Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 11 Juni 2017

Demokrasi Dan Penjajahan Politik



Demokrasi di Dunia Islam erat kaitannya dengan penjajahan politik. Pasalnya, demokrasi sering menjadi pintu masuk intervensi Barat imperialis terhadap Dunia Islam.

Fakta Penjajahan di Dunia Islam

Menggunakan istilah ‘penjajahan’ dalam konteks saat ini, untuk menunjukkan betapa besarnya hegemoni dan intervensi Amerika Serikat (AS) dan Barat atas Dunia Islam, sesungguhnya masih dikatakan tepat -meski masih banyak kalangan di masyarakat yang memandang penggunaan istilah tersebut terlampau ekstrim. Betapa tidak. Dunia Islam yang seharusnya saat ini mengambil peran untuk “mengatur dunia” sebagai representasi khayr al-ummah dan rahmatan lil ‘alamin dengan aturan Ilahi masih tidak dapat berbuat banyak. Kendali Barat atas sistem hidup Dunia Islam masih sangat kental dan sukar sekali ditinggalkan. Posisi Dunia Islam yang masih termarjinal dan kurang aktif dapat dibaca sebagai dampak penjajahan politik Barat.

Untuk menyamakan persepsi tentang penjajahan, tampaknya definisi yang disodorkan Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam Kitab Mafahim Siyasiyah masih memiliki relevansi yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa penjajahan adalah dominasi (intervensi) politik, militer, kebudayaan, dan ekonomi terhadap bangsa-bangsa yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi.

Intervensi politik atas Dunia Islam sulit untuk dikatakan tidak ada. Bahkan Barat menggunakan dua jenis pendekatan dalam melancarkan intervensinya itu. Sebut saja, yang pertama, adalah pendekatan hard power. Dengan pendekatan ini Barat menjadikan keunggulan teknologi militernya sebagai modal untuk menanamkan investasinya di Dunia Islam. Serangan militer AS yang segera atas Afganistan dan Irak, misalnya, menjadi posisi tawar yang tinggi untuk menggertak negeri-negeri Islam yang vokal dalam mengkritisi kebijakan luar negeri AS.

Pendekatan hard power inilah yang sebenarnya harus ditafsirkan oleh publik Muslim sebagai bentuk penjajahan meski pemerintahan AS mempropagandakan tindakannya tersebut sebagai war on terror, war against terrorism, atau pre-emptive strike (serangan mendahului). Apapun propaganda itu, semangat di balik pendekatan hard power sejatinya tetaplah penjajahan.

Pendekatan kedua, yaitu soft power, lebih ditujukan untuk mengubah persepsi Dunia Islam terhadap keyakinannya (baca: ideologi Islam). Clash of civilization yang diakibatkan oleh adanya perbedaan diametral dan asasi antara keyakinan Islam dan Barat, dicitrakan hanyalah sebagai mitos dan out of date. Apabila masih ada ulama yang menyebutkan Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara), maka ia dicitrakan Barat sebagai sosok yang konservatif, puritan, dan tidak layak untuk diikuti, atau -jika menggunakan istilah propaganda hitam- sebagai pengikut Osama bin Laden yang melancarkan teror dan konflik.

Pendekatan soft power tetap bermuara pada intervensi politik Barat atas persepsi Dunia Islam, dengan tujuan agar umat Islam pasrah menerima apa yang dikehendaki Barat atas mereka. Dengan kalimat lain, Barat memerlukan penerimaan Dunia Islam secara utuh atas upayanya menguasai sumber-sumber ekonomi dunia dan menancapkan Kapitalisme secara kukuh.

Realitas Penjajahan Politik Barat atas Dunia Islam

Kasus Afganistan dan Irak sesungguhnya dapat menjadi contoh yang baik untuk melihat bagaimana Barat menjajah daerah tersebut. Dua negara ini dulunya memiliki tipikal yang sama, yaitu diperintah oleh penguasa yang tidak disenangi Barat, mayoritas Muslim, kaya minyak, dan memiliki geopolitik yang cukup strategis di Timur Tengah. Kedua negara tersebut juga memiliki nasib akhir yang relatif sama: mereka digempur oleh invasi militer dengan alasan yang tidak pemah jelas dan tidak dapat dibuktikan. Pemerintah Taliban dituding telah melindungi Osama bin Laden dan kelompok Al-Qaida, sedangkan pemerintah Saddam Hussein dituduh menyembunyikan senjata pemusnah massal. Dua operasi militer atas negara-negara ini disimbolkan sebagai serangan mendahului (pre-emptive strike) melawan terorisme.

Drama dua invasi tersebut diakhiri dengan ending yang hampir sama, yaitu penggulingan pemerintahan yang lama dan penunjukkan pemerintahan baru, pembentukan majelis perwakilan, undang-undang dasar yang baru, serta persiapan Pemilu yang semuanya telah direkayasa sedemikian rupa. Pemerintahan baru tersebut tentu saja akan menginduk pada negara yang telah mengangkatnya. Ia tak lebih menjadi penguasa boneka yang siap melayani keinginan tuannya dan siap mengorbankan rakyatnya. Begitupun undang-undang dasar (konstitusi negara) yang akan dilegislasi oleh parlemen yang diangkat oleh penguasa tidak akan jauh beda. Mereka akan memproduksi konstitusi sekular sebagai alat untuk memaksakan sistem sekular ke tengah-tengah publik Islam.

Setiap ada upaya penolakan dari kelompok Islam, maka hal tersebut dicitrakan sebagai tindakan teror dan memicu konflik sosial. Di tengah-tengah situasi ini, penduduk sipillah yang menjadi korban, menyusul kacaunya aktivitas perekonomian dan instabilitas politik. Walhasil, kondisi ini dimanfaatkan Barat untuk lebih mencengkeramkan pengaruhnya dalam bentuk bantuan keamanan dan ekonomi. Sudah barang tentu, uluran tangan Barat ini diimbangi dengan pemberian konsesi berupa proyek eksplorasi minyak atau proyek pembangunan lainnya. Bahkan lebih dari itu, keberadaan pasukan AS juga difungsikan untuk melumpuhkan kekuatan Islam yang berupaya mendirikan Khilafah.

Dalam konteks Indonesia, intervensi asing dalam setiap separatisme cukup terasa. Sebagai contoh, pasca penandatanganan MoU Helsinski antara Pemerintah RI dan GAM yang dianggap banyak pengamat lebih menguntungkan kelompok separatis, pihak mediator Barat mengambil kendali. Kehadiran Aceh Monitoring ini diduga merupakan kepanjangan tangan dari pihak Barat yang ingin mengambil keuntungan dari perdamaian RI dan GAM. Dalam kasus separatisme lainnya, seperti RMS, keterlibatan asing cukup terlihat; dari mulai pengadaan persenjataan yang relatif canggih yang dimiliki RMS hingga kaburnya pemimpin RMS ke Washington DC. Bahkan disinyalir, menurut laporan intelijen TNI, jumlah intelijen asing yang melakukan spionase dan terlibat langsung dalam konflik cukup banyak. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat banyak sekali pulau-pulau kecil di gugusan kepulauan Maluku yang dapat dijadikan tempat persembunyian.

Strategi Aktif Barat

Membaca realitas penjajahan politik Barat atas Dunia Islam setidaknya kita dapat memahami bahwa Barat menjadikan beberapa isu digunakan untuk mengintervensi (baca: menjajah) Dunia Islam. Pertama: perang melawan terorisme. Kampanye ini telah memuluskan Barat, khususnya AS, menguasai berbagai negeri Islam dengan cara merusak pranata politiknya, menggulingkan penguasanya -yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Barat- sekaligus mengangkat penguasa boneka, serta mengklasifikasikan mana negeri yang pro terhadap Barat dan negeri yang kontra.

Selain itu, derivat dari kebijakan ini telah mengubah paradigma dunia terhadap Islam dan umatnya. Islam disebut sebagai agama teror dan Umatnya disebut teroris. Tidak hanya itu, kampanye ini berupaya cara pandang umat Islam terhadap aktivitas jihad, seiring dengan munculnya tudingan bahwa jihad adalah terorisme. Pemahaman salah inilah yang telah mengkooptasi benak sebagian umat Islam.

Kedua: isu demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kampanye Barat dengan menggunakan isu ini ditujukan untuk mengubah cara memahami konsep Islam. Islam yang seharusnya dipahami sebagai sebuah ideologi dan sistem hidup yang khas, dengan isu demokratisasi dan HAM, diubah menjadi sistem nilai (values) yang hanya menjadi spirit dalam aktivitas religi. Artinya, konsep Islam yang pada awalnya khas dan vis a vis dengan konsep Barat kemudian bisa dikompromikan.

Tentu saja penyesuaian ini memiliki maksud untuk membuang konsep Islam yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi dan HAM. Lalu dipromosikanlah di dunia Islam konsep Islam modern yang di dalamnya telah terjadi “penyesuaian” atas konsep Islam. Kelompok yang sejalan dengan Barat ini kemudian disebut Islam moderat, sedangkan yang berseberangan dengan kelompok ini disebut Islam garis keras. Menyikapi isu ini, Menlu Hassan Wirayuda menyebutkan bahwa Islam moderat adalah modal dasar bagi Indonesia dalam upaya memperbaiki hubungan internasional dengan negara-negara Barat.

Ketiga: politik pecah-belah dengan pendekatan stick and carrot. Modus ini digunakan untuk membelah-belah tubuh umat Islam. Terjadinya dikotomi antara Islam moderat dan Islam garis keras, betapapun sederhananya, tetap saja akan membingungkan umat Islam secara umum. Bahkan tidak hanya itu, isu ini jika disikapi secara emosional, dapat memancing pertikaian sesama umat Islam. Betapa besar energi yang harus terkuras untuk masalah ini, padahal pada saat yang sama, Barat telah mengeksploitasi kekayaan Dunia Islam dan mencengkeramkan Kapitalismenya.

Politik stick and carrot pun kemudian digunakan Barat untuk memukul kelompok Islam yang menentang agenda dan ideologinya pada satu sisi dan membiayai kelompok yang mengkampanyekan ide-ide kebebasan Barat -yang dibungkus dengan religiusitas- pada sisi lain. Konsekuensinya, jika kelompok moderat menang tentu saja penjajahan Barat atas Dunia Islam seakan-akan mendapatkan legitimasi dari kelompok Islam. Namun sebaliknya, jika kelompok moderat kalah, Barat harus berhadapan dengan umat Islam. Wallahu a’lam.

Bacaan: Buku Ilusi Negara Demokrasi
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam