut saya.” [Herman Ahya, Marketing Perusahaan Otomotif]


Sabtu, 31 Desember 2016

Kebijakan Ekonomi China


Kebijakan Ekonomi China


Di 2016 China meneruskan upayanya untuk pindah dari model ekonomi upah rendah, mengekspor secara agresif menjadi model pertumbuhan berdasar konsumsi dalam negeri. Namun problem ekonomi yang mulai di tahun 2015 telah berlanjut ke 2016 dan China ditengarai hidup dalam utang yang berpotensi menjadi krisis.

Sepanjang 2016 perekonomian Cina diliputi tanda-tanda problem serius. Krisis pasar modal di 2015 memaksa pemerintah turun tangan dengan segudang uang untuk perusahaan-perusahaan demi meringankan mereka. Pemerintah pusat China selama ini memang selalu terlibat langsung mengendalikan perekonomian, dan keterlibatannya sekarang melahirkan masalah bukannya solusi.

Jejak Pertumbuhan Ekonomi

Sejak era terbuka 1979, Cina menerapkan strategi upah murah dan ekspor agresif untuk menghasilkan kekayaan, menciptakan lapangan kerja, dan membangun negara. Untuk mencapai ini, Cina menggunakan beberapa alat:
- China mengadakan Zona Ekonomi Khusus di berbagai propinsi pelabuhan untuk menarik investasi asing di bidang manufaktur barang kualitas rendah dengan menawarkan tanah, tenaga kerja murah dan bermacam insentif pajak dan lainnya. Ini kemudian memberi Cina tabungan mata uang asing dan penghasilan pajak untuk membangun dalam negerinya.

- China membuat nilai mata uangnya tetap rendah, sehingga barang ekspornya lebih murah dari yang lain. Hal ini menjaga pabrik-pabrik China bekerja dan mayoritas warga Cina punya pekerjaan. Ini juga berarti menangani masalah gejolak sosial yang telah lama mewabahi Cina.

- Pemerintah China menggunakan sistem perbankan nasional untuk memuluskan tujuan partai Komunis. Tabungan negara yang besar dialirkan melalui bank-bank kepada perusahaan-perusahaan dengan kredit tersubsidi. Perusahaan yang ingin dapat kredit harus padat karyawan, sehingga menjaga kohesi sosial.

- 159 Perusahaan Milik Negara (PMN) besar menjadi penyuplai bahan-bahan baku utama semacam peralatan, industri berat, dan energi untuk swasta. Investasi agresif ke luar, didorong oleh banyak uang dari PMN dan bank-bank negara memungkinkan Cina meluaskan bisnisnya ke dunia untuk ekspansi pasar, jasa dan impor bahan baku.

Perubahan Kebijakan Ekonomi Cina

Krisis keuangan global di 2008 membuat parah sektor ekspor China. Krisis itu mengakhiri tiga dekade kemakmuran ekspor yang berhasil dicapai pemerintah Cina melalui bertahun-tahun penekanan upah dan pemberian subsidi besar. Karena krisis itu, GDP China sektor ekspor anjlok, dari hampir 40% di 2007 menjadi di bawah 24% sekarang. Untuk mencegah keruntuhan ekonomi (yang sering dialami Cina dalam 4000 tahun sejarahnya) Beijing menjaga perekonomian melalui investasi negara yang massif dalam sektor perumahan dan pembangunan infrastruktur dalam negeri.

Ekonomi China bergantung pada investasi aset tetap seperti pembangunan jalan, jalur kereta, dan komplek apartemen. Selama 10 tahun terakhir, karena ekspor murah jadi anjlok dan konsumsi dalam negeri terus menurun, investasi aset tetap ini menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan dan lapangan kerja di Cina, dan menjadi pondasi stabilitas. Dana untuk investasi besar itu harus diadakan, dan selama bertahun-tahun China menggunakan banyak cara. Dari memotong suku bunga dan dana simpanan wajib perbankan hingga mendorong pasar modal dan pembelanjaan. Mayoritas investasi Beijing didanai dari utang. Utang mayoritas dari bank-bank milik negara: di 2015, utang dari bank mencapai 141% dari GDP. Surat utang beredar mencapai 63% dari GDP. China menggunakan kendalinya atas sektor perbankan untuk menetapkan suku bunga dan menentukan ke mana utang mengalir dan seberapa cepat. Sebagian besar uang dialirkan ke berbagai perusahaan milik negara.

Semua utang ini, terutama yang di sektor perumahan, telah menciptakan gelembung yang sekarang telah jadi masalah utang yang lebih parah. Pemerintah memompa kredit ke sektor perumahan dengan harapan bisa menambal penurunan di sektor ekspor. Hingga muncul fenomena kota-kota "hantu." Kantor berita resmi Cina Xinhua menunjukkan bahwa pembangunan kota di China sudah lepas kendali, tiap ibukota propinsi berencana membangun rata-rata 4,6 distrik kota; dan kota-kota daerah berencana membangun rata-rata 1,5 distrik baru. Area-area urban baru ini akan berdaya tampung 3,4 milyar orang padahal permintaan sesungguhnya populasi China tidak sampai 1,4 milyar.

Apa yang dilakukan Cina dalam menangani krisis ekonomi setelah krisis ekonomi global di 2008 adalah dengan terus memproduksi dan membangun lebih banyak daripada yang dia butuhkan dalam sektor konstruksi. Dalam prosesnya, dia telah mengakumulasi utang jelek terbesar dalam sejarah. Para peneliti di Badan perencanaan negara China mengatakan di 2016 bahwa Cina telah "menyia-nyiakan" $6,8 trilyun investasi. Kelebihan kapasitas sangatlah besar di banyak sektor hingga akan membutuhkan bertahun-tahun untuk diserap oleh permintaan yang alami. Ketika pertumbuhan utang-swasta melampaui pertumbuhan GDP, maka kelebihannya itu adalah utang bermasalah. Cina saat ini diperkirakan punya $1,75 trilyun hingga $3,5 trilyun utang bermasalah - di mana total dana dalam sistem perbankan China hanya $1,5 triliun.

Pada 8 September 2016, The Wenzhou Credit Trust, salah satu dari banyak perusahaan penjamin di Cina, jatuh bangkrut. Perusahaan itu menghentikan semua pemberian pinjaman baru dan menunda pencairan dan pembayaran riba atas sertifikat-sertifikat utangnya. Dalam seminggu, perusahaan penjamin utang lainnya jatuh bangkrut, dan seminggu berikutnya 7 lainnya bangkrut. Para pemegang sertifikat yang marah berdemo di Wenzhou dan Chongqing namun lalu dibubarkan polisi. Dalam sebulan, lebih dari 50 perusahaan penjamin bangkrut. Protes-protes meningkat dan menyebar di seantero negara. Dalam kepanikan itu, kredit perumahan anjlok, semakin menambah tekanan pada harga perumahan dan mencederai perekonomian lokal. Bursa saham Shanghai dan Shenzhen jatuh. Harga besi, baja, batubara, tembaga, aluminium, dan komoditas lain -termasuk minyak- turut menurun. Pemerintah Cina mengintervensi, menyuntikkan dana ke para pemberi utang itu dan meyakinkan konsumen bahwa negara menalangi perusahaan-perusahaan itu. Langkah ini menenangkan pasar modal, tapi harga-harga komoditas terus merosot dan renminbi jatuh, devaluasi pun menghantui. Mencapai musim dingin, dampaknya telah meremukkan berbagai pasar dan perusahaan di Asia dan Australia; dan pasar-pasar Eropa dan AS melambat. The Bank for International Settlements memperingatkan di September 2016 beban utang China terlalu berat dan masih terus cepat bertambah (China warned to rein in growing mountain of debt or risk triggering another global financial crisis, abcnet.au, 27 September 2016, http://www.abc.net.au/news/2016-09-26/china-warned-to-rein-in-debt/7878426?section=businoess).

Bacaan: Adnan Khan, Strategic Estimate 2017, Khilafah.com

Kamis, 01 September 2016

SATU KATA UNTUK UTANG LUAR NEGERI; BAHAYA!



Salah satu komponen vital untuk membangun sebuah negara sudah jelas yaitu dana yang pasti dalam jumlah besar. Untuk mengisi pos pemasukan dana pembangunan tersebut selain melalui sumber-sumber domestik, juga diperoleh dari luar negeri, umumnya diperoleh dari sumber-sumber internasional. Baik melalui penanaman modal asing (PMA), ataupun melalui utang dari lembaga-lembaga donor seperti IMF, World Bank, atau negara-negara tertentu yang bersedia memberikan pinjaman. Fakta berbicara, meskipun cukup banyak negara-negara berkembang memiliki resources berlimpah, akan tetapi pinjaman luar negeri justru menjadi andalan utama sumber dana pembangunan. Akan tetapi, seperti sudah dapat diprediksi, alih-alih mampu menggerakkan roda pembangunan dan menciptakan kesejahteraan, utang luar negeri diyakini berpotensi memicu krisis ekonomi yang sangat parah di berbagai negara berkembang. Dan itulah yang kemudian terjadi. Bahkan lebih parah, krisis ekonomi di berbagai negera-negara berkembang telah mekar sebagai krisis multidimensi.

Sejak dekade 1960-an sampai sekarang, utang luar negeri negara-negara berkembang sangat besar. Bahkan aliran dana untuk cicilan dan bunga yang harus dibayarkan negara pengutang, jauh lebih besar dibandingkan dengan aliran utang yang diberikan oleh negara donor. Sejak tahun 1982 hingga 1990, dana yang dialirkan negara-negara industri ke negara-negara berkembang adalah sekitar 927 miliar dolar AS. Sementara untuk periode yang sama, dana yang mengalir dari negara berkembang ke negara industri adalah sebesar 1.345 miliar dolar AS untuk pembayaran bunga dan pokoknya. Aliran dana ke negara maju akan lebih besar lagi jika dimasukkan aliran dana dalam bentuk kerjasama pembangunan dan perdagangan, royalti, deviden, keuntungan repatriasi, atau pembayaran komoditi bahan mentah dan tenaga kerja yang terlalu rendah, dan lain-lain. Artinya, dengan data di atas, dapat dikatakan bahwa skema utang luar negeri telah membuat negara-negara berkembang mensubsidi negara-negara maju.

Banyak ekonom berpendapat bahwa mekanisme utang luar negeri yang dijalankan oleh negara-negara industri, bukan sekadar bantuan negara-negara industri (kaya) terhadap negara-negara berkembang, namun salah satu strategi negara-negara industri yang berupaya menjual produk ekspornya dengan jalan kredit yang diobral ke negara-negara berkembang. Motto mereka adalah, “Beli sekarang bayar belakangan.” lni (dilakukan oleh negara-negara industri (kapitalis) tersebut. Hanya dengan politik ekonomi seperti ini mereka dapat mengatasi krisis penjualan produk yang dihasilkan oleh dunia industrinya. Dalam bahasa sederhana, negara-negara industri (kapitalis) menjadikan negara-negara berkembang, termasuk negeri Muslim sebagai trash place (tempat sampah) untuk membuang kelebihan hasil industrinya.

Namun demikian, bagi yang mencermati realitas tersebut secara lebih dalam, khususnya dengan melihat akibat yang ditimbulkan utang luar negeri yang begitu besar dan membahayakan, alasan strategi perluasan pasar atau bahkan bantuan kepada negara-negara berkembang hanyalah kedok untuk menutupi rencana tersembunyi di balik utang luar negeri, yakni: neo-imperialisme. Terbukti secara meyakinkan, tidak ada satu negarapun di dunia ini, yang menerima utang luar negeri -terutama dari lembaga donor seperti IMF dan World Bank- menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelum menerima bantuan.

 Saat ini, di negara-negara berkembang tidak ada faktor yang pengaruhnya lebih besar terhadap perubahan ekonomi dan politik dan sosial-budaya selain utang luar negeri. Krisis utang luar negeri yang memberi pengaruh besar terhadap perubahan ekonomi, politik, dan sosial-budaya tersebut adalah akibat dari politik ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara industri (baca: Barat kapitalis) yang ingin mendominasi negara-negara berkembang dalam seluruh aspek kehidupan. Akibatnya, krisis utang luar negeri telah membawa keruntuhan sistem ekonomi, kekacauan politik, dan kebobrokan moral-budaya masyarakat. Cicilan dan bunga yang harus dibayar, memaksa rakyat negara pengutang terus-menerus mengencangkan ikat pinggang. Kebijakan ekonomi dan politik yang didiktekan oleh pihak luar, hakikatnya akan menambah kesengsaraan yang dihadapi masyarakat kalangan bawah. Demikian juga, persyaratan bantuan yang dikaitkan dengan pelaksanaan dan penyebaran paham kufur seperti demokrasi, HAM, dan liberalisasi, telah menyebabkan kerusakan akidah yang kronis dan kebobrokan moral yang merajalela di negeri-negeri Muslim.

Secara politik-ekonomi, penyebab dan akibat yang ditimbulkan oleh utang luar negeri di negara-negara berkembang, bagaikan sebuah spiral yang pada dasarnya mirip antara satu negara dengan negara lain. Jalan Spiral tersebut pada awalnya disebabkan oleh terjadinya defisit neraca pembayaran negara pengutang. Kesulitan pembayaran ulang di negara-negara berkembang tersebut berawal dari tiga hal: (1) Nilai impor negara-negara berkembang lebih besar ketimbang nilai ekspornya. Sehingga praktis biaya impor yang terus membengkak tersebut harus ditalangi dengan kredit luar negeri (utang). (2) Anggaran belanja negara-negara yang utang luar negerinya sangat besar dan dibebani oleh laba yang sangat kecil (karena laba ditarik kembali keluar) dan keharusan membayar lisensi kepada perusahaan-perusahaan multinasional yang membuka usahanya di negara-negara tersebut. (3) Pelarian modal secara ilegal oleh orang-orang kaya setempat.

Defisit neraca pembayaran ini umumnya diatasi dengan jalan pinjaman luar negeri. Sementara itu, bank-bank asing saling berlomba untuk memberikan kredit dan pinjaman kepada pihak swasta di negara-negara dan bank-bank pemberi kredit akan bertindak bersama-sama, dan melapor kepada International Monetary Fund (IMF) sebagai badan yang berwenang. Langkah selanjutnya, IMF-lah yang akan menangani negara tersebut. IMF, yang dikendalikan oleh negara-negara industri, hanya akan memberikan bantuan (utang baru) untuk membayar utang berikut bunganya, jika negara tersebut bersedia memenuhi persyaratan-persyaratan politis yang diajukan. Umumnya, pelaksanaan demokrasi, HAM, dan isu lingkungan adalah senjata utama yang dijadikan negara-negara donor maupun IMF untuk bersedia memberikan “bantuan” (baca: utang).

Pada kenyataannya, strategi dan mekanisme utang luar telah mengakibatkan berbagai kerusakan dan bahaya bagi negara-negara penerima utang. Secara ekonomi, utang luar negeri hanya akan mengakibatkan makin terinjaknya kaum lemah hingga terdesak jauh di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, mekanisme utang seperti ini tidak ubahnya sebagai proses pemiskinan negara-negara berkembang.

Bahaya secara ekonomi dan politik tampak jelas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan IMF atau lembaga donor lainnya kepada negara-negara pengutang. Keharusan tunduk patuh pada kemauan IMF yang didikte oleh negara-negara Barat, terutama Amerika, menunjukkan bahwa pada hakikatnya negara-negara pengutang sedang dijajah secara ekonomi dan politik. Tuntutan-tuntutan di bidang politik dan ekonomi yang diajukan IMF biasanya berjalan sebagai berikut: (1) Menahan upah dengan jalan membekukan gaji, atau kenaikannya dibatasi oleh undang-undang. Hal ini hakikatnya akan melemahkan daya beli masyarakat; (2) Mengurangi pengeluaran sosial. Pengurangan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial lainnya berakibat pada terhambatnya pembangunan pendidikan dan kesehatan. Padahal semua itu merupakan unsur yang sangat penting bagi peningkatan kualitas SDM. Akibatnya, negara pengutang akan terus tertinggal; (3) Menghapus subsidi bahan pokok. Penghapusan subsidi bahan pokok tersebut menyebabkan meningkatnya harga bahan pokok tersebut yang dampaknya paling dirasakan oleh masyarakat kecil yang mayoritas. Kondisi ini pada akhirnya dapat menimbulkan gejolak sosial dan dan bahkan krisis pemerintahan; (4) Devaluasi mata uang. Devaluasi mata uang selain menyebabkan harga-harga membumbung juga menyebabkan berkurangnya nilai ekspor real. Sebaliknya, biaya impor menjadi lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan kesulitan produksi bagi industri-industri berbahan impor. (5) Liberalisasi Ekonomi. Liberalisasi yang dipaksakan IMF terhadap negara-negara pengutang akan memberikan kesempatan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeruk keuntungan tanpa batas.

Secara politik, utang luar negeri menyebabkan kebijakan politik suatu negara diatur dan disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan negara donor. Secara ideologi, utang luar-negeri adalah sarana negara-negara Barat kapitalis untuk menyebarkan ideologi sekularisme sekaligus cara untuk merusak ideologi Islam. Secara budaya, utang luar negeri, dengan persyaratan liberalisasinya, merupakan sarana untuk menyebarkan budaya Barat -materialisme, hedonisme, dan permisivisme (pergaulan bebas)- yang penuh dengan kemaksiatan.

Dengan akibat yang begitu membahayakan kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan bahkan ideologi suatu negara, dapat dinyatakan bahwa utang luar negeri bukanlah merupakan program bantuan negara kaya untuk negara miskin, tetapi sebaliknya, merupakan upaya negara kaya untuk mengeksploitasi dan menjajah negara lain. Hal di atas adalah bahaya yang secara jelas dapat dilihat dari mekanisme utang luar negeri yang selama ini berjalan. Namun secara tersamar terdapat bahaya lain yang jauh lebih besar dari mekanisme utang luar negeri tersebut.

'Abdurrahman al-Maliki, dalam As-Siyaasah Iqtishaadiyah al-Mutslaa, halaman 200-207, menyebutkan bahwa setidaknya ada empat bahaya utang luar negeri. Pertama, bantuan (utang) yang diberikan negara-negara/lembaga-lembaga donor kepada negara yang sedang berkembang (termasuk negeri Islam) hakikatnya merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk melakukan penjajahan gaya baru (secara ekonomi) kepada negara-negara yang menerima bantuan tersebut. Sebagai contoh, melalui dana yang dikucurkan, Inggris pernah menjajah Mesir, sementara Prancis menjajah Tunisia. Lantaran banyaknya utang Mesir kepada Inggris, pada tahun 1875, datanglah delegasi yang memeriksa keuangan Mesir dan merekomendasikan sejumlah kebijakan dalam rangka perbaikan keuangan Mesir. Dari sinilah awal munculnya seorang Inggris yang menjadi menteri keuangan dan seorang Prancis yang menjadi menteri pekerjaan umum dalam pemerintahan Mesir.

Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penjajahan ekonomi Inggris di Mesir. Meskipun bantuan (utang) luar negeri yang diberikan negara-negara donor sekarang mungkin tidak sampai seekstrem apa yang terjadi di Mesir, namun secara kasat mata kita dapat melihat bahwa pihak donor sangat berpengaruh dalam menentukan prioritas proyek yang akan dibiayai berikut sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi. Persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi oleh negara pengutang tersebut telah menyebabkan negara pengutang menjadi negara jajahan yang harus menerima apapun keputusan penjajah, bahkan meskipun kebijakan tersebut akan menyengsarakan masyarakat negara pengutang. Di Indonesia, hal ini misalnya dapat dilihat dari kebijakan pencabutan subsidi kebutuhan pokok, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, serta subsidi bahan bakar.

Kedua, sebelum utang diberikan, pihak donor biasanya harus mengetahui terlebih dulu potensi sumber daya negara yang akan menerima utang tersebut, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk itu, pihak donor akan mengirim para pakar mereka -untuk memata-matai- ke negara yang akan dibantu, sehingga mereka dapat menyingkap rahasia dan potensi ekonomi sebuah negara. Dengan mengetahui potensi ekonomi suatu negara, pihak donor dapat menerapkan berbagai kebijakan yang dapat menguntungkan mereka. Mereka dapat secara lebih leluasa mengekploitasi potensi ekonomi negara pengutang.

Ketiga, bantuan (utang) luar negeri yang diberikan negara-negara donor kepada negara-negara berkembang (baca: negeri lslam) adalah merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan negara donor tersebut kepada negara penerima utang. Tujuan mereka memberi bantuan (utang) pada hakikatnya bukan untuk membantu negara lain, tetapi demi keamanan, keselamatan, dan keuntungan mereka. Mereka menjadikan negara penerima utang sebagai alat sekaligus lahan guna mencapai tujuan mereka. Oleh karena itu, meningkatnya bantuan (utang) negara-negara donor kepada negara-negara berkembang harus dicermati bahwa hal itu bukan dalam rangka mendukung dan membantu pembangunan di negara tersebut, namun yang lebih penting, demi keuntungan yang bakal diperoleh oleh negara-negara donor dari berbagai proyek bantuan mereka. Bukankah lembaga donor (World Bank, IMF) adalah entitas bisnis yang tentunya ingin mendapatkan keuntungan dari setiap kegiatannya?

Keempat, utang-utang luar negeri tersebut sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara peminjam. Utang jangka pendek yang jatuh tempo, misalnya, akan dapat memukul mata uang negara-negara pengutang. Bukankah krisis ekonomi yang sampai sekarang melanda indonesia diawali dan dipicu oleh terjadinya krisis moneter yang terjadi di bursa valas dan saham?

Sementara itu, dalam jangka panjang, utang akan terakumulasi dalam jumlah yang sangat besar sehingga sulit untuk dilunasi. Utang luar negeri yang begitu besar (Indonesia, misalnya, sekitar Rp605 triliun) sangat mungkin mengguncang perekonomian, negara pengutang. Jika utang tidak terbayar dengan uang, emas, maupun harta bergerak, maka bukan tidak mungkin negara pengutang akan dipaksa membayar dengan harta tidak bergerak seperti tanah, perkebunan, pabrik-pabrik, atau saham dari BUMN. Bila itu benar-benar terjadi, negara-negara kapitalis (donor) mempunyai alasan kuat untuk sewaktu-waktu melakukan intervensi ke negara lain dengan alasan mengamankan asset dan kepentingan mereka.

Berdasarkan kenyataan di atas, meminta utang kepada negara-negara Barat kapitalis -yang tabiat dasarnya tidak pernah membantu negara lain, tetapi demi mendapatkan imbalan yang jauh lebih besar bagi mereka- adalah tindakan yang penuh dengan risiko bahaya. Kaum Muslim, yang sekarang hidup terpecah-pecah dalam negara-negara kecil yang sering mendapatkan bantuan utang luar negeri, wajib mengetahui sejumlah bahaya -baik yang yang samar maupun yang terang- di balik utang luar negeri yang diberikan negara-negara atau lembaga-lembaga donor kepada negara-negara berkembang (baca: negeri Islam).

Bahaya tersembunyi yang ada di balik utang-utang luar negeri dari negara-negara kapitalis adalah sangat besar. Dengan cara itu, amat mudah bagi negara-negara kapitalis untuk menghancurkan sebuah negara yang telah berada dalam genggaman utang-utang mereka. Dalam hal ini, Islam melarang kaum Muslim untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat menjadikan orang-orang kafir berkuasa atas mereka. Allah Swt berfirman (artinya): Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang orang kafir berkuasa atas kaum Mukmin”. (TQS. an-Nisa: 141).

Islam juga melarang kaum Muslim untuk menimbulkan kerusakan dan membahyakan diri sendiri. Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain di dalam Islam.”

Atas dasar ini, kaum Muslim harus berhati-hati terhadap bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara donor. Sebab, utang luar negeri yang dapat menimbulkan bahaya seperti di atas adalah haram hukumnya, apalagi bantuan tersebut tidak terlepas dari sistem ribawi (bunga pinjaman) yang sangat dilarang di dalam Islam, dan kental dengan kepentingan politik negara-negara imperialis Barat.

Meskipun utang luar negeri dapat membahayakan, bukan berarti Islam mengharamkan sama sekali bantuan luar negeri (utang). Boleh saja kaum Muslim (Negara Islam) menerima bantuan luar negeri (utang) dari negara-negara lain, selama tidak terkait dengan sistem ribawi, juga selama persyaratan-persyaratannya tidak mengikat, serta dapat dipastikan bahwa di balik bantuan tersebut (utang) tidak tersembunyi bahaya-bahaya seperti yang sebagiannya telah diuraikan di atas. Namun perlu disampaikan bahwa, dalam Islam, bantuan luar negeri (utang) bukan priotitas utama pendapatan negara. []
Artikel oleh M. Reza Rosadi
Majalah al-Wa’ie edisi 3

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam